Alkitab di Dunia Modern

oleh Professor James Barr

Indeks Kristiani | Indeks Artikel | Tentang Penulis
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

 

III. PENERAPAN BAHAN KUNA KEPADA JAMAN MODERN

1. Relevansi Alkitab untuk manusia modern

Dengan ini sampailah kita kepada persoalan tentang relevansi Alkitab untuk manusia modern. Dalam arti manakah Alkitab itu tetap relevan, atau bagaimanakah caranya Alkitab menjadi relevan?

a Kekunaan Alkitab

Pada prinsipnya Alkitab merupakan kitab kuna, dan biar betapa pun pandainya kita main sulap dalam bidang penafsiran Alkitab, itu akan tetap merupakan kitab kuna juga. Segala usaha untuk meyakinkan jemaat, bahwa situasi dalam Alkitab adalah "persis identik" dengan situasi yang kita hadapi pada masa kini, adalah merupakan usaha yang keliru. Adalah memang merupakan paradox, bahwa justru bila kita belajar menyadari keasingan Alkitab serta menginsafi, betapa jauhnya jarak antara pengalaman-pengalaman kita dengan pengalaman-pengalaman tokoh-tokoh Alkitab, maka barulah di situ Alkitab betul-betul dapat mempengaruhi kita. Akan tetapi bahwa karangan tertentu termasuk karangan kuna, tidaklah langsung berarti bahwa kita pasti mengalami kesulitan dalam menanggapinya atau mengertinya: Sebagian besar dari pada kesusasteraan dunia memang "kuna" dan makin lama makin kuna. Memang kenyataan bahwa Alkitab termasuk bahan kesusasteraan kuna dan klasik, itu berarti bahwa kita sukar menikmatinya secara langsung, tanpa penyelidikan yang seksama, dan tanpa bimbingan orang-orang ahli. Syukur bimbingan yang demikian mudah terdapat pada masa kini. Daya-komunikasi yang gampang dan relevansi yang langsung nampak, tidak termasuk ciri-ciri Alkitab, dan sebenarnya "kelangsungan" yang demikian itu tidak terlalu menguntungkan.

b. Alkitab tidak langsung relevan, melainkan membangun iman yang relevan

Secara lebih mendalam, haruslah diragukan, apakah seorang penafsir ditugaskan untuk merebut nats-nats Alkitab dari konteksnya yang asing, serta menerapkannya kepada dunia modern. Barangkali tepat kalau dikatakan, begini: bahwa Alkitab, sebagai hasil perjuangan dan pemikiran manusia dalam konteks situasinya pada masa lampau memberi makanan rohani serta menerangi pengertian manusia modern di tengah situasi modern. Alkitab hiasanya tidak langsung "mengena,' kepada situasi modern, tetapi fungsinya adalah untuk memperkaya serta membangun iman manusia modern, sehingga dengan iman yang cukup dia sanggup melihat situasinya sendiri dengan lebih jelas dan sanggup menilai perbuatannya dengan lebih tepat. Hubungan antara manusia Alkitabiah di dalam situasinya, dan-manusia modern di dalam situasinya, terjamin melalui dua hal:

i. Baik manusia Alkitabiah maupun manusia modern berada dalam kesatuan-kontinuitas satu umat Allah.

ii. Baik iman orang-orang Alkitabiah maupun iman orang Kristen modern adalah berhubungan-erat dengan pola pengertian tentang Allah yang terdapat dalam Alkitab.

Patutlah-kalau di sini kita menyinggung kembali soal pemakaian skriptura secara agamawi, yang dijelaskan oleh Kelsey melalui contoh-contoh yang dia ambil dari karangan-karangan Bultmann dan John Hick (pasal 6, bagian 11). Kita teringat bahwa Kelsey itu mengkontraskan (mempertentangkan) antara pemakaian Alkitab secara agamawi dan secara teologis. Menurut pemakaian teologis itu, Alkitab berperan dalam rangka argumen teologis; sedangkan menurut pemakaian secara agamawi, Alkitab berpengaruh langsung atas orang beriman, yaitu langsung mempengaruhi kepercayaannya dan pola kehidupannya. Dalam buku ini saya lebih banyak menguraikan pemakaian skriptura secara teologis, tetapi pokok yang kita bahas di sini merupakan contoh tentang suatu pemakaian Alkitab secara agamawi yang sangat positif. Bila Alkitab hendak dipakai sebagai standard atau norma, yang dapat menilai keputusan-keputusan kita, maka menurut hemat saya, pemakaian teologislah yang paling tepat; karena pendekatan teologis itu bersifat konkrit dan "akaliah." Tetapi hal itu tidak berarti bahwa pemakaian Alkitab secara agamawi tidaklah sah, atau tidak penting. Ada justru bahaya bahwa pemikiran teologis tentang pemakaian skriptura itu akan menghasilkan semacam teologia profesional yang menekankan secara berat-sebelah segala metoda-metoda yang langsung teologis-ilmiah. Catatan ini juga relevan untuk pokok yang akan kita bahas di bawah ini.

