Dikotomi Sunni-Syi'ah
Tidak Relevan Lagi (3/3)

oleh Jalaluddin Rakhmat

 

Indeks Islam | Indeks Artikel
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

 

TANYA: Menyinggung buku-buku Syi'ah di Indonesia. Kita tahu bahwa banyak buku yang diterbitkan untuk meng-counter pemikiran Syi'ah. Sebaliknya, sekarang banyak juga buku yang apresiatif terhadap Syi'ah.

JAWAB: Kalau dari segi buku, saya kira yang sangat populer tentang Syi'ah adalah buku Dialog Sunnah-Syi'ah. Sesudah itu kemudian bermunculan buku-buku yang menyerang Syi'ah. Antara lain yang ditulis oleh Ihsan Ilahi Zahir, al-Tunsawi. Kemudian disusul dengan buku-buku yang ditulis orang Indonesia, antara lain ditulis Pak Rasjidi. Akan tetapi buku-buku itu lebih merupakan kumpulan kutipan dari buku-buku terjemahan. Lalu, pada saat yang sama, orang-orang Syi'ah juga menulis buku-buku. Umumnya, kalau kita menganalisis buku-buku itu, saya tidak menemukan buku Syi'ah yang khusus ditulis untuk menyerang akidah Ahlu Sunnah. Buku Ihsan Ilahi Zahir tidak memperoleh jawaban dari kalangan Syi'ah.

Mestinya ada buku yang membantah buku tersebut, sebagaimana orang Sunni pernah menulis bantahan terhadap Dialog Sunnah-Syi'ah. Orang-orang Syi'ah tidak menulis bantahan terhadap buku-buku yang menyerang mereka. Mereka masih tetap melanjutkan tradisi dialogis, bukan monologis. Misalnya, Penerbit Mizan kemudian menerbitkan buku Isu-Isu Penting Ikhtilaf Sunnah-Syi'ah. Saya membaca buku itu dan mendapat kesan bahwa pengarangnya tetap membawa misi persaudaraan Islam, walaupun di situ ia membela paham-paham Syi'ah.

Kemudian, belakangan mulai ada orang-orang Syi'ah --yang sulit didefinisikan itu-- yang menulis buku. Sebetulnya mereka tidak membela paham Syi'ah, tetapi dianggap membela Syi'ah. Misalnya, Ustad Hussen al Habsyi menulis buku kecil berjudul Rasulullah Tidak Bermuka Masam. Ia mempertahankan bahwa Rasulullah itu ma'shum, dan bahwa salahlah orang yang menuduh bahwa 'abasa wa tawalla itu ditujukan kepada Nabi. Itu keliru katanya, dengan keinginan untuk membela kesucian Nabi dengan argumentasi-argumentasi. Setelah itu muncul lagi buku kecil (kalau tidak salah judulnya Rasulullah Memang Bermuka Masam), yang membantah Ustad Hussein. Sayangnya beliau tidak menjawab lagi, karena meninggal dunia, bukan karena diserang buku itu.

Jadi, dialog terjadi dalam bentuk tulisan polemis. Menurut saya itu gejala yang sehat. Kita bisa melihatnya dengan gembira bahwa sekarang dialog-dialog itu sudah diangkat dari konflik-konflik yang bersifat fisik, ke arah dialog yang bersifat intelektual --lepas dari seberapa besar kualitas intelektualnya.

Contoh lain adalah buku saya Islam Aktual. Menurut saya, buku itu sama sekali tidak mencerminkan pemikiran Syi'ah secara khusus, tetapi lebih merupakan pemikiran yang dipengaruhi Syi'ah. Artinya tema-temanya adalah tema-tema umum yang bisa diterima oleh semua mazhab. Tidak ada fikihnya di situ. Tetapi sebagian orang menganggapnya buku Syi'ah. Ada seorang penulis buku dari Solo yang mengkritik buku saya. Judulnya --kalau tidak salah-- Santri Menjawab Kritik Cendekiawan. Jadi saya di anggap cendekiawan, dan penulis menyebut dirinya santri. Pokoknya ia mengkritik buku itu habis-habisan, walaupun kritiknya itu tidak relevan.

Pada perkembangan berikutnya, ada juga beberapa tulisan tentang Syi'ah yang sangat apresiatif terhadap pemikiran-pemikiran Syi'ah, atau sangat dipengaruhi oleh pemikiran Syi'ah. Tulisan-tulisan Sayyid Hussein Nasr, misalnya, juga memperoleh pembaca yang banyak.

