Wawasan Al-Qur'an

oleh Dr. M. Quraish Shihab, M.A.

Indeks Islam | Indeks Quraish Shihab | Indeks Artikel | Tentang Penulis
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

 

PERNIKAHAN                                               (2/3)
 
Kalau seorang wanita Muslim dilarang kawin  dengan  non-Muslim
karena  kekhawatiran  akan  terpengaruh  atau  berada di bawah
kekuasaan yang berlainan agama dengannya, maka  demikian  pula
sebaliknya.  Perkawinan seorang pria Muslim, dengan wanita Ahl
Al-Kitab harus pula tidak  dibenarkan  jika  dikhawatirkan  ia
atau  anak-anaknya  akan  terpengaruh  oleh  nilai-nilai  yang
bertentangan dengan nilai-nilai Islam.
 
POLIGAMI DAN MONOGAMI
 
Al-Quran surat Al-Nisa' [4]: 3 menyatakan,
 
    Jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap
    perempuan-perempuan yatim (bilamana kamu mengawininya),
    maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi:
    dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu khawatir tidak
    dapat berlaku adil (dalam hal-hal yang bersifat
    lahiriah jika mengawini lebih dari satu), maka
    kawinilah seorang saja atau budak-budak yang kamu
    miliki. Yang demikian itu lebih dekat kepada tidak
    berbuat aniaya.
 
Atas dasar ayat inilah sehingga Nabi Saw. melarang  menghimpun
dalam saat yang sama lebih dari empat orang istri bagi seorang
pria. Ketika turunnya ayat  ini,  beliau  memerintahkan  semua
yang  memiliki  lebih  dari  empat  orang  istri,  agar segera
menceraikan istri-istrinya  sehingga  maksimal,  setiap  orang
hanya   memperistrikan   empat   orang   wanita.  Imam  Malik,
An-Nasa'i, dan  Ad-Daraquthni  meriwayatkan  bahwa  Nabi  Saw.
bersabda  kepada  Sailan bin Umayyah, yang ketika itu memiliki
sepuluh orang istri.
 
    Pilihlah dari mereka empat oranq (istri) dan ceraikan
    selebihnya.
 
Di sisi  1ain  ayat  ini  pula  yang  menjadi  dasar  bolehnya
poligami. Sayang ayat ini sering disalahpahami. Ayat ini turun
--sebagaimana  diuraikan  oleh  istri   Nabi   Aisyah   r.a.--
menyangkut   sikap   sementara   orang  yang  ingin  mengawini
anak-anak yatim  yang  kaya  lagi  cantik,  dan  berada  dalam
pemeliharaannya,  tetapi tidak ingin memberinya mas kawin yang
sesuai serta  tidak memperlakukannya  secara  adil.  Ayat  ini
melarang  hal tersebut dengan satu susunan kalimat yang sangat
tegas. Penyebutan  "dua,  tiga  atau  empat"  pada  hakikatnya
adalah  dalam  rangka  tuntutan  berlaku  adil  kepada mereka.
Redaksi ayat ini mirip dengan ucapan seseorang  yang  melarang
orang  1ain  memakan  makanan  tertentu,  dan untuk menguatkan
larangan itu dikatakannya, "Jika Anda khawatir akan sakit bila
makan  makanan  ini, maka habiskan saja makanan selainnya yang
ada di hadapan Anda selama Anda tidak khawatir  sakit".  Tentu
saja  perintah  menghabiskan  makanan  yang lain hanya sekadar
untuk menekankan larangan memakan makanan tertentu itu.
 
Perlu juga digarisbawahi bahwa ayat ini,  tidak  membuat  satu
peraturan  tentang poligami, karena poligami telah dikenal dan
dilaksanakan oleh syariat agama dan adat istiadat sebelum ini.
Ayat  ini juga tidak mewajibkan poligami atau menganjurkannya,
dia hanya berbicara tentang bolehnya  poligami,  dan  itu  pun
merupakan  pintu  darurat  kecil, yang hanya dilalui saat amat
diperlukan dan dengan syarat yang tidak ringan.
 
Jika demikian halnya, maka pembahasan tentang  poligami  dalam
syariat  Al-Quran,  hendaknya  tidak  ditinjau dari segi ideal
atau baik  dan  buruknya,  tetapi  harus  dilihat  dari  sudut
pandang  pengaturan  hukum,  dalam  aneka kondisi yang mungkin
terjadi.
 
Adalah  wajar  bagi  satu  perundangan  --apalagi  agama  yang
bersifat  universal  dan  berlaku  setiap  waktu dan kondisi--
untuk mempersiapkan ketetapan hukum yang  boleh  jadi  terjadi
pada  satu  ketika,  walaupun  kejadian  itu  hanya  merupakan
"kemungkinan".
 
