Menyegarkan Kembali Pemahaman "Kita" Terhadap Islam

oleh: Syamsi Ali
(Pemerhati masalah keislaman yang tinggal di New York)

Indeks Islam | Indeks Artikel


ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

Isu Kelima: Ketauladanan Rasulullah SAW

Penyataan Ulil sesungguhnya serba gamang dan serba tabrakan (kontradiktif). Di satu sisi diakui bahwa Rasulullah SAW adalah panutan (uswah) yang "harus" diikuti, namun di lain pihak Rasulullah dinilai sebagai sosok yang "banyak" kekurangan. Kalaulah Rasul itu adalah sosok yang "banyak kekurangan", maka kenapa "keuswahan/ketauladan" diharuskan ke beliau? Untuk apa beruswah ke pribadi yang banyak kekurangannya?

Saya pribadi, bisa menangkap niat baik dari Ulil dalam pemikirannya. Tapi tampak dengan jelas betapa Ulil "over confidence" dan "lepas kendali" dalam mengekspresikan idenya, sehingga yang sampai di permukaan justeru, disadari atau tidak, merupakan "humiliasi" (penghinaan) terhadap "Nubuwah" dan "Risalah" (kerasulan) seorang Muhammad. Menempatkan Muhammad pada posisi yang tidak "berhati-hati" atau tidak proporsional, hanya menjadi awal dari pengkhianatan kepada "risalah islamiyah" itu sendiri.

Muhammad SAW memang manusia biasa. Qul Innamaa ana basyarun mitslukum…saya kira Al Qur'an tegas dalam hal ini. Tapi yang menjadi masalah kemudian, ketika dengan sembrono dikatakan, bahwa karena Muhammad adalah manusia biasa maka dia "memiliki banyak kesalahan". Pernyataan ini saya anggap sembrono dan lancing, serta tidak diterima secara syar'I sekaligus juga kontradiktif dengan basis aqli. Secara syar'I, karena beliau adalah Rasul yang ma'shuum (terjaga, dan bukannya suci). Kema'shuman beliau tentu terkait dengan "kemurnian" wahyu yang ditablighkan (disampaikan). Artinya, secara logik tentu tidak bisa diterima jika Rasul itu banyak melakukan kesalahan, karena dengan demikian pasti melakukan juga "kesalahan-kesalahan" dalam menyampaikan wahyu tersebut. Sehingga dengan sendirinya dapat difahami kalau Ulil tidak mengimani "wahyu" secara utuh, karena memang dari sononya (perantaranya) memang dicurigai membuat banyak kesalahan.

Selain itu, salah satu tugas utama Rasulullah SAW adalah "mubayyin" dari wahyu yang diturunkan. Yaitu bertugas memberikan interpretasi, walau interpretasi ini, khususnya yang berkenaan dengan masalah-masalah duniawi yang tidak disebutkan secara "tegas" dalam wahyu, sangat kontekstual sifatnya. Jika Rasul berfungsi sebagai "mubayyin", namun pada saat yang sama banyak bersalah, akan ditempatkan di mana "confidence" keimanan kita kepada semua yang dituturkan?

Contoh negara Madinah adalah contoh idel pada masanya. Inipun diakui oleh Ulil dan orang-orang yang tidak mengimaninya sekalipun. Sejujurnya, secara mabda' Ulil setuju kalau negara Madinah bisa menjadi acuan dalam merancang sebuah negara ideal masa depan. Cita-cita dan values yang dikandung oleh negara Madinah merupakan ideal sebuah negara "modern" di masa depan. Tentunya, ketika berbiacara tentang negara Madinah, kita tidak berbicara tentang sistim transportasi dengan onta, atau situasi umum secara fisik. Tapi nilai-nilai dasar negara Madinah seharusnya sangat ideal menjadi acuan pembangunan negara yang menjadi cita-cita umat.

Dengan demikian, semangat untuk mengikuti kemajuan ala barat sekarang ini, tidak perlu dilakukan dengan mengingkari "Madinah" sebagai negara percontohan. Mencontoh negara Madinah merupakan ideal yang baik, dan saudah tentu dalam konteks kebutuhan hidup masa kini. Departemen Agama mengelolah perhajian, tidak perlu tentunya memelihara sebanyaknya keledai atau onta sebagai alat transportasi, melainkan mengembangkan teknologi pesawat terbang yang lebih canggih. Maksud saya, mari menghiasi dan meninggikan bangunan rumah kita, tapi tidak perlu merubuhkannya dari fondasi aslinya. Karena saya yakin, fondasi Islam inilah yang dapat menjaga kehidupan dari keruntuhan peradaban yang menyakitkan.

