Wawasan Al-Qur'an

oleh Dr. M. Quraish Shihab, M.A.

Indeks Islam | Indeks Quraish Shihab | Indeks Artikel | Tentang Penulis
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

 

SENI                                                     (1/2)

Seni adalah keindahan. Ia merupakan ekspresi  ruh  dan  budaya
manusia  yang mengandung dan mengungkapkan keindahan. Ia lahir
dari sisi terdalam manusia didorong oleh kecenderungan seniman
kepada  yang  indah,  apa  pun  jenis  keindahan itu. Dorongan
tersebut  merupakan   naluri   manusia,   atau   fitrah   yang
dianugerahkan Allah kepada hamba-hamba-Nya.

Di sisi lain, Al-Quran memperkenalkan agama yang lurus sebagai
agama yang sesuai dengan fitrah manusia.

     Maka, tetapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama
     (Allah); (tetaplah atas) fitrah Alah yang telah
     menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada
     perubahan pada fitrah Allah. Itulah agama yang lurus,
     tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui (QS Al-Rum
     [30]: 30)

Adalah merupakan satu  hal  yang  mustahil,  bila  Allah  yang
menganugerahkan    manusia   potensi   untuk   menikmati   dan
mengekspresikan keindahan, kemudian Dia melarangnya.  Bukankah
Islam  adalah  agama  fitrah?  Segala yang bertentangan dengan
fitrah ditolaknya, dan yang mendukung kesuciannya ditopangnya.

Kemampuan  berseni  merupakan  salah  satu  perbedaan  manusia
dengan  makhluk  lain.  Jika  demikian.  Islam yasti mendukung
kesenian selama penampilan lahirnya mendukung  fitrah  manusia
yang  suci  itu, dan karena itu pula Islam bertemu dengan seni
dalam jiwa  manusia,  sebagaimana  seni  ditemukan  oleh  jiwa
manusia di dalam Islam.

Tetapi  mengapa  selama  ini  ada kesan bahwa Islam menghambat
perkembangan  seni  dan  memusuhinya?  Jawabannya  boleh  jadi
tersirat dari informasi berikut.

Diriwayatkan  bahwa  Umar  Ibnul  Khaththab --khalifah kedua--
pernah berkata,  Umat  Islam  meninggalkan  dua  pertiga  dari
transaksi  ekonomi  karena  khawatir terjerumus ke dalam haram
(riba). Ucapan ini benar adanya, dan  agaknya  ia  juga  dapat
menjadi  benar  jika  kalimat transaksi ekonomi diganti dengan
kesenian.

Boleh jadi problem yang paling menonjol dalam hubungan  dengan
seni  budaya  dan  Islam,  sekaligus  kendala utama kemauannya
adalah kekhawatiran tersebut.

Bahasan berikut  akan  berusaha  memaparkan  wawasan  Al-Quran
tentang seni.

KEINDAHAN DALAM KONSEP AL-QURAN

Tidak  keliru  jika  dikatakan  bahwa  inti dari segala uraian
Al-Quran adalah memperkenalkan keesaan Allah Swt. Ini terlihat
sejak   wahyu   pertama   Al-Quran,   ketika   wahyu  tersebut
memerintahkan   untuk   membaca   dengan   nama   Tuhan   yang
diperkenalkannya  sebagai  Maha  Pencipta,  Maha Pemurah serta
Pengajar.

Dalam rangka memperkenalkan diri-Nya itulah Allah  menciptakan
alam  raya,  seperti  bunyi  satu  ungkapan  yang dinilai oleh
sementara ulama sebagai hadis qudsi,

     Aku tadinya sesuatu yang tidak dikenal. Aku ingin
     dikenal, maka Kuciptakan makhluk agar mereka
     mengenal-Ku.

Untuk tujuan memperkenalkan-Nya --disamping tujuan yang lain--
kitab  suci  Al-Quran  mengajak  manusia  memandang ke seluruh
jagat raya, antara lain dari sisi keserasian dan keindahanya.