c. Hubungan konsep "relevansi Alkitab" dan konsep "Alkitab sebagai buku referensi"

Konsep populer tentang relevansi Alkitab agaknya berakar dalam kebiasaan lama yang menggunakan Alkitab sebagai semacam buku referensi, sehingga dalam segala persoalan yang dihadapi, orang boleh menghadap kepada Alkitab dengan meminta petunjuk tentang apa yang patut dia lakukan. Ide bahwa seharusnya Alkitab berfungsi dengan cara demikian, agaknya merupakan peninggalan dari pemikiran fundamentalis. Yang saya maksudkan di sini adalah bukan persoalan-persoalan yang remeh, seperti misalnya: ayat manakah yang memberi petunjuk tentang soal apakah wanita boleh memakai celana panjang? atau apakah pemuda boleh berambut gondrong? Yang saya maksudkan ialah persoalan-persoalan yang sering dibicarakan dalam perkumpulan oikumenis; misalnya apakah orang Kristen dalam keadaan-keadaan tertentu boleh mendukung gerakan revolusi? atau apakah ada sumbangan-khas Kristen yang dapat dibawakan oleh orang beriman ke dalam suatu situasi konflik yang hangat-hangat? Pada hemat saya, jarang sekali terjadi bahwa suatu penyelidikan Alkitab, biar secara mendalam sekali, dapat langsung mengantar kepada suatu keputusan dalam persoalan-persoalan seperti itu. Karena sebenarnya Alkitab tidak merupakan alat untuk memecahkan persoalan. Menurut pendapat saya, yang lazim ialah bahwa bahan Alkitabiah itu berpengaruh atas orang beriman secara keseluruhan, yaitu atas segenap iman dan hidupnya sedemikian rupa, sehingga dari dalam konteks iman dan hidup yang total itu, dia sendirilah yang bertindak mengambil keputusan sebagai oknum bebas.

d. Alkitab: dokumen kuna yang ditangani manusia modern

Sekalipun kita menetapkan suatu status yang amat tinggi untuk Alkitab, namun hal itu tidak berarti bahwa kita harus mulai dengan tiap-tiap proses pemikiran dari dasar Alkitabiah, lantas dari titik-tolak itu bergumul terus sampai akhirnya mencapai suatu hasil yang dapat berlaku pada abad ke-20 ini. Pembaca Alkitab, sepanjang proses pemikiran itu dari awal sampai akhirnya, tetaplah berada di dunia modern. Pemikirannya dapat melintasi dunia pemikiran modern maupun dunia kuna, --sejauh dia mempunyai perlengkapan pengetahuan yang cukup untuk itu. Pengetahuan tentang masa lampau (termasuk masa yang baru saja lewat) hampir seratus persen tergantung kepada dokumen-dokumen tertulis. Dalam hal ini ada baiknya kita ingat bahwa Alkitab adalah bukan oknum, melainkan justru dokumen. Alkitab tidak "melakukan" sesuatu. Alkitab tidak "berbicara" atau "menganjurkan" atau "menggerakkan": Alkitab itu dibaca oleh manusia, diselidiki oleh manusia dikutip oleh manusia dalam argumentasi mereka, dan ditafsirkan oleh manusia. Yang menyelidiki dan mengutip itu adalah manusia, yang melakukan segala-galanya itu sebagai bagian integral dari hidup mereka pada masa kini.

