|
ASOSIASI ANTARA TIMUR DAN BARAT
Kita harus siap dengan Adab
Nasional
Zaman sekarang adalah zaman asosiasi antara Timur dan
Barat, yakni zaman adanya hubungan dan percampuran kultur
Timur dan kultur Baral. Menurut kejadian-kejadian yang
tercatat dalam tambo, maka segala hubungan antara kedua
bangsa tentu mendatangkan dua macam kejadian; ada yang baik,
tetapi ada juga yang jahat. Tidak adalah evolusi (kemajuan)
yang tak disertai kemunduran dalam sesuatu hal, baik lahir
maupun batin. Adapun baik dan jahatnya buah evolusi
tergantung pada jalannya asosiasi. Kalau yang terkena oleh
pengaruh percampuran itu kurang teguh budi dayanya, artinya
hanya meniru belaka semua keadaan baru, niscayalah buah
asosiasi itu akan bersi fat: denasionalisasi; artinya:
hilang sifat kebangsaannya sendiri. Di situlah kelihatan
bahwa kulturnya kalah dengan kultur asing. Hal demikian
terjadi, kalau bangsa yang terkena pengaruh asosiasi itu
masih rendah kulturnya.
Adalah juga buah asosiasi yang bersifat: bertukaran
alat-alat kultur; yakni kalau ada dua bangsa yang
kedua-duanya mempunyai kultur yang sederhana atau tinggi.
Kejadiannya sudah tentu evolusi yang sebaik-baiknya. lnilah
yang harus kita cari.
Di atas sudah saya terangkan, bahwa segala evolusi itu
membawa juga kejadian-kejadian yang jahat dan yang tak dapat
dielakkan dalam bercampurnya dua kultur. Pada zaman sekarang
misalnya, kita mengalami sendiri kekerasan tingkah laku kita
sebagai buahnya pergaulan kita dengan bangsa asing; kita
menghina dan merendahkan seni dan bahasa sendiri karena kita
terlampau gandrung (cinta) pada hidup kebaratan; kita
meninggalkan kepandaian gending dan mengalihkan
perhatian kepada jazz atau dansa (tayub Eropa) yang
dilakukan dengan berpeluk-pelukan oleh laki-laki dengan
perempuan di muka publik; kita merendahkan agama, karena
kena pengaruhnya materialisme Eropa (cinta pada barang
lahir); kita mulai suka minuman keras, seolah-olah memberi
kekayaan pada kapitalis Schiedam (Kota di negeri Belanda
yang tersohor karena pabrik-pabrik jenevernya). Cukuplah
kiranya kalau saya terangkan demikian: kultur kita terdesak
oleh kultur Eropa; ini ada baiknya, tetapi bahaya yang besar
pun nampak membayang.
Sekalipun bahaya itu tentu ada, akan tetapi sesungguhnya
besar-kecilnya, banyak-sedikitnya, berbahaya atau tidaknya
itu boleh dikata tergantung pada kita sendiri. Artinya kita
sendirilah, asal dengan teguh hati, dapat mengurangi bahaya
itu. Alatnya untuk mengurangi bahaya itu ialah:
pendidikan. Pendidikan pada anak-anak kita, pada orang-orang
banyak dalam masyarakat kita. Dan yang tak boleh kita
lupakan yaitu:
pendidikan nasional; yaitu mendidik
rakyat kita untuk keperluan kita dengan mengindahkan kultur
(dasar-dasar kehidupan) kita.
Kalau kita membuat perbandingan antara evolusi kita
dengan evolusi di negeri-negeri Timur lain, yang juga jatuh
dalam genggaman Eropa, ternyatalah bahwa kultur kita lebih
terdesak oleh kultur Eropa daripada kultur bangsa Timur
lain-lainnya. Adapun sebabnya ialah karena sejak abad yang
lalu, sesudah lenyapnya kerajaan Mataram, terbawa oleh
lenyapnya jiwa-kebangsaan-merdeka (kesadaran akan
kemerdekaan bangsa) berhentilah kultur kita, matilah
idealisme kita (rasa cinta pada keluhuran). Kita hidup
seperti orang yang menumpang pada hotel kepunyaan orang
lain, tak mempunyai nafsu akan memperbaiki atau menghiasi
rumah yang kita tempati, karena tak ada perasaan bahwa rumah
itu rumah kita. Hidup kita seperti di hotel: asal makan,
enak tidak enak, dapat pelesir-pelesir, sudah cukup, itulah
hidupnya orang borjuis.
