Wawasan Al-Qur'an

oleh Dr. M. Quraish Shihab, M.A.

Indeks Islam | Indeks Quraish Shihab | Indeks Artikel | Tentang Penulis
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

 

KESEHATAN                                                (2/2)
 
Para ulama sering  mengaitkan  penyakit  dengan  siksa  Allah.
Al-Biqa'i    dalam   tafsirnya   mengenai   surah   Al-Fatihah
mengemukakan sabda Nabi Saw.,
 
     Penyakit adalah cambuk Tuhan di bumi ini, dengannya Dia
     mendidik hamba-hamba-Nya.
 
Pendapat ini didukung oleh  kandungan  pengertian  takwa  yang
pada dasarnya berarti menghindar dari siksa Allah di dunia dan
di akhirat. Siksa Allah di dunia,  adalah  akibat  pelanggaran
terhadap  hukum-hukum alam. Hukum alam antara lain membuktikan
bahwa makanan yang kotor mengakibatkan penyakit. Seorang  yang
makan  makanan kotor pada hakikatnya melanggar perintah Tuhan,
sehingga penyakit merupakan  siksa-Nya  di  dunia  yang  harus
dihindari oleh orang yang bertakwa.
 
Dari  sini  dapat  dimengerti  bahwa  Islam memerintahkan agar
berobat pada saat ditimpa penyakit.
 
     Berobatlah, karena tiada satu penyakit yang diturunkan
     Allah, kecuali diturunkan pula obat penangkalnya,
     selain dari satu penyakit, yaitu ketuaan (HR Abu Daud
     dan At-Tirmidzi dari sahabat Nabi Usamah bin Syuraik).
 
Bahkan seandainya tidak ada perintah rinci dari hadis  tentang
keharusan  berobat,  maka prinsip- prinsip pokok yang diangkat
dari Al-Quran dan hadis  cukup  untuk  dijadikan  dasar  dalam
upaya   kesehatan   dan   pengobatan.   Sebagai  contoh  dapat
dikemukakan persoalan transplantasi,  baik  dari  donor  hidup
maupun  donor yang telah meninggal dunia. Beberapa prinsip dan
kesepakatan dalam bidang hukum  agama  yang  berkaitan  dengan
topik  bahasan  ini  dapat  membantu menemukan pandangan Islam
dalam persoalan dimaksud. Prinsip-prinsip dimaksud antara 1ain
adalah:
 
  1. Agama Islam bertujuan memelihara agama, jiwa, akal,
     kesehatan, dan harta benda umat manusia.
 
  2. Anggota badan dan jiwa manusia merupakan milik Allah
     yang dianugerahkan-Nya untuk dimanfaatkan, bukan untuk
     disalahgunakan atau diperjualbelikan.
 
  3. Penghormatan dan hak-hak asasi yang
     dianugerahkan-Nya mencakup seluruh manusia, tanpa
     membedakan ras atau agama.
 
  4. Terlarang merendahkan derajat manusia, baik yang
     hidup, maupun yang telah wafat.
 
  5. Jika bertentangan kepentingan antara orang yang
     hidup dan orang yang telah wafat, maka dahulukanlah
     kepentingan orang yang hidup.
 
Dari prinsip-prinsip ini banyak ulama  kontemporer  menetapkan
bahwa    transplantasi    dapat    dibenarkan   selama   tidak
diperjualbelikan, dan selama kehormatan manusia  --yang  hidup
maupun  yang  mati--  terjaga  sepenuhnya.  Salah satu jaminan
tidak adanya pelecehan adalah izin dan pihak keluarga.
 
Alasan penolakan yang sering  terdengar  dari  kalangan  orang
kebanyakan  (awam)  bahwa  setelah si penerima donor sehat, ia
mungkin dapat  menyalahqunakan  kesehatannya,  dan  ini  dapat
mengakibatkan  dosa,  terutama bagi "pemilik" organ (jenazah),
atau orang yang mengizinkan. Alasan ini, pada hakikatnya tidak
sepenuhnya   dapat  diterima.  Kemurahan  dan  keadilan  Tuhan
mengantar-Nya untuk tidak  menuntut  pertanggungl.awaban  dari
seseorang  terhadap  sesuatu  yang  tidak dikerjakannya secara
sadar, karena hakikat manusia bukan organ dan jasmaninya:
 
     Allah tidak memandang kepada jasad dan rupa kamu,
     tetapi memandang hati dan perbuatan kamu.
 
