Kehalalan Gudeg Jogya

dari homepage LPPOM-MUI

 

Indeks Islam | Indeks Artikel
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

 

Dengan ringan si penjual menjawab bahwa sudah biasa bagi penjual/bakul Gudeg Yogya bahwa setiap ayam yang dimasak untuk gudeg, ayam tersebut tidak disembelih, tetapi ditusuk dengan besi di bagian lehernya. Sedang darah yang keluar ditampung dan nantinya dicampur dengan santan untuk dicampur dengan gudek itu.

Daerah Istimewa Yogyakarta, selain terkenal dengan julukan kota pelajar, juga menyandang berbagai julukan lain seperti kota seni dan budaya, kota revolusi, kota sepeda, kota batik, juga sebagai kotak gudeg serta julukan lain yang merupakan cerminan dari hal-hal yang menonjol dari daerah tersebut. Dan itu tidak hanya populer di dalam negeri, tapi juga di manca negara.

Akan halnya gudeg, lauk pauk ini merupakan ciri khas kota tersebut. Bagi masyarakat Yogya sendiri, gudeg merupakan lauk pauk sehari-hari yang sulit ditinggalkan bersama nasi dan bubur. Sebenarnya dilihat dari bahan-bahan pembuatnya, gudeg nampaknya halal-halal saja. Bahan pokoknya adalah nangka muda (orang Yogya menyebutnya ghori) yang direbus hingga lunak, lalu diberi santan dan bumbu dapur tertentu ditambah daun melinjo.

Tetapi, pengalaman saya membuktikan bahwa gudeg bisa dikategorikan jenis makanan syubhat, bahkan haram. Saya berkenalan dengan lauk pauk yang rasanya manis ini, antara tahun 1981-1987 ketika saya berkuliah di salah satu perguruan tinggi negeri di kota tersebut. Waktu itu saya kost hanya dengan menyewa kamar dan makan di luar. Selama itu hampir tiap pagi saya sarapan nasi gudeg. Selain manis, juga gurih, dan tentu saja murah. Bahkan kalau pulang kampung, saya dan teman-teman kadang membawa oleh-oleh gudeg yang sudah dibuat tahan lama.

Selama beberapa tahun, saya menikmati gudeg tanpa ada rasa curiga atau berprasangka buruk tentang kehalalannya. Namun, pada suatu hari, ketika sedang membeli di warung langganan saya, saya melihat di tempayan (tempat gudeg diolah), ada kepala dan leher seekor ayam yang masih utuh (tidak ada bekas sembelihan). Lalu saya tanya kepada si penjual gudeg, apakah ayamnya tidak disembelih?

Dengan ringan si penjual menjawab bahwa sudah bisa bagi penjual/bakul gudeg bahwa setiap ayam yang dimasak untuk gudeg, ayam tersebut tidak disembelih, tetapi ditusuk dengan besi di bagian lehernya. Sedang darah yang keluar ditampung dan nantinya dicampur dengan santan untuk dicampur dengan gudeg itu. Dan justru darah inilah yang memberi rasa gurih dan meberi warna kecoklat-coklatan. Masya Allah.

Saya benar-benar terkejut, dan gudeg yang saya beli pagi itupun segera saya tinggalkan. Saya berusaha mencari informasi di tempat-tempat lain tentang bahan-bahan dan cara pembuatannya. Ternyata hampir semua jawaban sama, yaitu: ayamnya tidak disembelih, tapi ditusuk, darah ayam ditampung, lalu dimasukkan ke dalam gudegnya.

Pertanyaan kita, apakah semua penjual/pembuat gudeg melakukan hal yang serupa?

Wallaahua'lam. Dalam masalah ini sebagai konsumen Muslim, yang diperlukan tentu saja sikap jujur si penjual gudeg. Apakah ayamnya telah disembelih secara Islami dan otomatis darahnya tidak dicampurkan. Kita memang perlu bersikap hati-hati. Jangan karena gudeg yang sudah merakyat, lalu kita seenaknya saja mengikuti selera orang kebanyakan, padahal Al-Qur'an jelas-jelas melarangnya:

Allah mengharamkan atas kamu (makan) bangkai, darah,daging babi, dan apa yang disembelih dengan menyebut nama selain Allah (QS Al-An'am: 145)

Kiriman: Rusdi Suripno Siha, Jl. Wijaya Kusuma 95-A, Situbondo

(tanggapan)

Indeks Islam | Indeks Artikel
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

Please direct any suggestion to Media Team