HOME LAND SECURITY: SENJATA MAKAN TUAN?

M. Syamsi Ali

Pengaruh media dalam menentukan cara pandang setiap orang demikian hebat, sehingga fakta yang hitam putih sekalipun dapat diputar balik sesuai pesan sponsor. Peristiwa 11 September misalnya difahami, secara langsung atau tidak, korbannya terbatas kepada non Muslim. Sebaliknya, bahkan orang-orang Islam dimanipulasi sehingga seolah bagian dari pelaku kejahatan. Konsekwensinya, berbagai aturan yang dikeluarkan oleh Dewan Kongres maupun Senat sejak persitiwa 11 September hingga kini, sesuai laporan CAIR (Council on American-Islamic Relations), telah membuahkan tidak kurang dari 60.000 pelecehan terhadap kaum Muslim dan warga AS keturunan arab. Selain itu, hingga kini masih ribuan warga Muslim, mayoritasnya keturunan Arab dan Asia Selatan, yang ditahan dengan berbagai alasan, termasuk dicurigai ada kontak dengan "pelaku", atau masalah keimigrasian, tanpa pernah melalui proses pengadilan.

Kenyataan ini sesungguhnya adalah senjata yang, dirasakan atau tidak, telah memakan tuan. Semua tahu, Amerika Serikat adalah negara yang secara prinsip menghormati kebebasan, hak-hak asasi termasuk hak beragama. Yang lebih penting, Amerika Serikat dikenal sebagai negara yang tidak saja demokratis, tapi juga menyokong dan memperjuangkan, dengan segala dayanya, proses demokratisasi di berbagai kawasan. Sehingga terjadinya tekanan-tekanan kepada warganya sendiri, apalagi yang dilakukan lewat proses hukum yang dibuat, adalah perbuatan "illegal" dan merupakan "pengkhianatan" terhadap nilai dasar (basic value) Amerika sendiri.

Peranan media dalam menentukan arah berfikir para pengambil kebijakan di Amerika Serikat begitu dominan. Benar kata orang: "Di dunia ketiga, siapa yang menguasai militer dialah yang menguasai kebijakan. Tapi di dunia maju, siapa yang menguasai media, dialah menguasai arah kebijakan". Kebebasan media di mana pun ternyata masih pada tataran wacana, sehingga media seringkali berbicara sesuai pesan pemegang saham.

Tragedy yang menimpa Amerika Serikat 11 September tahun lalu, sesungguhnya tidak saja musibah yang menimpa non Muslim di negara ini, sehingga yang merasakan kesedihan hanya mereka yang bukan Muslim. Seluruh warga Amerika, bahkan seluruh manusia yang memiliki hati kecil, tidak terlepas warga Muslim di negara ini merasakan kepedihan yang sama. Bahkan tidak berlebihan dikatakan jika kaum Muslimin sesungguhnya bersedih lebih dari warga lainnya karena empat alasan:

Pertama: Serangan teroris seperti ini adalah perlakuan yang tidak diterima secara akal manusia. Apapun dalil di belakangnya, serangan ini tidak memiliki basis logika. Sehingga kaum Muslim yang selalu dimotivasi untuk menggunakan akal pemikirannya tidak akan bisa menerima perlakukan semacam itu.

Kedua: Serangan teroris jelas merupakan pelanggaran besar terhadap ajaran agama yang diyakininya. Agama Islam, tidak saja datang mengajarkan kedamaian hidup tapi juga menciptakan perdamaian dalam kehidupan manusia. Peperangan yang pernah terjadi sepanjang sejarah agama Islam, tidak lain ditujukan untuk menghapus kendala-kendala kedamaian dalam hidup, temasuk berbagai kezaliman manusia. Sehingga serangan tersebut merupakan pelanggaran terhadap keyakinan kaum Muslim yang secara fundamental meyakini agama yang damai (al-Islam)

Ketiga: Serangan teroris tersebut telah memakan banyak korban, termasuk jumlah besar dari kalangan orang-orang Islam. Diberitakan bahwa dari sekitar 3000 (data terakhir) yang meninggal, 700-an adalah warga Muslim. Sayang, oleh media besar, hal ini jarang atau tidak pernah dipublikasikan.

