Islam Substantif adalah Tegaknya Syariat Islam

oleh: Y Herman Ibrahim
(Pengamat sosial politik, tinggal di Bandung)

Indeks Islam | Indeks Artikel


ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

Kompas, Jumat, 13 Desember 2002   

ARTIKEL bertajuk Menyegarkan Kembali Pemahaman Islam tulisan Ulil Abshar Abdala adalah sebuah Penghinaan yang Nyaris Sempurna terhadap Islam.

Ulil dalam tulisan itu tidak hanya menghina Nabi Muhammad SAW, tetapi bahkan merendahkan Allah SWT dengan mengatakan tidak ada yang disebut hukum Tuhan, melainkan yang ada hanya nilai-nilai ketuhanan yang universal. Kesombongan Ulil sangat nyata dengan mengatakan Rasul Muhammad SAW sekadar tokoh historis yang harus dikaji dengan kritis. Bagi Ulil, Nabi tidak perlu jadi mitos yang dikagumi tanpa memandang aspek Muhammad Rasulullah sebagai manusia biasa yang juga banyak kekurangannya.

Tentu saja sebagai Muslim, saya sepakat bahwa seorang nabi dan rasul tidak perlu dijadikan mitos atau dikultus-individukan. Tetapi, penghormatan yang tinggi kepada Rasulullah Muhammad SAW didasarkan kepada kedudukan beliau yang dibedakan dari manusia lainnya, karena segala tindakan dan ucapan beliau selalu terjaga dari dosa (Al Quran Surat An Najm Ayat 2, 3, 4).

Penghinaan itu semakin komprehensif dan kafah ketika Ulil mengatakan bahwa, menurut dia, tidak ada hukum Tuhan dalam pengertian seperti dipahami kebanyakan orang Islam. Misalnya, hukum Tuhan tentang pencurian, jual beli, pernikahan, pemerintahan, dan sebagainya. Ulil juga menolak segala bentuk hukum Tuhan yang dia nilai sekadar cerminan budaya Arab. Jilbab, potong tangan, qishash, rajam, semuanya tidak wajib diikuti karena toh itu hanya ekspresi lokal partikular Islam di Arab. Ulil bahkan tidak setuju terhadap larangan kawin beda agama dalam hal ini antara perempuan Islam dan lelaki non-Islam. Bagi Ulil, hukum Tuhan itu tidak ada atau nonsens. Yang ada adalah seperangkat nilai-nilai Tuhan universal yang implementasinya diserahkan kepada manusia atas dasar konteks sejarah dan sosial.

Pendapat ini sangat berbahaya dan menyesatkan karena dua hal. Pertama, menempatkan aspek manusia sebagai faktor yang bisa menentukan segala-galanya adalah cara efektif pihak Barat dan musuh Islam untuk membuyarkan ukhuwah Islam. Kedua, penyerahan implementasi sepenuhnya nilai- nilai ketuhanan universal kepada kesadaran dan kemampuan akal berarti membangun mekanisme terbalik dalam sistem hukum Islam dengan menempatkan ijtihad di atas kebenaran Qurani serta keteladanan praksis dari Al Hadis.

Cara berpikir seperti ini sebenarnya bukan hal yang baru dalam sejarah Islam. Beradab-abad yang lampau golongan Mutazilah yang terkagum-kagum dengan filsafat Yunani menghujat kebenaran Al Quran dan praktik beragama yang dicontohkan oleh Nabi Besar Muhammad SAW.

BERPIKIR rasional tidak dilarang bahkan mencari ilmu pengetahuan hukumnya wajib. Tetapi, rasionalisasi Ulil dengan mengatakan hukum Tuhan itu tidak ada sungguh sebuah kesombongan luar biasa. Kata-kata itu menempatkan manusia dan akal manusia di atas segala-galanya melampaui hukum alam, padahal alam pun tunduk kepada hukum Tuhan.

Sebenarnya bagi kalangan Muslim (militan), kehadiran Islam liberal dan celotehan Ulil Abshar Abdalla tidaklah penting dan terlalu kecil untuk direspons. Eksistensi mereka hanya ada dalam wacana dan itu hak yang juga harus dihormati. Persoalannya muncul ketika wacana itu telah melampaui batas dengan menegasi bahkan menghina bagian yang paling peka dalam Islam, yakni Konsep Tauhid dan Pribadi Muhammad Rasulullah SAW. Ini mendorong reaksi dan memunculkan keyakinan baru bahwa kelompok ini sadar atau tidak telah menjadi bagian integral dari kekuatan global yang ingin menghancurkan Islam (Al Quran Surat Al Baqarah Ayat 120).