Isu Keenam: Wahyu dan Pemikiran

Wahyu dalam istilah Ulil ada dua macam; verbal dan non verbal. Intinya, wahyu verbal memang telah selesai, dan seolah dengan demikian, telah usanglah. Sementara wahyu non verbal, yaitu daya fikir/intelektualitas manusialah yang terus ada dan berkembang. Sehingga, secara tidak langsung, Ulil ingin mengatakan bahwa tanpa keimanan kita kepada wahyu (Al Qur'an) pun, kita bisa tertunjuki (guided) karena daya intelektualitas kita yang dinamis dan berkembang bekerja secara konsisten.

Ungkapan ini kelihatan cantik. Tapi nampak pula "kejahilan" sikap dalam berinteraksi dengan "Kitab Allah". Wahyu memang telah selesai. Meyakini ketidak sempurnaan penyampaian wahyu hanya ada pada kalangan masyarakat Syi'ah, yang menurutnya diteruskan oleh Imam-Imam yang ma'shum tersebut. Walau demikian, bukan berarti wahyu menjadi usang dan oleh karenanya digantikan posisinya oleh wahyu "non verbal" atau akal manusia.

Wahyu dan akal adalah dua sisi yang harus saling berinteraksi secara proporsional. Keberadaan wahyu tanpa didukung oleh akal, hanya akan menjadi bacaan penuh "berkah" yang kurang membawa "berkah" (makna hidup). Di bulan Ramadhan umat Islam berkali-kali khatam AlQur'an, namun bacaan itu tidak mampu manjadi "changing power" dalam kehidupan umat. Maka sebenarnya, wahyu dan kedinamisannya sangat terkait dengan akal pemikian kita. Wahyu pada dirinya dinamis, namun kedinamisan wahyu tidak efektif tanpa didukung oleh kedinamisan berfikir. Dan oleh karenanya, Al Qur'an mengatakan "Afalaa yatadabbaruuna al Qur'an am 'alaa quluubihim aqfaaluha" (Artinya, membaca Al Qur'an tanpa memahaminya dijuliki dengan ketertutupan jiwa).

Sebaliknya, proporsionalisasi akal manusia sangat ditentukan oleh wahyu dalam rangka pemahamanyang benar. Akal manusia, seringkali terkait oleh kepentingan-kepentingan "relatif" yang belum tentu merupakan kebaikan bagi manusia itu sendiri. Akal mangatakan, seseorang menikahi isterinya karena cantik misalnya. Bayangkan 20 tahun kemudian, akal mengatakan lain, bahwa isteri sudah mulai keriputan, barangkali masanya untuk mencari yang lebih segar?

Dari sini kelihatan bahwa sebenarnya antara kebenaran "mutlak" (wahyu) dan kebenaran "relatif" (akal) saling terkait dan tidak perlu saling meniadakan. Pada saat terlihat konflik antara keduanya, maka kebenaran relatiflah yang akan mencari alternatif kebenaran relatif yang lain lagi, karena itulah memang menjadi tabiatnya. Namun kebenaran mutlak tidak mungkin pernah berada pada posisi salah atau usang, karena itu berarti bukan kebenaran mutlak.

Dalam mengungkapkan makna "kebenaran", Ulil terlalu jauh "ngaco", sehingga secara tidak langsung, yang ingin dikatakan, sesungguhnya tidak perlu ada agama. Anda Hindu, Budha, Kristen, atau mungkin seorang Komunis, silahkan dan sama saja. Karena menurut Ulil, kebenaran itu tidak dilihat sumbernya tapi substansinya.

Ungkapan ini indah, tapi bisakah saya mengatakan, Ulil itu adalah seorang Komunis yang secara kebetulan punya fikiran yang sama dengan fikiran Islam? Atau kenapa kita semua perlu agama yang dibawa oleh para Rasul? Kenapa Allah harus mengutus para Rasul untuk menyampaikan, let say, agama-agama? Tidakkah cukup bagi manusia dengan perbekalan "akal"nya mencapai kebenaran yang dikehendakinya, atau kenapa kita tidak diciptakan saja, dan biarkan "akal" kita sendiri yang memproduksi kebenaran masing-masing? Nampaknya memang Allah "bersalah" menciptakan baju-baju yang berbeda, padahal isinya kan sama? Maka menurut Ulil, kini sudah masanya baju itu kita sobek bersama-sama, sehingga kita masing-masing satu dalam ketelanjangan (kesombongan?).

