Wawasan Al-Qur'an

oleh Dr. M. Quraish Shihab, M.A.

Indeks Islam | Indeks Quraish Shihab | Indeks Artikel | Tentang Penulis
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

 

WAKTU                                                    (2/2)
 
Kembali  kepada  ayat  Adz-Dzariyat  di atas, dapat ditegaskan
bahwa  Al-Quran  menuntut  agar  kesudahan   semua   pekerjaan
hendaknya  menjadi  ibadah  kepada  Allah,  apa  pun jenis dan
bentuknya. Karena itu, Al-Quran memerintahkan untuk  melakukan
aktivitas apa pun setelah menyelesaikan ibadah ritual.
 
     Apabila telah melaksanakan shalat (Jumat),
     bertebaranlah kamu di muka bumi dan carilah karunia
     Allah, dan selalu ingatlah Allah supaya kamu beruntung
     (QS Al-Jum'ah [62]: 10).
 
Dari sini  ditemukan  bahwa  Al-Quran  mengecam  secara  tegas
orang-orang  yang mengisi waktunya dengan bermain tanpa tujuan
tertentu seperti kanak-kanak. Atau  melengahkan  sesuatu  yang
lebih  penting  seperti  sebagian  remaja,  sekadar mengisinya
dengan bersolek seperti sementara wanita, atau menumpuk  harta
benda  dan  memperbanyak  anak  dengan tujuan berbangga-bangga
seperti halnya dilakukan banyak orangtua.
 
     Ketahuilah bahwa kehidupan dunia (bagi orang yang tidak
     beriman) hanyalah permainan sesuatu yang melalaikan,
     perhiasan, dan bermegah-megah antara kamu serta
     berbanggaan tentang banyaknya harta dan anak (QS 57: 20
     dan baca Tafsir ibnu Katsir serta Tafsir Al-Manar) .
 
Kerja atau amal dalam bahasa Al-Quran, seringkali  dikemukakan
dalam   bentuk   indefinitif   (nakirah).   Bentuk   ini  oleh
pakar-pakar bahasa dipahami sebagai  memberi  makna  keumuman,
sehingga amal yang dimaksudkan mencakup segala macam dan jenis
kerja. Perhatikan misalnya firman Allah dalam surat Ali  Imran
ayat 195.
 
     Aku (Allah) tidak mensia-siakan kerja salah seorang di
     antara kamu baik lelaki maupun perempuan.
 
Al-Quran tidak hanya memerintahkan  orang-orang  Muslim  untuk
bekerja,  tetapi  juga  kepada selainnya. Dalam surat Al-An'am
ayat 135 dinyatakan,
 
     Hai kaumku (orang-orang kafir), berbuatlah sepenuh
     kemampuan (dan sesuai kehendak). Aku pun akan berbuat
     (demikian). Kelak kamu akan mengetahui siapakah di
     antara kita yang akan memperoleh hasil yang baik di
     dunia/akhirat.
 
Bahkan Al-Quran tidak hanya memerintahkan asal  bekerja  saja,
tetapi  bekerja dengan sungguh-sungguh, sepenuh hati. Al-Quran
tidak memberi peluang kepada seseorang untuk  tidak  melakukan
suatu  aktivitas  kerja  sepanjang  saat yang dialaminya dalam
kehidupan dunia ini. Surat Al-'Ashr dan dua ayat terakhir dari
surat   Alam  Nasyrah  menguraikan  secara  gamblang  mengenai
tuntunan di atas.
 
Dalam surat Alam Nasyrah, terlebih dahulu ditanaman  optimisme
kepada setiap Muslim dengan berpesan,
 
     ... karena. sesungguhnya sesudah kesulitan ada
     kemudahan, sesungguhnya sesudah kesulitan ada kemudahan
     (QS 94: 5-6).
     
Maksudnya,  sesungguhnya  bersama  satu  kesulitan  yang  sama
terdapat  dua kemudahan yang berbeda. Maksud ini dipahami dari
bentuk redaksi ayat  di  atas.  Terlihat  bahwa  kata  al-ushr
terulang   dua   kali  dan  keduanya  dalam  bentuk  definitif
(ma'rufah) yakni menggunakan alif dan lam (al), sedangkan kata
yusra  juga terulang dua kali tetapi dalam bentuk indefinitif,
karena tidak menggunakan alif dan lam. Dalam kaidah kebahasaan
dikemukakan  bahwa  apabila  dalam  suatu susunan terdapat dua
kata yang sama dan keduanya berbentuk definitif, maka keduanya
bermakna  sama  sedangkan bila keduanya berbentuk indefinitif,
maka ia berbeda.
 
