"Kita Tidak Memerlukan Hadis"

oleh: Prof Dr Mohamad Shahrour
penterjemah: Mohamad Zaki Hussein

 

Indeks Islam | Indeks Artikel
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

 

Gaung nama Prof Dr Mohamad Shahrour di Tanah Air tidaklah sebesar Mohammed Arkoun atau Nasr Abu Zeyd. Tapi, dalam hal-hal yang kontroversial, intelektual asal Suriah ini tak kalah penting. Sekitar 15 buku berbahasa Arab telah ditulis untuk menanggapi dan menghujat pemikiran- pemikirannya. Peneliti ilmu-ilmu Al-Qur'an yang mengenyam pendidikan di Rusia (S1) dan Irlandia (S2 dan S3) ini memang memiliki beberapa karya monumental dan sekaligus kontroversial. Di antaranya, Alkitab wa Alqur'an: Qiraah Mu'asharah (1990) dan Al-Islam wa al-Imam: Manzumat al-Qiyam (1996). Dalam sebuah kesempatan pada Juni silam, koresponden UMMAT di Belanda, Moch Nur Ichwan, mewawancarainya seputar pemikirannya.

Pandangan Anda terhadap perkembangan tafsir Al-Qur'an dewasa ini?

Sampai sekarang, kebanyakan kaum muslimin masih mendasarkan diri pada tafsir tradisional. Mereka mengadopsi dan menerima karya-karya itu karena mereka terpengaruh institusi religius resmi. Institusi ini, kenyataannya, tidak kompeten dalam melakukan pemahaman kontemporer terhadap Al-Qur'an

Apakah karya-karya tafsir klasik tidak lagi banyak bermanfaat?

Ya. Karena itu, kita melihat antagonisme antara apa yang dikatakan di mesjid, di dalam dakwah, dan apa yang ada di dalam kehidupan nyata. Apa yang terjadi dalam kehidupan nyata dengan apa yang dikatakan di mesjid-mesjid sangat berbeda.

Mereka kerap mengatakan masyarakat sekarang tidak kembali kepada Al-Qur'an dan Hadis. Mereka menjustifikasi bahwa sebagian besar masyarakat kita telah berbuat fasik. Hal ini dilakukan demi menjaga ajaran lama saja.

Metodologi modern sendiri, bagaimana?

Pendekatan modern muncul secara serius pada seperempat terakhir abad ke-20. Memang, kita bisa melacak sampai Muhammad Abduh dan Rasyid Rida. Namun, dibandingkan dengan karya-karya belakangan, karya Abduh itu tidak terlalu besar. Tugas kita adalah meninjau kembali prinsip-prinsip dasar. Prinsip akidah, prinsip fikih, dan bahkan semua prinsip.

Anda punya metode khusus dalam menafsirkan Al-Qur'an?

Ya. Saya berikan contoh: jika Tuhan menciptakan alam semesta, maka kita harus melihatnya pula dalam kitab suci. Artinya, kitab suci ini adalah "kitab tertulis" yang diciptakan oleh Tuhan, dan alam semesta adalah "kitab terbuka" yang diciptakan oleh Tuhan juga. Saya harus melihat bahwa pesan yang pasti adalah sama.

Apabila kedua kitab itu dari Tuhan, saya ingin melihat Tuhan di dalam keduanya. Kita tidak bisa, mengabaikan elektron di dalam kehidupan, meskipun kita tidak mendapati elektron dalam Qur'an. Kita harus menjadikan hal ini sebagai pertimbangan. Inilah metodologi saya.

Bisa diberikan contoh untuk metode ini?

Misalnya makna inzal dan tanzil dalam Al-Qur'an. Dalam Al-Qur'an disebutkan: "Inna nahnu nazzalna 'alaika al-Qur'ana tanzila." Dan, "Inna anzalnahu Qur'anan 'Arabiyyan."

Jika anda duduk di sini saat ini, berbicara melalui telepon ke suatu kota, gelombang (elektromagnetik) itu menuju satelit, lantas menuju kota tersebut. Transmisi ini terjadi di luar pikiran Anda. Secara objektif, fakta ini terjadi di luar diri Anda. Keberadaan gelombang di luar kesadaran, secara objektif, disebut "tanzil".

Dan ketika gelombang itu masuk dalam radio, dan dikonversikan dalam bahasa yang bisa kita pahami, ini adalah "inzal".

Ini adalah kunci teori pengetahuan. Al-Qur'an telah ditransmisikan "di luar" diri Muhammad, bukan dari pikiran Muhammad. Tetapi Al-Qur'an tidak dapat dipahami tanpa adanya inzal.

Bukankah apa yang sedang Anda jelaskan adalah teori linguistik?

Ya. Tapi saya memperhatikan bukan hanya bahasa. Bahasa hanyalah satu aspek. Sedangkan yang saya lihat adalah seluruh aspek "di dalam" bahasa.

Anda membedakan istilah "Hadis" dan "Sunnah"?

Sunnah adalah mengikuti Nabi Muhammad dan mengikuti mazhabnya. Dia telah menginterpretasikan Al-Qur'an dan Alkitab untuk orang-orang Arab pada abad ketujuh Masehi. Kita harus melakukan interpretasi itu sekarang. Bukan untuk meniru apa yang beliau katakan secara verbal. Bukan untuk meniru apa yang beliau interpretasikan untuk dirinya sendiri dan dunia Arab pada saat itu.

Kita harus melakukannya untuk diri kita sekarang. Sunnah adalah metode, bukan verbal. Sunnah adalah metode Nabi Muhammad dalam menghadapi dunia Arab pada abad ketujuh dengan sukses. Kita harus mengikuti jalannya, metodologinya, bukan kata-katanya.

Kita tidak memerlukan Hadis. Saya menolak Hadis, tapi tidak menolak Sunnah. Menurut ilmu ushul fiqh, Hadis adalah Sunnah. Menurut saya, Hadis bukanlah Sunnah.

Sunnah adalah bagaimana membuat proses bekerja setiap saat di dalam batasan-batasan (huduud). Karena, Nabi sendiri pun tidak melampaui batasan Allah (huduud Allah), yakni common sense atau akal sehat. Ini Sunnah.

Ijma berarti referendum, bukan referendum para sahabat Nabi. Kita tidak ada hubungannya dengan Abu Bakar dan Umar, atau sahabat Nabi lainnya. Kita berhubungan dengan ijma kita sendiri.

Bagaimana reaksi para pengkritik Anda selama ini?

Sekitar 15 buku ditulis untuk menyerang pemikiran saya. Mereka mengatakan saya murtad, kafir, setan, komunis, yahudi, dan berbagai macam sebutan buruk lainnya. Buku-buku itu ditulis oleh para shekh dan ulama. Barangkali jika ulama di Indonesia tahu, mereka juga akan ikut-ikutan mengecam saya.

Wawancara ini diambil dari majalah Ummat, No. 4 Thn. IV, 3 Agustus 1998/9 Rabiul Akhir 1419 H.


Date: Thu, 01 Jun 2000 18:23:56 +0700 From: Mohamad Zaki Hussein <zaki@centrin.net.id> To: filsafat <filsafat@onelist.com>, is-lam@isnet.org

Indeks Islam | Indeks Artikel
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

Please direct any suggestion to Media Team