|
BAB 1: PENGETAHUAN TENTANG AKHIRAT
Berkenaan dengan nikmat surgawi dan siksaan-siksaan
neraka yang akan mengikuti kehidupan ini, semua orang yang
percaya pada al-Qur'an dan Sunnah sudah cukup mengetahuinya.
Tapi ada suatu hal yang sering terlewatkan oleh mereka,
yaitu bahwa ada juga suatu surga ruhaniah dan neraka
ruhaniah. Mengenai surga ruhaniah, Allah berfirman kepada
NabiNya, "Mata tidak melihat, tidak pula telinga
mendengarnya, tak pernah pula terlintas dalam hati manusia
apa-apa yang disiapkan bagi orang-orang yang takwa." Di
dalam hati manusia yang tercerahkan ada sebuah jendela yang
membuka ke arah hakikat-hakikat dunia ruhaniah, sehingga ia
mengetahui - bukan dari kabar angin atau kepercayaan
tradisional, melainkan dengan pengalaman nyata - segala
sesuatu yang menyebabkan kerusakan ataupun kebahagiaan di
dalam jiwa, persis sama jelas dan tegasnya sebagaimana
seorang dokter mengetahui apa yang menyebabkan penyakit
ataupun menyehatkan tubuh. Ia tahu bahwa pengetahuan tentang
Allah dan ibadah bersifat mengobati, dan bahwa kejahilan dan
dosa adalah racun-racun maut bagi jiwa. Banyak orang, bahkan
juga yang disebut sebagai ulama, karena mengikuti secara
membuta pendapat orang lain, tidak mempunyai keyakinan yang
sesungguhnya dalam iman mereka berkenaan dengan kebahagiaan
atau penderitaan jiwa di akhirat. Tetapi orang yang mau
mempelajari masalah ini dengan pikiran yang tak terkotori
oleh prasangka akan sampai pada keyakinan yang jelas tentang
masalah ini.
Akibat kematian atas sifat gabungan (komposit) manusia
adalah sebagai berikut. Manusia punya dua jiwa, jiwa hewani
dan jiwa ruhani. Jiwa ruhani ini bersifat malaikat. Tempat
jiwa hewaniah adalah dalam hati, tempat dari mana jiwa ini
menyebar seperti uap halus dan menyelusupi semua anggota
tubuh, memberikan tenaga atau kemampuan melihat pada mata,
mendengar pada telinga, serta kepada semua anggota tubuh
memberikan kemampuan untuk menyelenggarakan
fungsi-fungsinya. Hal ini bisa dibandingkan dengan sebuah
lampu yang ditempatkan di dalam suatu pondok yang cahayanya
jatuh pada dinding-dinding ke mana pun ia pergi. Hati adalah
sumbu lampu ini, dan jika penyaluran minyaknya diputus
karena suatu alasan, maka matilah lampu itu. Seperti itulah
kematian jiwa hewani. Tidak demikian halnya dengan jiwa
ruhani atau jiwa manusiawi. Ia tak terpilahkan dan dengannya
manusia mengenali Allah. Boleh dikatakan dialah pengendara
jwa hewani. Dan ketika jiwa hewani musnah, ia tetap tinggal,
tetapi laksana seorang penunggang kuda yang telah turun atau
seperti seorang pemburu yan gtelah kehilangan senjatanya.
Kuda dan senjata-senjata itu dianugerahkan pada jiwa manusia
agar dengan itu semua ia bisa mengejar dan menangkap
keabadian cinta dan pengetahuan tantang Allah. Jika ia telah
berhasil melakukan penangkapan itu, maka bukannya berkeluh
kesah, ia pun merasa lega ketika bisa menyingkirkan
senjata-senjata itu. Oleh karena itu Rasulullah saw.
bersabda, "Kematian adalah suatu hadiah Tuhan yang
diharap-harapkan oleh para mukminin." Tapi celakalah kalau
jiwa itu kehilangan kuda dan senjata-senjata pemburuannya
sebelum berhasil memperoleh hadiah tersebut. Kesedihan dan
penyesalannya akan tak terperikan.
Pembahasan yang agak lebih jauh akan menunjukkan betapa
bedanya jiwa manusia dari jasad dan anggota-anggotanya.
