TUHAN (3/4)

Indeks Islam | Indeks Quraish Shihab | Indeks Artikel | Tentang Penulis
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

 

                    2. RASA YANG TERDAPAT DALAM JIWA MANUSIA
 
Dalam konteks ini, Al-Quran misalnya mengingatkan manusia,
 
"Katakanlah   (hai   Muhammad  kepada  yang  mempersekutukan
Tuhan), 'Jelaskanlah  kepadaku  jika  datang  siksaan  Allah
kepadamu,  atau  datang  hari  kiamat,  apakah  kamu menyeru
(tuhan) selain Allah, jika  kamu  orang-orang  yang  benar?'
Tidak!  Tetapi  hanya  kepada-Nya  kamu  bermohon,  maka Dia
menyisihkan bahaya yang karenanya  kamu  berdoa  kepada-Nya,
jika  Dia menghendaki, dan kamu tinggalkan sembahan-sembahan
yang  kamu  sekutukan  (dengan  Allah)"  (QS  Al-An'am  [6]:
40-41).
 
"Dialah   Tuhan  yang  menjadikan  kamu  dapat  berjalan  di
daratan, dan (berlayar) di lautan. Sehingga bila kamu berada
di  dalam  bahtera, dan meluncurlah bahtera itu membawa para
penumpangnya dengan  tiupan  angin  yang  baik,  dan  mereka
bergembira  karenanya:  (kemudian) datanglah angin badai dan
apabila  gelombang  dari  segenap  penjuru  menimpanya,  dan
mereka  yakin  bahwa  mereka  telah terkepung (bahaya), maka
mereka berdoa kepada  Allah  dengan  mengikhlaskan  ketaatan
kepada-Nya  semata-mata. (Mereka berkata) 'Sesungguhnya jika
Engkau menyelamatkan kami dari  bahaya  ini,  pastilah  kami
akan  termasuk  orang-orang yang bersyukur'" (QS Yunus [10]:
22).
 
Demikian Al-Quran menggambarkan  hati  manusia.  Karena  itu
sungguh  tepat  pandangan  sementara filosof yang menyatakan
bahwa manusia dapat  dipastikan  akan  terus  mengenal  dari
berhubungan  dengan  Tuhan sampai akhir zaman, walaupun ilmu
pengetahuan membuktikan lawan dari hal tersebut. Ini  selama
tabiat  kemanusiaan  masih  sama  seperti  sediakala,  yakni
memiliki naluri mengharap, cemas, dan takut,  karena  kepada
siapa  lagi  jiwanya  akan  mengarah  jika  rasa  takut atau
harapannya tidak lagi dapat dipenuhi oleh makhluk, sedangkan
harapan dan rasa takut manusia tidak pernah akan putus.
 
                                       3. DALIL-DALIL LOGIKA
 
Bertebaran  (ayat-ayat  yang  menguraikan dalil-dalil aqliah
tentang Keesaan Tuhan- Misalnya,
 
"Bagaimana Dia mempunyai anak, padahal Dia  tidak  mempunyai
istri.   Dia   yang  menciptakan  segala  sesuatu,  dan  Dia
mengetahui segala sesuatu" (QS Al-An'am [6]: 101)
 
"Seandainya pada keduanya (langit dan bumi) ada  dua  Tuhan,
maka pastilah keduanya binasa" (QS Al-Anbiya' [21]: 22)
 
Maksud  ayat  ini  adalah "seandainya ada dua pencipta, maka
akan  kacau  ciptaan,  karena  jika  masing-masing  Pencipta
menghendaki  sesuatu  yang tidak dikehendaki oleh yang lain,
maka kalau keduanya berkuasa, ciptaan pun  akan  kacau  atau
tidak  akan mewujud; kalau salah satu mengalahkan yang lain,
maka yang kalah  bukan  Tuhan;  dan  apabila  mereka  berdua
bersepakat, maka itu merupakan bukti kebutuhan dan kelemahan
mereka, sehingga keduanya bukan Tuhan,  karena  Tuhan  tidak
mungkin membutuhkan sesuatu atau lemah atas sesuatu."
 
Pengalaman   ruhani   pun  disebutkan  oleh  Al-Quran  yaitu
pengalaman para Nabi dan  Rasul.  Misalnya  pengalaman  Nabi
Musa   a.s.  (Baca  QS  Thaha  [20]:  9-47).  Demikian  juga
pengalaman  Nabi  Ibrahim  dan  Nabi  Muhammad  Saw.,  serta
nabi-nabi yang lain dengan berbagai rinciannya yang berbeda,
namun semuanya bermuara pada tauhid atau Keesaan Tuhan.
 
