Dikotomi Sunni-Syi'ah
Tidak Relevan Lagi (2/3)

oleh Jalaluddin Rakhmat

 

Indeks Islam | Indeks Artikel
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

 

TANYA: Tetapi, lepas dari definisi Syi'ah yang agak ketat, bagaimana sebenarnya perkembangan Syi'ah di Indonesia secara umum?

JAWAB: Di sini saya ingin membagi babakan penyebaran Syi'ah di Indonesia dalam tiga gelombang. Gelombang pertama adalah gelombang sebelum peristiwa RII. Saya punya bukti kuat bahwa sebelum Revolusi Islam Iran (RII) Syi'ah sudah ada di Indonesia. Baik Syi'ah Imamiyah, Zaidiyah maupun Isma'iliyah. Tetapi waktu itu Syi'ah sangat eksklusif. Mereka tidak punya semangat misionaris untuk menyebarkan ajarannya kepada orang lain. Mereka menyimpan itu sebagai keyakinnya sendiri. Di luar itu, mereka menjadi pengikut Ahlu Sunnah, berakomodasi dengan lingkungan. Boleh jadi di antara mereka adalah ulama-ulama besar yang dikenal dengan ulama Sunni.

Mereka menyimpan keyakinan itu hanya untuk diri mereka sendiri dan mungkin untuk keluarga yang sangat terbatas. Kita menduga mereka tidak hadir di tengah-tengah kita. Kita menduga bahwa tidak ada Syi'ah sebelum RII. Paling tidak, saya tidak menduga bahwa sebelum RII itu ada Syi'ah. Ada seorang al-Muhdor, salah satu famili arab yang terkenal. Al-Muhdor tampaknya adalah keluarga yang memelihara Syi'ah itu khusus untuk keluarga mereka. Mungkin secara sedikit-sedikit mereka menyebarkan ajarannya lewat orang-orang terdekat.

Setelah RII, masuklah Syi'ah gelombang kedua. Gelombang kedua ini ditandai dengan sifatnya yang intelektual. Orang-orang yang simpatik terhadap Syi'ah ini kebanyakan berasal dari perguruan tinggi. Kebanyakan di antara mereka juga tertarik kepada Syi'ah sebagai alternatif terhadap pemikiran-pemikiran Islam yang ada. Waktu itu, ketika banyak orang tertarik kepada Teori Kritis, tertarik kepada kelompok Neo Marxian, sebagian orang Islam menemukan hal yang mirip dengan itu pada pemikiran-pemikiran Syi'ah, seperti pemikiran Ali Syariati. Konsep-konsep 'kiri', seperti orang-orang tertindas, atau struktur yang korup, memperoleh padanannya dalam Islam pada istilah-istilah mustadh'afin, pada misi para nabi untuk menentang para tiran. Dan yang dengan jernih menyampaikan persoalan itu adalah para pemikir Syi'ah.

Karena itu, banyaklah orang yang tertarik kepada Ali Syariati. Orang cerita tentang mazhab Qum di samping mazhab Frankfurt, untuk kritik-kritik sosial. Tetapi kemudian, dari Ali Syariati mereka masuk pada pemikiran-pemikiran yang lebih mendalam, misalnya, pemikiran Muthahhari, Thabatabai, dan belakangan mulai populer juga pemikiran Mulla Sadra. Saya sepakat dengan Martin van Bruinessen yang menulis bahwa salah satu sumbangan Syi'ah gelombang kedua ini adalah kontribusinya pada kekayaan wacana intelektual Islam di Indonesia. Salah satu yang mereka sumbangkan adalah pemikiran filosofis pasca Ibnu Rusyd. Dulu, kalau belajar filsafat Islam, orang-orang tersebut mengakhiri pelajaran itu pada Ibnu Rusyd. Setelah kedatangan Syi'ah, kita diperkenalkan pada tradisi filsafat yang terus berkembang. Kalau kata Corbin, filsafat Islam itu justru dimulai setelah kematian Ibnu Rusyd dan mencapai puncaknya pada Mulla Sadra.

