Wawasan Al-Qur'an

oleh Dr. M. Quraish Shihab, M.A.

Indeks Islam | Indeks Quraish Shihab | Indeks Artikel | Tentang Penulis
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

 

MAKANAN                                                  (2/3)
 
Dari   sini,  lahir  pembahasan  panjang  lebar  --yang  dapat
ditemukan  dalam  buku-buku  fiqih--   tentang   syarat-syarat
"penyembelihan"  yang  harus  dipenuhi  bagi kehalalan memakan
binatang-binatang darat. Secara umum syarat tersebut berkaitan
dengan (a) penyembelih, (b) cara dan tujuan penyembelihan, (c)
anggota  tubuh  binatang  yang  harus  disembelih,  (d)   alat
penyembelihan.
 
Al-Quran  secara  eksplisit berbicara tentang butir a dan b di
atas, dan mengisyaratkan tentang c dan d.
 
Dari surat Al-Ma-idah (5): 5 yang menegaskan bahwa,
 
    Makanan (sembelihan) Ahl Al-Kitab halal untuk kamu
 
Dari ayat  ini,  para  ulama  menyimpulkan  bahwa  penyembelih
haruslah  dilakukan oleh seorang yang beragama Islam, atau Ahl
Al-Kitab (Yahudi/Nasrani).
 
Memang timbul perselisihan pendapat di kalangan ulama  tentang
siapa  yang  dimaksud  dengan  Ahl  Al-Kitab,  dan apakah umat
Yahudi dan Nasrani masa kini, masih wajar disebut sebagai  Ahl
Al-Kitab.  Dan  apakah  selain  dari  mereka, seperti penganut
agama Budha dan  Hindu,  dapat  dimasukkan  ke  dalamnya  atau
tidak?  Betapapun,  mayoritas  ulama menilai bahwa hingga kini
penganut agama Yahudi dan Kristen masih wajar menyandang gelar
tersebut, dan dengan demikian penyembelihan mereka masih tetap
halal, jika  memenuhi  syarat-syarat  yang  lain.  Salah  satu
syarat yang telah dikemukakan di atas adalah tidak menyembelih
binatang atas nama selain Allah.
 
Dalam konteks ini, sekali  lagi  kita  menemukan  rincian  dan
perbedaan  penafsiran  para  ulama,  menyangkut wajib tidaknya
menyebut nama Allah ketika menyembelih, dan  bagaimana  dengan
Ahl Al-Kitab masa kini. Al-Quran menyatakan,
 
    Maka makanlah binatang-binatang yang halal yang disebut
    nama Allah ketika menyembelihnya, jika kamu beriman
    kepada ayat-ayatnya. Mengapa kamu tidak mau memakan
    (binatang-binatang halal) yang disebut nama Allah
    ketika menyembelihnya, padahal Allah telah menjelaskan
    kepada kamu apa-apa yang diharamkan-Nya atas kamu...
    (QS Al-An'am [6): 118-119).
 
Apakah  ayat  ini  berbicara  tentang  keharusan menyebut nama
Allah ketika menyembelih atau tidak? Ibnu Taimiyah dan riwayat
yang  dinisbahkan  kepada  Imam  Ahmad  berpendapat  demikian.
Pendapatnya  ini  didukung  oleh  adanya  ayat  yang  melarang
memakan   sembelihan  yang  tidak  disebut  nama  Allah  serta
menilainya sebagai kefasikan:
 
    Dan janganlah kamu makan binatang-binatang yang tidak
    disebut nama Allah ketika menyembelihnya, sesungguhnya
    yang demikian itu adalah kefasikan (QS Al-An'am [6]:
    121).
 
Pendapat mazhab Maliki dan Hanafi, pada hakikatnya sama dengan
pendapat  di  atas,  hanya  saja  mereka  memberi  kelonggaran
sehingga menurut mereka, kalau  seseorang  lupa  membaca  nama
Allah, maka hal itu dapat ditoleransi.
 