Di samping mengemukakan dalil-dalil di atas,  Al-Quran  juga
mengajak  mereka yang mempersekutukan Tuhan untuk memaparkan
hujjah mereka
 
"Apakah mereka mengambil tuhan-tuhan selain-Nya? Katakanlah,
'Kemukakan bukti kalian!'" (QS Al-Anbiya' [21]: 24).
 
"Katakanlah,  'Jelaskanlah  kepadaku  tentang  apa yang kamu
sembah selain Allah; perlihatkan kepada-Ku apakah yang telah
mereka  ciptakan dan bumi ini, atau adakah mereka berserikat
(dengan Allah) dalam (penciptaan) langit.  Bawalah  kepadaku
kitab   sebelum   (Al-Quran)   ini,   atau  peninggalan  dan
pengetahuan   (orang-orang   dahulu)   jika   kamu    adalah
orang-orang yang benar'" (QS Al-Ahqaf [46]: 4)
 
                                         MACAM-MACAM KEESAAN
 
Berbicara  tentang  macam-macam  keesaan  Allah mengantarkan
kita untuk memahami paling tidak surat Al-Ikhlas, sedikitnya
tentang ayatnya yang pertama,
 
"Katakanlah! Dia Allah Yang Maha Esa."
 
Abu As-Su'ud, salah seorang pakar tafsir dan tasawuf menulis
dalam tafsirnya, bahwa Al-Quran menempatkan kata huwa  untuk
menunjuk  kepada  Allah,  padahal  sebelumnya  tidak  pernah
disebut dalam susunan redaksi ayat ini  kata  yang  menunjuk
kepada-Nya.  Ini,  menurutnya, untuk memberi kesan bahwa Dia
Yang Mahakuasa itu, sedemikian terkenal dan nyata,  sehingga
hadir  dalam  benak setiap orang dan hanya kepada-Nya selalu
tertuju segala isyarat.
 
Ahad yang diterjemahkan dengan kata Esa terambil  dari  akar
kata wahdat yang berarti "kesatuan," seperti juga kata wahid
yang berarti "satu." Kata ini  sekali  berkedudukan  sebagai
nama,  dan  sekali  sebagai  sifat  bagi sesuatu. Apabila ia
berkedudukan sebagai sifat, maka ia  hanya  digunakan  untuk
Allah Swt. semata.
 
Dalam  ayat di atas, kata Ahad berfungsi sebagai sifat Allah
Swt., dalam arti bahwa Allah memiliki sifat-sifat tersendiri
yang tidak dimiliki oleh selain-Nya.
 
Dari  segi  bahasa,  kata  Ahad walaupun berakar sama dengan
Wahid, tetapi masing-masing memiliki  makna  dan  penggunaan
tersendiri.  Kata  Ahad  hanya  digunakan untuk sesuatu yang
tidak dapat menerima penambahan  baik  dalam  benak  apalagi
dalam  kenyataan,  karena  itu  kata  ini  -ketika berfungsi
sebagai  sifat-  tidak  termasuk  dalam  rentetan  bilangan,
berbeda  halnya  dengan wahid (satu); Anda dapat menambahnya
sehingga  menjadi  dua,  tiga,  dan   seterusnya,   walaupun
penambahan itu hanya dalam benak pengucap atau pendengarnya.
 
Berbicara  tentang  angka  -dalam  kaitannya  dengan bahasan
tauhid- agaknya menarik untuk  dihayati  bahwa  kata  "Ahad"
terulang  di  dalam  Al-Quran  sebanyak 85 kali, namun hanya
sekali yang menjadi sifat Tuhan yakni firman-Nya dalam surat
Al-Ikhlas,   "Qul   Huwa  Allahu  Ahad."  Seakan-akan  Allah
bermaksud untuk  menekankan  keyakinan  tauhid,  bukan  saja
dalam  maknanya,  tetapi  juga  dalam  bilangan  pengulangan
lafalnya,  serta  kandungan  lafal  itu.  Ini  menggambarkan
kemurnian  mutlak  dalam  keesaan.  Bukankah kata Wahid yang
berarti "satu," dapat  berbilang  unsurnya,  berbeda  dengan
kata  Ahad  yang mutlak tidak berbilang, walau hanya sekadar
unsurnya?
 
Benar! Allah  terkadang  juga  disifati  dengan  kata  Wahid
seperti antara lain dalam firman-Nya:
 
"Tuhan-Mu  adalah  Tuhan yang Wahid, tiada Tuhan selain Dia,
Dia Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang"  (QS  Al-Baqarah
[2]: 163)
 
Sementara  ulama  berpendapat bahwa kata Wahid dalam ayat di
atas,  menunjuk  kepada  keesaan  Zat-Nya  disertai   dengan
keragaman  sifat-sifat-Nya, bukankah Dia Maha Pengasih, Maha
Penyayang,  Mahakuat,  Maha  Mengetahui,   dan   sebagainya,
sedangkan  kata  Ahad  dalam  surat  Al-Ikhlas  itu, mengacu
kepada keesaan Zat-Nya saja, tanpa memperlihatkan  keragaman
sifat-sifat tersebut.
 
