|
BAB 1: PENGETAHUAN TENTANG TUHAN
Sebuah hadits Nabi (SAW) yang terkenal berbunyi "Dia yang
mengenal dirinya, mengenal Allah." Artinya, dengan
merenungkan wujud dan sifat-sifatnya, manusia sampai pada
sebagian pengetahuan tentang Tuhan. Tetapi karena banyak
orang yang merenungkan dirinya tidak juga menemui Tuhan,
berarti bahwa tentulah ada cara-cara tersendiri untuk
melakukan hal tersebut. Kenyataannya, ada dua metode untuk
bisa sampai pada pengetahuan ini. Salah satu di antaranya
sedemikian musykil sehingga tidak bisa dicerna dengan
kecerdasan biasa dan karenanya lebih baik tidak
dijelaskan.
Metode yang lain adalah sebagai berikut. Jika seorang
manusia merenungkan dirinya, ia akan tahu bahwa sebelumnya
ia tidak ada, sebagaimana tertulis di dalam al-Qur'an:
"Tidakkah manusia tahu bahwa sebelumnya ia bukan apa-apa?"
Selanjutnya ia ketahui bahwa ia terbuat dari satu tetes air
yang tidak mengandung intelek, pendengaran, kepala, tangan,
kaki dan sebagainya. Dari sini jelaslah bahwa, setinggi apa
pun tingkat kesempurnaannya, ia tidak menciptakan dirinya
dan tidak pula ia mampu mencipta seutas rambut
sekalipun.
Betapa sangat tak berdayanya ia pada waktu ia baru hanya
berupa setetes air itu! Jadi, sebagaimana telah kita lihat
pada bab pertama (Pengetahuan Tentang Diri - pen.), dia
dapati pada wujudnya sendiri terpantulkan sebagai,
katakanlah, suatu miniatur kekuasaan, kebijakan dan cinta
Sang Pencipta. Jika semu orang pandai dari seluruh dunia
dikumpulkan dan hidup mereka diperpanjang sampai waktu yang
tidak terbatas, tidak akan bisa mereka hasilkan perbaikan
apa pun atas bangun satu bagian saja dari jasad manusia.
Misalnya, pada penyesuaian geligi depan dan samping pada
pengunyahan makanan, serta pada bangun lidah,
kelenjar-kelenjar air liur dan kerongkongan untuk
penelanannya, kita dapati peralatan-peralatan yang tidak
bisa dibuat lebih baik lagi. Demikian pula seseorang yang
merenungkan tangan dengan lima jari-jarinya yang tidak sama
panjang - empat di antaranya dengan tiga persendian dan
jempol yang hanya mempunyai dua - serta dengan cara
bagaimana ia bisa dipergunakan untuk mencekal, menjinjing
atau memukul, secara terus terang akan mengakui bahwa tidak
akan mungkin kebijakan manusia bisa membuatnya lebih baik
lagi dengan mengubah jumlah dan aturan jari-jari tersebut,
atau dengan jalan lain apa pun.
Jika seorang manusia lebih lanjut memikirkan bagaimana
beragam keinginannya akan makanan, penginapan dan lain
sebagainya, pemenuhannya begitu banyak disodorkan dari
gudang penciptaan, ia pun menjadi sadar bahwa rahmat Allah
adalah sebesar kekuasaan dan kebijakan-Nya, sebagaimaan Ia
sendiri berkata: "Rahmat-Ku lebih luas dari kutukan-Ku." Dan
menurut hadits Nabi (SAW), allah lebih lembut penciptaan
dirinya sendiri, manusia menjadi tahu akan kemaujudan Tuhan.
Dari kerangka tubuhnya yang menakjubkan ia mengetahui
kekuasaan dan kebijakkan Allah. Dan lewat karunia yang
berlimpah untuk memenuhi berbagai kebutuhannya, ia
mengetahui kecintaan Allah. Dengan cara ini pengetahuan
tentang diri menjadi kunci bagi pengetahuan tentang
Allah.
Bukan saja sifat-sifat manusia merupakan suatu pantulan
sifat-sifat Tuhan, tetapi bentuk kemaujudan jiwa manusia pun
menghasilkan suatu wawasan tentang bentuk kemaujudan Allah.