Jadi, orang-orang yang pertama kali tertarik kepada Syi'ah adalah kelompok-kelompok yang terdidik, yang intelektual. Mereka lebih tertarik kepada pemikiran Syiah ketimbang pada ritus-ritus atau fiqihnya. Kalau kita buat statistik, dari segi struktur sosial, para penganut Syi'ah itu berasal dari kelompok menengah ke atas, kebanyakan mahasiswa dan orang-orang perguruan tinggi. Dari segi mobilitas, banyak di antara mereka itu yang punya akses kepada hubungan Islam internasional. Dari segi ideologis, mereka cenderung radikal. Mereka lebih mirip dengan --atau padanan dari-- kelompok Neo-Marxian, Teori Kritis atau kelompok 'kiri' di dunia Islam atau di kalangan Islam.

Kemudian, belakangan, Syi'ah mulai menyebar di Indonesia dan mendapat reaksi keras, terutama dari sementara kalangan Sunni. Ketika berhadapan dengan tuduhan-tuduhan Syi'ah, Syi'ah gelombang kedua ini berusaha menangkisnya. Karena serangan-serangan itu banyak ditujukan kepada akidah-akidah Syi'ah yang doktriner, bukan pada pemikiran yang intelektual, misalnya masalah imamah, maka mulailah Syi'ah gelombang kedua itu pun bergerak ke luar dari hal-hal yang intelektual dan memasukkan konsep-konsep imamah yang dijadikan serangan oleh orang-orang Sunni.

Ternyata kemudian, karena pertimbangan politik, dan karena pengaruh Saudi Arabia, buku-buku yang ditulis untuk menyerang Syi'ah menjadi lebih banyak. Isinya sekarang lebih mengarah kepada hal-hal yang bersifat fiqhiyyah. Jadi serangan-serangan beralih terhadap fikih Syi'ah, misalnya tentang mut'ah, sujud di atas tanah, atau yang lain. Serangan-serangan ini mendorong Syi'ah gelombang kedua ini untuk bergerak lebih jauh lagi dan lebih mempelajari fikih Syi'ah. Apa betul yang mereka tuduhkan itu? Menurut saya, ketertarikan kepada ritus-ritus Syi'ah, kepada fikih Syi'ah, itu lebih banyak terjadi karena 'provokasi' yang dilakukan oleh sementara ulama Ahlu Sunnah. Mereka akhirnya menemukan, ternyata fikih Syi'ah itu punya dasar dan argumen juga.

Pada akhir gelombang kedua ini, pemikiran Syi'ah di Indonesia sudah bergerak dari pemikiran yang murni intelektual ke arah yang lebih mendalam secara filosofis, dan pada akhirnya juga memasuki bidang akidah dan fikih Syi'ah. Nah, pada gelombang kedua inilah terjadi dialog-dialog yang tak jarang menimbulkan friksi yang tajam di berbagai tempat antara kalangan Syi'ah dan Sunni. Yang paling keras, saya kira, terjadi di Surabaya, ketika kelompok yang mengidentifikasi diri sebagai Syi'ah berhadapan langsung dengan kelompok yang mengidentifikasi diri sebagai Ahlu Sunnah. Saya kira, itu menandai perguliran pada gelombang berikutnya, yaitu Syi'ah gelombang ketiga.

Setelah Syi'ah menyebar di Indonesia, terutama dari segi pemikiran, pada akhir gelombang kedua itu kita melihat ada kebutuhan akan fikih Syi'ah. Orang ingin belajar fikih Syi'ah. Buku-buku yang masuk ke sini sangat sedikit yang berkaitan dengan fikih. Umumnya buku-buku yang bersifat pemikiran, sementara buku-buku fikih jarang. Padahal kebutuhan akan fikih itu mulai muncul, terutama karena serangan-serangan sementara kalangan Sunni terhadap fikih Syi'ah.

Ketika kebutuhan itu muncul, datanglah orang-orang Indonesia yang pernah dididik di Qum. Ada di antara mereka yang dididik sebelum RII. Fenomena itu juga membuktikan bawa Syi'ah sudah ada di Indonesia sebelum RII sekalipun. Buktinya orang Indonesia yang belajar di Iran sebelum RII. Kalau saya harus menyebut nama, contohnya adalah Ustad Umar Shahab. Ia belajar di Iran sebelum RII sampai sesudahnya. Tetapi Ustad Umar ini dulu masih masuk dalam Syi'ah gelombang pertama. Jadi, walaupun ia dididik di Iran, orientasinya intelektual dan tidak fiqhiyyah.