Setiap anggota tubuh bisa rusak dan berhenti bekerja, tapi
individualitas jiwa tak terganggu. Lebih jauh lagi, jasad
yang anda miliki sekarang tidak lagi berupa jasad
sebagaimana yang anda miliki pada waktu kecil, melainkan
sudah berbeda sama sekali. Meskipun demikian, kepribadian
anda sekarang ini sama dengan pada waktu itu. Karena itu,
sangat mudahlah untuk membayangkannya sebagai terus ada
bersama-sama sifat-sifat esensialnya yang tak tergantung
pada tubuh, seperti pengetahuan dan cinta akan Tuhan. Inilah
arti ayat al-Qur'an, "hal-hal yang baik itu abadi." Tetapi,
jika sebaliknya daripada membawa pengetahuan bersama anda,
anda malah menyeleweng dalam kejahilan tentang Allah.
Kejahilan ini juga merupakan suatu sifat esensial dan akan
tinggal abadi bagai kegelapan jiwa dan benih kesedihan. Oleh
karena itu, al-Qur'an berkata, "Orang yang buta di dalam
hidup ini akan buta di akhirat dan tersesat dari jalan yang
lurus."
Alasan bagi kembalinya ruh manusia yang sedang kita
bicarakan ini merujuk ke dunia yang lebih tinggi adalah
bahwa ia berasal dari sana dan bahwa ia bersifat malaikat.
Ia dikirim ke ruang yang lebih rendah ini berlawanan dengan
kehendaknya demi memperoleh pengetahuan dan pengalaman,
sebagaimana Allah berfirman di dalam al-Qur'an, "Turunlah
dari sini kamu semuanya, akan datang padamu
perintah-perintah dari-Ku dan siapa yang menaatinya tidak
perlu takut dan tak perlu pula mereka gelisah." Ayat: "Aku
tiupkan ke dalam diri manusia ruh-Ku" juga menunjukkan asal
samawi jiwa manusia. Sebagaimana kesehatan jiwa hewani
adalah berupa kesimbangan dari bagian-bagian penyusunannya,
dan keseimbangan ini bisa dipulihkan jika mengalami
gangguan, oleh obat-obat yang sehat, demikian pulalah
kesehatan jiwa manusia berbentuk suatu keseimbangan moral
yang dipelihara dan diperbaiki, jika dibutuhkan, oleh
perintah-perintah etis dan ajaran-ajaran moral.
Berkenaan dengan kemaujudan dunia di masa yang akan
datang, telah kita lihat bahwa jiwa manusia secara esensial
tak tergantung pada tubuh. Semua keberatan terhadap
kemaujudannya setelah kematian, didasarkan pada dugaan
adanya keperluan akan pemulihan jasad terdahulunya yang
telah jatuh ke tanah. Beberapa ahli kalam menduga bahwa jiwa
manusia tak termusnahkan setelah mati, malah terpulihkan.
Tetapi hal ini sesungguhnya bertentangan baik dengan nalar
maupun al-Qur'an. Yang disebut terdahulu menunjukkan pada
kita bahwa kematian tidak menghancurkan individualitas
esensial seorang manusia dan al-Qur'an berkata, "Jangan kamu
pikir orang-orang yang terbunuh du jalan Allah itu telah
mati. Tidak! Mereka masih hidup, bergembira dengan kehadiran
Tuhan mereka dan di dalam limpahan karunia atas mereka."
Tidak satukata pun disebutkan di dalam syariah tentang
orang-orang mati, yang baik maupun jahat, sebagai
termusnahkan. Malah, Nabi saw. diriwayatkan telah bertanya
kepada arwah orang-orang kafir yang terbunuh tentang apakah
mereka mendapati hukuman-hukuman yang diancamkan kepada
mereka sesuatu yang benar atau tidak. Ketika para
pengikutnya bertanya kepadanya apa gunanya bertanya kepada
mereka, beliau menjawab: "Mereka bisa mendengar kata-kataku
lebih baik daripada engkau."