TANYA: Mengenai hubungan antara Syi'ah di Indonesia dengan Syi'ah di pusat, di Iran. Apakah hubungan atau network itu ada.

JAWAB: Dulu tidak ada hubungan sama sekali, sampai dengan gelombang pertama dan kedua, baik secara organisatoris maupun hubungan sosial. Yang saya maksud dengan hubungan sosial itu begini. Dalam Syi'ah ada konsep marja'iyyah. Seorang Syi'i harus mempunyai seorang marja', seorang ulama yang diikuti dalam urusan fikih. Syi'ah-Syi'ah gelombang kedua itu tidak punya marja' tertentu. Pada Syi'ah gelombang ketiga masuklah para penyebar fikih Syi'ah. Sejalan dengan itu masuk juga sistem marja'iyyah. Hubungan Syi'ah dengan marja'-nya itu harus kita lihat sebagai hubungan sosial saja: seorang murid yang mengikuti gurunya, bukan hubungan organisatoris seperti anggota Muhammadiyyah. Jadi sewaktu-waktu ia bisa berganti marja', kalau menurut pertimbangannya bahwa marja' yang lain itu lebih masuk akal.

Di Indonesia, saya kira ada yang mengikuti marja di Iran. Ada juga yang mengikuti marja' di Irak. Ada beberapa Syi'ah yang mengikutinya, dan kerena mereka mempunyai marja', jadi hubungan sosial mereka hanya dengan kelompok-kelompok satu marja'

TANYA: Kang Jalal bisa cerita tentang proses belajar atau nyantri di Qum. Sebab ternyata banyak juga mahasiswa Indonesia yang ke sana. Juga mengenai beasiswanya, apa ada dari pihak Iran, misalnya?

JAWAB: Kalau Anda belajar di pesantren Iran, apakah Anda itu orang asing ataupun orang Iran, Anda akan mendapat santunan dari para ulama. Kalau di Indonesia santri yang bayar ulama, di Iran ulama yang bayar santri. Mereka diberi uang bulanan yang kecil, sekitar 50.000 rial. Cukuplah untuk makan yang sangat sederhana. Kemudian tinggal di pondok-pondok itu tidak bayar. Itulah yang mungkin kita sebut beasiswa. Beasiswa dalam benak kita hanyalah diterima sebagian murid. Kalau ini, seluruh murid yang ada di situ dapat uang bulanan.

Sebenarnya tidak ada prosedur resmi seperti beasiswa dari pemerintah Iran. Kalau saya ditanya apakah ada beasiswa dari pemerintah Iran untuk pelajar Indonesia, saya bisa menyebutkan dengan pasti, "Tidak. Tidak ada sama sekali". Saya dulu pernah ingin belajar di Iran, berharap dapat beasiswa dari pemerintah Iran, atau melalui kedutaannya di sini, tetapi tidak dapat. Saya bayar sendiri. Kemudian di sana, saya sebetulnya melamar ingin belajar teologi, dan sudah disetujui dan diterima oleh Prof. Mehdi Muhaghegh untuk mengambil program doktor di Universitas Teheran. Saya berangkat ke sana dengan biaya sendiri dan tinggal satu tahun. Setelah setahun, saya diberitahu bahwa saya sudah diterima di Universitas. Tetapi sayang, waktu itu saya sudah mengambil keputusan untuk pulang. Jadi saya tidak ambil.

Itulah proses birokrasi Iran. Dan itu menunjukkan betapa sulitnya memperoleh beasiswa dari pemerintah Iran. Lebih mudah memperoleh beasiswa ke Saudi atau ke Mesir ketimbang ke Iran. Hanya saja kalau ada orang yang punya maksud ingin belajar di Iran, itu gampang. Asal ia bisa bayar sendiri ongkos ke Iran. Secara teoretis begitulah, gampang. Namun, secara praktis di sana ia harus mengenal beberapa orang yang akan mengurusnya. Secara teoretis sederhana saja.

TANYA: Ini pertanyaan terakhir. Dalam konteks pembicaraan kita tentang Syi'ah di Indonesia, sebenarnya di mana posisi Yayasan Muthahhari yang Kang Jalal pimpin?