Setelah berpesan demikian, kembali surat ini memberi  petunjuk
kepada umat manusia agar bersungguh-sungguh dalam melaksanakan
suatu pekerjaan walaupun  baru  saja  menyelesaikan  pekerjaan
yang  lain, dengan menjadikan harapan senantiasa hanya tertuju
kepada Allah Swt.
 
     Maka apabila kamu telah selesai (dari suatu urusan),
     kerjakanlah dengan sungguh-sungguh (urusan) yang lain
     (QS 94: 7).
 
Kata faraghta terambil dan kata faragha yang  ditemukan  dalam
Al-Quran   sebanyak   enam   kali   dengan   berbagai   bentuk
derivasinya. Dari segi bahasa, kata  tersebut  berarti  kosong
setelah   sebelumnya   penuh,   baik  secara  material  maupun
imaterial. Seperti gelas  yang  tadinya  dipenuhi,  oleh  air,
kemudian  diminum  atau  tumpah  sehingga  gelas  itu  menjadi
kosong. Atau hati yang tadinya gundah dipenuhi oleh  ketakutan
dan  kesedihan,  kemudian plong, semua digambarkan dengan akar
kata  ini.  Perlu  digarisbawahi  bahwa  kata   faragh   tidak
digunakan   selain   pada   kokosongan   yang  didahului  oleh
kepenuhan, maupun keluangan yang didahului oleh kesibukan.
 
Dari sini jelas bahwa kekosongan yang dimaksud harus didahului
oleh adanya sesuatu yang mengisi "wadah" kosong itu. Seseorang
yang telah memenuhi waktunya  dengan  pekerjaan,  kemudian  ia
menyelesaikan  pekerjaan  tersebut,  maka  jarak  waktu antara
selesai pekerjaan pertama dan dimulainya pekerjaan selanjutnya
dinamai faragh.
 
Jika Anda berada dalam keluangan (faragh) sedangkan sebelumnya
Anda telah memenuhi waktu dengan kerja keras, maka itulah yang
dimaksud  dengan  fan-shab.  Kata fan-shab antara lain berarti
berat, atau letih. Kata ini pada  mulanya  berarti  menegakkan
sesuatu  sampai nyata dan mantap, seperti halnya gunung. Allah
Swt. berfirman,
 
     Apakah mereka tidak melihat unta bagaimana diciptakan,
     dan kepada langit bagaimana ditinggiikan, dan kepada
     gunung bagaimana ditegakkan sehingga menjadi nyata (QS
     88: 17-19).
 
Kalimat terakhir  pada  terjemahan  di  atas  dijelaskan  oleh
Al-Quran  dengan  kata yang berakar sama dengan fan-shab yaitu
nushibat dalam kalimat Wa ilal  jibali  kaifa  nushibat.  Dari
kata  ini  juga  dibentuk  kata nashib atau "nasib" yang biasa
dipahami  sebagai  "bagian  tertentu   yang   diperoleh   dari
kehidupan yang telah ditegakkan sehingga menjadi nyata, jelas,
dan sulit dielakkan".
 
Kini --setelah arti kosakata diuraikan-- dapatlah kita melihat
beberapa  kemungkinan  terjemahan ayat 7 dan 8 dari surat Alam
Nasyrah di atas.
 
     Apabila engkau telah berada dalam keluangan (setelah
     tadinya engkau sibuk), maka (bersungguh-sungguhlah
     bekerja) sampai engkau letih, atau tegakkanlah (suatu
     persoalan baru) sehingga menjadi nyata.
 
Ayat ini --seperti dikemukakan di atas-- tidak memberi peluang
kepada  Anda untuk menganggur sepanjang masih ada masa, karena
begitu  Anda  selesai  dalam  satu  kesibukan,  Anda  dituntut
melakukan  kesibukan  1ain  yang  meletihkan atau menghasilkan
karya nyata, guna mengukir nasib Anda.
 
Nabi Saw. menganjurkan umatnya  agar  meneladani  Allah  dalam
sifat   dan   sikap-Nya  sesuai  dengan  kemampuannya  sebagai
makhluk. Dan salah satu yang perlu dicontoh adalah sikap Allah
yang dijelaskan dalam surat Ar-Rahman ayat 29.
 