Demikian sabda  Nabi  Muhammad  Saw.  yang  diriwayatkan  oleh
Muslim.  Di samping itu, izin yang diharuskan itu, telah dapat
mengurangi kalau enggan berkata  "menghilangkan"  kekhawatiran
di  atas.  Kalau  niat  pemberi  izin  untuk  membantu  sesama
manusia, dan dia menduga keras bahwa  bantuan  tersebut  tidak
akan  disalahgunakan, maka kalaupun ternyata dugaannya keliru,
maka ia bebas dari dosa. Sebaliknya, jika  yang  memberi  izin
sudah menduga keras akan terjadinya penyalahgunaan, maka tentu
saja ia tidak terbebaskan dari dosa.  Di  sini  terlihat  pula
peranan izin.
 
Dapat  ditambahkan  bahwa  Al-Quran  menegaskan bahwa, "Barang
siapa  yang  menghidupkan   seseorang,   maka   dia   bagaikan
menghidupkan  manusia  semuanya..."  (QS  Al-Maidah  [5): 32).
"Menghidupkan" di sini bukan  saja  yang  berarti  "memelihara
kehidupan",  tetapi  juga  dapat mencakup upaya "memperpanjang
harapan hidup" dengan cara apa pun yang tidak melanggar hukum.
 
Demikian, satu contoh, bagaimana ayat-ayat  Al-Quran  dipahami
dalam   konteks   peristiwa   paling   mutakhir  dalam  bidang
kesehatan.
 
Namun dalam ajaran Islam juga ditekankan bahwa obat dan  upaya
hanyalah  "sebab",  sedangkan  penyebab  sesungguhnya di balik
sebab atau upaya itu adalah Allah Swt.,  seperti  ucapan  Nabi
Ibrahim  a.s. yang diabadikan Al-Quran dalam surat Al-Syu'ara'
(26): 80'
 
     Apabila aku sakit, Dialah (Allah) yang menyembuhkan
     aku.
 
KESEHATAN MENTAL
 
Nabi Saw. juga mengisyaratkan bahwa  ada  keluhan  fisik  yang
terjadi  karena  gangguan mental. Seseorang datang mengeluhkan
penyakit perut yang diderita saudaranya  setelah  diberi  obat
berkali-kali, tetapi tidak kunjung sembuh dinyatakan oleh Nabi
Saw. bahwa, "Perut saudaramu berbohong" (HR Bukhari).
 
Al-Quran Al-Karim memang  banyak  berbicara  tentang  penyakit
jiwa.  Mereka  yang  lemah  iman dinilai oleh Al-Quran sebagai
orang yang memiliki penyakit di dalam dadanya.
 
Dari  hadis-hadis  Nabi  diperoleh  petunjuk,  bahwa  sebagian
kompleks  kejiwaan  tercipta  pada  saat janin masih berada di
perut ibu, atau bahkan  pada  saat  hubungan  seks  (pertemuan
sperma  dan  ovum),  demikian  juga  ketika  bayi  masih dalam
buaian.
 
Karena itu, Islam memerintahkan kepada para ibu dan bapak agar
menciptakan  suasana tenang, dan mengamalkan ajaran agama pada
saat bayi berada dalam  kandungan,  sebagaimana  memerintahkan
kepada  para  orang-tua  untuk  memperlakukan anak-anak mereka
secara wajar.
 
Dalam suatu riwayat diungkapkan ada seorang anak  yang  sedang
digendong,  kemudian  pipis  membasahi  pakaian  Nabi.  Ibunya
merenggut bayi tersebut dengan kasar.  Namun  Nabi  menegurnya
dengan bersabda,
 
     Jangan hentikan pipisnya, jangan renggut dia dengan
     kasar. Pakaian ini dapat dibersihkan dengan air, tetapi
     apa yang dapat menjernihkan hati sang anak (yang engkau
     renggut dengan kasar)?
 