Gelombang ketiga ini ditandai dengan kehadiran alumnus-alumnus Qum yang belakangan (setelah Ustad Umar). Orientasi mereka fikih. Ketika mereka datang ke Indonesia, mereka memenuhi kebutuhan akan fikih ini. Mulailah mereka memberikan pengajian-pengajian Syi'ah di berbagai tempat. Syi'ah gelombang ketiga ini juga ditandai dengan semangat misioner yang sangat tinggi. Mereka pulang dengan romantisme lulusan-lulusan muda. Bukankah biasanya romantisme lulusan muda itu merasa terpanggil untuk menyelamatkan dunia, yang salah satu caranya ialah membawa orang kepada fikih Syi'ah. Maka mulailah mereka mengajarkan fikih Syi'ah ini di berbagai pengajian.

Tentu saja, boleh jadi karena pendekatan yang sangat fiqhiyyah itu, atau memang karena latar belakang pendidikan mereka, dimensi intelektual pada kelompok ini sangat kurang. Dan akhirnya, mereka merekrut dan membina Syi'ah yang juga dari kalangan yang tidak begitu terpelajar. Ada juga di antara mereka yang membina kelompok Syi'ah gelombang kedua. Tetapi akhirnya Syi'ah gelombang kedua ini kecewa, mungkin karena orientasi yang berbeda. Belakangan Syi'ah gelombang ketiga ini menganggap Syi'ah gelombang kedua itu sebagai bukan Syi'ah yang sebenarnya. Jadi. Kalau saya dimasukkan ke dalam Syi'ah gelombang kedua, maka mereka menganggap saya bukan Syi'ah. Di dalam wacana internal Syi'ah sendiri, sekarang ini terjadi serangan yang cukup kuat terhadap Syi'ah gelombang kedua itu. Boleh jadi karena mereka ingin menghadirkan dirinya sebagai pemimpin Syi'ah di Indonesia. Boleh jadi juga karena mereka meyakini asumsi-asumsi mereka bahwa orang seperti saya ini bukan Syi'ah, dengan definisi yang berbeda itu.

TANYA: Untuk waktu yang akan datang, kira-kira Syi'ah di Indonesia itu bagaimana?

JAWAB: Beberapa waktu yang lalu, saya diundang ke IAIN Ujung Pandang. Fakultas Ushuluddin IAIN Ujung Pandang mengadakan Seminar Nasional "Rekonsiliasi Sunnah-Syi'ah." Kira-kira enam bulan sebelumnya, saya juga diundang ke Universitas Hasanuddin Ujung Pandang untuk dialog Sunnah-Syi'ah. Penyelenggaranya adalah mahasiswa yang menyebut dirinya MPM (Mahasiswa Pecinta Mushalla). Dialog ukhuwah Islamiyah itu ditandai dengan kekerasan. Saya sebagai pembawa makalah dibantai, dicaci-maki. Saya sendiri tidak membalas. Menurut saya, ini sebetulnya gejala dari massa Syi'ah gelombang kedua, ketika terjadi konflik Syi'ah-Sunni yang cukup berat. Ini mirip sekali ketika saya berdiskusi dengan Pak Rasjidi di Pesantren Darunnajah. Biasanya saya tidak menanggapi diskusi yang seperti itu. Jadi, saya tidak menjawab. Suasananya sangat tegang.

Tetapi, awal Oktober 1995, ketika saya kembali ke sana lagi, seminar semacam itu dikunjungi oleh peserta yang jauh lebih banyak. Mungkin lebih dari 1000 orang. Suasananya sangat ilmiah. Tidak ada saling membantai, saling menyerang. Tetapi intinya, bagaimana setiap kelompok bisa belajar satu sama lain. Seakan akan ada pesan dari situ: Biarlah Sunni tetap Sunni. Syi'ah tetap Syi'ah. Hendaknya di antara kedua kelompok itu ada saling belajar satu sama lain. Saya sendiri membawakan makalah tentang apa yang bisa dipelajari dari Syi'ah oleh Sunni.