Beberapa orang sufi telah dapat menampak dunia dan neraka
yang tak kasat mata, diungkapkan kepada mereka pada
saat-saat mereka berada dalam keadan kerasukan (trance)
seperti mati. Pada saat pulihnya kesadaran, muka-muka mereka
menggambarkan sifat ungkapan-ungkapan yang telah mereka
terima dengan tanda-tanda kegembiraan yang luar biasa
ataupun kepanikan. Tapi tidak perlu lagi visi untuk
membuktikan kepada manusia-manusia yang berpikir apa-apa
yang akan terjadi. Yaitu ketika kematian telah mencabut
indera-inderanya dan meninggalkannya tanpa sesuatu apa pun
kecuali kepribadian telanjangnya, jika ketika di atas bumi
ia terlalu asyik menyibukkan dirinya dengan benda-benda
cerapan indera - seperti isteri, anak, kekayaan, tanah,
budak laki-laki dan perempuan dan sebagainya - ia akan
menderita ketika kehilangan benda-benda ini. Sebaliknya,
jika ia telah membalikkan punggung sejauh-jauhnya dari semua
benda-benda duniawi dan meneguhkan kasih sayangnya yang amat
besar terhadap Allah, ia akan menyambut kematian sebagai
suatu sarana untuk melarikan diri dari kerepotan-kerepotan
duniawi dan bergabung dengan Ia yang dicintainya. Dalam
kasus ini, sabda Rasul akan akan terbukti: "Kematian adalah
jembatan yang menyatukan sahabat dengan sahabat"; "dunia ini
surga bagi orang kafir, dan penjara bagi orang-orang
mukmin."
Di pihak lain, semua derita yang ditanggung oleh jiwa
setelah mati bersumber pada cinta yang berlebih-lebihan
terhadap dunia. Rasulullah bersabda bahwa semua oran gkafir
setelah mati akan disiksa oleh 99 ular, masing-masing
memiliki 9 kepala. Beberapa orang yang berpikiran sederhana
telah memeriksa kuburan orang-orang kafir ini dan
bertanya-tanya mengapa mereka tak bisa melihat ular-ular
ini. Mereka tidak paham bahwa ular-ular ini bersemayam di
dalam ruh orang-orang kafir itu dan bahwa kesemuanya itu
sudah ada di dlam diri orang-orang kafir tersebut, bahkan
sebelum ia mati. Karena semuanya itu sesungguhnya adalah
simbol-simbol sifat jahatnya, seperti cemburu, kebencian,
kemunafikan, kesombongan, kelicikan dan lain sebagainya.
Sifat-sifat itu semuanya bersumber, secara langsung maupun
tidak, pada kecintaan terhadap dunia ini. Itulah neraka yang
disediakan bagi orang-orang yang di dlam al-Qur'an dikatakan
"meneguhkan hati mereka pada dunia ini lebih daripada
akhirat". Jika ular-ular itu sekadar bersifat eksternal
belaka, mereka akan bisa berharap untuk melarikan diri dari
siksanya, meskipun hanya untuk sesaat saja. Tetapi jika
semuanya itu sudah menjadi sifat-sifat bawaan mereka,
bagaimana mereka bisa melarikan diri?. Ambillah contoh kasus
seseorang yang menjual seorang budak perempuan tanpa tahu
seberapa jauh ia telah terikat dengannya sampai ketika
perempuan itu telah sama sekali berada di luar jangkauannya.
Kemudian kecintaan pada budak itu, yang selama ini tertidur,
bangun di dalam dirinya dengan suatu intensitas yang
menyiksanya, menyengatnya seperti ular. Ia bisa gila
karenanya, mencapakkan dirinya ke dalam api atau air untuk
melarikan diri darinya. Inilah akibat cinta terhadap dunia,
yang tidak pernah terbayang dalam diri orang-orang yang
memilikinya sampai ketika dunia direnggut dari mereka dan
kemudian siksaan kesia-siaan membuat mereka mau dengan
senang hati menukarnya dengan sekadar ular-ular dan
kepiting-kepiting eksternal belaka, berapa pun jumlahnya.
Karenanya, setiap orang yang berbuat dosa membawa
perkakas-perkakas hukumannya sendiri ke dunia di balik
kematian. Benar kata al-Qur'an: "Sesungguhnya kalian akan
melihat neraka. Kalian akan melihatnya dengan mata keyakinan
(ainul-yaqin)", dan "neraka mengitari orang-orang kafir." Ia
tidak berkata akan mengitari mereka, karena neraka sudah
mengitari mereka sekarang juga.
Mungkin ada orang yang berkeberatan. Jika demikian
halnya, kemudian siapakah yang bisa menghindar dari neraka,
karena siapakah orang yang sedikit banyak tidak terikat pada
dunia dengan berbagai ikatan kesenangan dan kepentingan.