Isu Ketujuh: Islam dan Keadilan

Benar kata Ulil, keadilan itu memang menjadi "sentra" ajaran Islam. Shahadat kita juga bertujuan menegakkan keadilan dan hanya bisa ditegakkan atas dasar keadilan (shahidallahu annahu laailaaha illa Huwa….Qaaiman bil qisthi). Aspek-aspek ibadah demikian pula ditegakkan di atas dasar keadilan. Perhatikan shalat, dimulai dengan takbir dan diakhiri dengan salam. Artinya, shalat mengandung keadilan antara "'ubudiyah vertikal" dan "relasi horizontal". Khusyu' bertakbir tapi mengabaikan hak-hak manusia di sekeliling, tetap diancam dengan neraka 'Wael" (Al Maa'uun).

Namun dalam hal ini, Ulil sekali lagi gamang dan self kontradiktif dalam menyampaikan pemikirannya. Di satu sisi setuju agar kiranya Islam bisa menjadi "lokomotif" keadilan dalam masyarakat, namun pada sisi lain dikatakan bahwa Islam itu tidak punya hukum. Secara akal, pernahkah terbayangkan sebuah keadilan tanpa hukum? Untuk itu, Kyai Ulil, dihadirkannya "Ahkaan Syar'iyah" ini untuk menopang penegakan keadilan tadi. Cuma masalahnya memang, karena dalam persepsi Ulil yang terlalu "sesak nafas" oleh realita kehidupan umat, khususnya yang telah "memisrepresent" dan menyalah gunakan syari'ah", dan juga karena Ulil "silau" oleh kemajuan ala barat tentunya, menjadikannya seolah-olah ketika berbicara tentang syariat Islam, yang timbul di benak kemudian hanya "janggut", "Jilbab", atau mungkin hal-hal pidana; potong tangan, rajam, qishash, dll. Padahal sejujurnya, syariat itu jauh lebih luas dan dalam dari sekedar seperti itu. Sekali lagi, rajam, potong tangan, qishash, dan dll., adalah masalah yang kemudian timbul sebagai "akibat". Yaitu akibat yang ditimbulkan oleh kegagalan dalam menjalankan syariat Islam dalam masalah-masalah perekonomian dan sosial. Orang dipotong tangannya karena mencuri, dan biasanya (commonly) orang mencuri karena terdesak(??). Sehingga sesuai prosedur hukum, kalau memang seseorang mencuri karena terdesak yang pada umumnya disebabkan oleh "ketidak adilan", maka yang menjadi perhatian bukan potong tangannya, tapi masalah perekonomian. Umar mencontohkan seorang perempuan mencuri, justeru tetangganya yang dimarahi.

Sekali lagi, Ulil sangat sembrono menafsirkan "man araada dunya f'alaihi..dst…" dengan mengatakan bahwa manusia tidak perlu "hukum Tuhan". Dengan kata lain, manusia tidak membutuhkan Tuhan dalam hidup ini, karena sebenarnya dengan kekuatan intelektulitas manusia bisa menyelesaikan semua permasalahannya. Bahkan lebih "tajam" atau mungkin "arogan", Ulil mengatakan bahwa keyakinan kepada hukum Tuhan tidak lebih dari sebuah "pelarian" (eskapisme). Barangkali Ulil harus merenung sejenak kembali dengan pernyataan ini. Justeru saya yang melihat bahwa "pelemparan ide" Ulil ini merupakan pelarian (eskapisme) dari Psycho" silaunya terhadap kemajuan material ala barat. Keinginan Ulil untuk dianggap maju, dengan pengertian barat, mejadikannya malu-malu mengakui kebenaran agamanya. Sehingga agama menjadi relatif, dan sebenarnya agama tidak ikut campur menentukan benar atau tidak, bermanfaat atau bermudharat, dari suatu masalah. Akallah yang menjadi penentu segalanya.

Isu Kedelapan: Keragaman

Keinginan keras Ulil untuk mewujudkan idealnya dalam kehidupan menjadikannya bersikap lucu dan tidak konsisten. Di satu sisi, katanya, menghargai perbedaan karena perbedaan adalah sebuah keniscayaan. Namun di satu sisi, Ulil juga mengatakan "no we nor them", yang ada hanya "we all".