     Tidakkah mereka melihat ke langit yang ada di atas
     mereka, bagaimana Kami meninggikan dan menghiasi, dan
     langit itu tidak mempunyai retak-retak sedikit pun?
     (QS Qaf [50]: 6)

Setelah  Al-Quran  berbicara  tentang  aneka   tumbuh-tumbuhan
dinyatakannya,

     Perhatikanlah buahnya di waktu pohonnya berbuah
     (perhatikan pulalah) kematangannya. Sesungguhnya pada
     yang demikian itu, terdapat tanda-tanda (kekuasaan
     Allah) bagi orang-orang yang beriman (QS Al-Anam [61:
     99)

Allah Swt. tidak  hanya  menciptakan  1angit,  melainkan  juga
memeliharanya.   Bukan  hanya  hifzhan,  tetapi  juga  zinatan
(hiasan yang  indah).  Begitu  pernyataan  Allam  dalam  surat
Ash-Shaffat  (37):  6-7  dan  Fushshilat  (41):  12.  Laut pun
diciptakan antara lain  agar  dapat  diperoleh  darinya  bukan
sekadar  daging  segar,  tetapi  juga  hiasan yang memperindah
penampilan seseorang.

     Dan Dialah (Allah) yang menundukkan lautan (untukmu)
     agar kamu dapat memakan darinya (laut itu) daging
     yang segar (ikan), dan kamu dapat mengeluarkan
     darinya (lautan itu) perhiasan yang kamu pakai, serta
     kamu dapat melihat bahtera yang berlayar padanya ...
     (QS Al-Nah1 [16]: 14) .

Gunung-gunung dengan ketegarannya,  bintang  ketika  terbenam,
matahari  saat naik sepenggalan, malam ketika hening dan masih
banyak yang lain,  semua  diungkapkan  oleh  A1-Quran.  Bahkan
pemandangan ternak dinyatakannya:

     Kamu memperoleh pandangan yang indah ketika kamu
     membawanya kembali ke kandang dan ketika kamu
     melepaskannya ke tempat penggembalaan (QS Al-Nah1
     [16]: 6).

Ayat terakhir  ini  melepaskan  kendali  kepada  manusia  yang
memandangnya  untuk  menikmati  dan  melukiskan keindahan itu,
sesuai dengan subjektivitas perasaannya. Begitu  kurang  lebih
uraian para mufasir ketika menganalisis redaksi ayat itu.

Ini berarti bahwa seni dapat dicetuskan oleh perorangan sesuai
dengan kecenderungannya, atau, oleh kelompok masyarakat sesuai
dengan  budayanya,  tanpa  diberi  batasan  ketat kecuali yang
digariskan-Nya pada awal uraian surat Al-Nahl itu, yakni

     Mahasuci Allah dari segala kekurangan dan Mahatinggi
     dari apa yang mereka persekutukan.

Menang, kehidupan dunia tidak akan  berakhir  kecuali  apabila
dunia  ini  telah  sempurna  keindahannya,  dan  manusia telah
mengenakan semua hiasannya.

     Sesungguhnya perumpamaan kehidupan dunia ini adalah
     seperti air hujan yang Kami turunkan dari langit,
     lalu tumbuhlah dengan suburnya karena air itu
     tanaman-tanaman di bumi di antaranya ada yang dimakan
     manusia dan binatang ternak. Hingga apabila bumi
     telah sempurna keindahannya, dan memakai (pula)
     perhiasannya, serta pemilik-pemiliknya merasa yakin
     berkuasa atasnya, ketika itu serta merta datang siksa
     Kami di waktu malam atau siang, lalu kami jadikan
     tanaman-tanamannya laksana tanaman yang telah
     disabit, seakan-akan belum pernah tumbuh kemarin.
     Demikianlah Kami menjelaskan tanda-tanda kekuasaan
     Kami kepada orang-orang yang berpikir (QS Yunus [10]:
     24).

Bumi berhias sedemikian itu sebagai buah keberhasilan  manusia
memperindahnya.   Tentu  saja  hal  tersebut  merupakan  hasil
dorongan naluri manusia yang selalu mendambakan keindahan.

