Wawasan Al-Qur'an

oleh Dr. M. Quraish Shihab, M.A.

Indeks Islam | Indeks Quraish Shihab | Indeks Artikel | Tentang Penulis
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

 

MANUSIA                                                  (2/3)
 
c.Petunjuk-petunjuk keagamaan.
 
Masih banyak ayat-ayat lain  yang  dapat  dikemukakan  tentang
sifat dan potensi manusia serta arah yang harus ia tuju.
 
Dari  kitab  suci Al-Quran dan hadis-hadis Nabi Saw. diperoleh
informasi  serta  isyarat-isyarat  yang   boleh   jadi   dapat
mengungkap  sebagian  misteri  makhluk  ini.  Namun  demikian,
pemahaman atau informasi  dan  isyarat  tersebut  tidak  dapat
dilepaskan  dari  subjektivitas  manusia,  sehingga  ia  tetap
mengandung kemungkinan benar atau salah, seperti  halnya  yang
dikemukakan oleh tulisan ini.
 
Secara  tegas  Al-Quran  mengemukakan  bahwa  manusia  pertama
diciptakan dari tanah dan Ruh Ilahi melalui proses yang  tidak
dijelaskan  rinciannya, sedangkan reproduksi manusia, walaupun
dikemukakan tahapan-tahapannya, namun tahapan  tersebut  lebih
banyak berkaitan dengan unsur tanahnya.
 
Isyarat  yang  menyangkut  unsur  immaterial, ditemukan antara
lain dalam uraian tentang sifat-sifat manusia, dan dari uraian
tentang  fithrah,  nafs,  qalb, dan ruh yang menghiasi makhluk
manusia.  Berikut  dicoba   untuk   memahami   istilah-istilah
tersebut.
 
Fithrah
 
Dari  segi  bahasa,  kata  fithrah  terambil  dari  akar  kata
al-fathr  yang  berarti  belahan,  dan  dari  makna  ini lahir
makna-makna lain antara lain "penciptaan" atau "kejadian".
 
Konon sahabat Nabi, Ibnu Abbas tidak tahu  persis  makna  kata
fathir pada ayat-ayat yang berbicara tentang penciptaan langit
dan bumi sampai ia mendengar pertengkaran  tentan  kepemilikan
satu  sumur.  Salah  seorang  berkata, "Ana fathar tuhu". Ibnu
Abbas memahami kalimat ini dalam arti, "Saya  yang  membuatnya
pertama  kali."  Dan  dari situ Ibnu Abbas memahami bahwa kata
ini digunakan untuk penciptaan atau kejadian sejak awal.
 
Fithrah manusia adalah kejadiannya sejak  semula  atau  bawaan
sejak lahirnya.
 
Dalam  Al-Quran  kata  ini  dalam  berbagai bentuknya terulang
sebanyak dua puluh delapan kali, empat belas diantaranya dalam
konteks  uraian  tentang  bumi  dan atau langit. Sisanya dalam
konteks penciptaan manusia  baik  dari  sisi  pengakuan  bahwa
penciptanya  adalah  Allah,  maupun  dari  segi uraian tentang
fitrah manusia. Yang terakhir ini ditemukan sekali yaitu  pada
surat Al-Rum ayat 30:
 
Maka  hadapkanlah wajahmu kepada agama, (pilihan) fitrah Allah
yang telah menciptakan manusia  atas  fitrah  itu.  Tidak  ada
perubahan  pada  fitrah Allah. Itulah agama yang lurus, tetapi
kebanyakan manusia tidak mengetahuinya.
 
Merujuk kepada fitrah yang dikemukakan di atas, dapat  ditarik
kesimpulan  bahwa  manusia  sejak  asal  kejadiannya,  membawa
potensi beragama yang lurus,  dan  dipahami  oleh  para  ulama
sebagai tauhid.
 
Selanjutnya  dipahami  juga,  bahwa  fitrah  adalah bagian dan
khalq (penciptaan) Allah.
 