Terlepas  dari  setutu  atau tidak dengan pembedaan terakhir
ini, namun yang jelas bahwa Allah Maha Esa, dan  Keesaan-Nya
itu mencakup empat macam keesaan
 
1. Keesaan Zat
2. Keesaan Sifat
3. Keesaan Perbuatan, dan
4. Keesaan dalam beribadah kepada-Nya.
 
                                          1. KEESAAN ZAT-NYA
 
Keesaan Zat  mengandung  pengertian  bahwa  seseorang  harus
percaya  bahwa  Allah  Swt.  tidak terdiri dari unsur-unsur,
atau bagian-bagian,  karena  bila  Zat  Yang  Mahakuasa  itu
terdiri  dari dua unsur atau lebih -betapapun kecilnya unsur
atau bagian itu- maka ini berarti Dia membutuhkan unsur atau
bagian  itu.  Atau  dengan  kata  lain unsur atau bagian itu
merupakan syarat bagi wujud-Nya. Ambil sebagai contoh sebuah
jam   tangan.  Anda  menemukan  jam  tersebut  terdiri  dari
beberapa bagian, ada jarum yang menunjuk angka,  ada  logam,
ada  karet, dan lain-lain. Bagian-bagian tersebut dibutuhkan
oleh sebuah jam tangan, karena tanpa bagian  itu,  ia  tidak
dapat  menjadi  jam  tangan.  Nah,  ketika itu, walaupun jam
tangan ini hanya  satu,  tetapi  ia  tidak  esa,  karena  ia
terdiri  dari  bagian-bagian  tersebut.  Jika  demikian, Zat
Tuhan pasti tidak  terdiri  dari  unsur  atau  bagian-bagian
betapapun  kecilnya,  karena  jika  demikian, Dia tidak lagi
menjadi Tuhan. Benak kita  tidak  dapat  membayangkan  Tuhan
membutuhkan sesuatu dan Al-Quran pun menegaskan demikian:
 
"Wahai  seluruh  manusia kamulah yang butuh kepada Allah dan
Allah Mahakaya tidak membutuhkan sesuatu lagi Maha  Terpuji"
(QS Fathir [35]: 15).
 
Setiap penganut paham tauhid berkeyakinan bahwa Allah adalah
sumber segala sesuatu dan Dia sendiri tidak  bersumber  dari
sesuatu pun. Al-Quran menegaskan bahwa,
 
"Tidak  ada sesuatu pun yang serupa dengan-Nya, dan Dia Maha
Mendengar lagi Maha Melihat" (QS Al-Syura [42]: 11)
 
Perhatikan redaksi ayat di atas, "Tidak ada sesuatupun  yang
serupa  dengan-Nya."  Yang  serupa dengan-Nya pun tidak ada,
apalagi yang seperti Dia. lebih-lebih yang sama  dengan-Nya.
Karena itu, jangankan secara faktual di dunia nyata ada yang
seperti dengan-Nya, yang secara  imajinatif  pun  tidak  ada
yang serupa dengan-Nya.
 
Keragaman  dan  bilangan  lebih  dari  satu adalah substansi
setiap makhluk, bukan ciri  Khaliq.  Itulah  sebagian  makna
Keesaan dalam Zat-Nya.
 
                                        2. KEESAAN SIFAT-NYA
 
Adapun keesaan sifat-Nya, maka itu antara lain berarti bahwa
Allah memiliki sifat yang tidak  sama  dalam  substansi  dan
kapasitasnya dengan sifat makhluk, walaupun dari segi bahasa
kata yang digunakan  untuk  menunjuk  sifat  tersebut  sama.
Sebagai  contoh,  kata  Rahim  merupakan  sifat  bagi Allah,
tetapi juga  digunakan  untuk  menunjuk  rahmat  atau  kasih
sayang  makhluk.  Namun  substansi  dan kapasitas rahmat dan
kasih sayang Allah berbeda dengan rahmat makhluk-Nya.
 
Allah Esa dalam sifat-Nya, sehingga tidak ada yang  menyamai
substansi dan kapasitas sifat tersebut.
 
