Hukum Islam Untuk Zina

Pesantren Virtual - "Pondok Pesantren era Digital"
Website: http://pesantren.hypermart.net
Email: pesantren@mail.com

 

Indeks Islam | Indeks Artikel
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

 

Tanya:

Saya tertarik dengan kasus zina yang dilakukan oleh salah seorang TKW (Tenaga Kerja Wanita) Indonesia di Uni Emirat, Kartini. Banyak tokoh yang menyatakan pendapatnya mengenai kasus tersebut. Diantaranya adalah Ibu Menteri Khofifah yang lewat media massa meminta pemerintah Uni Emirat Arab tersebut untuk meninjau ulang kasus tersebut, dan sekaligus (kalau bisa) tidak melaksanakan hukuman rajam kepada Kartini. Sedangkan Bapak Alwi Shihab (Menlu RI) juga berupaya untuk meminta pengampunan.

Yang ingin saya tanyakan sebenarnya apakah hukuman untuk seseorang yang berbuat zina dalam Islam. Karena setau saya, memang hukuman rajam sampai mati adalah hukuman dalam Islam. Namun saya agak bingung karena dua tokoh yang saya sebutkan diatas adalah tokoh-tokoh Islam dari partai yang menjunjung Islam, berupaya meminta pengampunan untuk tidak dihukum rajam. Yang mana yang benar? Jika memang Kartini berzina, haruskah dihukum rajam? Dan apakah kalo ia telah melaksanakan hukuman rajam tersebut, keseluruhan dosa-dosanya (termasuk dosa selain zina) mendapat pengampunan dari Allah SWT? (karena menurut saya hukuman tersebut sudah sangat berat). Sebelum dan sesudahnya saya ucapkan banyak terima kasih.

Vivin,
Kebun Jeruk, Jakarta Barat.
Via email: <vivin@softhome.net>

Jawab:

Saya tidak tahu alasan kedua pejabat kita itu dalam permintaannya kepada pemerintah Uni Emirat Arab untuk mencabut hukuman rajam bagi Kartini yang katanya telah terbukti melakukan perzinaan di negara itu. Akan tetapi secara fiqhi (hukum Islam) permintaan itu saya kira dapat diterima dan hukuman rajam bagi Kartini dapat dibatalkan. Sebab hukuman-hukuman jenis hadd (hukuman yang telah ditetapkan ukurannya oleh agama, seperti potong tangan bagi pencuri dan cambuk atau rajam bagi pezina) harus selalu dibarengi dengan adanya pengamanan yang cukup terhadap perbuatan-perbuatan yang akan dikenai hukuman-hukuman tersebut, dalam arti masyarakat telah memberikan kepada pelaku perbuatan-perbuatan tersebut kesempatan untuk memenuhi kebutuhannya dengan cara-cara yang halal serta menutup peluang-peluang terjadinya cara-cara yang tidak halal itu.

Sebagai contoh, hukuman potong tangan tidak dapat diterapkan kepada pencuri yang kesulitan mencari makan, juga seseorang mencuri uang yang tergeletak di atas meja, misalnya, tidak disimpan di tempat yang semestinya. Yang pertama karena tertutupnya pintu halal dan yang kedua karena terbukanya pintu haram. Oleh karena itu, Khalifah Umar ra. tidak memberlakukan hukuman potong tangan ketika Madinah dilanda krisis makanan, beliau juga tidak membolehkan tentaranya pergi berjihad meninggalkan istrinya lebih dari empat bulan, sebab atas petunjuk putrinya Hafsah ra., seorang istri hanya mampu menahan kerinduan kepada suaminya dalam waktu paling lama empat bulan, jadi lebih dari itu akan menimbulkan kemungkinan-kemungkinan yang tidak baik.

Karena itu pula hukuman zina (cambuk dan rajam) saya kira tidak dapat diterapkan kepada pemuda yang kesulitan menikah, sementara pintu perzinaan terbuka lebar di hadapnnya. Hal ini tidak berarti lantas perzinaan itu diperbolehkan baginya, bagaimanapun zina atau mencuri tetap saja sebagai dosa besar, hanya saja tidak adanya pengamanan terhadap dosa besar ini tergolong sebagai syubhat (remang-remang), yaitu sesuatu yang membuat unsur-unsur suatu kejahatan kurang begitu jelas, dan dalam hukum Islam telah ditetapkan bahwa hukuman-hukuman hadd tidak dapat diterapkan kalau ada syubhat.

Nah.. dalam kasus Kartini, saya kira pengamanan terhadap zina itu belum ada, ia adalah TKW yang tinggal di negeri orang tanpa disertai pendamping (suami, mahrom teman-teman sesama perempuan) seperti yang diperintahkan oleh agama, perempuan pergi haji saja diwajibkan adanya pendamping, dan pendamping fungsinya jelas sebagai pelindung dan pengaman termasuk melindungi dari kemungkinan terjadinya perzinaan. Oleh karena itu, kasus Kartini hanyalah salah satu dari sekian banyak kasus serupa yang dialami oleh para TKW kita. Bedanya, kasus Kartini sampai ke pengadilan, sebab kesempatan untuk berzina baik dengan cara paksa atau suka sama suka sangat terbuka bagi mereka.

Dengan demikian bila negara-negara Arab mau menerapkan hukum cambuk atau rajam bagi para TKW kita maka sebelumnya harus mengikuti hukum Islam terlebih dahulu, yaitu mensyaratkan adanya pendamping bagi mereka, disamping tentunya mereka harus diberi tahu sebelumnya soal hukum dan undang-undang yang berlaku di negara majikannya itu.

Wallahu a'lam
KH. Mukhlas Hasyim, Lc (Dewan Asaatid Pesantren Virtual)


Date: Wed, 24 May 2000 22:54:34 -0400 (EDT) From: Pesantren Virtual <pesantren@mail.com> To: pesantren@egroups.com

Indeks Islam | Indeks Artikel
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

Please direct any suggestion to Media Team