Keempat: Yang paling menyakitkan bagi kaum Muslim adalah tuduhan yang kemudian segera dikaitkan dengan Islam. Oleh karena tuduhan serangan tertuju kepada orang-orang Islam, maka Islam dengan sedemikian hebat dimanipulasi, sehingga nampak seolah Islam menjadi sumber kekerasan tersebut. Hal ini semakin memperkuat dugaan selama ini bahwa Islam memang identik dengan kekerasan.

Kepedihan yang dirasakan kaum Muslim Amerika ternyata tidak selesai dengan berlalunya berbagai kejadian besar setelah itu, termasuk kenyataan untuk menerima penderitaan saudara-saudaranya di Afganistan yang semakin terhimpit menanggung "akibat" peperangan terhadap para teroris. Kendati secara resmi Pemerintah Amerika menafikan hubungan antara Islam/Muslim dan serangan teroris ini, namun umat Islam harus menerima kenyataan pelecehan dalam berbagai hak-hak sipilnya.

Kenyataan pahit yang lain, bahwa kaum Muslim Amerika terkadang terpaksa untuk menyesuaikan diri secara radikal dengan kebijakan Pemerintahan Amerika, khususnya dalam kebijakan luar negeri dan lebih khusus lagi kebijakan luar negeri Amerika di Timur Tengah. Bahwa di satu sisi kita adalah Muslim dan hidup di negara yang umat Muslim kenali menjamin bahkan menjadi pelopor kebebasan dan hak-hak asasi. Namun sebagai warga Amerika, mereka harus menerima kenyataan bahwa kebijakan pemerintah negaranya justeru cenderung mengabaikan nilai-nilai (values) tersebut. Sepanjang sejarah konflik Palestina-Israel, Amerika selalu memberikan dukungannya kepada Israel, walaupun nampak di hadapan mata kasat bahwa Israel adalah "penjajah" dan menginjak-injak hak-hak asasi bangsa Palestina. Sehingga dukungan Amerika terhadap Israel, atas nama apapun, juga merupakan pelanggaran dan pengkhianatan terhadap nilai-nilai dasarnya. Warga Muslim sebagai bagian integral dari bangsa Amerika terkadang "memaksakan" diri untuk menerima kenyataan pahit ini. Akbatnya, tumbuh semacam "hidden-hypocrisy" (kemunafikan terselubung). Di satu sisi cinta dan bangga dengan negaranya, namun di sisi lain sakit hati karena kebijakan "double standard" tersebut.

Jika kenyataan ini berlanjut tanpa ada upaya nyata dari Pemerintahan Amerika untuk membenahinya maka Amerika bisa kehilangan kepercayaan selaku negara demokratis. Bahkan tidak menutup kemungkinan jika Amerika dicap oleh pihak lain sebagai negara yang "berwajah dua", yaitu negara yang memperjuangkan hak-hak asasi dan kebebasan di berbagai tempat, termasuk di Irak, Kuba, Korea Utara, China, dll. Tapi di satu sisi, Amerika masih mendukung atau minimal berlepas tangan dari berbagai kediktatoran di berbagai kawasan, termasuk di beberapa negara Muslim dan Timur Tengah. Dan yang lebih penting dari semua itu, ternyata Amerika belum mampu dan naïf memberikan perlidungan terhadap hak-hak asasi dan kemerdekaan kepada warganya sendiri.

M. Syamsi Ali
New York, 15 Mei 2002


M. Syamsi Ali adalah seorang muslim anggota ISNET yang tinggal di New York
 
Indeks artikel kelompok ini | Tentang Pengarang | Disclaimer
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

Dirancang oleh MEDIA, 1997-2002.
Hak cipta © dicadangkan.