MUI dan Penyatuan Hari Raya

T. Djamaluddin
(Staf Peneliti Bidang Matahari dan Lingkungan Antariksa, LAPAN, Bandung, Anggota Badan Hisab dan Rukyat)


Republika, 05 Februari 2004

Alhamdulillah. Rasa syukur sepatutnya kita nyatakan dengan keluarnya fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) dalam Ijtima Ulama Komisi Fatwa Se-Indonesia yang ditetapkan pada 16 Desember 2003 lalu. Walau pun media massa lebih tertarik pada fatwa bunga bank, sebenarnya fatwa MUI tersebut juga memuat hal penting, yaitu tentang penentuan awal Ramadhan, Syawal, dan Dzulhijjah. Sangat disayangkan kurangnya minat media massa memberitakannya, termasuk ketika sosialisasinya sebelum sidang itsbat penentuan awal Dzulhijjah dan Idul Adha 1424 di Depag. Padahal fatwa itu telah membuka jalan menuju penyatuan awal Ramadhan dan hari raya yang didambakan umat Islam. Keseragaman awal Ramadhan, Idul Fitri, dan Idul Adha 1424 tahun ini semata-mata karena posisi bulan dan matahari memungkinkan untuk terjadinya keseragaman, bukan berarti telah terpecahkannya masalah perbedaan pendapat yang sering kali muncul tentang penentuan awal-awal bulan qamariyah. Masih ada hal-hal yang harus diselesaikan dalam upaya penyatuan umat yang seharusnya kita mulai pada masa tenang ini, bukan saat terjadi perbedaan. Fatwa MUI tersebut mempunyai makna sangat penting dalam upaya tersebut.

Implikasi fatwa

Fatwa MUI menyatakan bahwa penentuan awal Ramadhan, Syawal, dan Dzulhijjah dilakukan berdasarkan metode rukyat (pengamatan hilal, bulan sabit pertama) dan hisab (perhitungan astronomi). Ini menegaskan bahwa kedua metode yang selama ini dipakai di Indonesia berkedudukan sejajar.

Keduanya merupakan komplemen yang tidak terpisahkan. Masing-masing punya keunggulan, namun juga punya kelemahan kalau berdiri sendiri. Butir kedua menyatakan bahwa seluruh umat Islam Indonesia wajib menaati ketetapan Pemerintah RI tentang penetapan awal Ramadhan, Syawal, dan Dzulhijjah. Butir kedua ini sangat terkait dengan butir ketiga bahwa dalam penetapan awal Ramadhan, Syawal, dan Dzulhijjah, Menteri Agama wajib kerkonsultasi dengan Majelis Ulama Indonesia, ormas-ormas Islam, dan instansi terkait. Dua butir fatwa ini sangat penting dan membuka jalan penyatuan hari raya Islam. Dasarnya mengacu pada perintah taat kepada pemimpin atau pemerintah (ulil amri) dalam QS 4:59, sesudah perintah untuk taat kepada Allah dan rasul-Nya. Juga hadis Nabi riwayat Bukhari yang memerintahkan untuk taat kepada pemimpin walaupun ia seorang budak Habsyi. Dalam fikih juga dikenal kaidah bahwa keputusan hakim (pemerintah) bersifat mengikat dan menghilangkan perbedaan pendapat. Walau pun kita akui betapa kuatnya dominasi keormasan dalam kehidupan keagamaan di Indonesia, fatwa ulama di MUI semestinya tidak diabaikan. Keinginan kuat umat untuk mendapatkan keseragaman dalam memulai puasa Ramadhan serta merayakan Idul Fitri dan Idul Adha telah diakomodasikan dengan fatwa perlunya ketaatan kepada satu otoritas, yaitu pemerintah sebagai ulil amri. Ini adalah awal untuk mempersatukan hal-hal teknis yang sekian lama sulit dipersatukan. Keterbukaan para pemimpin ormas Islam untuk mengajak anggotanya untuk menuju penyatuan sangat didambakan.

Bila sebelumnya ada kesan keenganan melepaskan pendapat ormasnya dalam penentuan awal Ramadhan, Syawal, dan Dzulhijjah karena terkesan mengikuti pendapat ormas lain yang tidak disetujui landasannya, semoga fatwa ini menghilangkan kesan tersebut. Kita mengikut kepada pemerintah (diwakili Menteri Agama) yang telah mengakomodasi pendapat MUI, ormas-ormas Islam, dan para pakar instansi terkait. Ketaatan tersebut juga mengikuti kaidah fikih untuk menghilangkan perbedaan pendapat demi menjaga ukhuwah.