Ma~hab  Syafi'i  berpendapat  bahwa tidak disyaratkan menyebut
nama Allah ketika menyembelih. Alasannya antara lain:
 
1 . Ayat yang membolehkan  memakan  sembelihan  Ahl  Al-Kitab,
sementara  mereka pada umumnya tidak menyebut nama Allah dalam
penyembelihan,  namun  demikian  dihalalkan  untuk  kita,  ini
menunjukkan  bahwa perintah menyebut nama Allah pada ayat-ayat
yang disebut sebelum ini hanya anjuran bukan kewajiban.  Atau,
dengan  kata  lain,  penyebutan nama Allah bukan syarat sahnya
penyembelihan.
 
2. Hadis Rasul Saw., yang diriwayatkan  oleh  Bukhari  melalui
istri  Nabi  Aisyah r.a., bahwa sejumlah orang bertanya kepada
Nabi Saw. tentang daging  yang  mereka  tidak  ketahui  apakah
dibacakan  nama Allah ketika penyembelihannya atau tidak, Nabi
menjawab,
 
    Hendaklah kalian membaca nama Allah, lalu makanlah.
    Ketika itu para penanya, menurut Aisyah, baru saja
    melepaskan kekufuran mereka (masuk Islam) (Diriwayatkan
    oleh Bukhari, Abu Daud dan An-Nasa'i melalui isteri
    Nabi Saw., Aisyah).
 
Ada lagi beberapa hadis lain yang sejalan  dengan  ini,  namun
secara  objektif  kita  dapat  berkata  bahwa tuntunan di atas
mengundang kita untuk menyatakan perlunya membaca  nama  Allah
ketika  menyembelih,  walaupun  tidak  harus dengan bismillah,
tetapi cukup dengan menyebut salah satu  nama-Nya  sebagaimana
pendapat mazhab Maliki dan Abu Hanifah.
 
Walaupun   mazhab   Syafi'i  membolehkan  penyembelihan  tanpa
menyebut nama Allah, atau selama tidak  disembelih  atas  nama
selain Allah, dan membolehkan pula penyembelihan Ahl Al-Kitab,
bahkan Syaikh Muhammad Abduh dan Rasyid  Ridha  menilai  halal
sembelihan  penganut  agama Budha, namun itu bukan serta merta
menjadikan  segala  macam  sembelihan  mereka  menjadi  halal.
Karena  masih  ada  syarat lain yaitu "cara menyembelih", yang
masalahnya diisyaratkan oleh Al-Quran dengan menyebut beberapa
cara yang tidak direstuinya, seperti:
 
    Yang tercekik, yang dipukul, yang jatuh, yang ditanduk,
    dan yang diterkam binatang buas --kecuali yang segera
    disembelih sebelum berhembus nyawanya, serta yang
    disembelih atas nama berhala (QS Al-Ma-idah [5]: 3).
 
Perlu  dicatat  bahwa  penyembelihan  yang dilakukan sementara
orang  ketika  membangun  bangunan  kemudian  menanam   kepala
binatang   yang   disembelih  itu  dengan  tuduan  menghindari
"gangguan makhluk halus"  merupakan  salah  satu  bentuk  dari
penyembelihan atas nama berhala.
 
3. Makanan olahan. Seperti yang dikemukakan dalam pendahuluan,
bahwa minuman merupakan salah satu jenis  makanan,  maka  atas
dasar itu kita dapat berkata bahwa khamr (sesuatu yang menutup
pikiran] merupakan salah satu jenis makanan pula.
 
Al-Quran menegaskan bahwa:
 
    Dan dari buah kurma dan anggur kamu buat olah minuman
    yang memabukkan dan rezeki yang baik. Sesungguhnya pada
    yang demikian itu terdapat tanda (kebesaran) Allah bagi
    orang yang memikirkan (QS Al-Nahl [16]: 67).
 
