Keamanan Sosial atas Sumber Penghidupan Manusia (2/9)

Dr. Muhammad Emarah

 

Indeks Islam | Indeks Artikel | Tentang Penterjemah
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

 

Pandangan Islam tentang kekhalifahan dan istikhlaf ini --dalam sisi filosofisnya, apalagi sisi harta dan penghidupan-- adalah bagian dari sumber-sumber keamanan sosial manusia. Karena kekhalifahan manusia yang dianugerahkan oleh Allah SWT itu, bermakna adanya asosiasi dan hubungan manusia dengan Kekuatan Yang Maha Agung, Yang mengatur seluruh wujud ini. Dengan hubungan ini, manusia tidak berdiri seorang diri dalam menghadapi bahaya dan tantangan yang ada. Tidak seperti yang terjadi pada orang yang menyangka dirinya adalah penguasa wujud ini; ia kehilangan hubungan dan asosiasinya dengan Kekuatan yang mengatur seluruh alam dan yang membimbingnya dalam menghadapi sesuatu yang tidak diketahuinya, dan memberikannya pengetahuan tentang yang ghaib dan apa yang tidak dapat dicapai oleh akalnya semata.

Keimanan sang khalifah atas rambu-rambu jalan yang diletakakn oleh Sang pemberi amanah kekhalifahan, yang ditujukan untuk menuntun perjalanan hidupnya dan sebagai pemeliharaan dan koreksi-Nya terhadap ayunan langkah manusia di jalan kekhalifahan itu, adalah suatu asosiasi dan hubungan yang menghasilkan keamanan. Yang tidak dimiliki oleh orang yang berpendapat bahwa perbuatan Sang Pencipta hanya terbatasa pada tahap penciptaan saja, untuk kemudian membiarkan manusia berbuat sekehendak hatinya dalam wujud ini!

Di samping keamanan yang dihasilkan oleh insan Muslim dengan hubungan kekhalifahan dan istikhlaf itu, filsafat pola pandang Islam ini juga membuahkan sikap moderat dan pertengahan dalam bidang harta, kekayaan dan penghidupan manusia, jika dibandingkan dengan filsafat-filsafat sosial positivistis, dalam melihat hubungan manusia dengan kekayaan dan harta.

Kekayaan dan harta itu adalah ciptaan Allah SWT, yang disimpan oleh Allah SWT dalam alam ini, dan kemudian dianugerahkan kepada manusia.

Dia telah menundukkan pelbagai macam kekuatan alam dan energi untuk kepentingan manusia, sang khalifah. Dengannya manusia dapat hidup lebih baik, dan membantunya untuk menjalankan amanah membangun dan meramaikan bumi ini.

Sesuai dengan filsafat istikhlaf (pendelegasian wewenang kekhalifahan), pemilik yang sebenarnya dan pemilik langsung atas semua barang dan kekayaan di dunia ini adalah Sang Penciptannya, Allah SWT, yang memberikan dan menganugerahkannya kepada manusia..

Dengan istikhlaf itu pula, terletak hubungan manusia dengan harta kekayaan, yaitu sebagai pemegang wewenang kekhalifahan. Ia mempunyai wewenang yang dibatasi oleh aturan dan batasan pemegang kekhalifahan, yaitu batasan syari'ah Ilahiah. Kekuasaan dan kepemilikan yang ia pegang adalah kepemilikan majazi, kepemilikan manfaat saja, untuk dikembangkan dan dipergunakan.

Karena istikhlaf ini hanya diberikan kepada manusia, manusia manapun, maka hak-hak kepemilikan atas kekayaan dan harta yang diberikan kepada manusia adalah untuk manusia seluruhnya. Atau, dalam topik kita ini, dengan kata lain adalah umat. Bukan semata untuk "sesosok individu", juga bukan untuk "kelas tertentu" dan bukan pula untuk suatu kelompok manusia tertentu.

Teori istikhlaf ini, yang mencirikan pandangan Islam yang moderat dalam kepemilikan dan hubungan manusia dengan kekayaan dan harta, telah memberikan pula ciri sikap khas pandangan Islam tentang siapa "pembawa misi kemajuan" itu? Ia bukanlah sesosok "individu", seperti Fir'aun atau Qarun, juga bukan suatu "kelas" tertentu, kelas borjuis atau proletar. Dalam Islam, pembawa misi itu adalah umat/masyarakat secara kolektif. Karena Islam adalah agama bagi seluruh manusia. Dengan bertolak dari keyakinan bahwa makhluk yang diberikan wewenang kekhalifahan itu adalah manusia. Manusia telah diberikan wewenang untuk membangun bumi ini, sesuai firman Allah SWT:

"Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi" [Al Baqarah: 30].

Manusia --dalam hal ini umat-- juga diberikan wewenang untuk memegang kekayaan dan harta:

"dan nafkahkanlah sebagian dari hartamu yang Allah telah menjadikan kamu menguasainya" [Al Hadiid: 7].

Dari dimensi filsafat kekhalifahan Ilahi yang diberikan kepada manusia untuk memegang kekayaan dan harta itu, Al Qur'an menggunakan istilah "hak" bagi orang-orang yang tidak memiliki harta, yang berada pada orang-orang yang memiliki harta:

"dan orang-orang yang dalam hartanya tersedia bagian tertentu, bagi orang (miskin) yang meminta dan orang yang tidak mempunyai apa-apa (yang tidak mau meminta)" [Al Ma'arij: 24-25].