     Setiap saat Dia (Allah) berada dalam kesibukan.
 
AKIBAT MENYIA-NYIAKAN WAKTU
 
Jika Anda bertanya, "Apakah akibat  yang  akan  terjadi  kalau
menyia-nyiakan waktu?" Salah satu jawaban yang paling gamblang
adalah ayat pertama dan kedua surat Al-'Ashr.
 
Allah Swt. memulai surat ini dengan bersumpah Wal 'ashr  (Demi
masa),   untuk   membantah   anggapan   sebagian   orang  yang
mempersalahkan waktu dalam kegagalan mereka. Tidak ada sesuatu
yang   dinamai   masa   sial  atau  masa  mujur,  karena  yang
berpengaruh adalah kebaikan dan keburukan usaha seseorang. Dan
inilah  yang  berperan di dalam baik atau buruknya akhir suatu
pekerjaan,  karena  masa  selalu  bersifat  netral.   Demikian
Muhammad 'Abduh menjelaskan sebab turunnya surat ini.
 
Allah  bersumpah  dengan  'ashr,  yang  arti harfiahnya adalah
"memeras  sesuatu   sehingga   ditemukan   hal   yang   paling
tersembunyi padanya," untuk menyatakan bahwa, "Demi masa, saat
manusia mencapai hasil setelah memeras tenaganya, sesungguhnya
ia  merugi  apa pun hasil yang dicapainya itu, kecuali jika ia
beriman  dan  beramal  saleh"  (dan   seterusnya   sebagaimana
diutarakan pada ayat-ayat selanjutnya).
 
Kerugian  tersebut  baru disadari setelah berlalunya masa yang
berkepanjangan, yakni paling tidak akan  disadari  pada  waktu
'ashr  kehidupan  menjelang  hayat  terbenam.  Bukankah  'ashr
adalah waktu ketika matahari akan terbenam? itu  agaknya  yang
menjadi  sebab  sehingga  Allah  mengaitkan  kerugian  manusia
dengan  kata  'ashr  untuk  menunjuk  "waktu   secara   umum",
sekaligus  untuk  mengisyaratkan bahwa penyesalan dan kerugian
selalu datang kemudian.
 
     Sesungguhnya manusia benar-benar berada dalam khusr
     (kerugian).
 
Kata khusr mempunyai banyak arti,  antara  lain  rugi,  sesat,
celaka,  lemah,  dan  sebagainya yang semuanya mengarah kepada
makna-makna negatif yang tidak disenangi oleh siapa pun.  Kata
khusr  pada  ayat  di  atas  berbentuk  indefinitif (nakirah),
karena ia menggunakan tanwin, sehingga dibaca  khusr(in),  dan
bunyi  in itulah yang disebut tanwin. Bentuk indefinitif, atau
bunyi in yang ada pada kata tersebut  berarti  "keragaman  dan
kebesaran",   sehingga   kata  khusr  harus  dipahami  sebagai
kerugian, kesesatan, atau kecelakaan besar.
 
Kata  fi  biasanya  diterjemahkan  dengan  di   dalam   bahasa
indonesia.  Jika  misalnya  Anda berkata, "Baju di lemari atau
uang di saku", tentunya yang Anda maksudkan adalah bahwa  baju
berada  di  dalam  lemari  dan uang berada di dalam saku. Yang
tercerap dalam  benak  ketika  itu  adalah  bahwa  baju  telah
diliputi  lemari,  sehingga keseluruhan bagian-bagiannya telah
berada di dalam lemari. Demikian juga uang ada di  dalam  saku
sehingga tidak sedikit pun yang berada di luar.
 
Itulah juga yang dimaksud dengan ayat di atas, "manusia berada
didalam kerugian". Kerugian adalah wadah dan manusia berada di
dalam wadah tersebut. Keberadaannya dalam wadah itu mengandung
arti bahwa manusia berada dalam kerugian total, tidak ada satu
sisi  pun dari diri dan usahanya yang luput dari kerugian, dan
kerugian itu amat besar lagi beraneka ragam. Mengapa demikian?
Untuk  menemukan  jawabannya kita perlu menoleh kembali kepada
ayat pertama, "Demi masa", dan mencari kaitannya  dengan  ayat
kedua, "Sesungguhnya manusia berada didalam kerugian".
 