Saya menunjukkan bagaimana orang-orang Syi'ah sudah lebih dahulu belajar dari Sunni. Saya sebut antara lain Sayyid Ali Khameini, yang menjadi Imam Syi'ah sekarang ini, adalah penerjemah Kitab Fi Zhilal al-Quran ke dalam bahwa Persia. Kitab Ihya' 'Ulum al Din, tulisan Al-Ghazali, diberi syarh oleh ulama-ulama Syi'ah dan dipelajari di pesantren-pesantren mereka. Imam Khomeini menyebut Ibn Arabi sebagai salah seorang gurunya. Padahal Ibn Arabi adalah Syeikh Akbar kalangan Sunni.

Contoh lain, kalau kita pergi ke Qum, di situ ada pasar kitab. Walaupun tidak menghitung dengan cermat, saya bisa melihat bahwa 80% dari kitab yang ada di situ adalah kitab-kitab Ahlu Sunnah. Di kalangan Syi'ah tidak ada ketakutan untuk membaca kitab-kitab Sunni. Mereka sudah belajar tentang Sunni. Adalah giliran kita sekarang untuk belajar dari mereka, sehingga kehadiran kedua kelompok ini memperkaya wacana perbincangan kita.

Dari situ saya menyaksikan ada suatu perkembangan baru, khususnya untuk penyebaran Syi'ah. Kalau peristiwa di IAIN itu bisa dijadikan sebagai sebuah tonggak dalam perkembangan pemikiran Islam di Indonesia., maka saya berani mengatakan bahwa eksistensi Syi'ah sudah diakui. Kecenderungan untuk hidup secara damai antara Sunni-Syi'ah sudah tumbuh. Ini sebuah kecenderungan baru. Karena sebelumnya, pikirannya ialah bagaimana saling meniadakan, saling menafikan satu sama lain. Sekarang muncul upaya untuk saling memahami, saling menghormati dan saling belajar. Sebagian orang mungkin akan beranggapan itu pertanda bahwa sudah banyak sekali yang menjadi Syi'ah.

Dari indikator-indikator itu saya berfikir, mungkin pertanyaannya bukan apakah Syi'ah akan berkembang pesat di Indonesia, tetapi --lebih persis lagi-- apakah pemikiran Syi'ah akan mendapat tempat yang lebih luas di Indonesia. Dan untuk itu, jawabannya "ya". Karena, paling tidak, sekarang sudah ada pengakuan akan eksistensi mereka. Nanti penerusnya akan muncul. Bahkan bukan label Sunni dan Syi'ah saja. Sunni dan Syi'ah itu mungkin sudah tidak relevan lagi. Karena yang Sunni sudah sangat terpengaruh Syi'ah, yang Syi'ah juga sudah sangat terpengaruh Sunni.

Label Sunni dan Syi'ah itu mungkin hanya diletakkan pada tataran abstrak saja, pada tataran konsepsual saja. Pada kehidupan sehari-hari, mungkin pengelompokan menjadi kelompok Syi'ah dan kelompok Sunni tidak terjadi. Bahkan menurut saya, tidak bakal terjadi satu ormas Syi'ah. Atau saya bisa menduga, di masa depan, orang-orang Syi'ah akan terdapat pada setiap organisasi Sunni. Pada organisasi Sunni akan ada unsur Syi'ah, tanpa rasa risih. Mereka diterima hadir sebagai bagian dari umat Islam, sebagaimana juga sekarang telah ada saling melintas batas antara orang NU dan Muhamadiyah.

TANYA: Sementara ini, komentar pemerintah terhadap gerakan Syi'ah di Indonesia bagaimana?

JAWAB: Saya melihat ada toleransi dari pemerintah terhadap orang-orang Syi'ah. Sebab mereka melihat bahwa Syi'ah di Indonesia ini hanyalah Syi'ah intelektual. Jadi, mereka tidak merasa harus khawatir terhadap Syi'ah sebagai sebuah gerakan revolusioner.

TANYA: Mengenai fatwa dari MUI?