Bukankah kemungkinan mandulnya seorang istri, atau terjangkiti
penyakit  parah,  merupakan  satu kemungkinan yang tidak aneh?
Apakah jalan keluar bagi seorang suami  yang  dapat  diusulkan
untuk  menghadapi  kemungkinan  ini?  Bagaimana ia menyalurkan
kebutuhan biologis atau memperoleh dambaannya  untuk  memiliki
anak?  Poligami  ketika  itu  adalah  jalan yang paling ideal.
Tetapi sekali lagi  harus  diingat  bahwa  ini  bukan  berarti
anjuran,    apalagi    kewajiban.    Itu   diserahkan   kepada
masing-masing menurut pertimbangannya. Al-Quran hanya  memberi
wadah   bagi   mereka   yang   menginginkannya.  Masih  banyak
kondisi-kondisi selain yang disebut ini, yang  juga  merupakan
alasan   logis  untuk  tidak  menutup  pintu  poligami  dengan
syaratsyarat yang tidak ringan itu.
 
Perlu juga dijelaskan bahwa  keadilan  yang  disyaratkan  oleh
ayat  yang  membolehkan  poligami  itu,  adalah keadilan dalam
bidang material.  Surat  Al-Nisa'  [4]:  129  menegaskan  juga
bahwa,
 
    Kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di
    antara istri-istrimu, walaupun kamu sangat ingin
    berbuat demikian, karena itu janganlah kamu terlalu
    cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu
    biarkan yang lain terkatung-katung. Dan jika kamu
    mengadakan perbaikan dan memelihara diri (dari
    kecurangan), maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun
    lagi Maha Penyayang.
 
Keadilan  yang  dimaksud  oleh  ayat  ini,  adalah keadilan di
bidang imaterial (cinta). Itu sebabnya hati  yang  berpoligami
dilarang   memperturutkan   hatinya   dan  berkelebihan  dalam
kecenderungan kepada yang dicintai. Dengan  demikian  tidaklah
tepat  menjadikan  ayat  ini sebagai dalih untuk menutup pintu
poligami serapat-rapatnya.
 
SYARAT SAH PERNIKAHAN
 
Untuk sahnya pernikahan, para ulama  telah  merumuskan  sekian
banyak   rukun  dan  atau  syarat,  yang  mereka  pahami  dari
ayat-ayat Al-Quran maupun hadis-hadis Nabi Saw.
 
Adanya calon suami dan istri, wali,  dua  orang  saksi,  mahar
serta terlaksananya ijab dan kabul merupakan rukun atau syarat
yang rinciannya  dapat  berbeda  antara  seorang  ulama/mazhab
dengan mazhab 1ain; bukan di sini tempatnya untuk diuraikan.
 
Calon   istri  haruslah  seorang  yang  tidak  sedang  terikat
pernikahan dengan pria lain, atau tidak dalam  keadaan  'iddah
(masa  menunggu)  baik  karena  wafat  suaminya, atau dicerai,
hamil, dan tentunya tidak pula termasuk mereka yang  terlarang
dinikahi, sebagaimana disebutkan di atas.
 
Wali dari pihak calon suami tidak diperlukan, tetapi wali dari
pihak calon istri dinilai mutlak keberadaan dan  izinnya  oleh
banyak ulama berdasar sabda Nabi Saw.
 
    Tidak sah nikah kecuali dengan (izin) wali.
 
Al-Quran   mengisyaratkan   hal  ini  dengan  firman-Nya  yang
ditujukan kepada para wali:
 
    ... Janganlah kamu (hai para wali) menghalangi mereka
    (wanita yang telah bercerai) untuk kawin (lagi) dengan
    baka1 suaminya, jika terdapat kerelaan di antara mereka
    dengan cara yang makruf (QS Al-Baqarah [2]: 232).
 
Menurut sementara ulama seperti Imam Syafi'i dan Imam  Maliki,
"Seandainya mereka tidak mempunyai hak kewalian, maka larangan
ayat di atas tidak ada artinya," dan karena itu pula  terhadap
para wali ditujukan firman Allah.
 
    Janganlah kamu menikahkan (mengawinkan) orang-orang
    musyrik (dengan wanita-wanita mukminah) sebelum mereka
    beriman (QS Al-Baqarah [2]: 221).
 
Sedang ketika Al-Quran berbicara kepada kaum pria nyatakannya,
 
    Janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik sebelum
    mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin
    lebih baik dari wanita musyrik walaupun ia menarik
    hatimu (QS AlBaqarah [2]: 221).
 