Bahkan kita temukan, sosok jama'ah atau umat ini, dalam pandangan Islam dilihat sebagai suatu sosok tubuh yang satu. Yang memiliki anggota tubuh yang bermacam-macam, dan berbeda kekuatan dan kemampuannya masing-masing, serta berbeda pula kebutuhan anggota-anggota tubuh itu. Namun dengan tubuh yang bersatu, dan anggota tubuh yang saling bantu-membantu.

Ada puluhan ayat Al Qur'an dan hadist Rasulullah Saw yang menjelaskan tentang sosok ini, yang anggota-anggotanya saling berinteraksi dengan baik dan saling bantu-membantu..Diantaranya adalah:

"Sesungguhnya (agama tauhid) ini adalah agama kamu semua; agama yang satu dan Aku adalah Tuhanmu, maka sembahlah Aku"[ Al Anbiyaa: 92].

"Sesungguhnya (agama tauhid) ini, adalah agama kamu semua, agama yang satu dan Aku adalah Tuhanmu, maka bertakwalah kepada-Ku" [Al Mu'minuun: 52].

"Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dengan dia adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka, kamu lihat mereka ruku' dan sujud mencari karunia Allah dan keridhaan-Nya, tanda-tanda mereka tampak pada muka mereka dari bekas sujud. Demikianlah sifat-sifat mereka dalam Taurat dan sifat-sifat mereka dalam Injil, yaitu seperti tanaman yang mengeluarkan tunasnya maka tunas itu menjadikan tanaman itu kuat lalu menjadi besarlah dia dan tegak lurus di atas pokoknya; tanaman itu menyenangkan hati penanam-penanamnya karena Allah hendak menjengkelkan hati orang-orang kafir (dengan kekuatan orang-orang mu'min). Allah menjanjikan kepada orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang saleh di antara mereka ampunan dan pahala yang besar" [Al Fath: 29].

Dalam penjelasan Nabi atas ajaran Al Quran itu, Rasulullah Saw bersabda: "Perumpamaan kaum Mu'minin dalam cinta dan kasih sayang di antara mereka adalah seperti tubuh yang satu, yang jika salah satu bagian tubuh mengalami sakit, maka seluruh anggota tubuh akan turut tidak dapat tidur dan merasakan demam." [Hadits diriwayatkan oleh Bukhari, Muslim dan imam Ahmad]

Solidaritas sosial Islam ini, yang mencerminkan suatu sistem yang membangun hubungan interaksi, solidaritas, tolong menolong, dan gotong royong dalam seluruh sektor kehidupan bagi seluruh anggota masyarakat manusia itu, berdiri di atas kaidah Islam yang general. Yaitu kaidah iradah Allah SWT untuk mengadakan keseimbangan dan equilibrium di antara individu, kelas, kelompok masyarakat, dan suku-suku yang menjadi elemen bangunan masyarakat dan umat. Sebagaimana terciptanya keseimbangan antara anggota tubuh yang satu, meskipun berbeda-beda kemampuan, kekuatan, tugas dan kebutuhannya, dengan kehidupan yang satu, dan kesatuan hidup bagi tubuh ini; tercipta pula keseimbangan antara individu umat, kelas dan lapisan sosiallnya dengan solidaritas sosial ini, yang mewujudkan kesatuan dan keseimbangan di antara elemen-elemen bangunan masyarakat Islam itu.

Allah SWT telah memonopoli sipat keesaan. Tidak ada makhluk yang menyerupai-Nya. Seluruh apa yang selain-Nya, berdiri di atas aturan berpasang-pasangan. Oleh karena itu, filsafat Islam, dalam mewujudkan keadilan dan hubungan yang sehat di antara suami-istri dan antara orang-orang yang berbeda kecenderungan, kemaslahatan, tujuan dan kebutuhannya, adalah dengan menciptakan keseimbangan kecenderungan, kemaslahatan, tujuan dan kebutuhan manusia, serta mewujudkan hubungan solidaritas yang menganyam kesatuan masyarakat. Sehingga kontradiksi dan perbedaan kepentingan antar individu tidak menjadi faktor yang membawa masyarakat kepada benturan dan kehancuran.

Keadilan Allah adalah "al Mizan" yang diturunkan-Nya bersama dengan Al Kitab (Al Quran), untuk mengatur seluruh urusan kemasyarakatan. Dan di antaranya adalah urusan-urusan masyarakat manusia:

"Allah-lah yang menurunkan kitab dengan (membawa) kebenaran dan (menurunkan) neraca (keadilan). Dan tahukah kamu, boleh jadi hari kiamat itu (sudah) dekat?." [Asy Syuuraa:17]

"dan telah Kami turunkan bersama mereka Al Kitab dan neraca (keadilan) supaya manusia dapat melaksanakan keadilan." [Al Hadiid: 25]

Perwujudan solidaritas sosial dalam kekayaan, harta dan penghidupan adalah tanda bagi masyarakat yang mengimani keseimbangan Ilahi ini dalam hubungan manusia --sang khalifah-- dengan kekayaan dan harta, yang dititipkan oleh Allah SWT.

* * *

(sebelum, sesudah)

dari buku: Islam dan Keamanan Sosial
Penulis: Dr. Muhammad Imarah
Penerjemah : Abdul Hayyie al Kattani
Penerbit : Gema Insani Press, Jakarta, 1999.

 

Indeks Islam | Indeks Artikel | Tentang Penterjemah
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

Please direct any suggestion to Media Team