Kalau kita memahami kata la  pada  ayat  tersebut  dalam  arti
"tidak",   maka   ini  berarti  bahwa  seseorang  tidak  dapat
menghindar dari fitrah itu. Dalam konteks ayat ini, ia berarti
bahwa  fitrah  keagamaan  akan melekat pada diri manusia untuk
selama  lamanya,  walaupun  boleh  jadi  tidak   diakui   atau
diabaikannya.
 
Tetapi  apakah  fitrah  manusia  hanya  terbatas  pada  fitrah
keagamaan? Jelas tidak. Bukan saja  karena  redaksi  ayat  ini
tidak  dalam  bentuk  pembatasan  tetapi juga karena masih ada
ayat-ayat lain yang membicarakan  tentang  penciptann  potensi
manusia  --walaupun  tidak  menggunakan  kata  fitrah, seperti
misalnya:
 
     Telah dihiaskan kepada manusia kecenderungan hati
     kepada perempuan (atau lelaki), anak lelaki (dari
     perempuan), serta harta yang banyak berupa emas,
     perak, kuda pilihan, binatang ternak dan sawah ladang
     (QS Ali 'Imran [3]: 14).
 
Karena itu agaknya tepat kesimpulan Muhammad bin  Asyur  dalam
tafsirnya  tentang  surat  Al-Rum  (30):  30,  yang menyatakan
bahwa:
 
     Fitrah adalah bentuk dan sistem yang diwujudkan Allah
     pada setiap makhluk. Fitrah yang berkaitan dengan
     manusia adalah apa yang diciptakan Allah pada manusia
     yang berkaitan dengan jasmani dan akalnya (serta
     ruhnya).
 
Manusia berjalan dengan  kakinya  adalah  fitrah  jasadiahnya,
sementara  menarik  kesimpulan  melalui  premis-premis  adalah
fitrah  akliahnya.  Senang  menerima  nikmat  dan  sedih  bila
ditimpa musibah juga adalah fitrahnya.
 
Nafs
 
Kata   nafs  dalam  Al-Quran  mempunyai  aneka  makna,  sekali
diartikan  sebagai  totalitas  manusia,  seperti  antara  lain
maksud  surat  Al-Maidah  ayat  32,  di  kali lain ia menunjuk
kepada apa yang terdapat dalam diri manusia yang  menghasilkan
tingkah laku seperti maksud kandungan firman Allah.
 
     Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan satu
     masyarakat, sehingga mereka mengubah apa yang terdapat
     dalam diri mereka (QS Al-Ra'd [13]: 11)
 
Kata nafs digunakan juga untuk menunjuk kepada  "diri  Tuhaan"
(kalau  istilah  ini dapat diterima), seperti dalam firman-Nya
dalam surat Al-An'am {6): 19:
 
     Allah mewajibkan atas diri-Nya menganugerahkan rahmat.
 
Secara  umum  dapat  dikatakan  bahwa   nafs   dalam   konteks
pembicaraan   tentang  manusia,  menunjuk  kepada  sisi  dalam
manusia yang berpotensi baik dan buruk.
 
Dalam pandangan Al-Quran, nafs diciptakan Allah dalam  keadaan
sempurna  untuk  berfungsi  menampung  serta mendorong manusia
berbuat kebaikan dar1 keburukan, dan  karena  itu  sisi  dalam
manusia  inilah  yang  oleh  Al-Quran  dianjurkan untuk diberi
perhatian lebih besar.
 
     Demi nafs serta penyempurnaan ciptaan, Allah
     mengilhamkan kepadanya kefasikan dan ketakwann (QS
     Al-Syams [91]: 7-8).
 
Mengilhamkan berarti memberi potensi agar manusia melalui nafs
dapat menangkap makna baik dan buruk, serta dapat mendorongnya
untuk melakukan kebaikan dan keburukan.
 