Masa  adalah  modal  utama manusia. Apabila tidak diisi dengan
kegiatan, waktu akan  berlalu  begitu.  Ketika  waktu  berlalu
begitu  saja,  jangankan keuntungan diperoleh, modal pun telah
hilang. Sayyidina Ali bin Abi Thalib r.a. pernah bersabda,
 
     "Rezeki yang tidak diperoleh hari ini masih dapat
     diharapkan perolehannya lebih banyak di hari esok,
     tetapi waktu yang berlalu hari ini, tidak mungkin
     kembali esok."
 
Jika demikian waktu harus dimanfaatkan. Apabila  tidak  diisi,
yang  bersangkutan sendiri yang akan merugi. Bahkan jika diisi
dengan hal-hal  yang  negatif,  manusia  tetap  diliputi  oleh
kerugian.  Di  sinilah terlihat kaitan antara ayat pertama dan
kedua. Dari sini pula ditemukan sekian banyak hadis Nabi  Saw.
yang  memperingatkan  manusia  agar  mempergunakan  waktu  dan
mengaturnya sebaik mungkin, karena sebagaimana sabda Nabi Saw
 
     Dua nikmat yang sering dan disia-siakan oleh banyak
     orang: kesehatan dan kesempatan (Diriwayatkan oleh
     Bukhari melalu Ibnu Abbas r.a.) .
 
BAGAIMANA CARA MENGISI WAKTU?
 
Tidak pelak lagi  bahwa  waktu  harus  diisi  dengan  berbagai
aktivitas  positif.  Dalam surat Al-'Ashr disebutkan empat hal
yang dapat menyelamatkan manusia dari kerugian dan  kecelakaan
besar  dan  beraneka  ragam. Yaitu, (a) yang beriman, (b) yang
beramal saleh, (c) yang saling berwasiat dengan kebenaran, dan
(d) yang saling berwasiat dengan kesabaran. Sebenarnya keempat
hal  ini  telah  dicakup  oleh  kata  "amal",  namun   dirinci
sedemikian  rupa untuk memperjelas dan menekankan beberapa hal
yang boleh jadi sepintas lalu tidak  terjangkau  oleh  kalimat
beramal saleh yang disebutkan pada butir (b) .
 
Iman  --dari  segi  bahasa-- bisa diartikan dengan pembenaran.
Ada sebagian pakar yang mengartikan  iman  sebagai  pembenaran
hati  terhadap hal yang didengar oleh telinga. Pembenaran akal
saja tidak cukup --kata mereka-- karena  yang  penting  adalah
pembenaran hati.
 
Peringkat  iman  dan kekuatannya berbeda-beda antara seseorang
dengan lainnya, bahkan dapat berbeda antara satu  saat  dengan
saat  lainnya  pada diri seseorang. Al-iman yazidu wa yanqushu
(Iman itu bertambah dan berkurang), demikian bunyi rumusannya.
Nah,   upaya   untuk   mempertahankan  dan  meningkatkan  iman
merupakan hal yang amat  ditekankan.  Iman  inilah  yang  amat
berpengaruh  pada  hal  diterima atau tidaknya suatu amal oleh
Allah Swt.
 
Dalam surat Al-Furqan ayat 23 Allah menegaskan,
 
     Kami menuju kepada amal-amal (baik) mereka (orang-orang
     tidak percaya), lalu kami menjadikan amal-amal itu
     (sia-sia bagai) debu yang beterbangan.
 
Ini disebahkan amal atau pekerjaan  tersebut  tidak  dilandasi
oleh  iman.  Demikianlah  bunyi  sebuah  ayat  yang  merupakan
"undang-undang Ilahi"
 
Di atas dikatakan bahwa tiga butir yang  disebut  dalam  surat
ini  pada  hakikatnya  merupakan bagian dari amal saleh. Namun
demikian ketiganya disebut secara eksplisit untuk menyampaikan
suatu  pesan tertentu. Pesan tersebut antara lain adalah bahwa
amal saleh yang tanpa iman tidak akan diterima oleh Allah Swt.
 
