Fiqh Hak Cipta

 Aji Hermawan

Indeks Islam | Indeks Artikel


ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

From: Aji Hermawan <xxxxxxxxxxxxxx@student.umist.ac.uk
Subject: [ppi-uk] Fwd: [nu_uk] FIQH 'INTELLECTUAL PROPERTY RIGHTS'
Reply-To: ppiuk@yahoogroups.com
Hi,

Berikut ini sekedar tulisan saya yang menjiplak dari beberapa sumber yang terbatas tentang pandangan hukum Islam dalam intellectual property rights (IPR). Karena masalah ini sering ditanyakan dan diperdebatkan, terutama berkaitan dengan pembajakan software, saya mencoba melihat masalah ini dalam perspektif agama Islam. Maksudnya, Islam dalam perspektif saya pribadi, tanpa bermaksud mengatas namakan bahwa beginilah menurut Islam. Oleh karena itu segala kesalahan dan kekurangan yang ada di dalamnya adalah tanggung jawab pribadi. Oleh karena itu silakan dibantah, didebat, dan dikritisi.

Mohon maaf, bagi rekan yang beragama lain, bukan bermaksud untuk membicarakan yang khusus dalam forum bersama ini, topik ini bisa dijadikan topik bersama tanpa melihat latar belakang agama. Anggap saja ini cetusan dari seseorang dalam kacamata agamanya, dan silakan kalau rekan-rekan juga menambahkan dari perspektif yang lain, perspektif apa saja.

Secara ringkas tulisan ini mulai dari menguraikan hukum mencuri di dalam Islam, masalah hak-hak yang diatur di dalam Islam, apakah IPR termasuk dalam kategori mencuri, dan berbagai perdebatan tentang kemaslahatan IPR.

Salam
Aji Hermawan


FIQH 'INTELLECTUAL PROPERTY RIGHTS'

Saat ini pembajakan perangkat lunak, patent, lisensi, dan lain-lain merupakan salah satu masalah yang sering menjadi perdebatan. Apakah pembajakan terhadap apa yang sekarang ini disebut sebagai 'intellectual property rights' (IPR) merupakan tindak pidana pencurian di dalam hukum Islam? Tulisan ini mencoba untuk mencoba menjawab masalah tersebut dengan mengutip dari beberapa sumber. Karena saya bukan ahli hukum Islam, tulisan ini sangat terbuka dan perlu untuk dibantah dan dikritisi oleh siapa saja.

Secara ringkas tulisan ini menguraikan hukum mencuri di dalam Islam, masalah hak-hak yang diatur di dalam Islam, kedudukan IPR dalam hukum Islam, dan berbagai perdebatan tentang kemaslahatan IPR.

Hukum mencuri

Di dalam Islam, hukum mencuri ditegaskan di dalam Al-Quran:

'Laki-laki yang mencuri dan peempuan yang mencuri, potonglah kedua tangannya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. Allah Maha Perkasan dan Maha Bijaksana' (Q.S. Al Maidah (5) : 38 ).

Nabi Muhammad SAW juga pernah bersabda tentang bahaya mencuri bagi suatu masyarakat dan ketegasan hukumnya:

'Demi Allah! Kalau sekiranya Fatimah binti Muhammad yang mencuri, pasti akan kupotong tangannya.' (Riwayat Bukhari)

Ketegasan aturan mengenai 'mencuri' ini menunjukkan pengakuan Islam akan hak milik, perlindungannya, dan mengatur perpindahannya secara adil. (Tulisan ini tidak akan membahas apakah format hukum potong tangan harus dilakukan sekarang). Di dalam Islam, mencuri bukan hanya dianggap merugikan orang yang dicuri secara individual, tapi juga secara sosial masyarakat luas, sebuah bangsa, atau kemanusiaan itu sendiri. Bahkan secara vertical mencuri itu juga termasuk men-dholimi Allah SWT.

Hukuman potong tangan, yang sering dipandang sebagai tidak manusiawi bagi yang menentangnya atau sebagai hukuman yang serta merta dijalankan apa adanya bagi pendukung literalnya, pada prakteknya tidaklah dilakukan tanpa konteks. Para ahli hukum Islam sering mencontoh kisah yang terjadi dalam masa khalifah kedua Umar bin Khaththab yang tidak menghukum pencuri tapi justru mengancam akan menghukum yang dicuri atau tuan sang pencuri.