JAWAB: Memang ada fatwa dari MUI untuk berhati-hati terhadap Syi'ah. Tetapi untuk melarang Syi'ah tidak ada. Karena pada waktu MUI mengeluarkan fatwa itu (melarang) beberapa tokoh cendekiawan Islam di MUI keberatan. Sehingga akhirnya kata-katanya diperlunak: tidak lagi melarang, tetapi pokoknya harus mewaspadai aliran Syi'ah. Sekiranya nanti ada kecurigaan dari pihak pemerintah terhadap Syi'ah, saya menduga kecurigaan itu hanyalah akibat dari lobbying yang dilakukan oleh orang-orang yang anti Syi'ah. Jadi orang-orang yang anti Syi'ah itu berusaha memberikan gambaran tertentu kepada pemerintah, sehingga mereka kemudian mencurigai Syi'ah.

Sebagi contoh, beberapa waktu lalu di Semarang ada diskusi antara Depag dan ormas-ormas Islam. Setelah diskusi mereka mengajukan resolusi untuk melarang Syi'ah, khususnya di Jawa Tengah. Itu terjadi setelah ada peristiwa seorang ustad yang katanya mut'ah dengan beberapa orang muridnya di Sragen. Ustad itu, menurut saya, termasuk Syi'ah gelombang ketiga, yang lahir setelah hadirnya Syi'ah fiqhiyyah yang dibawa oleh sebagian lulusan Qum itu. Tetapi mereka sampai sekarang tetap merupakan minoritas.

Jadi, mayoritas Syi'ah yang ada di Indonesia sekarang adalah Syi'ah gelombang kedua. Sementara yang gelombang ketiga itu minoritas. Kalau saya berbicara dari segi pemerintah, Syi'ah gelombang kedua itu lebih mudah diterima oleh pihak pemerintah daripada yang ketiga. Tetapi, saya pikir, Syi'ah gelombang ketiga itupun hanya entry point saja. Pada waktu yang lama mereka akan lebih toleran. Aliran apapun dalam Islam, kalau orientasinya fikih, itu akan cenderung mendorong konflik. Konflik Muhammadiyah dan NU itu sebenarnya dari segi fikih. Jadi aliran apapun, kalau dasarnya fikih, akan melahirkan konflik.

TANYA: Mungkin Syi'ah gelombang ketiga yang sangat fiqhiyyah itu, yang menimbulkan kekhawatiran di kalangan orang-orang Sunni selama ini. Sebab, walaupun menurut Kang Jalal mereka itu minoritas, tetapi gerakan-gerakannya cukup eksklusif dan sekaligus agresif sehingga kelihatannya besar. Ini bagaimana menurut Kang Jalal?

JAWAB: Ciri setiap orientasi Islam yang bersifat fiqhiyyah adalah mendorong konflik dan cenderung eksklusif. Sebab fikih kemudian menjadi identitas golongan. Jadi, kalau fikih Anda sama dengan fikih saya, Anda satu golongan dengan saya. Kalau fikih Anda tidak sama, Anda di luar golongan saya. Fikih menjadi stempel kelompok. Menurut saya, hal semacam itu bukan terjadi pada Syi'ah saja, tetapi juga terdapat pada kelompok-kelompok harakah Sunni. Ia cenderung eksklusif kalau orientasinya fikih. Sekali lagi, yang eksklusif itu bukan hanya kelompok Syi'ah gelombang ketiga tadi, atau yang dibina oleh mereka, juga kelompok-kelompok harakah yang sekarang berada di universitas-universitas umum, misalnya di UI. Mereka juga cenderung eksklusif. Lalu mengapa mereka kelihatan lebih banyak, karena mereka cenderung konfrontatif. Di sana-sini bikin masalah. Kelihatannya memang banyak, tetapi secara statistik, jumlah mereka ini boleh dibilang negligible, bisa diabaikan. Saya pikir mereka tidak akan mewarnai Syi'ah di masa depan. Pada akhirnya mereka hanya akan termasuk kontributor, memberi nuansa fikih. Karena saya pikir itu pun diperlukan.

(sebelum, sesudah)


Catatan Kang Jalal
Visi Media, Politik, Dan Pendidikan (Hal: 433-460)
Editor: Miftah F. Rakhmat
Penerbit: PT Remaja Rosdakarya Bandung
Cetakan Kedua April 1998
(dari posting milis is-lam@isnet.org oleh Muhammad Syafei)
 

Indeks Islam | Indeks Artikel
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

Please direct any suggestion to Media Team