Menyikapi Perbedaan Idul Fitri dengan Wilayah Arab

T. Djamaluddin
(Staf Peneliti Bidang Matahari dan Lingkungan Antariksa, LAPAN, Bandung)


Negara-negara Arab, seperti Arab Saudi, Irak, Yaman, dan Yordania mengawali Puasa Ramadan 19 Desember 1998, lebih awal daripada puasa di Indonesia. Itu berarti mereka pun akan beridul fitri lebih awal, Senin 18 Januari 1999.

Sebagian orang di Indonesia mungkin bingung menerima berita seperti itu. Apalagi pada saat puasa terakhir mendengar kabar di negara-negara Arab sudah beridul fitri. Haruskah membatalkan puasa karena berpuasa pada saat idul fitri itu haram?

Untuk menyikapinya setidaknya dua hal pokok perlu difahami. Pertama, perlu diklarifikasi penentuan awal Ramadan di negara- negara Arab. Kedua, berdasarkan argumentasi syariah, perlu diperjelas harus atau tidak kita mengikuti kesaksian mereka.

Ramadan dan Syawal 1419

Untuk mencari klarifikasi penentuan awal Ramadan di negara- negara Arab satu-satunya cara yang dapat kita lakukan adalah mengevaluasinya dengan hisab yang akurat. Jangan berharap mereka bisa dan mau memberikan penjelasan informasi rinci tentang kesaksian rukyatul hilal 18 Desember lalu. Mereka selalu mengklaim bahwa mereka menentukan awal Ramadan dan bulan-bulan lainnya semata-mata dengan rukyat, tanpa menggunakan hisab. Tetapi bagaimana prosedur pengamatannya, mereka tidak terbuka.

Ketika terjadi kontroversi penentuan hari wukuf 1410 H yang diumumkan Arab Saudi jatuh pada 1 Juli 1990, saya mengirim surat kepada lembaga fatwa Arab Saudi, Presidency of Islamic Research, IFTA & Propagation, menanyakan tentang prosedur penentuan awal Dzulhijjah dan bulan-bulan lainnya di Arab Saudi. Tidak ada jawaban yang memuaskan. Abdul Aziz bin Abdullah bin Baaz hanya mengirimkan fatwa yang pernah dikeluarkan lima belas tahun sebelumnya, 1395 H, tentang hisab astronomis.

Prosedur rukyatul hilal di Arab Saudi dan negara-negara Arab lainnya masih merupakan teka-teki. Kabarnya Departemen Agama RI pun tidak dapat memperoleh jawaban memuaskan tentang hal itu.

Dalam diskusi di ISNET beberapa tahun lalu, ada yang menginformasikan bahwa di Arab Saudi ada kebiasaan pemberian penghargaan dari raja kepada penemu hilal yang pertama. Bila informasi ini benar, bisa jadi orang awam pun berlomba untuk menemukan hilal. Dan bisa jadi pula, seperti disinyalir kalangan Muhammadiyah pada saat kontroversi wukuf 1410 H lalu, ada pengamat yang melaporkan bulan sabit akhir bulan pada pagi hari sebagai hilal awal bulan. Mungkin karena keawamannya.

Bila dasar keputusannya hanya keimanan dan kejujuran pengamat hilal, tanpa mau mengkonfirmasikan benar tidaknya hilal yang teramati, maka keputusan kontroversial penentuan awal bulan qamariyah bisa terjadi. Keputusan negara-negara Arab mengawali puasa pada 19 Desember 1999 juga termasuk kontroversial dari segi hisab astronomis.

Hisab global menunjukkan bahwa garis tanggal awal Ramadan 1419 melintasi Amerika Tengah, Afrika bagian utara, Eropa bagian Selatan, dan Rusia. Maka pada saat maghrib 18 Desember di wilayah Amerika Selatan, Afrika, sebagian besar Asia, dan Australia bulan telah terbenam. Bagaimana mungkin ada laporan rukyatul hilal di negara-negara Arab saat itu bila bulannya telah terbenam pada saat maghrib. Apalagi ijtima' awal Ramadan baru terjadi tengah malamnya.

Mungkin ada yang menyangsikan akurasi hisab astronomisnya. Saya bisa katakan bahwa akurasi hisab astronomis saat ini sudah sangat baik, ketelitiannya sampai orde detik. Bukti yang bisa ditunjukkan adalah penentuan waktu gerhana matahari total. Gerhana matahari sesungguhnya adalah ijtima' yang dapat diamati.

Dalam setiap pengamatan gerhana matahari total, astronom telah mempunyai data hisab pada detik ke berapa bulan menutup matahari. Sehingga untuk pengamatan mereka biasa melakukan hitung mundur beberapa detik sebelum peristiwa itu untuk menyiapkan pemotretan kejadian-kejadian istimewa yang amat singkat itu. Akurasi perhitungan astronomi itu bisa menjadi dasar untuk mempercayai hisab astronomis penentuan awal bulan qamariyah.

Jadi, dari segi astronomi, penentuan awal Ramadan di negara- negara Arab sebenarnya lebih awal dari seharusnya. Atau dengan kata lain, kesaksian rukyatul hilal yang mereka lalukan sebenarnya keliru. Pasti bukan hilal awal Ramadan yang mereka lihat. Mungkin bulan sabit akhir Syaban yang teramati pagi hari. Mungkin juga objek terang yang dikira hilal.

Konsekuensi penentuan awal Ramadan yang keliru (secara astronomi) akan berdampak juga pada penentuan idul fitri. Pada 29 Ramadan (16 Januari di negara-negara Arab) orang akan mencari hilal. Bila tidak teramati (hampir pasti tidak mungkin teramati karena pada saat maghrib bulan telah terbenam), maka mereka akan memutuskan istikmal, menggenapkan bulan Ramadan 30 hari. Jadilah Idul fitri di sana akan jatuh pada 18 Januari 1999.