Misalnya, dikisahkan ketika suatu ketika terjadi paceklik, ada kasus pencurian yang dilaporkan kepada Umar untuk dihukum, tetapi Umar menolak menghukumnya, alasannya karena musim paceklik mungkin orang itu terpaksa mencuri karena takut mati kelaparan. Sebaliknya Umar malah pernah mengancam, "Kalau kamu terus menerus melaporkan pencuri hartamu padahal kamu kaya, malah nanti tangan kamu yang akan saya potong, karena kamu yang menjadi sebab orang ini lapar." Dalam kisah lain disebutkan ada dua orang hamba sahaja yang mencuri dari tuannya karena tidak diberi makanan yang cukup, Umar tidak menghukumnya, tapi justru mengancam akan memotong tangan tuannya. . Kisah serupa juga bisa didapati pada suatu kisah ketika beberapa budak milik Hathib bin Abi Balta'ah mencuri seekor unta kepunyaan tetangga, dan menyembelihnya. Umar bin Khattab menerima pengaduan tetapi tidak segera menjatuhkan hukuman melainkan lebih dahulu bertanya kepada budak-budak itu tentang sebab-musabab mengapa sampai mencuri. Ternyata mereka benar-benar terpaksa untuk mengisi perut karena ditelantarkan oleh majikannya. Umar benar-benar marah, Hathib segera dipanggil dan dipaksanya untuk mengganti unta yang dicuri budak-budaknya. Sementara budak-budak itu sendiri ia bebaskan dari segala tuntutan.

Ini menunjukkan bahwa dalam pelaksanaannya hukum itu melihat konteks atau pre-kondisinya. Setiap keputusan hukum memiliki apa yg disebut sbg 'illat (sebab, rasio-logis tentang kenapa hukum itu ditetapkan). Jadi kalau pre-kondisinya tidak terpenuhi maka hukum itu tidak bisa dijalankan.

Bahkan lebih jauh lagi, Yusuf Qardhawi dalam bukunya Malaamihu Al Mujtama' Al Muslim Alladzi Nasyuduh (ditermahkan dalam Sistem Masyarakat Islam dalam Al Qur'an & Sunnah), berpendapat bahwa pelaksanaan hukum Islam sebenarnya cenderung untuk menutupi dan memaafkan hukuman sebagaimana dikenal dalam kaidah popular "Dar'ul Hudud bisy-syubahaat", yang artinya menolak hukuman dengan adanya syubuhat (kemungkinan-kemungkinan untuk membatalkan). Ada sebuah hadist yang berbunyi:

"Tolaklah hudud itu dari kaum Muslimin semampu kamu, jika kamu mendapatkan jalan keluar untuk seorang Muslim maka lepaskanlah jalannya, sesungguhnya apabila seorang imam salah dalam memaafkan, itu lebih baik daripada salah dalam menghukum." (HR. Hakim)

Hadist ini diperkuat dengan hadist : "Tolaklah hudud itu dengan syubuhat."

Kasus pembebasan pencuri oleh Umar, menurut Qardhawi menunjukkan penerapan hal ini. Ini bukan bentuk mengugurkan hukuman tapi karena pre-kondisinya belum wajib untuk diterapkannya hukum itu. Seperti tidak wajibnya suatu perintah karena sebelum memenuhi seluruh rukun dan syaratnya.

Hak Milik Intelektual

Setelah sekilas kita membahas hukum mencuri, kita perlu membahas apa yang dimaksud dengan hak di dalam Islam. Berikut ini pandangan tentang hak Mustofa Zarqa' (dikutip, diringkas, dan diolah dari Pesantren Virtual: http://www.pesantrenvirtual.com). Hak didefnisikan sebagai "kekhususan yang diakui oleh syariat Islam, baik itu berupa otoritas atau pembebanan".

Dengan demkian ini mencakup antara lain

  1. Hak Allah yang dibebankan kepada hambanya, seperti shalat, puasa dan zakat;
  2. Hak sipil/privat seperti hak untuk memiliki atas benda
  3. Hak sosial, seperti hak orang tua kepada anak dan hak suami terhadap isteri;
  4. Hak publik, seperti kewajiban negara untuk melindungi rakyatnya;
  5. Hak yang berkaitan dengan harta seperti nafkah;
  6. Hak yang berkaitan dengan otoritas seperti perwalian
  7. Hak asasi yang mencakup hak untuk hidup bebas, dll.

Hukum Islam dalam kaitannya dengan hak, menetapkan langkah-langkah hukum sebagai berikut:

  1. Memberikan hak kepada yang berhak. Misalnya zakat harus diberikan oleh mereka yang berkewajiban kepada yang berhak. Sholat wajib dlakukan oleh mereka yg berkewajiban, ditujukan kepada Allah, dlsb.
  2. Melindungi Hak. Syariat Islam memberikan perlindungan hak dari segala bentuk penganiayaan, kecurangan, penyalahgunaan dan perampasan sepuluh abad sebelum deklarasi Hak Asasi Manusia. Perlindungan hak yang diberikan berupa perlindungan: jiwa (nyawa/fisik), akal, harta, nasab/keturunan, dan agama, atau yang biasa disebut maqaashid al-syariah al-khomsah. Imam Ghozali menambahkan hak untuk tidak dirusak kehormatannya (detailnya bisa dilihat pada buku Syathibiy 'Al-Muwafaqat').
  3. Menggunakan hak dengan cara yang sah dan benar. Setiap manusia diberi wewenang menngunakan haknya sesuai dengan yang diperintahkan dan diizinkan oleh syariat namun dalam menngunakan haknya tidak boleh melapaui batas dan tidak boleh menimbulkan kerugian padapihak lain, baik yang sifatnya personal maupun publik.
  4. Menjamin perpindahan hak dengan cara benar dan sah. Hukum Islam melindungi perpindahan hak melalui prosedur dan cara yang benar, baik itu melalui transaksi seperti jual beli, atau pelimpahan seperti dalam kasus jaminan hutang atau hak yang berkaitan dengan wewenang, atau berpindahnya hak perwalian dari orang tua ke anak sepeninggalan orang tua.
  5. Menjamin hangus/terhentinya hak dengan cara benar dan sah Hukum Islam melindungi hangusnya hak, atau terhentinya hak melalui prosedur dan cara yang sah, misalnya hangusnya hak suami isteri melalui perceraian atau pengguguran hak secara sukarela, seperti tidak menggunakan hak menuntut ganti rugi.

Setelah melihat jenis dan aturan mengenai hak lalu dimanakah letak hak milik intelektual. Apakah hak milik intelektual ini bisa disamakan dengan maal (harta) dan mengikuti hukum-hukum tentang harta. Tampaknya masalah ini adalah masalah yang relatif baru bahkan dalam dunia modern masalah ini adalah juga bukan masalah yang final. Bahkan masalah ini setiap kali muncul dalam forum-forum yang membicarakan perdagangan internasional, seperti di WTO (World Trade Organization).

Di dalam hukum Islam, karena tidak adanya dalil yang ekplisit yang membahasnya, maka sumber hukum yang digunakan biasanya adalah adalah maslahah mursalah (kemaslahatan umum), yaitu bahwa setiap sesuatu atau tindakan yang sesuai dengan tujuan syariat Islam, dan mempunyai nilai mendatangkan kebaikan dan menghilangkan kerusakan, hukumnya harus ditegakkan. Dengan kata lain, hukum harus diterapkan untuk memaksimumkan kebaikan dan meminimumkan kerugian bagi masyarakat.

Ketika kita berbicara 'kemaslahatan umum' maka mau tak mau kita bersentuhan dengan berbagai macam pandangan dalam apa yang disebut sekarang ini sebagai ilmu-ilmu sosial. Misalnya dalam ekonomi, kemaslahatan umum dalam kacamata ekonom neo-liberalist akan sangat berbeda dengan kemaslahatan umum menurut kelompok neo-Marxist. Bagaimana kemashlahatan umum menurut Islam? Karena ini sudah di luar atau tidak eksplisit dalam nash (dalil-dalil Quran dan Hadist), maka kita akan kesulitan menemukan pendapat yang agak definitive di dalam Islam. Kalau kita tidak bisa menemukan secara 'teoritis' pandangan Islam mengenai hal ini maka kita bisa menarik ke level yang lebih tinggi yaitu 'filsafat sosial Islam'. Namun kita juga akan keteteran mencarinya.

Yang mungkin terpenting agar kita bisa dengan mudah mengajukan 'pandangan Islami' atas berbagai fenomena social adaah mengembangkan 'Epistemologi atau paradigma Islam'. Dengan paradigma inilah kita bisa membedah setiap persoalan yang muncul dengan pisau yang sama. Masalahnya kita juga akan kesulitan menemukan itu. Ini adalah suatu PARADOX BESAR di dalam pemikiran Islam. Dimana kita sering mendengar teriakan-teriakan adanya perang pemikiran atau 'qhazwul fikr', padahal kalau kita masuk ke medan pertempuran itu kita tidak akan menemukan 'pemikiran Islam' yang sedang ikut berperang.

Agar tidak panjang-panjang membahasanya ke yang lebih rumit, kita balik saja lagi membahas pemikiran-pemikiran yang sudah ada tentang hak milik intelektual dilihat dari sudut kemaslahatan umum (dengan kacamata yg sudah ada saja).

Pendapat pertama, menyatakan bahwa hak milik intelektual (Intellectual Property Rights - IPR) itu harus dilindungi karena merupakan prasyarat inovasi dan pembangunan. Kalau tidak dilindungi maka orang akan malas menemukan sesuatu akibatnya inovasi terhambat, dan ujung-ujungnya kira-kira pembangunan akan terhambat pula. Kemakmuran bangsa akan berkurang dan ini jelas merugikan. Seorang penemu juga telah menginvestasikan waktu, tenaga, uang, dan sumberdaya lainnya, sehingga sangat pantas apabila apa yang sudah dikeluarkan itu dihargai.