Dengan demikian bisa dikatakan bahwa Allah dan jiwa
kedua-duanya tidak terbatasi oleh ruang dan waktu, serta
berada di luar pengelompokan-pengelompokan jumlah dan
kualitas. Demikian pula gagasan-gagasan tentang bentuk,
warna atau ukuran tidak bisa pula dihubungkan dengan
keduanya. Orang mengalami kesulitan untuk membentuk suatu
konsepsi tentang hakikat semacam itu yang hampa kualitas,
jumlah, dan sebagainya, padahal kesulitan yang sama
terkaitkan pula dengan konsepsi tentang perasaan kita
sehari-hari, seperti marah, sakit, senang atau cinta.
Semuanya itu adalah konsep-konsep pikiran dan tidak bisa
dimengerti oleh indera, sementara kualitas, jumlah dan lain
sebagainya adalah konsep-konsep indera. Sebagaimana telinga
tidak bisa mengenali warna, tidak pula mata bisa mengenali
suara; dalam ketidakmampuan kita membayangkan
hakikat-hakikat puncak, yaitu Allah dan ruh, kita dapati
diri kita berada di dalam suatu wilayah di mana
konsep-konsep indera tidak bisa ambil bagian. Meskipun
demikian, sebagaimana bisa kita lihat, Allah adalah pengatur
jagat dan Ia - yang berada di luar ruang dan waktu,
kuantitas dan kualitas - mengatur apa-apa yang sedemikian
terkondisikan. Begitu pulalah ruh mengatur jasad dan
anggota-anggotanya dalam keadaan ia sendiri tidak
kasat-mata, tidak terbagi-bagi dan tidak tertempatkan di
suatu bagian khusus mana pun. Karena, bagaimana bisa sesuatu
yang tidak terbagi-bagi tertempatkan di dalam sesuatu yang
bisa tergagi-bagi. Dari semuanya ini bisa kita lihat betapa
benarnya hadits Nabi (SAW): "Allah menciptakan manusia di
dalam kemiripan dengan diri-Nya sendiri."
Dan setelah kita sampai pada sebagian pengetahuan tentang
esensi dari sifat-sifat Allah lewat perenungan akan esensi
dan sifat-sifat ruh, maka akan bisa kita pahami metode
kerja, pengaturan dan pendelegasian kekuasaan Allah kepada
kekuatan-kekuatan kemalaikatan dan sebagainya, yaitu dengan
jalan mengamati bagaimana masing-masing kita mengatur
kerajaan-kerajaan kecilnya sendiri. Sebagai contoh
sederhana, misalkan seorang manusia ingin menulis nama
Allah. Pertama sekali keinginan ini terbetik di dalam hati,
baru kemudian dibawa ke otak oleh ruh-ruh vital. Bentuk kata
"Allah" tergambar di dalam relung-relung otak, kemudian
berjalan sepanjang saluran syaraf dan menggerakkan jari-jari
yang pada gilirannya menggerakkan pena. Dengan demikian nama
"Allah" terguratkan di atas kertas tepat sebagaimana
dibayangkan di dalam otak penulisnya. Demikian pula, jika
Allah menghendaki sesuatu, maka sesuatu itu tampil di dalam
dataran ruhaniah yang di dalam al-Qur'an disebut sebagai
"Singgasana" (al-'arsy). Dari singgasana itu ia berlalu
lewat suatu arus spiritual ke arah suatu dataran yang lebih
rendah yang disebut kursi (al-kursiy), kemudian bentuknya
tampil dalam al-lauh 'al-mahfuzh yang, dengan perantaraan
kekuatan-kekuatan yang disebut sebagai "malaikat-malaikat",
mewujud dan tampil di atas bumi dalam bentuk tetanaman,
pepohonan dan hewan-hewan, sebagai pencerminan keinginan dan
pikiran Allah, sebagaimana huruf-huruf yang tertulis
mencerminkan keinginan yang terbetik di dalam hati dan
bentuk yang hadir di dalam otak sang penulis.
