Wawasan Al-Qur'an

oleh Dr. M. Quraish Shihab, M.A.

Indeks Islam | Indeks Quraish Shihab | Indeks Artikel | Tentang Penulis
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

 

MANUSIA                                                  (1/3)
 
Dalam bukunya, Man the  Unknown,  Dr.  A.  Carrel  menjelaskan
tentang  kesukaran  yang  dihadapi  untuk  mengetahui  hakikat
manusia.   Dia   mengatakan    bahwa    pengetahuan    tentang
makhluk-makhluk  hidup secara umum dan manusia khususnya belum
lagi mencapai kemajuan seperti yang telah dicapai dalam bidang
ilmu pengetahuan lainnya. Selanj utnya ia menulis:
 
     Sebenarnya manusia telah mencurahkan perhatian dan
     usaha yang sangat besar untuk mengetahui dirinya,
     kendatipun kita memiliki perbendaharaan yang cukup
     banyak dari hasil penelitian para ilmuwan, filosof,
     sastrawan, dan para ahli di bidang keruhanian
     sepanjang masa ini. Tapi kita (manusia) hanya mampu
     mengetahui beberapa segi tertentu dari diri kita. Kita
     tidak mengetahui manusia secara utuh. Yang kita
     ketahui hanyalah bahwa manusia terdiri dari
     bagian-bagian tertentu, dan ini pun pada hakikatnya
     dibagi lagi menurut tata cara kita sendiri. Pada
     hakikatnya, kebanyakan pertanyaan-pertanyaan yang
     diajukan oleh mereka yang mempelajari manusia --kepada
     diri mereka-- hingga kini masih tetap tanpa jawaban.
 
Keterbatasan   pengetahuan   manusia   tentang   dirinya   itu
disebabkan oleh:
 
  1. Pembahasan tentang masalah manusia terlambat
     dilakukan, karena pada mulanya perhatian manusia hanya
     tertuju pada penyelidikan tentang alam materi. Pada
     zaman primitif, nenek moyang kita disibukkan untuk
     menundukkan atau menjinakkan alam sekitarnya, seperti
     upaya membuat senjata-senjata melawan
     binatang-binatang buas, penemuan api, pertanian,
     peternakan, dan sebagainya sehingga mereka tidak
     mempunyai waktu luang untuk memikirkan diri mereka
     sebagai manusia. Demikian pula halnya Pada Zaman
     Kebangkitan (Renaisans) ketika para ahli digiurkan
     oleh penemuan-penemuan baru mereka yang disamping
     menghasilkan keuntungan material, juga menyenangkan
     publik secara umum karena penemuan-penemuan tersebut
     mempermudah dan memperindah kehidupan ini.
     
  2. Ciri khas akal manusia yang lebih cenderung
     memikirkan hal-hal yang tidak kompleks. Ini disebabkan
     oleh sifat aka1 kita seperti yang dinyatakan oleh
     Bergson tidak mampu mengetahui hakikat hidup.
     
  3. Multikompleksnya masalah manusia.
 
Dari penjelasan di atas,  agamawan  dapat  berkomentar,  bahwa
pengetahuan  tentang  manusia  demikian  itu disebabkan karena
manusia  adalah  satu-satunya   makhluk   yang   dalam   unsur
penciptaannya  terdapat  ruh Ilahi sedang manusia tidak diberi
pengetahuan tentang ruh, kecuali sedikit  (QS  Al-Isra'  [17]:
85).
 
Jika  apa  yang  dikemukakan oleh A. Carrel itu diterima, maka
satu-satunya jalan untuk mengenal dengan baik  siapa  manusia,
adalah  merujuk  kepada wahyu Ilahi, agar kita dapat menemukan
jawabannya.
 
Untuk maksud tersebut tentu tidak cukup dengan  hanya  merujuk
kepada  satu  dua ayat, tetapi seharusnya merujuk kepada semua
ayat  Al-Quran  (atau  paling  tidak  ayat-ayat  pokok)   yang
berbicara  tentang  masalah  yang  dibahas, dengan mempelajari
konteksnya masing-masing, dan mencari penguat-penguatnya  baik
dari  penjelasan  Rasul,  maupun  hakikat-hakikat  ilmiah yang
telah mapan. Cara ini dikenal  dalam  disiplin  ilmu  Al-Quran
dengan metode maudhu'i (tematis).
 