Butir keempat fatwa menegaskan tentang mathla' (keberlakuan ru'yatul hilal) yang dianut Indonesia bahwa hasil rukyat dari daerah yang memungkinkan hilal di rukyat walau pun di luar wilayah Indonesia yang mathla'-nya sama dengan Indonesia dapat dijadikan pedoman oleh Menteri Agama RI. Ini menyatakan bahwa di mana pun ada kesaksian hilal yang mungkin dirukyat dalam wilayah hukum Indonesia (wilayatul hukmi) maka kesaksian tersebut dapat diterima. Juga kesaksian lain di wilayah sekitar Indonesia yang telah disepakati sebagai satu mathla', yaitu negara-negara MABIMS (Brunei Darussalam, Indonesia, Malaysia, dan Singapura).

Hal ini sebenarnya telah berjalan, namun pernyataan "hasil rukyat dari daerah yang memungkinkan hilal dirukyat" memberi arti tidak semua kesaksian dapat diterima. Bila di suatu daerah hilal tidak mungkin terlihat karena ketinggiannya di bawah ufuk, maka kesaksian hilalnya tidak dapat diterima dan tidak boleh dijadikan pedoman. Kasus-kasus kesaksian hilal yang diterima yang sebenarnya telah di bawah ufuk, tidak boleh terulang lagi. Kedudukan rukyat dan hisab yang setara yang dinyatakan dalam butir pertama fatwa tersebut akan menjadi kontrol tidak terulangnya kasus seperti itu.

Hal yang juga penting dalam fatwa tersebut adalah rekomendasi agar Majelis Ulama Indonesia mengusahakan adanya kriteria penentuan awal Ramadhan, Syawal, dan Dzulhijjah untuk dijadikan pedoman oleh Menteri Agama dengan membahasnya bersama ormas-ormas Islam dan para ahli terkait. Hal-hal teknis yang membuat metode hisab dan rukyat tampak berbeda, dapat dipersatukan dengan kriteria tersebut. Hal ini perlu dijelaskan kepada anggota masing-masing ormas Islam bahwa pada dasarnya hisab dan rukyat dapat mempunyai kriteria yang sama sebagai titik temunya. Dikhotomi hisab dan rukyat dapat dihilangkan.

Kriteria tersebut akan merupakan rambu-rambu bagi Menteri Agama sebelum memutuskan penetapan awal Ramadhan, Idul Fitri, dan Idul Adha. Minimal kriteria tersebut memberikan batasan ru'yatul hilal yang bisa diterima dan yang sepatutnya ditolak berdasarkan pengalaman jangka panjang, sekaligus memberi batasan untuk menentukan masuknya awal bulan dari hasil perhitungan astronomi atau hisab. Lazimnya, kriteria tersebut dinamakan kriteria imkanur ru'yat (kemungkinan untuk teramatinya hilal) atau visibilitas hilal. Misalnya, hilal mungkin untuk dirukyat bila tingginya lebih sekian derajat, jarak dari matahari sekian derajat, dan umurnya sekian jam.

Memang tidak mudah mengubah paradigma yang telah melekat sekian lama di kalangan anggota masing-masing ormas. Ada kesan sikap resistensi pada sebagian anggota masing-masing ormas untuk mengkritisi kriteria yang selama ini dipegang oleh ormasnya. Sikap memandang pendapat ormasnya yang unggul dan merendahkan pendapat lainnya, ternyata masih dijumpai dalam diskusi-diskusi intern ormas Islam. Namun, banyak juga yang mulai membuka diri dalam upaya mencari titik temu kriteria yang berbeda-beda tersebut.

Dalam kaitan inilah, Majelis Ulama Indonesia bersama Departemen Agama perlu mengupayakan muktamar bersama ormas Islam yang keputusannya mengikat semua pihak. Ada indikasi musyawarah terbatas perwakilan ormas Islam tidak berdampak kepada perubahan di masing-masing ormas, karena satu-dua wakil akan berhadapan dengan resistensi anggota yang lebih besar. Walau pun masih ada kendala aturan organisatoris dalam menerapkan secara langsung hasil muktamar bersama, namun dengan banyaknya perwakilan daerah yang dilibatkan akan lebih mudah menghilangkan resistensi dalam muktamar atau munas masing-masing ormas.