Ada  juga  ulama lain semacam Abu Hanifah, Zufar, Az-zuhri dan
1ain-lain  yang  berpendapat  bahwa  apabila  seorang   wanita
menikah  tanpa  wali  maka  nikahnya sah, selama pasangan yang
dikawininya sekufu' (setara) dengannya. Mereka  yang  menganut
paham ini berpegang pada isyarat Al-Quran:
 
    Apabila telah habis masa iddahnya (wanita-wanita yang
    suaminya meninggal), maka tiada dosa bagi kamu (hai
    para wali) membiarkan mereka berbuat terhadap diri
    mereka menurut yang patut (QS Al-Baqarah [2): 234).
 
Ayat  di  atas, menurut penganut paham ini, mengisyaratkan hak
wanita bebas melakukan apa  saja  yang  baik  --bukan  sekadar
berhias,   bepergian,  atau  menerima  pinangan--  sebagaimana
pendapat yang mengharuskan adanya wali, tetapi  termasuk  juga
menikahkan  diri  mereka  tanpa  wali.  Di  samping  itu, kata
penganut paham ini, Al-Quran juga --dan bukan  hanya  sekali--
menisbahkan   aktivitas  menikah  bagi  para  wanita,  seperti
misalnya firman-Nya,
 
    Sampai dia menikah dengan suami yang lain (QS
    Al-Baqarah [2]: 230).
 
Perlu digarisbawahi bahwa ayat-ayat  di  atas  yang  dijadikan
alasan  oleh  mereka  yang  tidak  mensyaratkan  adanya  wali,
berbicara  tentang  para  janda,  sehingga  kalaupun  pendapat
mereka  dapat diterima maka ketiadaan wali itu terbatas kepada
para janda, bukan gadis-gadis. Pandangan ini  dapat  merupakan
jalan  tengah  antara kedua pendapat yang bertolak belakang di
atas.
 
Hemat penulis adalah amat bijaksana untuk  tetap  menghadirkan
wali,  baik  bagi  gadis  maupun janda. Hal tersebut merupakan
sesuatu yang amat penting karena "seandainya  terjadi  hal-hal
yang tidak diinginkan", maka ada sandaran yang dapat dijadikan
rujukan.  Ini  sejalan  dengan  jiwa  perintah  Al-Quran  yang
menyatakan,   "Nikahilah  mereka  atas  izin  keluarga  (tuan)
mereka." (QS  Al-Nisa'  [4]:  25).  Walaupun  ayat  ini  turun
berkaitan dengan budak-budak wanita yang boleh dikawini.
 
Hal  kedua yang dituntut bagi terselenggaranya pernikahan yang
sah  adalah  saksi-saksi.  Penulis  tidak  menemukan  hal  ini
disinggung  secara  tegas  oleh Al-Quran, tetapi sekian banyak
hadis menyinggungnya.  Kalangan  ulama  pun  berbeda  pendapat
menyangkut  kedudukan  hukum  para  saksi.  Imam  Abu Hanifah,
Syafi'i,   dan   Maliki   mensyaratkan   adanya    saksi-saksi
pernikahan,  hanya  mereka  berbeda  pendapat apakah kesaksian
tersebut  merupakan  syarat   kesempurnaan   pernikahan   yang
dituntut.    Sebelum    pasangan   suami   istri   "bercampur"
(berhubungan  seks)  atau  syarat  sahnya   pernikahan,   yang
dituntut kehadiran mereka saat akad nikah dilaksanakan.
 
Betapapun  perbedaan  itu,  namun  para ulama sepakat melarang
pernikahan yang dirahasiakan, berdasarkan perintah Nabi  untuk
menyebarluaskan berita pernikahan. Bagaimana kalau saksi-saksi
itu diminta untuk merahasiakan pernikahan  itu?  Imam  Syafi'i
dan  Abu  Hanifah  menilainya  sah-sah saja, sedang Imam Malik
menilai bahwa  syarat  yang  demikian  membatalkan  pernikahan
{fasakh).  Perbedaan  pendapat  ini lahir dari analisis mereka
tentang fungsi para saksi,  apakah  fungsi  mereka  keagamaan,
atau  semata-mata  tujuannya  untuk menutup kemungkinan adanya
perselisihan pendapat. Demikian penjelasan  Ibnu  Rusyd  dalam
bukunya Bidayat Al-Mujtahid.
 
Dalam   konteks  ini  terlihat  betapa  pentingnya  pencatatan
pernikahan yang ditetapkan  melalui  undang-undang,  namun  di
sisi  lain pernikahan yang tidak tercatat selama ada dua orang
saksi-tetap dinilai sah oleh agama.  Bahkan  seandainya  kedua
saksi   itu   diminta   untuk   merahasiakan  pernikahan  yang
disaksikannya itu, maka pernikahan  tetap  dinilai  sah  dalam
pandangan pakar hukum Islam Syafi'i dan Abu Hanifah.
 