Kembali  kepada  keindahan  alam  raya  dan  peranannya  dalam
pembuktian  keesaan  dan  kekuasaan  Allah, kita dapat berkata
bahwa mengabaikan sisi-sisi keindahan yang  terdapat  di  alam
raya  ini,  berarti  mengabaikan salah satu dari bukti keesaan
Allah  Swt.,  dan  mengekspresikannya  dapat  merupakan  upaya
membuktikan  kebesaran-Nya, tidak kalah --kalau enggan berkata
lebih kuat-- dari upaya membuktikannya  dengan  akal  pikiran.
Bukankah seperti tulis Immannuel Kant, dan dikuatkan juga oleh
mantan Pemimpin Tertinggi Al-Azhar Syaikh Abdul-Halim  Mahmud,
bahwa  Bukti  terkuat  tentang wujud Tuhan terdapat dalam rasa
manusia, bukan  akalnya.  Kita  tidak  perlu  bertepuk  tangan
kepada  logika  yang  membuktikan  wujud  Tuhan, karena dengan
logika juga orang membuktikan sebaliknya.

Karena itu pula Imam Al-Ghazali menulis dalam Ihya  Ulumuddin.
bahwa:

     Siapa yang tidak berkesan hatinya di musim bunga
     dengan kembang-kembangnya, atau oleh alat musik dan
     getaran nadanya, maka fitrahnya telah mengidap
     penyakit parah yang sulit diobati.

Seorang Muslim dituntut untuk berakhlak  dengan  akhlak  Ilahi
sesuai dengan kemampuannya sebagai makhluk. Dalam konteks ini,
Nabi Saw. bersabda, Berakhlaklah dengan akhlak Allah.

Dalam sabda yang lain beliau menyatakan bahwa

     Sesungguhnya Allah Mahaindah dan menyenangi
     keindahan.

Bahkan  ada   hadis   Nabi   yang   memberi   kesan   bolehnya
memperhatikan  keindahan diri sampai pada batas bersaing untuk
menjadi yang terindah. Seorang sahabat Nabi bernama Malik  bin
Mararah Ar-Rahawi, pernah bertanya kepada Nabi Saw.,

     Sahabat Rasul Malik bin Mararah Ar-Rahawi bertanya
     kepada Nabi Saw., Wahai Rasul, Allah telah
     menganugerahkan kepadaku keindahan seperti yang
     engkau lihat. Aku tidak senang ada seseorang yang
     melebihiku walau dengan sepasang alas kaki atau
     melebihinya, apakah demikian merupakan keangkuhan?
     Nabi menjawab, Tidak! Keangkuhan adalah meremehkan
     hak dan merendahkan orang lain. (HR Ahmad dan Abu
     Dawud).

Rasulullah Saw. sendiri memakai  pakaian  yang  indah,  bahkan
suatu  ketika  beliau  memperoleh  hadiah  berupa pakaian yang
bersulam benang emas, lalu naik ke mimbar, namun beliau  tidak
berkhutbah  dan  kemudian  turun.  Sahabat-sahabatnya demikian
kagum dengan baju itu, sampai mereka memegang  dan  merabanya,
Nabi Saw. bersabda.

     Apakah kalian mengagumi baju ini? Mereka berkata,
     Kami sama sekali belum pernah melihat pakaian lebih
     indah dari ini. Nabi bersabda: Sesungguhnya
     saputangan Sad bin Muadz di surga jauh lebih indah
     dari yang kalian lihat.

Demikian beliau memakai baju yang indah, tetapi  beliau  tetap
menyadari sepenuhnya tentang keindahan surgawi.

APAKAH YANG DISEBUT SENI?

Kalau memang seperti itu  pandangan  Islam  tentang  kesenian,
maka  mengapa  warna kesenian Islami tidak tampak dengan jelas
pada masa Nabi Saw. dan para sahabatnya. Bahkan mengapa terasa
atau   terdengar  adanya  semacam  pembatasan-pembatasan  yang
menghambat perkembangan kesenian?

Boleh  jadi  sebabnya  menurut  Sayyid  Quthb  yang  berbicara
tentang  masa  Nabi dan para sahabatnya adalah karena seniman,
baru berhasil dalam karyanya jika ia dapat berinteraksi dengan
gagasan,  menghayatinya  secara sempurna sampai menyatu dengan
jiwanya, lalu kemudian mencetuskannya daLam bentuk karya seni.
Nah,  pada  masa  Nabi  dan sahabat beliau, proses penghayatan
nilai-nilai Islami baru dimulai, bahkan sebagian  mereka  baru
dalam  tahap  upaya membersihkan gagasan-gagasan Jahiliah yang
telah meresap selama ini  dalam  benak  dan  jiwa  masyarakat,
sehingga  kehati-hatian amat diperlukan baik dari Nabi sendiri
sebagai pembimbing maupun dari kaum Muslim lainnya.