Atas pertanyaan ini kita menjawab bahwa ada orang-orang,
terutama para faqir, yang telah sama sekali melepaskan diri
mereka dari cinta terhadap dunia. Tetapi bahkan di antara
orang-orang yang memiliki kekayaan-kekayaan duniawi -
seperti isteri, anak, rumah dan lain sebagainya - masih ada
juga orang-orang yang, meskipun mereka memiliki kecintaan
terhadap benda-benda ini, mencintai Allah lebih dari
segalanya. Kasus mereka adalah seperti seseorang yang,
meskipun mempunyai sebuah tempat tinggal yan gia cintai di
suatu kota, ketika diminta oleh sang raja untuk mengisi
suatu pos kekuasaan di kota lain, ia melakukannya dengan
senang hati, karena pos kekuasaan itu lebih berharga baginya
daripada tempat tinggalnya terdahulu. Para nabi dan banyak
di antara para wali adalah orang-orang seperti itu.
Dalam jumlah besar, ada pula orang-orang lain yang
memiliki kecintaan pada Allah, tetapi kecintaannya terhadap
dunia ini demikian berlebihan dalam diri mereka sehingga
mereka akan harus menderita siksaan yang cukup besar setelah
kematian sebelum mereka sama sekali terbebaskan daripadanya.
Banyak yang memiliki kecintaan kepada Allah, tapi seseorang
bisa dengan mudah menguji dirinya dengan melihat ke mana
cenderungnya lengan timbangan cintanya ketika
perintah-perintah Allah datang berbenturan dengan beberapa
keinginannya. Pemilikan akan cinta kepada Allah yang tidak
cukup menahan seseorang dari pembangkangan kepada Allah
adalah suatu kebohongan.
Telah kita lihat di atas bahwa salah satu jenis neraka
ruhani itu berbentuk pemisahan secara paksa dari benda-benda
duniawi yang kepadanya hati terikat terlalu erat. Banyak
orang yang tanpa sadar membawa dalam dirinya kuman-kuman
neraka seperti itu. Mereka akan merasa seperti seorang raja
yang setelah menjalani hidup mewah, dicampakkan dari
singgasananya dan menjadi bahan tertawaan.
Jenis kedua neraka ruhani adalah malu, yaitu ketika
seseorang dibangunkan untuk melihat sifat tindakan-tindakan
yang dulu dilakukannya dalam hakikat telanjangnya. Orang
yang mengumpat akan melihat dirinya dalam bentuk seorang
kanibal yang makan daging saudaranya yang telah mati. Orang
yang mempunyai sifat iri hati akan tampak sebagai seseorang
yang melemparkan batu-batu ke dinding, kemudian batu-batu
itu memantul kembali dan mengenai mata anaknya sendiri.
Neraka jenis ini, yaitu malu, bisa disimpulkan dengan
perumpamaan ringkas berikut ini. Misalkan seorang raja baru
selesai merayakan perkawinan anak laki-lakinya. Pada malam
harinya, laki-laki muda itu pergi keluar dengan beberapa
orang sahabat dan kemudian kembali ke istana dalam keadaan
mabuk. Ia memasuki sebuah kamar yang terang dan kemudian
berbaring di samping tubuh yang diduganya sebagai mempelai
wanitanya. Pagi harinya, ketika kesadarannya pulih, ia
terperanjat ketika mendapati dirinya berada di dalam sebuah
kamar mayat para penyembah-api. Sofanya adalah tandu
jenazah, dan bentuk yang disalah-mengertikannya sebagai
mempelai perempuannya adalah mayat seorang wanita tua yang
mulai membusuk. Ketika keluar dari kamar mayat dengan
pakaian kumuh, betapa malunya ia ketika ayahnya, sang raja,
menghampirinya dengan serombongan tentara. Itu gambaran
perumpamaan tentang rasa malu yang akan dirasakan di akhirat
oleh orang-orang yang dengan serakah telah memasrahkan diri
mereka pada hal-hal yang mereka anggap sebagai
kebahagiaan.
Neraka ruhaniah ketiga berbentuk kekecewaan dan kegagalan
untuk mencapai obyek kemaujudan yang sesungguhnya. Manusia
diciptakan dengan maksud untuk mencermini cahaya pengetahuan
akan Tuhan. Tapi jika ia sampai di akhirat dengan jiwa yang
tersaput tebal oleh karat pengumbaran nafsu inderawi, ia
akan sama sekali gagal untuk memperoleh tujuan
penciptaannya. Kekecewaannya bisa digambarkan dengan cara
berikut. Misalkan seseorang sedang melewati sebuah hutan
gelap bersama beberapa orang sahabat. Di sana-sini
berkelap-kelip di atas tanah, bertebaran batu-batu berwarna.