Dapat juga  dinyatakan  ada  dua  macam  ajaran  agama,  yaitu
pengetahuan  dan  pengamalan.  Iman  (akidah)  merupakan  sisi
pengetahuan, sedangkan syariat merupakan sisi pengamalan. Atas
dasar  inilah ulama memahami makna alladzina amanu (orang yang
beriman) dalam ayat ini  sebagai  "orang-orang  yang  memiliki
pengetahuan   tentang   kebenaran".  Puncak  kebenaran  adalah
pengetahuan  tentang  Allah  dan  ajaran-ajaran   agama   yang
bersumber  dari-Nya.  Jika  demikian, sifat pertama yang dapat
menyelamathan  seseorang  dari  kerugian  adalah   iman   atau
pengetahuan tentang kebenaran. Hanya saja harus diingat, bahwa
dengan iman seseorang baru menyelamatkan  seperempat  dirinya,
padahal  ada  empat  hal  yang  disebutkan surat Al-'Ashr yang
menghindarkan manusia dari kerugian total.
 
MACAM-MACAM KERJA DAN SYARAT-SYARATNYA
 
Hal  kedua  yang  disebutkan  dalam  surat   Al-'Ashr   adalah
'amilush-shalihat (yang melakukan amal-amal saleh). Kata 'amal
(pekerjaan)  digunakan  oleh  Al-Quran   untuk   menggambarkan
perbuatan yang disadari oleh manusia dan jin.
 
Kiranya  menarik  untuk  mengemukakan  pendapat beberapa pakar
bahasa yang menyatakan bahwa kata 'amal dalam  Al-Quran  tidak
semuanya  mengandung  arti berwujudnya suatu pekerjaan di alam
nyata. Niat untuk melakukan sesuatu yang baik --kata  mereka--
juga  dinamai  'amal.  Rasul  Saw.  menilai  bahwa  niat  baik
seseorang memperoleh ganjaran di sisi Allah, dan inilah maksud
surat Al-Zalzalah ayat 7:
 
     Dan barang siapa yang mengamalkan kebajikan walaupun
     sebesar biji sawi niscaya ia akan mendapatkan
     (ganjaran)-nya.
 
Amal manusia yang beraneka ragam itu bersumber dan empat  daya
yang dimilikinya:
 
  1. Daya tubuh, yang memungkinkan manusia memiliki
     antara lain kemampuan dan keterampilan teknis.
     
  2. Daya akal, yang memungkinkan manusia memiliki
     kemampuan mengembangkan ilmu dan teknologi, serta
     memahami dan memanfaatkan sunnatullah
     
  3. Daya kalbu, yang memungkinkan manusia memiliki
     kemampuan moral, estetika, etika, serta mampu
     berkhayal, beriman, dan merasakan kebesaran ilahi.
     
  4. Daya hidup yang memungkinkan manusia memiliki
     kemampuan menyesuaikan diri dengan lingkungan,
     mempertahankan hidup, dan menghadapi tantangan.
 
Keempat daya ini apabila digunakan sesuai petunjuk Ilahi, akan
menjadikan amal tersebut sebagai "amal saleh".
 
Kata  shalih  terambil  dari  akar  kata  shaluha  yang  dalam
kamus-kamus  bahasa  Al-Quran  dijelaskan   maknanya   sebagai
antonim  (lawan)  kata  fasid  (rusak).  Dengan  demikian kata
"saleh" diartikan sebagai tiadanya atau terhentinya kerusakan.
Shalih  juga  diartikan  sebagai  bermanfaat  dan sesuai. Amal
saleh  adalah   pekerjaan   yang   apabila   dilakukan   tidak
menyebabkan dan mengakibatkan madharrat (kerusakan), atau bila
pekerjaan  tersebut  dilakukan  akan  diperoleh  manfaat   dan
kesesuaian.
 
Secara  keseluruhan  kata  shaluha  dalam  berbagai  bentuknya
terulang dalam Al-Quran sebanyak 180 kali. Secara  umum  dapat
dikatakan  bahwa  kata  tersebut  ada  yang  dibentuk sehingga
membutuhkan  objek  (transitif),  dan  ada  pula  yang   tidak
membutuhkan  objek  (intransitif).  Bentuk  pertama menyangkut
aktivitas yang mengenai objek penderita.  Bentuk  ini  memberi
kesan   bahwa   objek   tersebut   mengandung   kerusakan  dan
ketidaksesuaian  sehingga  pekerjaan   yang   dilakukan   akan
menjadikan  objek  tadi  sesuai  atau  tidak  rusak. Sedangkan
bentuk  kedua  menunjukkan  terpenuhinya  nilai  manfaat   dan
kesesuaian   pekerjaan  yang  dilakukan.  Usaha  menghindarkan
ketidaksesuaian pada sesuatu  maupun  menyingkirkan  madharrat
yang  ada  padanya  dinamai ishlah; sedangkan usaha memelihara
kesesuaian serta manfaat yang terdapat  pada  sesuatu  dinamai
shalah.
 
