|
45. Sikap Burung-Burung
Setelah burung-burung mendengarkan pembicaraan Hudhud,
kepala mereka pun terkulai, dan kesedihan mencucuk-cucuk
hati mereka. Kini mereka mengerti betapa sulit bagi sekepul
debu seperti mereka untuk meregang busur sehebat itu. Begitu
besar gairah mereka sehingga banyak yang mati di tempat dan
saat itu. Tetapi yang lain-lain, betapa sengsaranya pun,
memutuskan untuk menempuh jalan panjang itu. Bertahun-tahun
mereka mengembara melintasi gunung demi gunung dan lembah
demi lembah, dan sebagian besar hidup mereka mengalir lalu
di perjalanan itu. Tetapi bagaimana mungkin menuturkan
segala yang telah terjadi pada mereka? Perlu berjalan
bersama mereka dan mengetahui kesulitan-kesulitan mereka,
serta mengikuti pengembaraan-pengembaraan di jalan panjang
itu; barulah kita dapat menyadari penderitaan burung-burung
itu.
Pada akhirnya, hanya sejumlah kecil dari kawanan yang
besar itu dapat sampai ke tempat mulia yang ditunjukkan
Hudhud. Dari ribuan burung itu hampir semuanya telah lenyap.
Banyak yang hilang di lautan, yang lain binasa di puncak
gunung-gunung tinggi, disiksa dahaga; yang lain lagi
terbakar sayapnya, sedang hatinya mengering karena api
matahari; sebagian dimangsa macan dan macan tutul, sebagian
lagi mati kecapaian di gurun-gurun dan di hutan-hutan
belantara, dengan bibir kering dan tubuh kepanasan: ada yang
menjadi gila dan saling berbunuhan karena sebutir jawawut;
ada pula yang karena lemah oleh penderitaan dan keletihan,
jatuh di jalan dan tak kuat melanjutkan perjalanan lebih
jauh lagi; yang lain, bingung karena apa-apa yang mereka
lihat, berhenti di tempat itu, tercengang-cengang; dan
banyak, yang telah berangkat lantaran ingin tahu atau
senang, tewas tanpa mendapat gambaran tentang apa yang
mereka cari dalam perjalanan yang telah mulai mereka tempuh
itu.
Karena itu, dari semua burung yang beribu-ribu itu, hanya
tiga puluh saja yang dapat sampai ke tujuan perjalanan itu.
Dan mereka ini pun kebingungan pula, letih, dan sedih, tak
berbulu dan bersayap lagi. Tetapi kini mereka ada di muka
pintu Yang Mulia, yang tak terperikan, dan yang hakikat
dirinya tak terpahami - Wujud yang mengatasi pikiran dan
pengetahuan makhluk. Maka memancarlah kilat kepuasan, dan
seratus dunia pun terbakar-musnah dalam sekejap saja. Dan
mereka pun melihat ribuan matahari, masing-masing lebih
gemilang dari yang lain, ribuan bulan dan bintang, semua
sama indahnya, dan melihat semua itu, mereka pun keheranan
dan bergairah bagai sebutir zarrah debu, dan mereka pun
berseru, "O Paduka yang lebih cemerlang dari surya! Yang
membuat surya tampak bagai sebutir zarrah, bagaimana mungkin
kami terlihat di muka Baduka? Ah, mengapa kami telah
menanggung segala penderitaan di Jalan itu dengan begitu
sia-sia? Setelah meninggalkan segalanya dan diri kami
sendiri, kami kini tak mungkin mendapatkan apa yang telah
kami usahakan. Di sini tak penting lagi apakah kami ada atau
tidak."
Maka burung-burung yang cemas sehingga mereka menyerupai
ayam jago yang setengah mati itu tenggelam dalam putus-asa.
Waktu yang lama pun berlalu. Ketika, pada saat yang baik,
tiba-tiba pintu terbuka, keluarlah kepala rumah tangga
keraton, salah seorang abdi keraton Seri Baginda. Ia
memeriksai burung-burung itu dan mengetahui bahwa dari yang
beribu-ribu itu hanya tiga puluh ekor burung itu yang
tinggal.
Ia pun berkata, "Nah, wahai burung-burung, dari mana
kalian datang, dan hendak mengapa kalian ke mari? Siapa nama
kalian? Wahai kalian yang tak memiliki apa pun, di mana
rumah kalian? Kalian disebut apa di dunia? Apa yang mungkin
dilakukan dengan sekepul debu yang lemah macam kalian
ini?"
