|
![]() |
|
Yogyakarta, Senin, 1 Juni 2025
Tim Pembela Ulama dan Aktivis (TPUA) adalah aktor non-negara yang secara aktif mengkritik dan menentang pemerintahan Presiden Joko Widodo. Kajian ini menyajikan analisis akademik menyeluruh terhadap alasan, strategi, dan narasi yang digunakan TPUA dalam upayanya menentang pemerintahan Jokowi, dengan pendekatan interdisipliner yang melibatkan kajian politik identitas, relasi negara dan Islam politik, serta teori gerakan sosial.
Politik identitas pascareformasi menjadi saluran utama mobilisasi politik, khususnya di kalangan Islam politik. TPUA menggunakan wacana "kriminalisasi ulama" sebagai basis penguatan identitas kolektif umat Islam yang merasa dipinggirkan oleh negara. (Laclau & Mouffe, 1985; Aspinall, 2019)
TPUA membingkai tokoh-tokoh seperti Rizieq Shihab sebagai martir yang dizalimi oleh negara, memperkuat legitimasi moral mereka sebagai pembela kebenaran.
Pemerintahan Jokowi condong kepada Islam kultural (NU dan Muhammadiyah), yang menyebabkan kelompok Islam politik merasa kehilangan akses terhadap kekuasaan. (Bruinessen, 2013; Fealy, 2018)
Pembubaran HTI dan FPI serta penanganan hukum terhadap aktivis dianggap sebagai bentuk eksklusi politik terhadap kelompok Islam tertentu. (Mietzner, 2020)
TPUA melihat hukum sebagai alat represi, sedangkan pemerintah mengklaimnya sebagai penegakan hukum netral. (Hadiz, 2017)
Kasus pembubaran FPI dan penahanan Rizieq Shihab digunakan sebagai bukti kriminalisasi oleh TPUA, memperkuat narasi opresif terhadap ulama.
TPUA menggunakan strategi framing untuk membentuk opini publik melalui media sosial dan simbol-simbol religius. (Snow & Benford, 1988; Tarrow, 2011)
Penggunaan isu ijazah palsu Jokowi sebagai simbol delegitimasi kekuasaan merupakan contoh simbolisme politik yang kuat.
Visualisasi seperti spanduk, meme, dan video menjadi bagian integral dalam menyampaikan narasi penindasan umat. (Nugroho, 2019)
Isu ijazah Jokowi dimanfaatkan TPUA untuk menyampaikan pesan bahwa rezim ini tidak sah, meskipun klaim tersebut tidak terbukti secara hukum.
Kebencian TPUA terhadap Presiden Jokowi bukan hanya persoalan kebijakan teknis, melainkan representasi struktural atas eksklusi politik terhadap Islam politik. Penolakan ini diformulasikan melalui simbolisme, hukum, dan narasi kolektif.
Berikut adalah versi lengkap dan akademis dari analisis mengenai mengapa Tim Pembela Ulama dan Aktivis (TPUA) bersikap kritis terhadap Presiden Joko Widodo (Jokowi), disertai dengan referensi pustaka yang relevan.
Tim Pembela Ulama dan Aktivis (TPUA) merupakan kelompok yang dikenal aktif dalam membela tokoh-tokoh Islam konservatif yang mengalami masalah hukum, serta sering terlibat dalam aksi-aksi protes terhadap kebijakan pemerintah. Sikap kritis TPUA terhadap Presiden Jokowi dapat dianalisis melalui beberapa pendekatan akademis, termasuk politik identitas, relasi negara dan Islam politik, serta teori gerakan sosial.
Menurut Martin van Bruinessen dalam bukunya Contemporary Developments in Indonesian Islam: Explaining the 'Conservative Turn', pasca reformasi Indonesia mengalami peningkatan konservatisme Islam yang signifikan. Kelompok-kelompok seperti TPUA memanfaatkan identitas keagamaan untuk membangun solidaritas dan menentang kebijakan pemerintah yang dianggap tidak sejalan dengan nilai-nilai Islam konservatif. (De Gruyter Brill, Amazon)
Robert W. Hefner dalam Islam and Citizenship in Indonesia menjelaskan bahwa demokrasi di Indonesia memberikan ruang bagi berbagai interpretasi Islam untuk berpartisipasi dalam politik. Namun, pemerintah Jokowi dianggap lebih mendukung Islam moderat seperti Nahdlatul Ulama (NU) dan kurang akomodatif terhadap kelompok Islam konservatif. Hal ini menyebabkan kelompok seperti TPUA merasa terpinggirkan dan memandang pemerintah sebagai tidak adil terhadap aspirasi mereka. (Routledge)
Sidney Tarrow dalam Power in Movement menyatakan bahwa gerakan sosial muncul ketika terdapat peluang politik yang memungkinkan mobilisasi. TPUA memanfaatkan momen-momen tertentu, seperti penangkapan tokoh-tokoh Islam, untuk memobilisasi dukungan dan menekan pemerintah. Charles Tilly juga menekankan pentingnya elemen worthiness, unity, numbers, and commitment (WUNC) dalam keberhasilan gerakan sosial. TPUA menunjukkan elemen-elemen ini melalui aksi-aksi massa dan kampanye solidaritas. (Wikipedia, Wikipedia)
TPUA sering menyoroti kasus-kasus hukum yang melibatkan tokoh-tokoh Islam sebagai bentuk kriminalisasi terhadap ulama dan aktivis. Persepsi ini memperkuat narasi bahwa pemerintah Jokowi bersikap represif terhadap kelompok Islam konservatif, sehingga meningkatkan ketegangan antara TPUA dan pemerintah.
Sikap kritis TPUA terhadap Presiden Jokowi dapat dipahami sebagai hasil dari interaksi kompleks antara politik identitas, relasi negara dan Islam politik, serta dinamika gerakan sosial. Persepsi marginalisasi dan kriminalisasi terhadap kelompok mereka mendorong TPUA untuk terus menentang kebijakan pemerintah yang dianggap tidak adil.