Betul, Islam mengajarkan universalisme. Islam mengatakan, manusia itu satu karena berasal dari Yang Maha Satu. Tapi dengan "hikmah" yang diketahuinya, Dia menjadikan manusia ini memiliki keragaman yang tidak terhitung. Keragaman suku, bangsa, rupa, bahasa, warna kulit, dan juga kecenderung dalam mengekspresikan "sense of divinity" (ketuhananatau keagamaan).

Ketika terjadi penggolongan "hizbu syaithaan" dan sebaliknya "hizbu Allah" maka sekali lagi, semua ini ditentukanh oleh kebenaran yang diyakini masing-masing. Ketika anda menanyakan kepada seorang Katolik, akankah seorang Muslim masuk Syurga? Dia dengan tegas akan mengatakan, saya diajarkan oleh agama saya bahwa yang tidak mengimani Yesus sebagai "penebus" tidak akan selamat (masuk neraka). Demikian, kalau anda bertanya pada seorang Muslim, yang mengimani Islam, bukan seorang Ulil yang mengambil keimananya dari semua sumber, akan mengatakan, siapa yang syirik kepada Allah dengan menyembah seorang Rasul bernama Isa, akan masuk neraka. Demikian seterusnya.

Dengan demikian, akan terasa mustahil untuk meniadakan perbedaan asuamsi ini, kecuali kalau memang kita telah mengidap penyakit kepura-puraan alias kemunafikan. Ketika anda hadir dalam dialog ketunanan, semua mengatakan bahwa Tuhan itu sama., dan oleh karenanya kita tidak perlu berbeda. Padahal, sejujurnya jika kita mengkaji agama masing-masing, ditemukan sebuah ketegasan dalam konsep keauhidan. Untuk itu, penafsiran ayat "Innaddina 'indallah al Islam" menjadi sangat rancu dan sangat sembrono.

Bagi saya pribadi, mari konsisten dengan adanya perbedaan atau keragaman ini. Namun keragaman atau perbedaan-perbedaan yang ada tidak dijadikan sebagai landasan permusuhan. Sebaliknya, meniadakan perbedaan sebenarnya justeru sebuah sikap yang menentang sunnah Tuhan, karena Tuhan sendirilah yang kemudian menciptakan perbedaan itu. "aw syaa Allah lahadaakum ajma'iin" (Kalau Allah berkehendak, niscaya Dia akan menunjukimu semua).

Agama yang dikehendaki oleh Ulil adalah agama yang tidak terikat oleh wahyu. Inti dari sebuah agama adalah "maslahah" yang sesuai kebutuhan. Dan untuk ini, rajanya adalah manusia sendiri bukan Tuhan. Dalam persepsi Ulil, sudah masanya "Maliki Yawmiddin" diganti dengan "Kitalah pemilik Hari Pembalasan" toh karena kita sendiri yag=ng menentukan benar atau salahnya suatu perbuatan. Sebagaimana berkali-kali disebutkan sebelumnya, hukum Tuhan itu tidak ada karena manusia sendirilah yang punya urusan. Akankah tidak lebih jujur, jika Ulil mengatakan bahwa Tuhan memang tidak diperlukan karena Tuhan hanya menjadi beban dalam hidup ini. Sehingga dengan pernyataan yang jujur seperti ini, akan ketahuan siapa sesungguhnya Ulil.

Bagi Muslim sejati, Islamlah yang akan membawa kepada kehidupan yang dinamis, bahagia dan penuh berkah. Itu karena wahyu yahg telah di bawa oleh Rasulullah SAW adalah acuan yang dinamis dengan didukung oleh akal pemikiran yang terbuka dan dinamis pula. Kemajuan pemikiran apapun yang dihasilkan oleh manusia, tidak akan kemana-mana, karena pasti sumber dan muaranya juga kembali kepada hukum yang mutlak, Hukum Tuhan. Sehingga mengingkari hukum tuhan adalah sama mengingkari "akal" kita sendiri karena keduanya saling terkait ibarat dua sisi mata uang.

Wamaa taufiiqii illa billah.
M. Syamsi Ali

(bagian pertama)

Indeks Islam | Indeks Artikel
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

Please direct any suggestion to Media Team