Kriteria bersama Rekomendasi dalam fatwa tersebut perlu segera direalisasikan karena ketaatan kepada ulil amri (pemerintah) akan lebih kuat kalau didasari pada keyakinan bahwa pemerintah pun menggunakan kriteria yang disepakati bersama. Dengan demikian tidak akan terjadi kecurigaan bahwa pemerintah lebih mengakomodasi pendapat salah satu atau beberapa ormas saja. Tahun 1424-1426 (2003-2005) adalah masa tenang yang tidak rawan terjadinya perbedaan dalam penentuan awal Ramadhan, Idul Fitri, dan Idul Adha. Pada masa inilah kriteria bersama harus sudah diperoleh agar dapat mengantisipasi kemungkinan perbedaan pada tahun-tahun mendatang.

Dengan kondisi kriteria yang masih beragam seperti saat ini, ketinggian hilal sekitar 2 derajat atau kurang sangat rawan menimbulkan perbedaan.

Pengalaman penentuan Idul Fitri 1418 menjadi pelajaran penting bahwa kriteria sangat menentukan. Pada waktu itu ketinggian hilal hanya sekitar 0,9 derajat. Bagi kalangan NU yang mengandalkan ru'yatul hilal, muncul dua pendapat. Ada yang menerima kesaksian dari Cakung dan Bawean sehingga ber-Idul Fitri pada 29 Januari 1998. Ada pula yang menolaknya karena ketinggiannya kurang dari kelaziman tinggi minimal imkanur ru'yat 2 derajat sehingga ber-Idul Fitri 30 Januari 1998.

Bagi Muhammadiyah dan Persis yang mengandalkan hisab, waktu itu keputusannya pun berbeda. Muhammadiyah yang berdasarkan kriteria wujudul hilal langsung memutuskan Idul Fitri pada 29 Januari 1998. Sedangkan Persis yang waktu itu mengikuti kriteria MABIMS tinggi minimal 2 derajat memutuskan Idul Fitri 30 Januari 1998. Saat itulah pertama kali sidang itsbat tidak menghasilkan keputusan yang bulat. Pemerintah memutuskan Idul Fitri 30 Januari 1998, tetapi mempersilakan umat Islam yang meyakini untuk ber-Idul Fitri pada 29 Januari 1998.

Kasus perubahan Idul Adha 1422 dari 23 Februari 2002 seperti tercantum dalam kalender yang mengacu pada Keputusan Menteri Agama tahun 2001 menjadi 22 Februari 2002 juga karena tidak adanya kriteria yang disepakati bersama. Keputusan Menteri Agama didasarkan pada kriteria MABIMS yang mensyaratkan umur hilal minimal 8 jam dan tingginya minimal 2 derajat. Saat itu umur hilal pada akhir Dzulqaidah masih kurang dari 2 derajat. Namun ternyata ada laporan kesaksian hilal yang secara ilmiah diragukan, namun dapat diterima oleh Menteri Agama. Hasilnya, memang keseragaman hari Idul Adha, namun Menteri Agama harus membuat keputusan baru yang mengubah keputusan sebelumnya. Ini pun pertama kali terjadi hari libur diubah. Kondisi rawan perbedaan karena rendahnya ketinggian hilal terjadi antara lain pada awal Ramadhan 1422/2001, Idul Adha 1422/2002, Idul Fitri 1423/2002, dan Idul Adha 1423/2003.

Kemudian kita memasuki masa tenang selama tahun 1424-1426 (2003- 005) karena tidak ada yang rawan terjadinya perbedaan. Baru kemudian Idul Fitri 1427/2006 dan 1428/2007 berpotensi terjadinya perbedaan lagi kalau kriteria bersama belum diperoleh. Dengan niat baik bersama, insya Allah tiga tahun masa tenang ini dapat dimanfaatkan semua ormas Islam bersama MUI, Departemen Agama, dan instansi terkait lainnya untuk mengkaji ulang kriteria penentuan awal bulan qamariyah untuk mencapai titik temu.


 T. Djamaluddin adalah peneliti bidang matahari & lingkungan antariksa, Lapan, Bandung. Anggota Badan Hisab dan Rukyat
 
Indeks artikel kelompok ini | Tentang Pengarang | Disclaimer
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

Dirancang oleh MEDIA, 1997-2002.
Hak cipta © dicadangkan.