JAWAB: Yayasan Muthahhari tidak didirikan untuk menyebarkan Syi'ah --dan sampai sekarang lembaga ini tidak menyebarkan Syi'ah. Di situ ada SMU. Mereka belajar fikih empat mazhab (Syafi'i, Hambali, Maliki, Hanafi). Mereka tidak mempelajari fikih Syi'ah secara khusus. Dari Muthahhari juga keluar Jurnal al-Hikmah, yang banyak menerjemahkan pikirian-pikiran Syi'ah. Tetapi sekali lagi hanya bersifat pemikiran saja, fikihnya tidak ada. Belakangan al-Hikmah sedikit menampilkan pemikiran Syi'ah. Malah lebih banyak menampilkan pemikiran-pemikiran kalangan orientalis. Sehingga Yayasan Muthahhari, dengan melihat isi al-Hikmah seperti itu, layaklah disebut sebagai "agen zionisme Barat." Jadi mungkin lebih layak Muthahhari ketimbang Paramadina atau Ulumul Qur'an. Jadi itu yang pertama: Muthahhari tidak didirikan untuk menjadi markas Syi'ah.

Lalu, kalau begitu, mengapa diambil nama Muthahhari? Itu karena tiga pertimbangan. Pertama, Muthahhari itu seorang pemikir Syi'ah yang sangat non sektarian, yang sangat terbuka. Ia sangat apresiatif terhadap pemikiran Sunni. Ia tidak pernah menyerang Sunni. Ia lebih banyak belajar dari Sunni. Karena itu kita ambil tokoh Muthahhari sebagai tokoh yang bersikap non sektarian, terbuka terhadap berbagai pemikiran, bukan karena Syi'ahnya.

Kedua, Muthahhari itu adalah orang yang dibesarkan dalam sistem pendidikan Islam tradisional, tapi setidak-tidaknya cukup well informed tentang khazanah pemikiran Barat. Ia menjembatani dikotomi antara intelektual dan ulama. Kita pilih ia, antara lain karena pertimbangan itu, bukan karena Syi'ah. Karena misi Yayasan Muthahhari yang kedua adalah menjembatani antara intelektual dan ulama. Di Indonesia ini banyak cendekiawan yang menulis tentang Islam, tetapi tidak punya dasar dan tradisi Islam tradisional, sebagaimana juga banyak ulama Islam tradisional yang tidak mempunyai wawasan kemodernan. Muthahhari mencerminkan keduanya.

TANYA: Kalau itu alasannya, mengapa tidak dipilih Cak Nur saja yang lebih lokal? Toh iapun menggabungkan kedua tradisi itu. Ia juga nonsektarian, terbuka kepada berbagai pemikiran. Ia juga mewakili dua tradisi: Islam dan Barat.

JAWAB: Mengapa Cak Nur tidak dipilih? Itu karena ada pertimbangan ketiga, yakni, Muthahhari itu menggabungkan aktivisme dan intelektualisme. Selain seorang intelektual, pemimpin, dan penulis, ia juga aktivis. Seorang aktivis itu adalah seseorang yang punya misi untuk melakukan perubahan sosial dan misi-misi yang sangat konkret. Cak Nur, menurut saya, lebih banyak intelektualismenya ketimbang aktivisnya. Jadi kita ambil Muthahhari.

TANYA: Lalu, dimana posisi Muthahhari dalam penyebaran Syi'ah, atau di kalangan komunitas Syi'ah yang lain?

JAWAB: Dalam penglihatan saya, Muthahhari tidak mempunyai nama yang begitu baik di kalangan Syi'ah, khususnya yang gelombang ketiga. Tetapi ia masih tetap punya banyak massa yang bercorak gelombang kedua itu, yaitu orang-orang Syi'ah tertentu yang lebih tertarik pada hal-hal yang bersifat intelektual dan tidak bersifat fiqhiyyah. Muthahhari juga masih punya dukungan di kalangan mahasiswa, di kelompok-kelompok terdidik, karena dulu para pendukung Yayasan ini banyak yang berasal dari ITB dan Unpad. Mereka sekarang telah lulus jadi sarjana dan tersebar di berbagai tempat, tanpa membawa nama Syi'ah. Tetapi di kalangan Syi'ah yang belakangan, yang gelombang ketiga itu, Muthahhari tidak begitu oke. Bahkan, ada sekelompok Syi'ah di Jakarta yang mengecam Muthahhari dan mengganggapnya sebagai Syi'ah yang 'murtad,' di luar kelompok mereka.

(sebelum)


Catatan Kang Jalal
Visi Media, Politik, Dan Pendidikan (Hal: 433-460)
Editor: Miftah F. Rakhmat
Penerbit: PT Remaja Rosdakarya Bandung
Cetakan Kedua April 1998
(dari posting milis is-lam@isnet.org oleh Muhammad Syafei)
 

Indeks Islam | Indeks Artikel
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

Please direct any suggestion to Media Team