2. Masa lampau - masa kini - masa depan

a. Ditekankannya "kenormatifan Alkitab" menempatkan norma gereja di masa lampau

Suatu pokok yang disinggung di atas ini patut dipanjang-lebarkan sedikit: Tak usah dipersoalkan lagi bahwa Alkitab merupakan dokumen dari masa lampau; begitulah juga pola-pola teologis yang terambil dari sumber-sumber lain, misalnya dari bahan patristik (berkenaan dengan ajaran dan tulisan para bapa gereja) atau dari tokoh-tokoh Reformasi. Unsur kelampauan yang melekat pada sumber-sumber kuna itu mungkin dinilai sebagai penyebab efek-efek negatif; yaitu bahwa karena gereja berpegang pada sumber-sumber itu, norma-normanya selalu terletak di masa lampau. Dengan demikian terciptalah kesan seolah-olah Allah telah pensiun atau mengundurkan Diri, sehingga tugas para ahli teologia masa kini terbatas kepada menafsirkan kebenaran-kebenaran abadi.

Dapat dicatat bahwa pada umumnya gereja selalu mencari norma-norma pemikirannya dan perbuatannya pada masa lampau. D. Ritschl26 berkata: "Kalau kita mensurvai sejarah diskusi tentang norma-norma dalam teologia tradisional, kita melihat bahwa gereja (dan bahkan Israel juga, pada periode sejarahnya yang terakhir) mirip kepada kebudayaan-kebudayaan klasik dalam kecenderungan memusatkan perhatian pada masa lampau." Sudah jelas juga bahwa pemusatan perhatian kepada masa lampau menjadi ciri-khas gerakan neoorthodox yang membaharui hal ditekankannya kewibawaan Alkitab. Gerakan tersebut mengambil "sejarah penyelamatan" sebagai dasarnya. Maka tak usah diragukan bahwa akibat dari penekanan itu ialah bahwa konsep kewibawaan menjadi lebih terikat kepada fokus yang terletak di masa lampau.

b. Pengambilan keputusan berlangsung pada masa kini

Akan tetapi (demikianlah D. Ritschl), pusat dalam proses pengambilan keputusan itu terletak pada masa kini. Maka bila manusia masakini menggunakan norma-norma dari masa lampau, seperti Alkitab atau bahan patristik, pastilah sumber-sumber kuna itu digunakan sebagai bahan yang sudah disaring-saring melalui saringan tradisi tertentu, yaitu tradisi yang menjadi konteks pembaca sendiri. Di satu pihak, sebenarnya tak mungkin kita mendekati suatu sumber kuna secara langsung; bahan kuna itu pastilah ditangkap dan dimengerti melalui suatu saringan berupa proses penafsiran. Di pihak lain, hal itu berarti bahwa bahan dari sumber-sumber kuna tersebut sebenarnya tidak dibaca lagi sebagai bahan dari dunia kuna yang tiba-tiba diseret ke dalam dunia modern.

c. Penggenapan perjanjian-perjanjian Alkitab terletak di masadepan

Maka sesuai dengan pertimbangan-pertimbangan demikian, pusat pemikiran Ritschl beralih dari ditekankannya apa yang ada pada asal-mulanya, kepada digambarkannya hal itu secara terarah ke masadepan: "Skriptura patut dimengerti sebagai titik-permulaan tradisi, yang berkembang dan maju terus ke arah penggenapan segala perjanjian Yahweh" (Ritschl ibid, hl. 128).

Suatu cara pemikiran yang sama terwujud dalam dokumen penelitian oikumenis:27

"Apakah kewibawaan Alkitab itu malah terletak dalam harapan bahwa dialog-persekutuan "(Allah dengan manusia)" yang dimulai pada masa lampau itu akan dilanjutkan pada masa mendatang? Allah telah berfirman kepada umatNya pada masa lampau; dan kenyataan bahwa Dia berdialog dan bersekutu demikian pada masa lampau adalah merupakan perjanjian bahwa hubungan yang dimulai demikian, pastilah berlangsung terus pada masa mendatang. Bila AIlah berfirman untuk masa kini, hal itu terjadi bukan karena kita mengambil Alkitab secara langsung dan memindahkan ucapan-ucapan dari masa lampau (dengan maknanya yang juga terikat kepada masa lampau) dan menempatkannya langsung pada masa kini, dengan seolah-olah tidak peduli akan perubahan waktu dan kebudayaan. Bukan demikian caranya Allah berfirman pada masa kini, melainkan melalui perjanjian yang implisit dalam Alkitab; yaitu bahwa hubungan Allah dengan manusia yang terjadi pada masa lampau, dapat terjadi pada masa mendatang juga."

Perhatian yang kini tertuju kepada "teologia pengharapan" dan "teologia masa mendatang" rupanya akan merangsang diskusi lebih lanjut mengenai pokok ini.