"Kami datang," kata mereka. "Untuk mengakui sang Simurgh
sebagai Raja kami. Karena cinta dan damba kami terhadapnya,
kami telah kehilangan akal dan kedamaian pikiran. Di masa
yang sudah begitu lama berlalu, ketika kami berangkat dalam
perjalanan ini, kami beribu-ribu, dan kini hanya tiga puluh
yang sampai ke keraton mulia ini. Kami tak mungkin percaya
bahwa Raja akan memurkai kami setelah kami mengalami segala
penderitaan itu. Ah, tidak! Ia hanya akan memandang kami
dengan pandangan penuh kemurahan!"
Kepala rumah tangga keraton itu menjawab, "O kalian yang
risau dalam hati dan pikiran, apakah kalian ada atau tak ada
di alam semesta, Raja senantiasa kekal adanya. Beribu-ribu
makhluk dunia tak lebih dari semut depan pintu gerbangnya.
Kalian tak lain hanya membawa keluh dan ratapan. Kalau
demikian kembalilah ke tempat asal kalian, o kepul tanah
yang hina!"
Mendengar itu, burung-burung itu kejang-kaku karena
heran. Namun begitu, ketika mereka sadar kembali, mereka pun
berkata, "Akankah Raja agung itu menolak kami begitu
hinanya? Dan jika memang demikian sikapnya pada kami, tak
mungkinkah ia mengubah sikap itu terhadap yang patut
mendapat kemuliaan? Ingatlah Majnun yang mengatakan, 'Jika
semua orang yang tinggal di bumi ini ingin menyanyikan
pujian bagiku, tak akan kuterima mereka; aku lebih senang
menerima hinaan-hinaan Laila. Satu saja hinaannya bagiku
lebih dari seratus pujian yang datang dari wanita
lain!'"
"Kilat keagungannya akan memancar sendirinya," kata
kepala rumah tangga keraton itu, "ia akan mengangkat pikiran
dari segala jiwa. Apakah gunanya bila jiwa hancur karena
seratus duka? Apakah gunanya pada saat ini berada dalam
keagungan atau kehinaan?"
Burung-burung, yang dibakar cinta itu, berkata,
"Bagaimana mungkin kupu-kupu menyelamatkan diri dari nyala
api bila ia ingin menjadi satu dengan nyala api itu? Sahabat
yang kita cari akan memuaskan kita dengan memperkenankan
kita menyatukan diri padanya. Bila kini kami ditolak, apakah
lagi daya kami? Kami seperti kupu-kupu yang menginginkan
persatuan dengan nyala lilin. Banyak yang meminta pada
kupu-kupu itu agar tak mengorbankan diri begitu konyol dan
demi tujuan yang sedemikian langka pula, namun kupu-kupu itu
mengucapkan terima kasih pada mereka atas nasihat itu dan
mengatakan pada mereka bahwa karena hatinya telah diserahkan
pada nyala lilin itu buat selamanya, maka tak ada lagi yang
mesti dipersoalkan."
Setelah menguji burung-burung itu, maka kepala rumah
tangga keraton itu pun membukakan pintu, dan ketika ia
menyingkapkan seratus tabir, satu demi satu, maka sebuah
dunia baru di balik tabir itu tersingkap. Kini cahaya dari
segala cahaya memancar, dan sekalian burung-burung itu duduk
di atas masnad,1
tempat duduk Yang Mulia dan Agung. Kepada mereka diberikan
nas, dan mereka diminta membaca itu, dan setelah membaca dan
merenungkan, mereka pun dapat memahami keadaan mereka.
Ketika mereka sepenuhnya merasa tenang dan terlepas dari
segala apa pun, mereka menjadi sadar bahwa sang Simurgh ada
di sana bersama mereka. Segala yang telah mereka perbuat
dahulu terhapus. Matahari keluhuran memancarkan sinarnya,
dan dalam saling merenungi wajah sesama mereka, ketiga puluh
burung (si-murgh) dari dunia luar ini menatap sang Simurgh
dari dunia dalam. Ini amat menakjubkan sehingga mereka tak
tahu apakah mereka masih tetap mereka atau apakah mereka
telah menjadi sang Simurgh. Akhirnya, dalam suasana tafakur
itu, mereka menyadari bahwa mereka sang Simurgh dan bahwa
sang Simurgh ketiga puluh burung itu juga. Ketika mereka
menatap sang Simurgh, mereka melihat bahwa sungguh sang
Simurgh yang ada di sana itu, dan ketika mereka mengarahkan
pandang ke diri mereka sendiri, mereka melihat bahwa mereka
sendiri sang Simurgh. Dan mengamati keduanya serempak, yaitu
diri mereka sendiri dan Dia, mereka pun menyadari bahwa
mereka dan sang Simurgh itu wujud yang satu dan yang itu
juga. Tiada siapa pun di dunia pernah mendengar tentang
sesuatu yang seperti itu.