Seperti diungkapkan oleh beberapa pakar  ilmu  jiwa,  sebagian
kompleks  kejiwaan yang diderita orang dewasa, dapat diketahui
penyebab utamanya  pada  perlakuan  yang  diterimanya  sebelum
dewasa.
 
Agaknya  kita dapat menyimpulkan bahwa pandangan Islam tentang
penyakit-penyakit mental mencakup banyak hal, yang boleh  jadi
tidak dijangkau oleh pandangan ilmu kesehatan modern.
 
Dalam  Al-Quran  tidak  kurang sebelas kali disebut istilah fi
qulubihim maradh,
 
Kata qalb atau qulub dipahami dalam dua makna, yaitu akal  dan
hati.  Sedang  kata  maradh  biasa diartikan sebagai penyakit.
Secara rinci  pakar  bahasa  Ibnu  Faris  mendefinisikan  kata
tersebut  sebagai  "segala  sesuatu yang mengakibatkan manusia
melampaui batas keseimbangan/kewajaran  dan  mengantar  kepada
terganggunya  fisik,  mental,  bahkan kepada tidak sempurnanya
amal seseorang."
 
Terlampauinya batas kesimbangan tersebut dapat berbentuk gerak
ke arah berlebihan, dan dapat pula ke arah kekurangan.
 
Dari sini dapat dikatakan bahwa Al-Quran memperkenalkan adanya
penyakit-penyakit yang menimpa hati dan yang menimpa akal.
 
Penyakit-penyakit  akal  yang  disebabkan  bentuk   berlebihan
adalah  semacam  kelicikan,  sedangkan  yang  bentuknya karena
kekurangan adalah ketidaktahuan akibat  kurangnya  pendidikan.
Ketidaktahuan   ini   dapat  bersifat  tunggal  maupun  ganda.
Seseorang   yang   tidak   tahu    serta    tidak    menyadari
ketidaktahuannya   pada  hakikatnya  menderita  penyakit  akal
berganda.
 
Penyakit akal berupa ketidaktahuan  mengantarkan  penderitanya
pada keraguan dan kebimbangan.
 
Penyakit-penyakit    kejiwaan    pun    beraneka   ragam   dan
bertingkat-tingkat. Sikap angkuh,  benci,  dendam,  fanatisme,
loba,  dan  kikir  yang  antara  lain disebabkan karena bentuk
keberlebihan   seseorang.   Sedangkan   rasa   takut,   cemas,
pesimisme,   rendah   diri   dan   lain-lain   adalah   karena
kekurangannya.
 
Yang akan memperoleh keberuntungan  di  hari  kemudian  adalah
mereka  yang terbebas dari penyakit-penyakit tersebut, seperti
bunyi firman Allah dalam surat Al-Syu'ara' (26): 88-89:
 
     Pada hari (akhirat) harta dan anak-anak tidak berguna
     (tetapi yang berguna tiada lain) kecuali yang datang
     kepada Allah dengan hati yang sehat.
 
Islam mendorong manusia agar memiliki kalbu  yang  sehat  dari
segala  macam  penyakit dengan jalan bertobat, dan mendekatkan
diri kepada Tuhan, karena:
 
     Sesungguhnya dengan mengingat Allah jiwa akan
     memperoleh ketenangan (QS Al-Ra'd [13]: 28).
 
Itulah sebagian tuntunan Al-Quran dan Sunnah Nabi Saw. tentang
kesehatan.[]
 
----------------
WAWASAN AL-QURAN
Tafsir Maudhu'i atas Pelbagai Persoalan Umat
Dr. M. Quraish Shihab, M.A.
Penerbit Mizan
Jln. Yodkali No.16, Bandung 40124
Telp. (022) 700931  Fax. (022) 707038
mailto:mizan@ibm.net

Indeks Islam | Indeks Quraish Shihab | Indeks Artikel | Tentang Penulis
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

Please direct any suggestion to Media Team