Dalam menegakkan syariat Islam dan melawan ketidakadilan struktural, kalangan Islam militan menghadapi front internal maupun eksternal. Tantangan dari dalam kalangan Islam sendiri menunjukkan indikasi bahwa kita sedang berada pada Fase Yaumil Furqan.

DALAM keadaan seperti ini, biarlah saya mewakili teman- teman untuk menyampaikan beberapa hal sebagaimana di bawah ini.

Pertama, harus ditegaskan bahwa kehidupan kemanusiaan tidak berada dalam ruang hampa. Dia tunduk kepada aturan dan hukum Allah. Jangankan alam semesta dan manusia yang tidak berdaya ini, bahkan sebutir debu pun dia terbang dan bergerak atas izin dan aturan Allah. Aturan Allah dalam Al Quran sebagai risalah yang dibawa dan diajarkan oleh Rasulullah Muhammad SAW ada yang bersifat tekstual, pasti, dan qathi yang tidak bisa ditawar-tawar. Tetapi, sebagian ayat-ayat Allah itu ada yang memerlukan penjelasan Al Hadis dan juga dalam konteks tertentu diperlukan mekanisme ijtihad. Meski demikian, eksistensi manusia dan nalar serta akal manusia memiliki keterbatasan dan tidak sepenuhnya mampu melakukan ijtihad. Karena itu, meskipun ijtihad itu bisa dilakukan secara individu, tetapi dalam praktiknya tidak seperti yang digambarkan oleh kalangan Islam liberal. Ijtihad memerlukan pengetahuan dan pemahaman yang luas dan mendalam atas substansi Al Quran dan Al Hadis. Selain itu, sebuah ijtihad yang disebarluaskan memerlukan legitimasi inter subyektivitas para ulama dan fuqaha. Itulah yang dinamakan ijma dalam mekanisme ijtihad.

Kedua, waspadai segala gerakan yang menggunakan simbol-simbol kemanusiaan, faham pluralisme untuk tujuan-tujuan tertentu. Dalam situasi seperti sekarang, di mana Islam dituduh sebagai sumber gerakan terorisme banyak kalangan Islam, khususnya mereka yang berada di lingkungan pesantren, merasa tertekan.

Saya ingin mengatakan bahwa apa yang disebut terorisme versi Barat adalah omong kosong belaka. Teror hanya mungkin dilakukan oleh orang atau kelompok yang berkuasa. Teror tidak mungkin dilakukan oleh orang atau kelompok yang tidak berdaya. Kalau Anda menginjak semut, itu adalah teror. Tetapi, jika semut menggigit Anda, itu hanya sebuah perlawanan kecil. Selama beratus-ratus tahun, teror oleh negara terus dilakukan terhadap masyarakat terjajah dan tertindas dan itu diderita oleh mayoritas umat Islam.

Ketiga, Ulil Abshar Abdalla terlalu kecil untuk dihitung dan dihadapi, tetapi tulisannya yang dibungkus dengan pengagungan nilai kemanusiaan dan penghargaan berlebihan terhadap akal telah tega menghina Islam dengan merendahkan Rasulullah Muhammad SAW. Hukum Allah bahkan dinafikan dengan seperangkat nilai ketuhanan yang membenarkan semua agama atas pertimbangan akal. Dengan mempertuhankan akal, semua agama dinyatakan baik dan benar. Ini sama dengan metodologi dakwah yang sangat disukai oleh Barat dan juga oleh negara. Yakni metodologi dakwah yang sama sekali dilarang berbicara ihwal khilafah, hijrah, dan jihad.

Saya ingin mengatakan bahwa umat Islam harus memperteguh keyakinan akidah dan memperkuat tauhid. Jika akidah dan tauhid kuat, niscaya akhlak pun akan baik dan benar. Dakwah yang langsung menyentuh moral dan akhlak tanpa memperkuat akidah dan tauhid ibarat upaya menyuburkan daun dan ranting sebuah pohon tanpa mempedulikan kondisi akarnya. Hanya pohon yang memiliki akar kuat akan memiliki batang, ranting, dan dedaunan yang kokoh.

Tiada Tuhan selain Allah, tiada agama selain agama Allah, dan tiada aturan selain aturan Allah. Hukum Allah itulah yang disebut syariah. Maka kalau ada yang bertanya apa itu Islam Substantif yang menolak Islam Simbolik, jawaban yang tepat adalah tegakkan syariat Islam dan jangan mereka-reka sendiri.

Y Herman Ibrahim, Pengamat sosial politik, tinggal di Bandung.

Indeks Islam | Indeks Artikel
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

Please direct any suggestion to Media Team