Pada waktu belakangan ini, yaitu ketika kita mulai
merasa, betapa rendah, hina, dan sengsara hidup kita,
tumbuhlah niat akan memperbaiki nasib kita dan mulailah
timbul pergerakan rakyat kita. Akan tetapi kita sudah kalah
dalam arti kulturil, telah putuslah hubungan hidup kita
dengan kultur nasional, yaitu hidupnya nenek moyang kita
ketika zaman merdeka. Bukankah kita sudah kehilangan rasa
keluhuran bangsa?! Bukankah kita sudah lupa akan kebesaran
dan keluhuran derajat kebangsaan kita? Bukankah kita sudah
terlanjur mengagumi hidupnya dewa-dewa kita, bangsa kulit
putih?! Sudah barang tentu karena kita kehilangan rasa
kenasionalan dan terlanjur cinta pada hidup kebaratan,
sedapat-dapat kita mengejar kenikmatan yang kita sangka ada
dalam hidup secara orang kulit putih. Karena itu juga kita
meninggalkan kultur kita sendiri, perlu mencari kenikmatan
lahir dengan tidak mendidik keluhuran budi (idealisme)
sedikit juapun. Dengan cara demikian kita seolaholah
menjual keluhuran budi bangsa, guna mendapat penghidupan
yang enak untuk badan kita sendiri. Dalam hidup demikian
sudah barang tentu kita menyukai segala alat-alat
penghidupan, meskipun haram atau najis, asal ... senang,
enak, dan ... sama dengan pujaan kita, dewa-dewa kulit
putih. Percayalah, saudara-saudaraku senasib, selama
anak-anak kita tak dapat membuang keinginannya akan hidup
secara orang Eropa, selama mereka i tu terus menuntut
persamaan sifatnya hidup dengan bangsa Eropa, tak akan kita
mempunyai pergerakan nasional yang teguh dan kuat untuk
mendatangkan kemerdekaan bangsa.
Percayalah, selama kita mengejar kenikmatan hidup untuk
diri kita seorang saja, niscayalah kita hanya akan mendapat
pergerakan borjuis, yang hanya akan memberi kenikmatan pada
borjuis, yakni orang-orang kaum atasan dan pertengahan,
sedangkan rakyat akan terus hidup sengsara.
Dan percayalah, saudaraku semua, selama kita pada zaman
ini berpisahan kultur dengan rakyat asli, selama kita
merendahkan bahasa kita, seni kita, keadaban kita, janganlah
kita mengharap akan dapat menjauhkan anak-anak kita dari
keinginannya hidup seperti Belanda-polan (cetakan,
kopi).
Sebaliknya: kalau anak-anak kita dapat kita didik sebagai
anak-anak bangsa kita, agar jiwanya bersifat nasional dan
mereka itu dapat kembali dan memegang kultur bangsa awak,
yang sejak abad yang lalu sudah tidak hidup lagi dalam dunia
kita, karena hidup kita seolah-olah hidup dalam perhambaan,
percayalah bahwa mereka itu akan merasa puas sebagai anak
Indonesia. Dan kalau kita sudah membangkitkan pula hidup
kebangsaan kita, tentulah alat alat penghidupan asing
yang berfaedah sajalah yang kita ambil. Karena kita tidak
lagi mabuk cinta dan peribahasa "cinta itu buta" tidak lagi
mengenai diri kita; akhirnya kita lalu dapat memilih dengan
pikiran dan rasa yang jernih.
Di situlah waktu dan tempatnya Asosiasi dan
Evolusi.
"Wasita" Agust./Sept. 1929
Jilid I No. II/12
|