Kemudian mereka tenggelam dalam tafakur, dan sejenak
kemudian, tanpa menggunakan kata-kata, mereka mohon pada
sang Simurgh agar menyingkapkan pada mereka rahasia tentang
rahasia keesaan dan kejamakan segala wujud. Sang Simurgh,
juga tanpa kata-kata, memberikan jawaban ini, "Matahari
keluhuranku ialah cermin. Siapa bercermin di sana melihat
jiwa dan raganya, melihat semua itu sepenuhnya. Karena
kalian telah datang sebagai tiga puluh burung, si-murgh,
kalian pun akan melihat tiga puluh burung dalam cermin itu.
Bila empat puluh atau lima puluh yang datang, tentu akan
melihat sejumlah itu pula. Meskipun kalian kini telah
berubah sepenuhnya, namun kalian melihat diri kalian sendiri
sebagaimana keadaan kalian dahulu.
Dapatkah penglihatan seekor semut sampai ke bintang
Kartika yang sayup? Dan dapatkah serangga mengangkat
landasan? Pernahkah kalian melihat nyamuk mencaplok gajah?
Segala yang telah kalian ketahui, segala yang telah kalian
lihat, segala yang telah kalian katakan atau kalian
dengar-semuanya bukan yang itu lagi. Bila kalian melintasi
lembah-lembah Jalan Ruhani dan bila kalian melakukan
kewajiban-kewajiban yang baik, kalian melakukan semua itu
dengan kegiatanku yang menyertai kalian; dan kalian dapat
melihat lembah-lembah hakikat dan kesempurnaanku. Kalian
yang hanya tiga puluh burung saja, sepantasnya merasa kagum,
tak sabar dan heran. Tetapi aku lebih dari tiga puluh
burung. Aku hakikat sang Simurgh yang sejati itu sendiri.
Maka leburkan diri kalian dalam diriku dengan jaya dan
gembira, dan dalam diriku kalian akan menemukan diri kalian
sendiri."
Segera sesudah itu, burung-burung itu akhirnya meniadakan
diri mereka sendiri dalam diri sang Simurgh - bayang-bayang
telah lenyap dalam cahaya surya, dan begitulah adanya.
Segala yang telah kau dengar, kau lihat atau kau ketahui
bukan pula awal dari apa yang harus kau ketahui, dan karena
permukiman yang bobrok di dunia ini bukan tempatmu, maka kau
harus meninggalkannya. Carilah pokok pohon itu, dan jangan
risaukan apakah cabang-cabangnya ada atau tidak ada.
Kebakaan Setelah Kemusnahan
Setelah seratus ribu keturunan berlalu, burung-burung
fana itu dengan sendirinya menyerahkan diri pada kemusnahan
sepenuhnya. Tiada siapa pun, baik muda maupun tua, dapat
berbicara dengan tepat tentang kematian atau kebakaan.
Sebagaimana jauhnya kedua hal ini dari kita, sedemikian pula
pemerian tentang keduanya tak mungkin jelas atau pasti. Jika
pembacaku mengharapkan penjelasan dengan amsal tentang
kebakaan yang menyusul setelah kemusnahan, untuk itu perlu
kutulis buku lain. Selama kau terikat dengan perkara-perkara
dunia, kau tak mungkin menempuh Jalan itu, tetapi bila dunia
tak lagi mengikatmu, kau akan dapat memasukinya seperti
dalam mimpi; tetapi mengetahui tujuannya, kau pun akan
melihat manfaatnya. Suatu benih diasuh di antara seratus
pemeliharaan dan cinta sehingga ia dapat menjadi makhluk
yang cerdas dan berkegiatan. Ia dididik dan diberi
pengetahuan yang perlu. Kemudian maut datang dan segalanya
terhapus, keagungannya tergulingkan. Demikianlah suatu
makhluk telah menjadi debu jalanan. Berkali-kali ia telah
dimusnahkan; tetapi sementara itu, ia telah dapat mengetahui
seratus rahasia yang sebelumnya tak pernah disadarinya, dan
pada akhirnya ia mendapat kebakaan, dan beroleh kehormatan
sebagai ganti kehinaan. Tahukah kau apa yang kaumiliki?
Masuklah ke dalam dirimu sendiri dan renungkan ini. Selama
kau tak menyadari kenihilanmu, dan selama kau tak
meninggalkan kebanggaan diri, kesombongan dan cintadiri, kau
tak akan dapat mencapai puncak kebakaan. Di Jalan itu kau
tercampak dalam kehinaan dan terangkat dalam kehormatan.
Dan kini ceritaku pun selesai, tak ada lagi yang mesti
kukatakan.
Catatan kaki:
1 tempat duduk raja-raja,
yang cukup lebar buat beberapa orang.
(sebelum, sesudah)
|