Mengkaji Perbedaan Idul Adha

T. Djamaluddin
(Staf Peneliti Bidang Matahari dan Lingkungan Antariksa, LAPAN, Bandung)


Pebedaan Idul Adha 1423 tidak dapat dihindari. PP Muhammadiyah sudah mengumumkan Idul Adha jatuh pada 11 Februari 2003. Sedangkan hasil sidang itsbat yang diumumkan Menteri Agama menetapkan Idul Adha jatuh pada 12 Februari 2003. Keputusan itu berdasarkan hasil rukyatul hilal (pengamatan bulan sabit pertama) di 45 lokasi di seluruh Indonesia yang tidak berhasil melihat hilal dan hasil hisab yang menyatakan bulan masih terlalu rendah di seluruh Indonesia pada saat maghrib 1 Februari 2003.

Perbedaan sudah diperkirakan sebelumnya karena adanya perbedaan kriteria di antara ormas-ormas Islam. Memang, sumber perbedaan yang utama adalah kriteria yang digunakan oleh ormas-ormas Islam yang harus diakomidasi oleh pemerintah. Sidang itsbat yang dipimpin Menteri Agama menentukan keputusan dari sekian masukan ormas-ormas Islam dan para praktisi hisab rukyat. Sering kali keputusannya menjadi kesepakatan untuk berbeda, karena prinsip masing-masing organisasi tidak mungkin berubah.

Untuk mengkaji sumber perbedaannya, pertama kali akan dibahas garis tanggal awal Dzulhijjah yang menggambarkan posisi hilal di berbagai tempat secara global. Kesimpulannya bisa beragam, tergantung kriteria yang digunakan.

Garis Tanggal

Posisi Indonesia pada awal Dzulhijja 1423 dari segi posisi bulan sangat kritis yang menyebabkan terjadinya perbedaan keputusan. Pada saat maghrib 1 Februari garis tanggal wujudul hilal, yaitu daerah-daerah yang pada saat maghrib bulan terbenam bersamaan dengan matahari, melintasi Pasifik, Papua, Sulawei, Kalimantan, Malaysia, India, Arab Saudi, Afrika Utara, dan Amerika Utara. Di sebelah barat garis tanggal wujudul hilal, pada saat maghrib hilal telah wujud di atas ufuk. Sebaliknya, daerah di sebelah timurnya hilal belum wujud.

Bila menggunakan garis tanggal 2 derajat, yaitu daerah-daerah yang pada saat maghrib tinggi bulan 2 derajat, garis tanggalnya melintasi Australia, lautan Hindia, Afrika bagian utara, dan Amerika Utara. Dengan gambar garis tanggal ini secara sepintas dapat disimpulkan bahwa pada saat maghrib 1 Februari 2003, bulan di Indonesia mempunyai ketinggian antara -0,5 sampai +1 derajat. Informasi ini penting untuk mengambil kesimpulan mungkin tidaknya untuk dilihat dan mungkin tidaknya masuk tanggal 1 dari kriteria hisab.

Hal yang menarik juga, di Kalimantan, Sulawesi bagian selatan, dan Papua bagian selatan bulan telah berada di atas ufuk sebelum terjadinya ijtimak (segarisnya bulan dan matahari, atau bulan baru astronomis). Jadi, bulan di atas ufuk tidak menjamin ijtimak telah terjadi.

Garis tanggal dihitung secara hisab, bisa digunakan oleh para penganut rukyat untuk memperkirakan mungkin tidaknya dilakukan rukyat dan bisa digunakan juga oleh pada ahli hisab untuk menentukan keputusan masuk tanggal atau belum. Semua keputusannya tergantung pada kriteria yang digunakan.

Perbedaan Kriteria

Terlalu sederhana dan tidak tepat bila masih ada yang berpendapat bahwa perbedaan penentuan awal Ramadhan, Idul Fitri, dan Idul Adha karena perbedaan metode hisab (perhitungan astronomis) dengan rukyat (pengamatan). Varian untuk masing-masing metode bisa juga menyebabkan perbedaan. Bahkan dalam banyak kasus perbedaan yang terjadi di Indonesia dalam 5 tahun terakhir, lebih banyak karena perbedaan kriteria daripada perbedaan antara hisab dan rukyat. Kriteria itu bisa diterapkan baik pada hisab maupun rukyat yang terpandu hisab.

Muhammadiyah menggunakan hisab dengan kriteria wujudul hilal dan prinsip "wilayatul hukmi" (hisabnya berlaku untuk seluruh daerah dalam satu wilayah hukum, yaitu seluruh Indonesia). Bila hilal telah berada di atas ufuk pada saat maghrib di mana pun di Indonesia, maka dapat diputuskan besoknya masuk tanggal 1 untuk seluruh Indonesia. Dengan melihat garis tanggal, maka dapat disimpulkan bahwa di Sumatera dan Jawa pada saat maghrib 1 Februari bulan telah berada di atas ufuk dan telah terjadi ijtimak. Maka berdasarkan prinsip wilayatul hukmi, maka di seluruh Indonesia ditetapkan 1 Dzulhijjah jatuh pada 2 Februari dan Idul Adha 10 Dzulhijjah jatuh pada 11 Februari 2003.