Apakah  tolok  ukur  pemenuhan nilai-nilai atau keserasian dan
ketidakrusakan itu? Al-Quran tidak menjelaskan, dan para ulama
pun   berbeda  pendapat.  Syaikh  Muhammad  'Abduh,  misalnya,
mendefinisikan amal  saleh  sebagai,  "segala  perbuatan  yang
berguna  bagi  pribadi, keluarga, kelompok, dan manusia secara
keseluruhan."
 
Apabila  seseorang  telah  mampu  melakukan  amal  saleh  yang
disertai iman, ia telah memenuhi dua dari empat hal yang harus
dipenuhinya untuk membebaskan  dirinya  dari  kerugian  total.
Namun  sekali  lagi harus diingat, bahwa menghiasi diri dengan
kedua hal di  atas  baru  membebaskan  manusia  dari  setengah
kerugian  karena ia masih harus melaksanakan dua hal lagi agar
benar-benar selamat,  beruntung,  serta  terjauh  dari  segala
kerugian.
 
Yang  ketiga dan keempat adalah Tawashauw bil haq wa tawashauw
bish-shabr (saling mewasiati tentang kebenaran dan kesabaran).
Agaknya  bukan  di  sini tempatnya kedua hal di atas diuraikan
secara rinci. Yang dapat  dikemukakan  hanyalah  bahwa  al-haq
diartikan  sebagai  kebenaran yang diperoleh melalui pencarian
ilmu dan ash-shabr adalah ketabahan menghadapi segala sesuatu,
serta  kemampuan  menahan  rayuan  nafsu  demi  mencapai  yang
terbaik.
 
Surat Al-'Ashr  secara  keseluruhan  berpesan  agar  seseorang
tidak  hanya  mengandalkan  iman  saja,  melainkan  juga  amal
salehnya. Bahkan amal  saleh  dengan  iman  pun  belum  cukup,
karena  masih  membutuhkan  ilmu. Demikian pula amal saleh dan
ilmu saja masih belum memadai, kalau tidak  ada  iman.  Memang
ada  orang  yang merasa cukup puas dengan ketiganya, tetapi ia
tidak sadar bahwa kepuasan dapat menjerumuskannya dan ada pula
yang  merasa  jenuh.  Karena  itu,  ia  perlu  selalu menerima
nasihat agar tabah dan sabar,  sambil  terus  bertahan  bahkan
meningkatkan iman, amal, dan pengetahuannya.
 
Demikian  terlihat  bahwa  amal  atau  kerja  dalam  pandangan
Al-Quran bukan sekadar upaya memenuhi kebutuhan makan,  minum,
atau  rekreasi,  tetapi  kerja  beraneka  ragam  sesuai dengan
keragaman  daya  manusia.  Dalam  hal  ini   Rasulullah   Saw.
mengingatkan:
 
     Yang berakal selama akalnya belum terkalahkan oleh
     nafsunya, berkewajiban mengatur waktu-waktunya. Ada
     waktu yang digunakan untuk bermunajat (berdialog)
     dengan Tuhannya, ada juga untuk melakukan introspeksi.
     Kemudian ada juga untuk memikirkan ciptaan Allah
     (belajar), dan ada pula yang dikhususkan untuk diri
     (dan keluarganya) guna memenuhi kebutuhan makan dan
     minum (Diriwayatkan oleh Ibnu Hibban dan Al-Hakim
     melalui Abu Dzar Al-Ghifari).
 
Demikian surat Al-'Ashr  mengaitkan  waktu  dan  kerja,  serta
sekaligus memberi petunjuk bagaimana seharusnya mengisi waktu.
Sungguh tepat imam Syafi'i mengomentari surat ini:
 
     Kalaulah manusia memikirkan kandungan surat ini,
     sesungguhnya cukuplah surat ini (menjadi petunjuk bagi
     kehidupan mereka).[]
 
----------------
WAWASAN AL-QURAN
Tafsir Maudhu'i atas Pelbagai Persoalan Umat
Dr. M. Quraish Shihab, M.A.
Penerbit Mizan
Jln. Yodkali No.16, Bandung 40124
Telp. (022) 700931  Fax. (022) 707038
mailto:mizan@ibm.net

Indeks Islam | Indeks Quraish Shihab | Indeks Artikel | Tentang Penulis
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

Please direct any suggestion to Media Team