Para sahabatnya mengumpulkan dan membawa benda-benda itu
seraya menasehatinya agar ia turut melakukan hal yang sama.
"Karena," kata mereka, "kami dengar batu-batu itu akan
memperoleh harga tinggi di tempat yang akan kita datangi."
Tapi orang ini malah menertawakan mereka dan menyebut mereka
sebagai orang-orang pandir karena menyimpan harapan sia-sia
untuk memperoleh sesuatu, sementara ia sendiri bisa berjalan
bebas tak berbebani. Kemudian mereka pun menjelang terang
tanah dan mendapati bahwa batu-batu yang berwarna-warni itu
ternyata batu-batu delima, Zamrud dan permata-permata lain
yang tak terkira harganya. Kekecewaan dan penyesalan orang
itu, karena tidak mengumpulkan benda-benda yang sudah berada
dalam jangkauannya itu, lebih mudah dibayangkan daripada
diperikan. Seperti itulah jadinya penyesalan orang-orang
yang ketika melalui duni aini tidak berusaha memperoleh
permata-permata kebajikan dan perbendaharaan-perbendaharaan
agama.
Perjalanan manusia di dunia ini bisa dikelompokkan dalam
empat tahap - yang inderawi, eksperimental, instingtif dan
rasional. Dalam tahap yang pertama ia seperti seekor rayap
yang, meskipun memiliki penglihatan, tak punya kemampuan
mengingat dan akan menghapuskan dirinya terus-menerus pada
lilin yang sama. Tahap kedua, ia seperti seekor anjing yang,
setelah sekali digigit, akan lari ketika melihat sebatang
rotan pemukul. Pada tahap ketiga, ia seperti seekor kuda
atau domba yang, secara instingtif, terbang seketika tatkala
melihat seekor macan atau srigala - musuh-musuh alaminya -
sementara mereka tak akan lari jika melihat seekor onta atau
kerbau, meskipun kedua binatang ini lebih besar ukurannya.
Di dalam tahap yang keempat manusia sama sekali mengatasi
batas-batas binatang itu sehingga mampu, sampai batas
tertentu, meramalkan dan mempersiapkan diri bagi masa depan.
Gerakan-gerakannya pada mulanya bisa dibandingkan dengan
berjalan biasa di atas tanah, kemudian menyeberangi laut
dengan sebuah kapal, kemudian pada pendaratan keempat -
ketika ia sudah akrab dengan hakikat-hakikat - berjalan di
atas air. Sementara itu, di balik dataran ini masih ada
dataran kelima yang dikenal oleh para nabi dan wali yang
bisa dibandingkan dengan terbang mengarungi udara.
Jadi manusia punya kemampuan untuk dada pada berbagai
dataran yang berbeda, mulai dari dataran hewaniah sampai
dataran malaikat. Dan persis dalam hal inilah terletak
bahayanya, yaitu dari kemungkinan jatuh ke dataran yang
paling rendah. Di dalam al-Qur'an tertulis, "Telah Kami
tawarkan (yaitu tanggung jawab atau kehendak bebas) kepada
lelangit dan bumi serta gunung-gunung; mereka menolak untuk
menanggungnya. Tetapi manusia mau mananggungnya.
Sesungguhnya manusia itu bodoh." Tidak hewan tidak pula
malaikat bisa mengubah tingkat dan tempat ia ditempatkan.
Tetapi seseorang bisa tenggelamke dataran hewaniah atau
terbang ke dataran malaikat, dan inilah arti dari
"penanggungan beban" sebagaimana disebutkan di atas oleh
al-Qur'an. Sebagian besar manusia memilih untuk berada di
dua tahap terndah tersebut di atas, dan yang tetap tinggal
biasanya selalu bersikap bermusuhan dengan orang yang
bepergian atau musafir yang jumlahnya jauh lebih
sedikit.