Persis yang menggunakan hisab juga punya keputusan yang berbeda karena kriterianya berbeda. Sebelumnya Persis menggunakan kriteria MABIMS dengan syarat masuknya tanggal bila tinggi bulan lebih dari 2 derajat dan umur bulan lebih dari 8 jam. Ini dapat terlihat pada kalender 1421 - 1423. Namun, pada 4 November 2002 lalu ditetapkan kriteria wujudul hilal seperti Muhammadiyah, tetapi dengan syarat hilal telah wujud di seluruh Indonesia. Dengan syarat ini, keputusannya berbeda dengan Muhammadiyah, walau sama-sama menggunakan hisab. Persis menetapkan 1 Dzulhijjah jatuh pada 3 Februari dan Idul Adha jatuh pada 12 Februari.

NU menggunakan metode rukyat untuk mengambil keputusan awal bulannya, walaupun mereka juga melakukan hisab untuk membuat kalender dan membantu rukyatnya. Sejak beberapa tahun belakangan, NU telah menggunakan kriteria imkanur rukyat (kemungkinan untuk rukyat) yang bisa digunakan untuk menolak kesaksian hilal. Kriteria imkanur rukyat yang digunakan adalah kriteria yang telah disepakati di Indonesia, yaitu tinggi bulan minimal 2 derajat dan umur bulan minimal 8 jam. Dengan kriteria ini NU pernah menolak kesaksian rukyat di Cakung dan Bawean pada penetapan Idul Fitri 1418/1998, tetapi tidak menerapkannya untuk menolak kesaksian di Cakung pada penetapan Idul Adha 1422/2002. Untuk penetapan Idul Adha 1423, NU sepakat dengan keputusan pemerintah untuk menetapkan 1 Dzulhijjah jatuh pada 3 Februari dan Idul Adha pada 12 Februari, karena tidak ada satu pun laporan kesaksian hilal di Indonesia pada 1 Februari.

Ormas-ormas lain mempunyai kriteria sendiri, tetapi umumnya masih dalam lingkup tiga kriteria terdahulu. Misalnya, Mathlaul Anwar menggunakan metode rukyat, tetapi akan mengikuti keputusan pemerintah apa pun hasilnya. Dewan Dakwah Islamiyah semula dalam penentuan Idul Adha selalu mengikuti keputusan hari wukuf di Arafah untuk menentukan Idul Adha keesokan harinya. Namun tampaknya ada perubahan, konon setelah mendapatkan saran seorang mufti Arab Saudi bahwa menjaga ukhuwah lebih utama daripada menyamakan dengan Idul Adha di Arab Saudi sementara berbeda dengan Idul Adha di Indonesia. Mungkin masih ada beberapa ormas Islam yang mengikuti Idul Adha di Arab Saudi dengan argumentasi masing-masing.

Menyikapi Perbedaan

Perbedaan adalah bagian dari kebebasan ijtihadiyah yang dijamin dalam Islam. Masing-masing kelompok punya pendapat yang dianggapnya paling kuat. Dalam kaidah ijtihad, tidak ada pihak yang boleh mengklaim paling benar dan menyalahkan pihak lainnya. Islam mengajarkan, kesalahan dalam ijtihad masih mendapatkan pahala karena kesungguhannya dalam mencari solusi hukum.

Persoalannya hanya pada masyarakat pengikutnya yang kadang-kadang menjadi bingung. Maka dalam masalah perbedaan hari raya (Idul Fitri atau Idul Adha) perlu difahami dulu sumber perbedaannya dan ikuti mana yang paling menentramkan hati. Bila tidak bisa memutuskan sendiri, jalan terbaik adalah mengikuti keputusan pemerintah yang merupakan hasil optimal dari berbagai pendapat yang berkembang di masyarakat. Apalagi ada perintah di dalam Alquran untuk mengikuti pemerintah (ulil amri) setelah mengikuti perintah Allah dan Rasul-Nya.

Sahkah melakukan shaum saat orang lain berhari raya? Selama kita yakin hari itu belum hari raya, kita sah melakukan shaum. Misalnya, shaum Arafah 11 Februari saat saudara-saudara kita dari Muhammadiyah beridul adha.

Namun hal yang terpenting, perbedaan bukan untuk dipelihara. Pasti ada titik temu untuk menghilangkan perbedaan itu. Mengkaji ulang kriteria merupakan awal bahasan yang harus diintensifkan di antara ormas-ormas Islam. Menteri Agama telah berjanji untuk menfasilitasi pertemuan yang lebih banyak untuk merumuskan kriteria bersama ini. Keterbukaan masing-masing ormas untuk mencari titik temu sudah mulai tampak dari diskusi-diskusi para ahli hisab-rukyat mereka. Pelatihan dan workshop lintas ormas kini sudah mulai dilakukan. Suatu titik awal yang menggembirakan. Kita berharap titik temu dapat diperoleh dalam waktu tidak terlalu lama lagi.


 T. Djamaluddin adalah peneliti bidang matahari & lingkungan antariksa, Lapan, Bandung.
 
Indeks artikel kelompok ini | Tentang Pengarang | Disclaimer
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

Dirancang oleh MEDIA, 1997-2002.
Hak cipta © dicadangkan.