Tidak seorang pun bisa memahami seorang raja kecuali
seorang raja. Karena itu Tuhan telah menjadikan
masing-masing kita sebagai, katakanlah, seorang raja dalam
miniatur, atas suatu kerajaan yang merupakan tiruan dari
kerajaan-Nya yang telah disusutkan secara tidak terbatas. Di
dalam kerajaan manusia, singgasana Allah dicerminkan oleh
ruh, malaikat (Jibril) oleh hati, kursy oleh otak dan
lauhul-mahfuzh oleh ruang-gudang pikiran. Jiwa - yang ia
sendiri tak tertempatkan dan tak terbagi-bagi - mengatur
jasad sebagaimana Allah mengatur jagad. Pendeknya, kepada
kita diamanatkan suatu kerajaan kecil, dan kita diwajibkan
untuk tidak ceroboh dalam mengaturnya.
Mengenai pengenalan tentang bagaimana Allah memelihara,
ada banyak tingkatan pengetahuan. Ahli fisika biasa, seperti
seekor semut yang merangkak di atas selembar kertas dan
mengamati huruf-huruf hitam yang tersebar di atasnya, akan
menunjukkan "sebab" hanya kepada pena saja. Seorang
astronom, seperti seekor semut dengan pandangan agak lebih
luas, bisa melihat jari-jari yang menggerakkan pena.
Maksudnya, ia mengetahui bahwa bintang-bintang berada di
bawah kekuasaan malaikat-malaikat. Jadi, sehubungan dengan
berbagai tingkat persepsi orang, perdebatan mesti timbul
dalam melacak sebab dari akibat. Orang-orang yang matanya
tidak pernah melihat ke balik dunia-gejala, adalah seperti
orang-orang yang salah menempatkan hamba-hamba dari
tingkatan yang paling rendah ke tingkatan raja. Hukum-hukum
tentang gejala mesti tetap atau, jika tidak, tak akan ada
sains dan sebagainya; tetapi untuk menempatkan hamba-hamba
sebagai majikan adalah suatu kesalahan besar.
Selama perbedaan di dalam fakultas perseptif para
pengamat ini masih ada, perdebatan memang mesti perlu
berlanjut. Bagaikan beberapa orang buta yang mendengar bahwa
seekor gajah telah datang ke kotanya, lantas pergi
menyelidikinya. Pengetahuan yang bisa mereka peroleh
hanyalah lewat indera perasaan, sehingga ketika seorang
memegang kaki sang binatang, yang satu lagi memegang
gadingnya dan yang lain telinganya, dan, sesuai dengan
persepsi mereka masing-masing, mereka menyatakannya sebagai
suatu batangan, suatu tabung yang tebal dan suatu lapisan
kapas, masing-masing mengambil sebagian untuk menyatakan
keseluruhannya. Jadi, sang ahli fisika dan astronomi
mengacaukan hukum-hukum yang mereka tangkap dengan Sang
Penetap hukum-hukum. Kesalahan yang sama dilemparkan kepada
Ibrahim di dalam al-Qur'an yang meriwayatkan bahwa ia
berturut-turut berpaling kepada bintang-bintahg, bulan dan
matahari sebagai obyek-obyek penyembahan, sampai kemudian
menjadi sadar tentang Dia yang membuat segala sesuatu,
Ibrahim pun berseru: "Saya tidak menyukai segala sesuatu
yang terbenam." (QS 6:76).
Kita memiliki sebuah contoh yang sudah umum tentang
pengacuan kepada sebab-sebab kedua apa-apa yang seharusnya
diacu kepada Sebab Pertama, yaitu dalam persoalan apa yang
disebut sebagai penyakit. Misalnya jika seseorang kehilangan
rasa tertariknya apda urusan duniawi, memiliki rasa benci
terhadap kesenangan-kesenangan umum, dan tampak tenggelam
dalam depresi, dokter akan berkata: "Ini adalah kasus
melankoli yang membutuhkan resep ini dan itu." Seorang ahli
fisika akan berkata: "Ini adalah persoalan kekeringan otak
yang disebabkan oleh cuaca panas dan tidak bisa disembuhkan
sampai udara menjadi lembab kembali." Sang ahli astrologi
akan mengaitkan hal ini dengan konjungsi atau oposisi
tertentu planet-planet. "Sejauh jangkauan kebijakan mereka,"
kata al-Qur'an. Tidak terbayangkan oleh mereka bahwa yang
sesungguhnya terjadi adalah seperti demikian: bahwa Yang
Maha Kuasa berkehendak mengurus kesejahteraan orang itu, dan
oleh karenanya telah memerintahkan hamba-hamba-Nya, yakni
planet-planet atau unsur-unsur, agar menciptakan keadaan
seperti itu di dalam diri orang tersebut, sehingga ia bisa
berpaling dari dunia ke arah Penciptanya. Pengetahuan
tentang kenyataan ini merupakan suatu mutiara yang
berkilauan dari lautan pengetahuan keilhaman, yang
dibandingkan dengannya, semua bentuk pengetahuan lain
menjadi bagaikan pulau-pulau di tengah laut.