Ayat ini merupakan ayat pertama  yang  turun  tentang  makanan
olahan  yang dibuat dari buah-buahan, sekaligus merupakan ayat
pertama yang berbicara tentang minuman keras dan keburukannya.
Ayat tersebut membedakan dua jenis makanan olahan "memabukkan"
dan jenis makanan olahan yang baik sehingga  merupakan  rezeki
yang baik.
 
Pengharaman  segala  yang memabukkan dilakukan Al-Quran secara
bertahap; bermula di Makkah  dari  isyarat  yang  diberikannya
pada  ayat  di  atas, disusul dengan pernyataan tentang adanya
sisi baik dan buruk pada perjudian dan  khamr  yang  turun  di
Madinah  (QS  Al-Baqarah  [2]:  219): Mereka bertanya kepadamu
tentang khamr dan judi, jawablah bahwa dalam keduanya ada dosa
yang  besar dan manfaat untuk manusia. Dosanya lebih besar dan
manfaatnya. Disusul dengan  larangan  tegas  mendekati  shalat
bila dalam keadaan mabuk sehingga kamu menyadari apa yang kamu
ucapkan (QS Al-Nisa' [4]: 43), dan diakhiri dengan  pernyataan
tegas bahwa:
 
    Wahai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum)
    khamr, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi
    nasib dengan panah, adalah perbuatan rijs (keji)
    termasuk perbuatan setan. Maka jauhilah
    perbuatan-perbuatan itu agar kamu beruntung (QS
    Al-Ma-idah [5]: 90).
 
Khamr  terambil  dari  kata  khamara  yang  menurut pengertian
kebahasaan adalah "menutup". Karena itu, makanan  dan  minuman
yang  dapat  mengantar  kepada  tertutupnya  akal dinamai juga
khamr.
 
Sementara ulama menyatakan bahwa khamr adalah "perahan  anggur
yang  mendidih  atau  yang  dimasak". Abu Hanifah, Ats-Tsauri,
Ibnu Abi Laila, Ibnu  Syubrumah,  semuanya  berpendapat  bahwa
sesuatu  yang  memabukkan  bila  diminum  banyak, selama tidak
terbuat dari anggur, maka bila diminum sedikit dan atau  tidak
memabukkan maka dia dapat ditoleransi.
 
Pendapat  ini ditolak oleh mayoritas ulama. Mereka berpendapat
bahwa apa pun yang memabukkan, menutup  akal  atau  menjadikan
seseorang  tidak  dapat  mengendalikan  pikirannya walau bukan
terbuat dari anggur,  maka  dia  adalah  haram.  Pendapat  ini
antara lain berdasar sabda Rasul Saw. yang menyatakan:
 
    Semua yang memabukkan adalah haram, dan semua yang
    memabukkan adalah khamr (HR Muslim melalui Ibnu Umar).
 
Di  sisi  lain  Imam  At-Tirmidzi,  An-Nasa'i,  dan  Abu  Daud
meriwayatkan melalui sahabat Nabi, Jabir  bin  Abdillah  bahwa
Nabi Saw. bersabda:
 
    Sesuatu yang memabukkan bila banyak, maka sedikit pun
    tetap haram.
 
Dari   pengertian   kata  khamr  dan  esensinya  seperti  yang
dikemukakan di atas, maka segala  macam  makanan  dan  minuman
terolah  atau tidak, selama mengganggu pikiran maka dia adalah
haram.
 
PESAN-PESAN AL-QURAN MENGENAI MAKANAN
 
Seperti  dikemukakan  di  atas,   ketika   berbicara   tentang
"perintah   makan",  Allah  Swt.  memerintahkan  agar  manusia
memakan makanan yang sifatnya halal dan thayyib.
 