Sementara  ulama  memahami lebih jauh keesaan sifat-Nya itu,
dalam  arti  bahwa  Zat-Nya  sendiri  merupakan   sifat-Nya.
Demikian  mereka  memahami keesaan secara amat murni. Mereka
menolak adanya "sifat" bagi  Allah,  walaupun  mereka  tetap
yakin   dan   percaya  bahwa  Allah  Maha  Mengetahui,  Maha
Pengampun, Maha Penyantun, dan lain-lain  yang  secara  umum
dikenal  ada  sembilan  puluh sembilan. Mereka yakin tentang
hal tersebut, tetapi mereka menolak menamainya  sifat-sifat.
Lebih  jauh penganut paham ini berpendapat bahwa "sifat-Nya"
merupakan satu kesatuan, sehingga kalau dengan  tauhid  Zat,
dinafikan segala unsur keterbilangan pada Zat-Nya, betapapun
kecilnya unsur  itu,  maka  dengan  tauhid  sifat  dinafikan
segala  macam dan bentuk ketersusunan dan keterbilangan bagi
sifat-sifat Allah.  Berapa  jumlah  sifat  Allah  itu?  Yang
populer  menurut  sebuah hadis ada 99 sifat. Tetapi Muhammad
Husain  Ath-Thabathaba'i,   setelah   menelusuri   ayat-ayat
Al-Quran,  menyimpulkan  bahwa ada 127 nama atau sifat Allah
yang  ditemukan   dalam   Al-Quran,   kesemuanya   merupakan
Al-Asma',     Al-Husna.    Rincian    sifat/nama-nama    itu
dikemukakannya dalam Tafsirnya Al-Mizan  ketika  menafsirkan
QS Al-A'raf [7]: 180.
 
                                    3. KEESAAN PERBUATAN-NYA
 
Keesaan ini mengandung arti bahwa segala sesuatu yang berada
di alam raya ini, baik  sistem  kerjanya  maupun  sebab  dan
wujud-Nya,  kesemuanya  adalah hasil perbuatan Allah semata.
Apa  yang  dikehendaki-Nya  terJadi,  dan  apa  yang   tidak
dikehendaki-Nya  tidak  akan  terjadi, tidak ada daya (untuk
memperoleh manfaat),  tidak  pula  kekuatan  (untuk  menolak
madarat), kecuali bersumber dari Allah Swt., itulah makna:
 
[tulisan Arab]
 
Tetapi   ini   bukan   berarti   bahwa  Allah  Swt.  berlaku
sewenang-wenang,   atau   "bekerJa"   tanpa   sistem    yang
ditetapkanNya.   Keesaan   perbuatan-Nya   dikaitkan  dengan
hukum-hukum,    atau    takdir    dan    sunnatullah    yang
ditetapkan-Nya.
 
Dalam mewujudkan kehendak-Nya Dia tidak membutuhkan apa pun.
 
"Sesungguhnya   keadaan-Nya  bila  Dia  menghendaki  sesuatu
hanyalah berkata, 'Jadilah!' Maka jadilah  ia"  (QS  Ya  Sin
[36]: 82)
 
Tetapi  ini  bukan juga berarti bahwa Allah membutuhkan kata
"jadilah;" ayat ini hanya bermaksud menggambarkan bahwa pada
hakikatnya  dalam  mewujudkan  sesuatu Dia tidak membutuhkan
apa pun. Ayat ini juga tidak berarti  bahwa  segala  sesuatu
yang  diciptakan-Nya  tercipta  dalam sekejap, tanpa proses,
sesuai dengan kehendak-Nya. Bukankah Isa a.s. dinyatakan-Nya
sebagai tercipta dengan kun.
 
"Sesungguhnya  keadaan (penciptaan) Isa di sisi Allah adalah
seperti Adam, diciptakan dari  tanah  kemudian  Dia  katakan
kepadanya  kun  (jadilah),  maka jadilah dia" (9S Ali 'Imran
[3]: 59).
 
Pada ayat lain, Al-Quran menggambarkan proses kejadian  Isa,
yang   dimulai  dengan  kehadiran  malaikat  kepada  Maryam,
kehamilannya, sakit perut menjelang kelahiran, dan  akhirnya
lahir (Baca QS Maryam [19]: 16-26).
 
Sekali  lagi,  kata  kun  bukan berarti bahwa segala sesuatu
yang dikehendaki-Nya terjadi serta-merta tanpa suatu proses.
 
                                            (bersambung 4/4)


WAWASAN AL-QURAN Tafsir Maudhu'i atas Pelbagai Persoalan Umat Dr. M. Quraish Shihab, M.A. Penerbit Mizan Jln. Yodkali No.16, Bandung 40124 Telp. (022) 700931 Fax. (022) 707038 mailto:mizan@ibm.net

Indeks Islam | Indeks Quraish Shihab | Indeks Artikel | Tentang Penulis
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

Please direct any suggestion to Media Team