Di sini antara lain terlihat  perbedaan  pengertian  kata  ini
menurut  Al-Quran  dengan  terminologi  kaum  sufi,  yang oleh
Al-Qusyairi dalam risalahnya  dinyatakan  bahwa,  "Nafs  dalam
pengertian  kaum  sufi  adalah  sesuatu  yang melahirkan sifat
tercela dan perilaku buruk." Pengertian  kaum  sufi  ini  sama
dengan  penjelasan  Kamus  Besar Bahasa Indonesia, yang antara
lain, menjelaskan arti kata nafsu, sebagai "dorongan hati yang
kuat untuk berbuat kurang baik".
 
Walaupun Al-Quran menegaskan bahwa nafs berpotensi positif dan
negatif, namun diperoleh pula isyarat  bahwa  pada  hakikatnya
potensi  positif  manusia  lebih kuat dari potensi negatifnya,
hanya saja daya tarik keburukan lebih  kuat  dari  daya  tarik
kebaikan. Karena itu manusia dituntut agar memelihara kesucian
nafs, dan tidak mengotorinya,
 
     Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang
     menyucikannya dan merugilah orang-orang yang
     mengotorinya (QS Al-Syams [91]: 9-10)
 
Bahwa kecenderungannya kepada  kebaikan  lebih  kuat  dipahami
dari isyarat beberapa ayat, antara lain firman-Nya:
 
     Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai
     dengan kesanggupannya. Nafs memperoleh ganjaran dan
     apa yang diusahakannya, dan memperoleh siksa dari apa
     yang diusahakannya (QS Al-Baqarah [2]: 286)
 
Kata kasabat yang dalam ayat di  atas  menunjuk  kepada  usaha
baik   sehingga   memperoleh   ganjaran,  adalah  patron  yang
digunakan  bahasa  Arab  untuk  menggambarkan  pekerjaan  yang
dilakukan dengan mudah, sedangkan iktasabat adalah patron yang
digunakan untuk menunjuk kepada hal-hal yang sulit lagi berat.
Ini  --menurut  pakar Al-Quran Muhammad Abduh-- mengisyaratkan
bahwa nafs pada hakikatnya lebih mudah melakukan hal-hal  yang
baik   daripada   melakukan  kejahatan,  dan  pada  gilirannya
mengisyaratkan bahwa manusia pada  dasarnya  diciptakan  Allah
untuk melakukan kebaikan.
 
Ayat   lain  yang  sejalan  dengan  isyarat  di  atas,  adalah
firman-Nya
 
     Wahai manusia! Apa yang memperdayakanmu (berbuat dosa)
     terhadap Tuhanmu yang telah menciptakan engkau,
     menyempurnakan kejadianmu, dan menjadikan engkau
     "adil" (seimbang atau cenderung kepada keadilan) (QS
     Al-Infithar [82): 6-7).
 
Kata "menjadikan engkau adil" dipahami  oleh  sementara  pakar
seperti Yusuf Ali sebagai kecenderungan berbuat adil. Pendapat
ini cukup beralasan,  karena  dengan  pemahaman  semacam  itu,
menjadi   amat  lurus  kecaman  Allah  terhadap  manusia  yang
mendurhakainya.
 
Al-Quran  juga  mengisyaratkan   keanekaragaman   nafs   serta
peringkat-peringkatnya,  secara  eksplisit  disebutkan tentang
an-nafs al-lawamah, ammarah, dan muthmainnah.
 
Di sisi lain  ditemukan  pula  isyarat  bahwa  nafs  merupakan
wadah.Firman  Allah  dalam surat Al-Ra'd (13): 11 yang dikutip
di atas, mengisyaratkan  bahwa  nafs  menampung  paling  tidak
gagasan dan  kemauan.  Suatu kaum tidak dapat berubah  keadaan
lahiriahnya, sebelum mereka mengubah lebih dulu apa  yang  ada
dalam  wadah  nafs-nya.  Yang  ada  di sini antara lain adalah
gagasan dan kemauan atau tekad  untuk  berubah.  Gagasan  yang
benar,  yang disertai dengan kemauan satu kelompok masyarakat,
dapat mengubah keadaan masyarakat  itu.  Tetapi  gagasan  saja
tanpa  kemauan,  atau  kemauan  saja  tanpa gagasan tidak akan
menghasilkan perubahan.
 