3. Konsep "penyataan progresif"

Mungkin dianggap tepat kalau dalam rangka membicarakan hal ditekankannya "pengharapan" dan "masa mendatang" itu kita juga menyinggung sedikit tentang konsep "penyataan progresif" (penyataan yang berlangsung terus-menerus), karena ide itu sering dipakai dalam konteks diskusi tentang penafsiran Alkitab.

a. Pendefinisian istilah

Harus ditentukan terlebih dahulu apa yang dimaksudkan dengan "penyataan progresif." Secara umum, harus diakui bahwa istilah itu dipakai terutama dalam teologia "liberal." Maka oleh karena itu istilah tersebut tidak disenangi oleh kaum konservatif, dan penganut teologia Alkitabiah pun cenderung untuk menolak istilah itu. C.H. Dodd28 menguraikan konsep "penyataan progresif" itu dalam bukunya, The Authority of the Bible. Pokok-utama yang dikemukakan Dodd ialah bahwa "karya dan pengaruh Yesus Kristus merupakan puncak seluruh proses kompleks rumit yang digariskan sepanjang Alkitab." Proses tersebut "mengandung nilai rohani yang sangat berharga, sehingga patut kita mengakuinya sebagai penyataan Allah dalam arti yang sepenuh-penuhnya." Penekanan itu dikaitkan dalam uraian Dodd dengan pendapat bahwa "segala pertambahan pengetahuan adalah sungguh-sungguh merupakan suatu penyataan." Kemudian secara lebih Alkitabiah, Dodd menggunakan konsep "penyataan progresif" itu untuk menciptakan hubungan positif antara Yesus dan sejarah agama Israel yang telah mendahuluiNya.

b. Beberapa ciri-negatif konsep "penyataan progresif"

Akan tetapi konsep "penyataan progresif" itu juga dipakai dalam cara yang lebih bersifat negatif; yaitu sebagai suatu cara untuk menolak atau mengabaikan sedikit banyak bahan Alkitabiah, dengan alasan bahwa bahan-bahan tersebut adalah termasuk tahap primitif dalam proses kemajuan yang agung itu. Bahkan Dodd sendiri berbicara mengenai "ide-ide tentang Allah yang agak mengandung kesalahan, sehingga dalam proses waktu, ide-ide itu diganti dengan konsep-konsep baru yang makin mendekati kebenaran" (op. cit., hl. 249). Pendekatan yang demikian tidak disenangi kaum konservatif, karena memberi kesan bahwa ada kesalahan-kesalahan dalam Alkitab sejak awal-mulanya. Oleh kaum neo-orthodox pun pendapat Dodd akan ditolak, baik karena gerakan kaum neo-orthodox itu mengandung suatu aspek anti-evolusi, maupun karena gerakan neo-orthodox itu mengelakkan konsep perbedaan-perbedaan taraf-nilai atau taraf-mutu dalam Alkitab (dengan memandang Alkitab secara keseluruhan).

Ada tiga hal tentang pemakaian konsep "penyataan progresif" yang patut kita catat:

i. Ditekankannya "puncak-puncak" penyataan Alkitabiah

Konsep itu dipakai untuk menurunkan derajat unsur-unsur tertentu dalam Alkitab, yaitu unsur-unsur yang dianggap tidak termasuk "puncak-puncak proses penyataan." Sebaliknya, puncak-puncak itu mendapat perhatian yang besar. Suatu contoh tentang hal ini ialah penilaian yang amat tinggi yang diberikan kepada Yesaya II, seorang tokoh Alkitab yang dijunjung tinggi oleh teologia liberal, sehingga dinilai sebagai klimaks gerakan kenabian, bahkan puncak seluruh Perjanjian Lama.

ii. Pemakaian konsep secara apologetis

Di pihak lain, konsep penyataan progresif itu dipakai dalam rangka apologetik, dengan maksud membenarkan adanya unsur-unsur dalam Alkitab yang kini dianggap kurang pantas. Dikatakan bahwa cerita-cerita yang demikian adalah bersifat primitif, yang walaupun memang terkandung dalam skriptura, toh termasuk tahap-tahap yang paling awal dalam proses perkembangan skriptura: itu berarti bahwa unsur-unsur yang kurang'pantas sudah ditutupi atau dibetulkan melalui penekanan-penekanan kemudian yang juga terdapat dalam skriptura.