Dokter, ahli fisika dan ahli astrologi tersebut, tak syak
lagi memang benar dalam cabang pengetahuan-khususnya
masing-masing, tetapi mereka tidak bisa melihat bahwa
penyakit itu adalah, katakanlah, suatu tali cinta yang
digunakanoleh Allah untuk menarik para wali mendekat kepada
diri-Nya. Tentang para wali ini Allah berfirman: "Aku sakit
dan kamu tidak menjenguk-Ku." (ini hanya kiasan-pen).
Penyakit itu sendiri adalah salah satu di antara
bentuk-bentuk pengalaman yang menjadi sarana bagi manusia
untuk sampai pada pengetahuan tentang Allah, sebagaimana Ia
lewat mulut nabi-Nya (SAW): "Penyakit-penyakit itu sendiri
adalah hamba-hamba-Ku, dan dikenakan atas pilihan-Ku."
Catatan-catatan di atas memungkinkan kita memasuki lebih
dalam makna seruan-seruan yang melekat di bibir orang-orang
mukmin: "Subhanallah, alhamdulillah, la ilaha illallah,
allahu akbar." Mengenai yang terakhir, kita bisa berkata
bahwa hal itu tidaklah berarti bahwa Allah lebih besar dari
penciptaan, karena penciptaan adalah pengejawantahan-Nya,
sebagaimana cahaya adalah pengejawantahan matahari. Dan akan
tidak benar kalau dikatakan bahwa matahari lebih besar dari
cahayanya sendiri. Hal itu lebih berarti bahwa kebesaran
Allah sama sekali melampaui kemampuan kognitif dan bahwa
kita hanya bisa membentuk suatu gagasan yang amat kabur dan
tidak sempurna tentang-Nya. Jika seorang anak meminta kita
untuk menerangkan padanya kesenangan-kesenangan yang ada di
dalam pemilikan kedaulatan, kita bisa berkata bahwa hal itu
adalah seperti kesenangan-kesenangan yang ia rasakan di
dalam bermain-main dengan alat pemukul dan bola, meskipun
pada hakikatnya keduanya tidak memiliki sesuatu yang sama
kecuali bahwa keduanya termasuk ke dalam katagori
kesenangan. Jadi, seruan Allahu akbar berarti bahwa
kebesaran-Nya jauh melampaui kemampuan pemahaman kita. Lagi
pula, pengetahuan tentang Allah yang tidak sempurna seperti
itu - sebagaimana yang bisa kita peroleh - bukanlah sekadar
suatu pengetahuan spekulatif belaka, tetapi mesti dibarengi
dengan penyerahan dan ibadah. Jika seseorang meninggal
dunia, dia berurusan hanya dengan Allah saja. Dan jika kita
harus hidup bersama seseorang, kebahagiaan kita sama sekali
tergantung pada tingkat kecintaan yang kita rasakan
kepadanya. Cinta adalah benih kebahagiaan, dan cinta kepada
Allah ditumbuhkan dan dikembangkan oleh ibadah. Ibadan dan
zikir yang terus-menerus seperti itu mengisyaratkan suatu
tingkat tertentu dari keprihatinan dan pengekangan
nafsu-nafsu badaniah. Hal ini tidak berarti bahwa seseorang
diharapkan untuk sama sekali memusnahkan nafsu-nafsu
badaniah itu, karena jika demikian halnya, maka ras manusia
akan musnah. Tetapi batasan-batasan yang ketat mesti
dikenakan pada usaha pemuasannya. Dan karena manusia bukan
hakim yang terbaik dalam kasusnya sendiri, maka untuk
menetapkan batasan-batasan apa yang harus dikenakan itu
sebaiknya ia konsultasikan masalah tersebut kepada
pembimbing-pembimbing ruhaniah. Pembimbing-pembimbing
ruhaniah seperti itu adalah para nabi. Hukum-hukum yang
telah mereka tetapkan berdasar wahyu Tuhan menentukan
batasan-batasan yang mesti ditaati dalam persoalan-persoalan
ini. Orang yang melanggar batas-batas ini berarti "telah
menganiaya dirinya sendiri", sebagaimana tertulis di dalam
al-Qur'an. Meskipun pernyataan al-Qur'an ini telah jelas,
masih ada juga orang-orang yang, karena kejahilannya tentang
Allah, melanggar batas-batas tersebut. Kejahilan ini bisa
disebabkan karena berbagai sebab.