Yang terdapat dalam wadah nafs bukan hanya gagasan dan kemauan
yang disadari manusia, tetapi juga menampung sekian banyak hal
lainnya, bahkan boleh jadi ada hal-hal yang sudah hilang  dari
ingatan pemiliknya.
 
Al-Quran mengisyaratkan hal tersebut,
 
     Dan jika kamu mengeraskan ucapanmu, maka sesungguh nya
     Dia mengetahui rahasia dan yang lebih tersembunyi (QS
     Thaha [20]: 7).
 
Yang lebih tersembunyi dan rahasia adalah yang terdapat  dalam
"bawah sadar manusia", sedangkan yang tersembunyi adalah "yang
disadari manusia namun dirahasiakannya."
 
Khalifah keempat Ali bin Abi Thalib pernah berkata:
 
     Tidak seorangpun menyembunyikan sesuatu kecuali tampak
     pada salah ucapnya atau air mukanya.
 
Apa yang ada dalam nafs dapat juga muncul  dalam  mimpi,  yang
oleh  Al-Quran  pada  garis  besarnya  dibagi dalam dua bagian
pokok.  Pertamaa  dinamainya  ru'ya   dan   kedua   dinamainya
adhghatsu  ahlam.  Yang pertama dipahami sebagai gambaran atau
simbol dari peristiwa yang telah, sedang, atau  akan  dialami,
dan   yang   belum  atau  tidak  terlintas  dalam  benak  yang
memimpikannya. Yang kedua lahir dan keresahan  atau  perhatian
manusia  terhadap  sesuatu  dan  hal-hal  yang telah berada di
bawah sadarnya.
 
Dalam wadah nams terdapat qalb.
 
Qalb
 
Kata qalb terambil  dari  akar  kata  yang  bermakna  membalik
karena  seringkali  ia  berbolak-balik,  sekali  senang sekali
susah, sekali setuju dan sekali menolak. qa1b amat  berpotensi
untuk  tidak  konsisten.  Al-Quran pun menggambarkan demikian,
ada yang baik, ada pula sebaliknya. Berikut beberapa contoh.
 
  a. Sesungguhnya yang demikian itu benar-benar terdapat
     peringatan bagi orang-orang yang memiliki kalbu, atau
     yang mencurahkan pendengaran lagi menjadi saks~ (QS
     Qaf [50]: 37)
     
  b. Kami jadikan dalam kalbu orang-orang yang mengikuti
     (Isa a.s ) kasih sagang dan rahmat (QS Al-Hadid [57]:
     27).
     
  c. Kami akan mencampakkan ke dalam hati orang-orang
     kafir rasa takut (QS Ali 'Imran [3]: 151).
     
  d. Dia (Allah) menjadikan kamu cinta kepada keimanan,
     dan menghiasinya indah dalam kalbumu (QS Al-Hujurat
     [49]: 7).
 
Dari ayat-ayat di atas terlihat bahwa kalbu adalah wadah  dari
pengajaran,  kasih sayang, takut, dan keimanan. Dari isi kalbu
yang  dijelaskan  oleh  ayat-ayat  di  atas   (demikian   juga
ayat-ayat  lainnya),  dapat  ditarik  kesimpulan  bahwa  kalbu
memang menampung hal-hal yang disadari  oleh  pemiliknya.  Ini
merupakan salah satu perbedaan antara kalbu dan nafs. Bukankah
seperti yang dinyatakan sebelumnya bahwa  nafs  menampung  apa
yang  berada  di  bawah  sadar,  dan  atau  sesuatu yang tidak
diingat lagi?
 
----------------                              (bersambung 3/3)
WAWASAN AL-QURAN
Tafsir Maudhu'i atas Pelbagai Persoalan Umat
Dr. M. Quraish Shihab, M.A.
Penerbit Mizan
Jln. Yodkali No.16, Bandung 40124
Telp. (022) 700931  Fax. (022) 707038
mailto:mizan@ibm.net

Indeks Islam | Indeks Quraish Shihab | Indeks Artikel | Tentang Penulis
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

Please direct any suggestion to Media Team