Istilah Manusia dalam Al-Quran
 
Ada  tiga  kata  yang digunakan Al-Quran untuk menunjuk kepada
manusia.
 
  l. Menggunakan kata yang terdiri dari huruf alif, nun,
     dan sin, semacam insan, ins, nas, atau unas.
     
  2. Menggunakan kata basyar.
     
  3. Menggunakan kata Bani Adam, dan zuriyat Adam.
 
Uraian ini akan mengarahkan  pandangan  secara  khusus  kepada
kata basyar dan kata insan.
 
Kata  basyar terambil dari akar kata yang pada mulanya berarti
penampakan sesuatu dengan baik dan indah. Dari akar kata  yang
sama  lahir  kata basyarah yang berarti kulit. Manusia dinamai
basyar karena kulitnya tampak jelas, dan berbeda dengan  kulit
binatang yang lain.
 
Al-Quran  menggunakan  kata  ini sebanyak 36 kali dalam bentuk
tunggal dan sekali dalam bentuk mutsanna (dual) untuk menunjuk
manusia  dari  sudut  lahiriahnya  serta  persamaannya  dengan
manusia   seluruhnya.   Karena   itu   Nabi   Muhammad    Saw.
diperintahkan untuk menyampaikan bahwa,
 
     Aku adalah basyar (manusia) seperti kamu yang diberi
     wahyu (QS Al-Kahf [18]: 110).
 
Dari sisi lain diamati bahwa banyak  ayat-ayat  Al-Quran  yang
menggunakan  kata  basyar  yang  mengisyaratkan  bahwa  proses
kejadian manusia sebagai basyar, melalui tahap-tahap  sehingga
mencapai tahap kedewasaan.
 
     Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya (Allah)
     menciptakan kamu dari tanah, kemudian ketika kamu
     menjadi basyar kamu bertebaran (QS Al-Rum [30]: 20).
 
Bertebaran  di  sini  bisa  diartikan  berkembang  biak akibat
hubungan seks atau bertebaran mencari rezeki.  Kedua  hal  ini
tidak  dilakukan oleh manusia kecuali oleh orang yang memiliki
kedewasaan dan tanggung jawab. Karena  itu  pula  Maryam  a.s.
mengungkapkan  keheranannya dapat memperoleh anak, padahal dia
belum pernah disentuh oleh basyar (manusia dewasa  yang  mampu
berhubungan  seks)  (QS Ali 'Imran [3]: 47). Kata basyiruhunna
yang digunakan oleh Al-Quran sebanyak dua kali (QS  Al-Baqarah
[2]: 187), juga diartikan dengan hubungan seks.
 
Demikian  terlihat  basyar  dikaitkan  dengan kedewasaan dalam
kehidupan manusia, yang menjadikannya mampu  memikul  tanggung
jawab.  Dan  karena  itu  pula,  tugas kekhalifahan dibebankan
kepada basyar {perhatikan QS Al-Hijr 115): 28 yang menggunakan
kata  basyar), dan QS Al-Baqarah (2): 30 yang menggunakan kata
khalifah, yang keduanya mengandung  pemberitaan  Allah  kepada
malaikat tentang manusia.
 
Kata  insan  terambil  dari  akar kata uns yang berarti jinak,
harmonis, dan tampak. Pendapat ini, jika ditinjau  dari  sudut
pandang  Al-Quran  lebih  tepat dari yang berpendapat bahwa ia
terambil   dan   kata   nasiya   (lupa),   atau    nasa-yanusu
(berguncang).
 
Kitab  Suci  Al-Quran  --seperti  tulis  Bint Al-Syathi' dalam
Al-Quran wa Qadhaya Al-Insan-- seringkali memperhadapkan insan
dengan  jin/jan.  Jin  adalah makhluk halus yang tidak tampak,
sedangkan manusia adalah makhluk yang nyata lagi ramah.
 
Kata insan, digunakan Al-Quran untuk menunjuk  kepada  manusia
dengan  seluruh  totalitasnya,  jiwa  dan  raga.  Manusia yang
berbeda antara seseorang dengan yang  lain,  akibat  perbedaan
fisik, mental, dan kecerdasan.
 
Produksi dan Reproduksi Manusia
 
Al-Quran menguraikan produksi dan reproduksi  manusia.  Ketika
berbicara   tentang   penciptaan   manusia  pertama,  Al-Quran
menunjuk kepada sang  Pencipta  dengan  menggunakan  pengganti
nama berbentuk tunggal:
 
     Sesungguhnya Aku akan menciptakan manusia dan tanah
     (QS Shad [38]: 71).
     