Banyak orang dari kelas yang disebut terdahulu, karena
tidak memiliki keyakinan yang teguh tentang dunia yang akan
datang, ketika dikuasai oleh nafsu-nafsu inderawi,
menolaknya sama sekali. Mereka berkata bahwa neraka adalah
suatu temuan para ahli ilmu kalam belaka untuk
menakut-nakuti orang. Mereka memandang para ahli ilmu kalam
dengan penghinaan terbuka. Berbdebat dengan orang-orang
seperti ini sedikit sekali manfaatnya. Meskipun demikian,
ada yang bisa dikatakan pada orang yang seperti ini yang
mungkin bisa membuatnya berhenti dan merenung. "Benarkah
anda sungguh-sungguh berpikir bahwa 124.000 nabi dan wali
yang percaya pada kehidupan masa akan datang semuanya salah
dan anda, yang menolaknya, benar?" Jika ia menjawab, "Ya,"
saya sedemikian yakin - sebagaimana saya yakin bahwa dua
lebih besar daripada satu - bahwasanya jiwa dan kehidupan
masa depan dalam bentuk kebahagiaan maupun hukuman itu tidak
ada, maka manusia seperti itu sudah tidak mempunyai harapan
lagi. Yang bisa diperbuat hanyalah meninggalkannya sendiri
sembari mengingat kata-kata al-Qur'an, "Meskipun kau
peringatkan mereka, mereka tak akan ingat."
Tetapi jika ia berkata bahwa kehidupan masa depan adalah
suatu kebolehjadian, hanya bahwa doktrin itu penuh
mengandung keraguan dan misteri, sehingga tidak mungkin
untuk bisa memutuskan benarkah hal itu atau tidak, maka
seseorang bisa berkata kepadanya, "Jika demikian, sebaiknya
anda selesaikan baik-baik keraguan itu." Misalkan anda
sedang akan makan makanan, kemudian seseorang berkata kepada
anda bahwa seekor ular telah meludahkan bisa ke dalamnya,
maka mungkin sekali anda akan menahan diri dan lebih baik
menahan kepedihan rasa lapar daripada memakannya, meskipun
orang yang memberi informasi pada anda mungkin hanya
bercanda atau berbohong belaka. Atau misalkan anda sedang
sakit dan seorang penulis syair berkata, "Beri saya satu
dirham dan saya akan menulis sebuah puisi yang bisa
kauikatkan di lehermu, yang akan menyembuhkannya dari
sakit." Anda boleh jadi akan memberikan dirham yang
dimintanya dengan harapan bisa mendapatkan manfaat jimat
itu. Atau jika seoran gperamal berkata, "Pada saat bulan
telah sampai ke suatu bentuk tertentu, minumlah obat ini dan
itu dan engkau pun akan sembuh." Meskipun mungkin anda
sedikir sekali percaya pada astrologi, kemungkinan besar
anda akan mencoba juga pengalaman itu dengan harapan bahwa
orang itu benar. Tidakkah anda berpikir bahwa kebenaran yang
bisa dipercaya juga terdapat dalam kata-kata nabi, para wali
dan orang-orang suci, yang menyakinkan orang akan adanya
kehidupan mendatang, sebagaimana janji seorang penulis
jampi-jampi atau seorang peramal. Orang berani melakukan
perjalanan lewat laut yan gpenuh resiko demi mengharap suatu
keuntungan, maka tidak maukah anda menanggung sedikir
penderitaan di masa sekarang demi kebahagiaan abadi di
akhirat?
Sayyidina Ali Zainal Abidin (Putra Hesain bin Ali bin Abi
Thalib, cucu Rasulullah SAW) ketika berdebat dengan seorang
kafir pernah berkata, "Jika anda benar, maka tidak seoran
gpun di antara kita yang akan menderita keadaan yang lebih
buruk di masa depan. Tetapi jika kami yang benar, maka kami
akan terhindar dan anda akan menderita." Hal ini
dikatakannya bukan karena ia sendiri berada dalam keraguan,
tetapi hanya demi menciptakan suatu kesan bagi orang kafir
itu. Berdasar semua pembahasan di atas, dapat disimpulkan
bahwa urusan utama manusia di dunia ini adalah untuk
mempersiapkan diri bagi dunia yang akan datang. Sekalipun
jika ia ragu-ragu tentang kemaujudan masa depan, nalar
mengajarkan bahwa ia harus bertindak seakan-akan hal itu ada
dengan mempertimbangkan akibat luar biasa yang mungkin
terjadi. Keselamatan atas orang-orang yang mengikuti
ajaran-ajaran Allah.
(sebelum, sesudah)
|