Pertama, ada orang yang gagal menemukan Allah
lewat pengamatan, lantas menyimpulkan bahwa Allah itu tidak
ada dan bahwa dunia yang penuh keajaiban-keajaiban ini
menciptakan dirinya sendiri atau ada dari keabadian. Mereka
bagaikan seseoran gyang melihat suatu huruf yang tertulis
dengan indah kemudian menduga bahwa tulisan itu tertulis
dengan sendirinya tanpa ada penulisnya, atau memang sudah
selalu ada. Orang-orang dengan cara berpikir seamcam ini
sudah terlalu jauh tersesat sehingga berdebat dengan mereka
akan sedikit sekali manfaatnya. Orang-orang seperti itu
mirip seorang ahli fisika dan astronomi yang kita sebut di
atas.
Kedua, sejumlah orang yang, akibat kejahilan
tentang sifat jiwa yang sebenarnya, menolak doktrin
kehidupan akhrat, tempat manusia akan diminta
pertanggungjawabannya dan diberi balasan baik atau dihukum.
Mereka anggap diri mereka sendiri sebagai tidak lebih baik
daripada hewan-hewan atau sayur-sayuran, dan sama-sama bisa
musnah.
Ketiga, di lain pihak, ada orang yang percaya pada
Allah dan kehidupan akhirat, tapi hanya dengan iman yang
lemah. Mereka berkata kepada diri mereka sendiri. "Allah itu
Maha Besar dan tidak tergantung pada kita; kita beribadah
atau tidak merupakan masalah yang sama sekali tidak penting
bagi Dia." Mereka berpikir seperti orang sakit yang ketika
oleh dokter diberi peraturan pengobatan tertentu kemudian
berkata: "Yah, saya ikuti atau tidak, apa urusannya dengan
dokter itu." Tentunya hal ini tidak berakibat apa-apa
terhadap dokter tersebut, tetapi pasien itu bisa merusak
dirinya sendiri akibat ketidaktaatannya. Sebagaimana
pastinya penyakit jasad yang tak terobati berakhir dengan
kematian jasad, begitu pula penyakit jiwa yang tak
tersembuhkan akan berakhir dengan kepedihan di masa datang.
Sesuai dengan kata-kata al-Qur'an: "Orang-orang yang akan
diselamatkan hanyalah yang datang kepada Allah dengan hati
yang bersih."
Keempat, adalah orang-orang kafir yang berkata:
"Syariah mengajarkan kepada kita untuk menahan amarah, nafsu
dan kemunafikan. Hal ini jelas tidak mungkin dilaksanakan,
mengingat manusia diciptakan dengan kualitas-kualitas bawaan
seperti ini di dalam dirinya. Sama saja dengan kamu meminta
agar kami jelmakan yang hitam menjadi putih." Orang-orang
jahil itu sama sekali buta akan kenyataan bawha syariah
tidak mengajarkan kita untuk mencerabut nafsu-nafsu ini,
melainkan untuk meletakkan mereka di dalam batas-batasnya.
Sehingga, dengan menghindar dari dosa-dosa besar, kita bisa
mendapatkan ampunan atas dosa-dosa kita yang lebih kecil.