Atas dasar inilah kita harus memahami  larangan-larangan  yang
ada, kalau kita menerima adanya larangan penampilan karya seni
terlentu. Apalagi seperti dikemukakan di atas bahwa  apresiasi
Al-Quran terhadap seni sedemikian besar.

Mari   kita  coba  melihat  dua  macam  seni  yang  seringkali
dinyatakan terlarang, dalam Islam,

a. Seni Lukis, Pahat, atau Patung

Al-Quran secara tegas dan  dengan  bahasa  yang  sangat  jelas
berbicara tentang patung pada tiga surat Al-Quran.

1.   Dalam  surat  Al-Anbiya  (21):  51-58  diuraikan  tentang
patung-patung  yang  disembah  oleh  ayah  Nabi  Ibrahim   dan
kaumnya.  Sikap  Al-Quran  terhadap  patung-patung  itu, bukan
sekadar menolaknya, tetapi merestui penghancurannya.

     Maka Ibrahim menjadikan berhala-berhala itu hancur
     berpotong-potong, kecuali yang terbesar (induk) dari
     patung-patung yang lain, agar mereka kembali (untuk
     bertanya) kepadanya (QS Al-Anbiya [21]: 58).

Ada satu catatan kecil yang dapat memberikan arti  dari  sikap
Nabi  Ibrahim  di atas, yaitu bahwa beliau menghancurkan semua
berhala  kecuali  satu  yang  terbesar.  Membiarkan  satu   di
antaranya  dibenarkan,  karena  ketika  itu  berhala  tersebut
diharapkan dapat berperan sesuai dengan ajaran tauhid. Melalui
berhala  itulah  Nabi  Ibrahim membuktikan kepada mereka bahwa
berhala --betapapun besar dan  indahhya--  tidak  wajar  untuk
disembah.

     Sebenarnya patung yany besar inilah yang melakukannya
     (penghancuran berhala-berhala itu). Maka tanyakanlah
     kepada mereka jika mereka dapat berbicara. Maka
     mereka kembali kepada kesadaran diri mereka, lalu
     mereka berkata, Sesungguhnya kami sekalian adalah
     orang-orang yang menganiaya (diri sendiri) (QS
     Al-Anbiya [21]: 63-64)

Sekali lagi Nabi Ibrahim a.s. tidak menghancurkan berhala yang
terbesar  pada  saat berhala itu difungsikan untuk satu tujuan
ycang  benar.   Jika   demikian,   yang   dipersoalkan   bukan
berhalanya,  tetapi sikap terhadap berhala, serta peranan yang
diharapkan darinya.

2. Dalam surat Saba (34): 12-13 diuraikan tentang nikmat  yang
dianugerahkan  Allah  kepada  Nabi  Sulaiman, yang antara lain
adalah,

     (Para jin) membuat untuknya (Sulaiman) apa yang
     dikehendakinya seperti gedung-gedung yang tinggi dan
     patung-patung ... (QS Saba [34]: 13).

Dalam Tafsir Al-Qurthubi disebutkan  bahwa  patung-patung  itu
terbuat  dari kaca, marmer, dan tembaga, dan konon menampilkan
para ulama dan nabi-nabi terdahulu. (Baca Tafsirnya menyangkut
ayat tersebut).

Di  sini,  patung-patung tersebut --karena tidak disembah atau
diduga akan  disembah--  maka  keterampilan  membuatnya  serta
pemilikannya dinilai sebagai bagian dari anugerah Ilahi.

3.  Dalam  Al-Quran  surat  Ali Imran (3): 48-49 dan Al-Maidah
(5): 110 diuraikan mukjizat Nabi Isa a.s. antara  lain  adalah
menciptakan  patung  berbentuk  burung  dari  tanah  liat  dan
setelah  ditiupnya,  kreasinya   itu   menjadi   burung   yang
sebenarnya atas izin Allah.