     Apa yang menghalangi kamu (iblis) sujud kepada apa
     yang Aku ciptakan dengan kedua tangan-Ku? (0S Shad
     [38]: 75).
 
Tetapi ketika  berbicara  tentang  reproduksi  manusia  secara
umum,  Yang  Maha  Pencipta ditunjuk dengan menggunakan bentuk
jamak. Demikian kesimpulan kita  kalau  membaca  surat  At-Tin
ayat 4:
 
     Sesungguhnya Kami telah menjadikan manusia dalam
     bentuk yang sebaik-baiknya.
 
Ha1 itu untuk menunjukkan perbedaan  proses  kejadian  manusia
secara  umum  dan proses kejadian Adam a.s. Penciptaan manusia
secara  umum,  melalui  proses  keterlibatan   Tuhan   bersama
selain-Nya,  yaitu  ibu  dan bapak. Keterlibatan ibu dan bapak
mempunyai pengaruh menyangkut bentuk fisik  dan  psikis  anak,
sedangkan  dalam  penciptaan Adam, tidak terdapat keterlibatan
pihak lain termasuk ibu dan bapak.
 
Al-Quran tidak menguraikan secara rinci proses kejadian  Adam,
yang  oleh  mayoritas  ulama  dinamai  manusia  pertama.  Yang
disampaikannya dalam konteks ini hanya:
 
  a. Bahan awal manusia adalah tanah.
     
  b. Bahan tersebut disempurnakan.
     
  c. Setelah proses penyempurnaannya selesai, ditiupkan
     kepadanya ruh Ilahi (QS Al-Hijr [15]: 28-29; Shad
     [38]: 71-72).
 
Apa dan bagaimana penyempurnaan  itu,  tidak  disinggung  oleh
Al-Quran.  Dari  sini,  terdapat sekian banyak cendekiawan dan
ulama Islam, jauh sebelum Darwin yang  melakukan  penyelidikan
dan  analisis  sehingga berkesimpulan bahwa manusia diciptakan
melalui  fase   atau   evolusi   tertentu,   dan   bahwa   ada
tingkat-tingkat  tertentu  menyangkut ciptaan Allah. Nama-nama
seperti Al-Farabi (783-950 M), Ibnu Miskawaih (Wafat 1030  M),
Muhammad  bin  Syakir  Al-Kutubi  (1287- 1363 M), Ibnu Khaldun
(1332-1406 M) dapat disebut sebagai tokoh-tokoh paham  evolusi
sebelum  lahirnya  teori  evolusi  Darwin (1804-1872 M). Perlu
ditambahkan  bahwa  kesimpulan  ulama-ulama   tersebut   tidak
sepenuhnya  sama  dalam  rincian teori evolusi yang dirumuskan
oleh Darwin.
 
Dari sini pula dapat dimengerti  uraian  pakar  tafsir  Syaikh
Muhammad  Abduh  yang menyatakan bahwa seandainya teori Darwin
tentang   proses   penciptaan   manusia    dapat    dibuktikan
kebenarannya   secara  ilmiah,  maka  tidak  ada  alasan  dari
Al-Quran untuk menolaknya. Al-Quran hanya  menguraikan  proses
pertama,  pertengahan,  dan  akhir.  Apa  yang  terjadi antara
proses pertama dan pertengahan, serta antara  pertengahan  dan
akhir, tidak dijelaskannya
 
Abbas  Al-Aqad,  seorang  ilmuwan dan ulama Mesir kontemporer,
dalam bukunya Al-Insan fi Al-Quran  (Manusia  dalam  Al-Quran)
mempersilakan  setiap  Muslim,  untuk  --menerima atau menolak
teori itu-- berdasarkan penelitian  ilmiah,  tanpa  melibatkan
Al-Quran  sedikit  pun, karena Al-Quran tidak berbicara secara
rinci tentang proses kejadian manusia pertama.
 