Kata "halal" berasal dari akar kata yang berarti "lepas"  atau
"tidak  terikat". Sesuatu yang halal adalah yang terlepas dari
ikatan bahaya duniawi dan ukhrawi.  Karena  itu  kata  "halal"
juga  berarti  "boleh".  Dalam bahasa hukum, kata ini mencakup
segala sesuatu  yang  dibolehkan  agama,  baik  kebolehan  itu
bersifat  sunnah,  anjuran  untuk  dilakukan,  makruh (anjuran
untuk ditinggalkan) maupun  mubah  (netral/boleh-boleh  saja).
Karena  itu  boleh jadi ada sesuatu yang halal (boleh), tetapi
tidak dianjurkannya, atau dengan kata  lain  hukumnya  makruh.
Nabi Saw. misalnya melarang seseorang mendekati masjid apabila
ia  baru  saja  memakan  bawang.  Nabi  bersabda   sebagaimana
diriwayatkan oleh Abu Daud melalui Ali bin Abi Thalib:
 
    Rasul Saw. melarang memakan bawang putith kecuali
    setelah dimasak.
 
Dalam   riwayat   At-Tirmidzi   dikemukakan   bahwa  seseorang
bertanya: Apakah itu haram? Beliau menjawab:
 
    Tidak, tetapi saya tidak suka aromanya.
 
Kata thayyib dari segi  bahasa  berarti  lezat,  baik,  sehat,
menenteramkan,  dan  paling  utama.  Pakar-pakar tafsir ketika
menjelaskan kata ini dalam konteks perintah  makan  menyatakan
bahwa ia berarti makanan yang tidak kotor dan segi zatnya atau
rusak (kedaluwarsa), atau dicampur benda najis. Ada juga  yang
mengartikannya  sebagai  makanan  yang  mengundang selera bagi
yang akan memakannya dan tidak membahayakan fisik dan akalnya.
Kita  dapat  berkata  bahwa  kata thayyib dalam makanan adalah
makanan yang sehat, proporsional, dan aman.  Tentunya  sebelum
itu adalah halal.
 
a.  Makanan  yang  sehat adalah makanan yang memiliki zat gizi
yang cukup dan  seimbang.  Dalam  Al-Quran  disebutkan  sekian
banyak  jenis makanan yang sekaligus dianjurkan untuk dimakan,
misalnya padi-padian (QS Al-Sajdah [32]:  27),  pangan  hewani
(QS  Ghafir [40]: 79), ikan (QS Al-Nahl [16]: 14), buah-buahan
(QS Al-Mutminun [23]: 19; Al-An'am [6]: 14l), lemak dan minyak
(QS  Al-Mu'minun  [23]:  21),  madu (QS Al-Nahl [16]: 69), dan
lain-lain. Penyebutan aneka macam jenis makanan ini,  menuntut
kearifan dalam memilih dan mengatur keseimbangannya.
 
b.  Proporsional,  dalam arti sesuai dengan kebutuhan pemakan,
tidak berlebih,  dan  tidak  berkurang.  Karena  itu  Al-Quran
menuntut  orang-tua, khususnya para ibu, agar menyusui anaknya
dengan ASI (air susu ibu) serta menetapkan masa penyusuan yang
ideal.
 
    Para ibu (hendaklah) menyusukan anaknya dua tahun
    sempurna, bagi siapa yang hendak menyempumakan
    penyusuan (QS Al-Baqarah [2]: 233).
 
Dalam  konteks  ini juga dapat dipahami dan dikembangkan makna
firman Allah:
 
    Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu
    mengharamkan apa-apa yang baik yang telah Allah
    halalkan bagi kamu, dan jangan juga melampaui batas.
    Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang
    melampaui batas (QS Al-Maidah [5]: 87).
 
----------------                              (bersambung 3/3)
WAWASAN AL-QURAN
Tafsir Maudhu'i atas Pelbagai Persoalan Umat
Dr. M. Quraish Shihab, M.A.
Penerbit Mizan
Jln. Yodkali No.16, Bandung 40124
Telp. (022) 700931  Fax. (022) 707038
mailto:mizan@ibm.net

Indeks Islam | Indeks Quraish Shihab | Indeks Artikel | Tentang Penulis
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

Please direct any suggestion to Media Team