     Aku membuat untuk kamu dari tanah (sesuatu) berbentuk
     seperti burung kemudian aku meniupnya, maka ia
     menjadi seekor burung seizin Allah (QS Ali Imran [3):
     49).

Di sini, karena kekhawatiran kepada penyembahan  berhala  atau
karena   faktor   syirik   tidak  ditemukan,  maka  Allah  SWt
membenarkan pembuatan patung burung oleh Nabi Isa  as.  Dengan
demikian,  penolakan Al-Quran bukan disebabkan oleh patungnya,
melainkan karena kemusyrikan dan penyembahannya.

Kaum Nabi Shaleh  terkenal  dengan  keahlian  mereka  memahat,
sehingga Allah berfirman,

     Ingatlah olehmu di waktu Tuhan menjadikan kamu
     pengyanti-pengganti (yang berkuasa) sesudah kaum Ad,
     dan memberikan tempat bagimu di bumi, Kamu dirikan
     istana-istana di tanah-tanah yang datar, dan kamu
     pahat gunung-gunung untuk dijadikan rumah, maka
     ingatlah nikmat-nikmat Allah, dan janganlah kamu
     merajalela di bumi membuat kerusakan (QS Al-Araf [7]:
     74).

Kaum Tsamud amat gandrung melukis dan memahat, serta amat ahli
dalam  bidang ini sampai-sampai relief-relief yang mereka buat
demikian  indah  bagaikan  sesuatu   yang   hidup,   menghiasi
gunung-gunung  tempat tinggal mereka. Kaum ini enggan beriman,
maka kepada mereka  disodorkan  mukjizat  yang  sesuai  dengan
keahliannya  itu, yakni keluarnya seekor unta yang benar-benar
hidup dari sebuah batu karang. Mereka melihat unta  itu  makan
dan minum (QS Al-Araf [7]: 73 dan QS Al-Syuara [26]: 155-156),
bahkan mereka meminum susunya. Ketika itu  relief-relief  yang
mereka  lukis  tidak berarti sama sekali dibanding dengan unta
yang menjadi mukjizat itu. Sayang mereka begitu  keras  kepala
dan  kesal  sampai  mereka  tidak  mendapat jalan lain kecuali
menyembelih unta itu,  sehingga  Tuhan  pun  menjatuhkan  palu
godam terhadap mereka (Baca QS Al-Syams [91]: 13-15) .

Yang  digarisbawahi  di  sini  adalah bahwa pahat-memahat yang
mereka tekuni itu  merupakan  nikmat  Allah  Swt.  yang  harus
disyukuri,  dan harus mengantar kepada pengakuan dan kesadaran
akan kebesaran dan keesaan Allah Swt.

Allah sendiri yang menantang kaum Tsamud dalam bidang keahlian
mereka  itu,  pada  hakikatnya  merupakan  Seniman Agung kalau
istilah ini dapat diterima.

Kembali kepada persoalan sikap Islam tentang seni  pahat  atau
patung,  maka  agaknya  dapat  dipahami  antara  lain  melalui
penjelasan berikut.

Syaikh  Muhammad  Ath-Thahir  bin  Asyur  ketika   menafsirkan
ayat-ayat  yang  berbicara tentang patung-patung Nabi Sulaiman
menegaskan, bahwa Islam mengharamkan patung karena  agama  ini
sangat  tegas dalam memberantas segala bentuk kemusyrikan yang
demikian mendarah daging dalam  jiwa  orang-orang  Arab  serta
orang-orang  selain  mereka ketika itu. Sebagian besar berhala
adalah patung-patung, maka Islam mengharamkannya karena alasan
tersebut; bukan karena dalam patung terdapat keburukan, tetapi
karena patung itu dijadikan sarana bagi kemusyrikan.
 
----------------                              (bersambung 2/2)
WAWASAN AL-QURAN
Tafsir Maudhu'i atas Pelbagai Persoalan Umat
Dr. M. Quraish Shihab, M.A.
Penerbit Mizan
Jln. Yodkali No.16, Bandung 40124
Telp. (022) 700931  Fax. (022) 707038
mailto:mizan@ibm.net

Indeks Islam | Indeks Quraish Shihab | Indeks Artikel | Tentang Penulis
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

Please direct any suggestion to Media Team