Jika kita sepakat dalam pandangan ini, maka pencurian terhadap hak milik intelektual sama saja dengan pencurian terhadap hak-hak lain yang dilindungi. Islam jelas melarang tindakan zalim suatu pihak terhadap pihak lain.

Pendapat kedua, menyatakan bahwa hak milik intelektual ini justru merugikan kepentingan publik (kemaslahatan umum) karena akan semakin memperkecil hak-hak publik menjadi hak-hak private (individu atau perusahaan).

Pendapat yang menarik bisa dilihat pada tulisan George Monbiot, di Guardian, tanggal 12 Maret 2002, yg berjudul 'Patent Nonsense'. (akan saya forward). Dari tulisan itu kita bisa memahami bahwa rejim patent hanya menguntungkan segelintir perusahaan swasta bukan masyarakat umum. Dibuktikan pula melalui analisis sejarah ekonomi Erich Schiff, bahwa tidak benar bahwa kalau patent tidak dilindungi maka inovasi akan terhambat. Dicontohkan bahwa Swiss dan Belanda, adalah dua negara yang dalam sejarahnya tidak mau menerapkan undang-undang patent, banyak industrinya yang mencuri patent, namun justru saat itulah berkembang penemuan-penemuan dan perusahaan-perusahaan besar dari sana. Beberapa perusahaan Swiss seperti Nestle dan Ciba; juga perusahaan Belanda seperti Unilever dan Philips, adalah perusahaan yang tumbuh karena 'berkah' mencuri patent atau tidak adanya aturan patent itu. Namun perusahaan-perusahaan itu sekarang berbalik melakukan lobby-lobby untuk memperketat aturan patent.

Kalau kita mengikuti pendapat kedua ini, maka kita akan melihat betapa justru perlindungan hak milik intelektual ini justru akan merugikan masyarakat luas. Kalau merugikan, maka Islam justru harus membuat aturan akan kerugian masyarakat ini minimal.

Tarik menarik di antara dua kubu inilah, paling tidak, bisa memberi gambaran kepada kita bagaimana kita bisa pintar-pintar mengambil keputusan.

Kalau dikembalikan kepada hukum Islam maka kita bisa memakai kaidah: "Idza Taa'radal Maslahatan, Quddima A'dlamu huma" yang maksudnya apabila terjadi dua maslahat yang bertentangan, maka ambillah yang memiliki kemaslahatan yang lebih besar. Masalahnya lagi, yang lebih besar menurut siapa?

Dalam stuktur masyarakat seperti sekarang ini, perusahaan-perusahaan besar terus akan berjuang untuk mempertahankan dominasi mereka demi kemaslahatan mereka sendiri. Negara-negara kuat akan terus mengkhotbahkan perdagangan bebas agar produk-produk negaranya bisa menorobos masuk ke seluruh penjuru dunia, sambil mereka menutup rapat pasar dalam negerinya dalam bentuk subsidi, tariff dan non tariff barriers. Contohnya Amerika mengenakan tariff impor yang tinggi terhadap impor kapas hanya utuk melindungi petani kapasnya yg jumlahnya tidak sampai 25.000. Kalau Amerika mau membuka impor pasar kapasnya, maka nilainya itu jauh lebih tinggi daripada bantuan Amerika ke SELURUH negara Afrika. Tapi ia lebih senang 'membantu' negara-negara miskin di Afrika dan memproteksi pasar kapasnya, sambil berkhotbah kemana-mana tentang pentingnya 'liberalisasi perdagangan dunia' untuk kemaslahatan bersama, termasuk satu paket di dalamnya adalah TRIPs (trade related intellectual property rights). Ini baru contoh dari satu komoditi saja.

Saya pribadi memandang barang/konsep seperti 'intellectual property rights' dan konco-konconya (globalisasi, privatisasi, desentralisasi, bahkan ilmu-ilmu ekonomi yang melandasinya) bukanlah barang/konsep yang netral. Minimal untuk bisa menganggap netral atau polos perlu kita lucuti dulu 'pakaian kebesarannya'.

Selanjutnya terserah kepada kita, apakah menganggap Nabi Muhammad yang kita jadikan suri tauladan itu diutus kedunia untuk membela kaum mustadh'afien atau membela para pebisnis yang terus mengakumulasi keuntungan. Dengan kata lain Nabi itu 'The Prophet of The Oppressed' atau 'The Prophet of Private Profit'?

Salam
Aji Hermawan

 

Indeks Islam | Indeks Artikel
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

Please direct any suggestion to Media Team