Cahaya

T. Djamaluddin
(Staf Peneliti Bidang Matahari dan Lingkungan Antariksa, LAPAN, Bandung)


Dalam arti fisis maupun kiasan, cahaya memegang peran penting bagi manusia. Dalam arti fisis, cahaya adalah bagian dari gelombang elektromagnetik yang sejenis dengan gelombang radio, infra merah, ultra violet, sinar-X, dan sinar gamma. Dalam makna kiasan, cahaya adalah petunjuk Allah.

Cahaya fisis di alam adalah bahasa universal yang dengan itu manusia bisa membaca ayat-ayat kauniyah. Dengan itu pula hakikat makluk Allah dapat kita kenal. Benda-benda langit bercerita hakikat dirinya dengan bahasa cahaya tersebut. Tentu ada juru bahasanya, astrofisika.

Matahari bercerita bahwa dirinya bersuhu permukaan sekitar 6000 derajat dari warna kuningnya. Bintang berwarna merah mengindikasikan bersuhu lebih rendah dan yang berwarna biru bersuhu lebih tinggi.

Galaksi berkisah bahwa dirinya sedang berlari menjauh dengan pergeseran spektrum cahayanya ke arah merah. Demikian juga pergeseran spektrum pada bintang-bintang menceritakan tentang rotasinya.

Ternyata 90% atau lebih materi di alam semesta tak memancarkan cahaya atau gelombang elektromagnetik lainnya. Itulah yang dinamakan materi gelap, antara lain Black Hole, objek "bintang gagal" (kerdil coklat), atau partikel-partikel subelementer. Hakikat materi gelap itu hanya diketahui dari isyarat-isyarat tak langsung.

Dalam bahasa tauhid, bercahaya atau tidaknya benda-benda langit bukan sekadar persoalan fisis, tetapi ada peran Allah. Allah adalah pemberi cahaya bagi langit dan bumi (QS 24:35). Cahaya-Nya berlapis-lapis, cahaya di atas cahaya.

Pada sisi lain Allah memberikan perumpamaan tentang kegelapan yang amat sangat hingga tak ada cahaya sedikit pun yang terpancar atau terpantul. Tanpa cahaya itu, tak satu benda pun akan tampak, termasuk tangan sendiri (QS 24:40).

Ungkapan Allah tentang cahaya alam semesta itu selalu dikaitkan dengan dimensi kemanusiaan. Dalam dimensi kemanusiaan, "cahaya" bisa bermakna sebagai "cahaya agama" atau hidayah. Dalam hal ini pun ada peran Allah. "Allah menunjuki siapa yang dikehendaki-Nya kepada cahaya" (QS 24:35). "Siapa yang tak diberi cahaya oleh Allah tiada baginya cahaya" (QS 24:40).

Namun, manusia dengan kalbunya bukanlah makhluk pasif yang sekadar menanti pemberian cahaya Allah. Ibarat astronom yang berupaya menangkap cahaya alam dengan teleskop besar yang sangat peka, manusia pun harus menggunakan kalbunya untuk menangkap cahaya Allah. Banyak sumber cahaya Allah. Hanya kalbu yang peka yang mampu menangkap sebanyak mungkin cahaya itu.

Sumber utama adalah Alquran yang merupakan cahaya yang diturunkan Allah (QS 64:8) yang dengan itu dibimbing-Nya hamba- hamba yang dikehendaki-Nya (QS 42:52). Alquran itu pula yang akan mengeluarkan manusia dari kegelapan aqidah kepada cahaya (QS 57:9).

Dengan cahaya itu bukan hanya terbimbing kehidupan kita di dunia, tetapi cahaya itu juga akan terbawa sampai akhirat. Allah mengungkapkan bahwa orang beriman kelak pada hari perhitungan akan diliputi dengan cahaya di sekelilingnya (QS 57:12).

Seperti halnya benda langit, tidak banyak manusia yang mendapat cahaya Allah. Maka beruntunglah orang yang mendapat cahaya Allah dengan kalbunya yang peka.


 T. Djamaluddin adalah peneliti bidang matahari & lingkungan antariksa, Lapan, Bandung.
 
Indeks artikel kelompok ini | Tentang Pengarang | Disclaimer
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

Dirancang oleh MEDIA, 1997-2002.
Hak cipta © dicadangkan.