Potensi Manusia
 
Yang banyak dibicarakan oleh Al-Quran tentang  manusia  adalah
sifat-sifat  dan  potensinya.  Dalam hal ini, ditemukan sekian
ayat yang memuji dan memuliakan  manusia,  seperti  pernyataan
tentang  terciptanya  manusia  dalam  bentuk  dan keadaan yang
sebaik-baiknya (QS Al-Tin  [95]:  5),  dan  penegasan  tentang
dimuliakannya   makhluk   ini   dibanding   dengan  kebanyakan
makhluk-makhluk Allah yang lain (QS Al-Isra' [17]: 70) Tetapi,
di  samping  itu  sering  pula  manusia  mendapat celaan Tuhan
karena ia amat aniaya dan mengingkari nikmat (QS Ibrahlm [14]:
34),  sangat  banyak  membantah  (QS  Al-Kahf  [18]:  54), dan
bersifat keluh kesah lagi kikir (QS Al-Ma'arij [70]: l9),  dan
masih banyak lagi lainnya.
 
Ini  bukan  berarti bahwa ayat-ayat Al-Quran bertentangan satu
dengan lainnya, akan  tetapi  ayat-ayat  tersebut  menunjukkan
beberapa  kelemahan manusia yang harus dihindarinya. Disamping
menunjukkan bahwa makhluk ini  mempunyai  potensi  (kesediaan)
untuk  menempati  tempat  tertinggi  sehingga ia terpuji, atau
berada di tempat yang rendah sehingga ia tercela.
 
Seperti  dikemukakan  di  atas,  Al-Quran  menjelaskan   bahwa
manusia diciptakan dari tanah dan setelah sempurna kejadiannya
dihembuskanlah kepadanya Ruh Ilahi (QS Shad [38]: 71-72) .
 
Dari sini jelas bahwa manusia  merupakan  kesatuan  dua  unsur
pokok, yang tidak dapat dipisahkan karena bila dipisahkan maka
ia bukan manusia lagi. Sebagaimana halnya air  yang  merupakan
perpaduan   antara  oksigen  dan  hidrogen  dalam  kadar-kadar
tertentu. Bila kadar oksigen dan hidrogennya dipisahkan,  maka
ia tidak akan menjadi air lagi.
 
Potensi  manusia  dijelaskan oleh Al-Quran antara lain melalui
kisah Adam dan Hawa (QS Al-Baqarah [2]: 30-39).
 
Dalam ayat itu dijelaskan bahwa sebelum kejadian  Adam,  Allah
telah   merencanakan   agar  manusia  memikul  tanggung  jawab
kekhalifahan di bumi. Untuk maksud tersebut di  samping  tanah
(jasmani)  dan  Ruh  Ilahi  (akal  dan  ruhani),  makhluk  ini
dianugerahi pula:
 
a. Potensi untuk mengetahui nama dan fungsi benda-benda alam.
 
Dari  sini  dapat  ditarik  kesimpulan  bahwa  manusia  adalah
makhluk   yang   berkemampuan  untuk  menyusun  konsep-konsep,
mencipta,  mengembangkan,  dan  mengemukakan  gagasan,   serta
melaksanakannya.  Potensi  ini adalah bukti yang membungkamkan
malaikat, yang tadinya merasa wajar untuk  dijadikan  khalifah
di bumi, dan karenanya mereka bersedia sujud kepada Adam.
 
b. pengalaman hidup di surga, baik yang berkaitan
   dengan kecukupan dan kenikmatannya, maupun rayuan
   Iblis dan akibat buruknya.
 
Pengalaman di  surga  adalah  arah  yang  harus  dituju  dalam
membangun  dunia  ini,  kecukupan  sandang, pangan, dan papan,
serta rasa aman terpenuhi (QS Thaha [20]: 116-ll9),  sekaligus
arah  terakhir  bagi  kehidupannya di akhirat kelak. Sedangkan
godaan Iblis, dengan akibat  yang  sangat  fatal  itu,  adalah
pengalaman yang amat berharga dalam menghadapi rayuan Iblis di
dunia, sekaligus peringatan bahwa jangankan yang belum  masuk,
yang  sudah  masuk ke surga pun, bila mengikuti rayuannya akan
terusir.
 
----------------                              (bersambung 2/3)
WAWASAN AL-QURAN
Tafsir Maudhu'i atas Pelbagai Persoalan Umat
Dr. M. Quraish Shihab, M.A.
Penerbit Mizan
Jln. Yodkali No.16, Bandung 40124
Telp. (022) 700931  Fax. (022) 707038
mailto:mizan@ibm.net

Indeks Islam | Indeks Quraish Shihab | Indeks Artikel | Tentang Penulis
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

Please direct any suggestion to Media Team