iii. Penerapan konsep secara selektif

Baik sikap, yang tergambar di bawah pokok (i) maupun di bawah pokok (ii), memberi kesan bahwa seolah-olah manusia menempatkan diri di atas Alkitab, serta turun-tangan untuk membela Alkitab itu. Tetapi keberatan yang lebih besar lagi terhadap konsep "penyataan progresif" itu ialah ketidak-konsekwenannya. Teori tentang pros es perkembangan, yang makin mendekati kebenaran definitif, hanyalah dapat dibuktikan dengan jalan memilih beberapa contoh tertentu dari keseluruhan sejarah agama Alkitabiah. Tokoh-tokoh yang menggunakan konsep "penyataan progresif" itu biasanya menganggap bahwa bagian-bagian-besar dalam Alkitab merupakan semacam kemerosotan dan bukan suatu kemajuan, dibandingkan dengan tahap yang mendahului bahan-bahan itu.

c. Segi-segi positif konsep "penyataan progresif"

Harus diakui bahwa dalam hal-hal seperti yang disebut di atas, konsep "penyataan progresif" tidaklah sebenarnya melayani maksud para pengarang yang rnenggunakannya. Pula harus dikatakan bahwa konsep itu bergantung kepada suatu ide penyataan yang telah digeser oleh konsep-konsep teologis yang lebih modern, sehingga hampir tidak ada ahli teologia modern yang mempertahankan konsep penyataan tersebut. Namun demikian, ide penyataan progresif itu mengandung beberapa pokok yang berguna. Urusan-urusan Allah dengan manusia dalam Alkitab memanglah dapat digambarkan sebagai suatu proses yang memuncak; dan dapat dikatakan dengan tepat bahwa unsur-unsur kemudian dalam proses itu memanglah membangun atas dasar unsur-unsur awal. Saya pernah mengajukan pendapat dalam buku saya: Old and New in Interpretation, hl. 21, bahwa Alkitab sebagai bahan kesusasteraan memang merupakan suatu cerita yang berjalan secara teratur. Tiap-tiap karya Allah dan tiap-tiap peristiwa dalam cerita itu bermakna, karena peristiwa-peristiwa sebelumnya sudah menciptakan suatu kerangkaian-makna. Tiap-tiap karya atau peristiwa baru adalah merupakan kegiatan-lanjutan dari Dia yang sudah dikenal; yaitu Dia yang pernah mengadakan kontak dengan nenek-moyang Israel, --dan nenek-moyang itu menurunkan tradisi tentang kontak yang sudah mereka alami.

Argumentasi ini semuanya dapat diajukan tanpa membawa akibat-akibat yang negatif, seperti yang dahulu melekat pada konsep "penyataan progresif." Karena konsep yang saya usulkan di sini tidak menggambarkan proses penyataan sebagai pencerahan yang makin sempurna, atau sebagai proses evolusi yang makin meningkat. Konsep itu tidak berarti juga bahwa kita harus memilih beberapa "puncak" tertentu dari bahan Alkitabiah, dengan konsekwensi bahwa sisa bahan itu turun derajatnya. Memang benar bahwa ada unsur-unsur dalam Alkitab yang dapat disebut "primitif," (yaitu unsur-unsur yang oleh penulis-penulis Alkitabiah diubah atau bahkan ditinggalkan pada periode kemudian). Tetapi sering terjadi, bahwa bilamana seluruh konteks persoalan ikut dipertimbangkan, maka perubahan-perubahan dan pembetulan-pembetulan unsur primitif tidak hanya membawa keuntungan, melainkan kerugian juga. Jadi patut dicatat bahwa memang ada suatu proses perkembangan, selama periode Alkitabiah itu dan dalam bahan-bahan Alkitab itu. Fakta itu memang berpengaruh terhadap tugas penafsir dan ahli teologia. Tetapi adanya unsur-unsur primitif itu tidak berarti bahwa unsur-unsur tersebut dapat diabaikan, atau bahwa unsur-unsur yang dianggap lebih tinggi patutlah diberi penekanan yang khusus.

(sebelum, sesudah)


Alkitab di Dunia Modern (The Bible in the Modern World) Prof. James Barr Terjemahan Dr. I.J. Cairns BPK/8331086/7 Penerbit BPK Gunung Mulia, 1979 Kwitang 22, Jakarta Pusat  

Indeks Kristiani | Indeks Artikel | Tentang Penulis
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

Please direct any suggestion to Media Team