Mungkinkah idul fitri di Indonesia akan jatuh pada 18 Januari, sama dengan di negara-negara Arab?

Analisis hisab global menujukkan bahwa garis tanggal awal Syawal melintasi Amerika Selatan, Afrika tengah, Turki, dan Rusia. Maka pada saat maghrib 17 Januari di negara-negara Arab dan sebagian besar Asia serta Australia, bulan telah terbenam. Jadi sebenarnya tidak mungkin ada rukyatul hilal di sebagian besar Asia, termasuk di Indonesia, pada maghrib 17 Januari. Bila ada laporan kesaksian hilal di Indonesia pada hari itu, secara astronomi dapat ditolak. Karena, tidak mungkin bulan yang telah terbenam mewujudkan hilal.

Jadi idul fitri di Indonesia tidak mungkin jatuh pada 18 Januari. Pasti akan jatuh pada 19 Januari.

Tinjauan Syariah

Tinjauan di atas semata-mata didasarkan pada argumentasi ilmiah astronomis. Keliru secara astronomis belum tentu digolongkan keliru secara syariah.

Secara syariah, syarat diterimanya kesaksian hilal hanyalah keimanan dan keadilanan pengamat. Sehingga satu-satunya alat bukti kesaksian hilal yang biasa digunakan adalah sumpah dengan nama Allah. Karena keimanan dan keadilan hanyalah Allah yang mengetahui kebenarannya.

Sebenarnya makna adil yang disyaratkan bagi pengamat hilal juga mengandung pengertian pemahaman yang benar tentang hilal. Karena makna adil secara syariah adalah menempatkan sesuatu secara semestinya.

Pengamat yang adil semestinya memeriksa dengan sungguh-sungguh apakah objek yang dilihatnya itu benar-benar hilal atau bukan. Kalau perlu, gunakan teleskop atau binokuler untuk memastikannya. Hisab yang terbukti akurasinya juga semestinya tidak disisihkan. Pengamat yang adil akan mengutamakan kebenaran daripada segala kepentingan duniawi.

Dalam beberapa kasus rukyatul hilal yang kontroversial, sumpah pengamat dianggap sebagai sesuatu yang final. Tidak ada konfirmasi objek yang dilihatnya itu hilal atau bukan. Tetapi secara syariah, suatu keputusan yang telah diambil itu sah untuk diikuti oleh orang yang meyakininya. Nabi melarang berpuasa pada hari yang meragukan (yawmusy syak). Tetapi bagi orang yang meyakini hari itu sudah masuk awal Ramadan, tentunya hari itu tidak dianggap meragukan.

Jadi, kunci sah tidaknya mengikuti keputusan awal puasa (secara analogi, juga idul fitri) adalah keyakinan akan kebenaran keputusan itu. Maka pilihlah keputusan mana yang paling diyakini, bukan memilih mana yang paling disukai atau paling menguntungkan.

Dalam hal keputusan awal Ramadan dan idul fitri di negara-negara Arab, Muslim di sana sah secara syariah untuk melaksanakan keputusan otoritas setempat, walau pun secara astronomis kontroversial. Tetapi sahkah Muslim di Indonesia mengikuti keputusan negara-negara Arab? Tidak ada dalil qath'i (pasti) yang menyatakan keputusan rukyatul hilal di mana pun harus diikuti oleh semua negara.

Pendapat keberlakukan rukyat secara global bersifat ijtihadiyah. Dasarnya, sifat umum perintah Nabi untuk berpuasa dan beridul fitri bila ada kesaksian rukyatul hilal, yang ditafsirkan bahwa kesaksian itu berlaku untuk semua wilayah. Alasan lainnya, bahwa itu menjamin penyeragaman seluruh dunia. Tetapi analisis astronomis menunjukkan bahwa perbedaan tidak mungkin dihilangkan dengan cara demikian.

Pendapat keberlakukan rukyat secara lokal pun bersifat ijtihadiyah. Hadits itu pun bisa ditafsirkan bahwa kesaksian rukyat bersifat lokal. Nabi tidak memerintahkan untuk menanyakan kesaksian hilal di tempat lain sebelum memutuskan untuk berpuasa atau beridul fitri. Apalagi ada kaidah syariah yang menyatakan bahwa dalam hal ibadah, segalanya haram kecuali bila diperintahkan Allah dan Rasul-Nya.

Jadi, masalah sah tidaknya mengikuti keputusan awal puasa dan idul fitri di negara-negara Arab dikembalikan pada ijtihad mana yang paling diyakini. Hanya saja dari segi kemudahan bagi ummat, rukyat lokal lebih baik daripada rukyat global (PR, 15 April 1998).

Kita harus menghormati saudara-saudara kita yang mengikuti ijtihad keberlakukan rukyat secara global. Bagi mereka, tidak sah berpuasa 18 Januari, karena saat itu mereka harus beridul fitri. Tetapi bagi mayoritas kaum Musliman di Indonesia yang menganut keberlakukan rukyat secara lokal, tidak sah membatalkan puasa pada 18 Januari karena di Indonesia saat itu masih hari terakhir Ramadan, belum idul fitri.


 T. Djamaluddin adalah peneliti bidang matahari & lingkungan antariksa, Lapan, Bandung.
 
Indeks artikel kelompok ini | Tentang Pengarang | Disclaimer
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

Dirancang oleh MEDIA, 1997-2002.
Hak cipta © dicadangkan.