Namun   demikian,   menurut   hemat   penulis,  dalam  konteks
keindonesiaan,  walaupun  pernikahan  demikian   dinilai   sah
menurut  hukum  agama,  namun perkawinan di bawah tangan dapat
mengakibatkan dosa  bagi  pelaku-pelakunya,  karena  melanggar
ketentuan yang ditetapkan oleh Pemerintah dan DPR (Ulil Amri).
Al-Quran memerintahkan setiap Muslim untuk menaati  Ulil  Amri
selama  tidak bertentangan dengan hukum-hukum Allah. Dalam hal
pencatatan tersebut, ia bukan saja tidak bertentangan,  tetapi
justru sangat sejalan dengan semangat Al-Quran.
 
Hal ketiga dalam konteks perkawinan adalah mahar.
 
Secara  tegas  Al-Quran memerintahkan kepada calon suami untuk
membayar mahar.
 
    Berikanlah mas kawin (mahar) kepada wanita-wanita (yang
    kamu nikahi) sebagai pemberian yang penuh kerelaan (QS
    A1-Nisa' [4]: 4).
 
Suami berkewajiban menyerahkan mahar  atau  mas  kawin  kepada
calon istrinya.
 
Mas  kawin  adalah  lambang kesiapan dan kesediaan suami untuk
memberi nafkah lahir kepada istri dan anak-anaknya, dan selama
mas  kawin  itu  bersifat  lambang,  maka sedikit pun jadilah.
Bahkan:
 
    Sebaik-baik mas kawin adalah seringan-ringannya.
 
Begitu sabda Nabi Saw., walaupun Al-Quran tidak melarang untuk
memberi  sebanyak mungkin mas kawin (QS Al-Nisa' [4]: 20). Ini
karena pernikahan bukan akad jual beli, dan mahar bukan  harga
seorang  wanita. Menurut Al-Quran, suami tidak boleh mengambil
kembali mas kawin itu, kecuali bila istri merelakannya.
 
    "Apakah kalian (hai para suami) akan mengambilnya
    kembali dengan jalan tuduhan yang dusta dan dengan
    menanggung dosa yang nyata? Bagaimana kamu akan
    mengambilnya kembali padahal sebagian kamu (suami atau
    istri) te1ah melapangkan (rahasianya/bercampur) dengan
    sebagian yang lain (istri atau suami) dan mereka (para
    istri) telah mengambil dari kamu perjanjian yang amat
    kokoh (QS Al-Nisa' [4]: 20-2l).
 
Agama menganjurkan  agar  mas  kawin  merupakan  sesuatu  yang
bersifat  materi, karena itu bagi orang yang tidak memilikinya
dianjurkan untuk menangguhkan perkawinan  sampai  ia  memiliki
kemampuan.  Tetapi kalau oleh satu dan lain hal, ia harus juga
kawin, maka cincin besi pun jadilah.
 
    Carilah walau cincin dari besi.
 
Begitu sabda Nabi Saw. Kalau ini pun tidak dimilikinya  sedang
perkawinan  tidak  dapat  ditangguhkan lagi, baru mas kawinnya
boleh berupa mengajarkan beberapa  ayat  Al-puran.  Rasulullah
pernah bersabda,
 
    Telah saya kawinkan engkau padanya dengan apa yang
    engkau miliki dari Al-Quran. (Diriwayatkan oleh Bukhari
    dan Muslim melalui Sahal bin Sa'ad).
 
Adapun  ijab  dan  kabul  pernikahan,  maka ia pada hakikatnya
adalah ikrar dari calon istri, melalui walinya, dan dari calon
suami   untuk  hidup  bersama  seia  sekata,  guna  mewujudkan
keluarga sakinah, dengan  melaksanakan  segala  tuntunan  dari
kewajiban.  Ijab seakar dengan kata wajib, sehingga ijab dapat
berarti: atau paling tidak "mewujudkan suatu kewajiban"  yakni
berusaha  sekuat  kemampuan  untuk membangun satu rumah tangga
sakinah. Penyerahan disambut dengan  qabul  (penerimaan)  dari
calon suami.
 
----------------                              (bersambung 3/3)
WAWASAN AL-QURAN
Tafsir Maudhu'i atas Pelbagai Persoalan Umat
Dr. M. Quraish Shihab, M.A.
Penerbit Mizan
Jln. Yodkali No.16, Bandung 40124
Telp. (022) 700931  Fax. (022) 707038
mailto:mizan@ibm.net

Indeks Islam | Indeks Quraish Shihab | Indeks Artikel | Tentang Penulis
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

Please direct any suggestion to Media Team