Bahkan, Nabi saw. berkata: "Saya adalah manusia seperti kamu
juga, dan marah seperti yang lain-lain." Dan di dalam
al-Qur'an tertulis: "Allah mencintai orang-orang yang
menahan amarahnya," bukan orang-orang yang tidak punya marah
sama sekali.
Kelima, adalah kelompok yang menonjol-nonjolkan
kemurahan Allah seraya mengabaikan keadilan-Nya, kemudian
berkata kepada dirinya sendiri: "Ya, apa pun yang kita
kerjakan, Allah Maha Pemaaf." Mereka tidak berpikir bahwa
meskipun Allah itu bersifat pemaaf, beribu-ribu manusia
hancur secara menyedihkan karena kelaparan dan penyakit.
Mereka mengetahui bahwa siapa saja yang menginginkan suatu
kehidupan, kemakmuran atau kepintaran, tidak boleh sekadar
berkata, "Tuhan Maha Pemaaf," tetapi mesti berusaha sendiri
dengan keras. Meskipun al-Qur'an berkata: "Semua makhluk
hidup rizkinya datang dari Allah," di sana tertulis pula:
"Manusia tidak mendapatkan sesuatu kecuali dengan berusaha."
Kenyataannya adalah: ajaran semacam itu berasal dari setan,
dan orang-orang seperti itu hanya berbicara dengan bibirnya,
tidak dengan hatinya.
Keenam, adalah kelompok yang mengklaim sebagai
telah mencapai suatu tingkat kesucian tertentu sehingga dosa
tidak dapat lagi mempengaruhi mereka. Meski demikian, jika
anda perlakukan salah seorang di antara mereka dengan tidak
hormat, dia akan menaruh dendam terhadap anda selama
bertahun-tahun. Dan jika salah seorang di antara mereka
tidak mendapatkan sebutir makanan yang dia pikir merupakan
haknya, seluruh dunia akan tampak gelap dan sempit baginya.
Bahkan, jika ada di antara mereka benar-benar bisa
menaklukkan nafsu-nafsunya, mereka tidak punya hak untuk
membuat klaim semacam itu, mengingat para nabi - jenis
manusia yang tertinggi - terus-menerus mengakui dan meratapi
dosa-dosa mereka. Beberapa di antara mereka mempunyai dosa
yang sedemikian besar, sehingga mereka bahkan menjauhkan
diri dari hal-hal yang halal. Pernah diriwayatkan dari Nabi
saw. bahwa suatu hari ketika sebutir koma dibawa kepadanya,
beliau tidak mau memakannya hanya lantaran tidak yakin bahwa
korma tersebut diperoleh secara halal. Sementara orang-orang
yang berkehidupan bebas ini mau meneguk berliter-liter
anggur dan mengklaim (saya menggigil pada saat menulis ini)
sebagai lebih unggul dari Nabi yang kesuciannya diancam oleh
sebutir kurma, sementara mereka tidak terpengaruh oleh
anggur sebanyak itu. Patutlah jika setan membenamkan mereka
ke dalam kehancuran total. Orang-orang suci sejati
mengetahui bahwa orang yang tidak bisa menguasai
nafsu-nafsunya tidak pantas disebut sebagai seorang manusia.
Dan bahwa seorang muslim sejati adalah orang yang dengan
senang hati mau mengakui batas-batas yang ditetapkan oleh
syariah. Orang yang berupaya dengan dalih apa pun untuk
mengabaikan kewajiban-kewajibannya, sudah jelas berada dalam
pengaruh setan dan harus diajak berbicara tidak dengan
sebatang pena, tapi dengan sebilah pedang. Para penganut
mistik palsu semacam ini kadang-kadang berpura-pura telah
tenggelam di dalam lautan ketakjuban. Tetapi, jika anda
bertanya kepada mereka tentang apa yang mereka takjubkan,
mereka tidak tahu. Mereka mesti disuruh agar takjub semau
mereka, tetapi pada saat yang sama agar mengingat bahwa Yang
Maha Kuasa adalah penciptanya, dan bahwa mereka adalah
abdi-abdi-Nya.
(sebelum, sesudah)
|