Ki Hadjar Dewantara

dikumpulkan dari berbagai sumber
untuk mempercepat penyebaran informasi secara efisien
dan menambah percepatan kemajuan Indonesia tercinta ...

ASOSIASI ANTARA TIMUR DAN BARAT

Kita harus siap dengan Adab Nasional

Zaman sekarang adalah zaman asosiasi antara Timur dan Barat, yakni zaman adanya hubungan dan percampuran kultur Timur dan kultur Baral. Menurut kejadian-kejadian yang tercatat dalam tambo, maka segala hubungan antara kedua bangsa tentu mendatangkan dua macam kejadian; ada yang baik, tetapi ada juga yang jahat. Tidak adalah evolusi (kemajuan) yang tak disertai kemunduran dalam sesuatu hal, baik lahir maupun batin. Adapun baik dan jahatnya buah evolusi tergantung pada jalannya asosiasi. Kalau yang terkena oleh pengaruh percampuran itu kurang teguh budi dayanya, artinya hanya meniru belaka semua keadaan baru, niscayalah buah asosiasi itu akan bersi fat: denasionalisasi; artinya: hilang sifat kebangsaannya sendiri. Di situlah kelihatan bahwa kulturnya kalah dengan kultur asing. Hal demikian terjadi, kalau bangsa yang terkena pengaruh asosiasi itu masih rendah kulturnya.

Adalah juga buah asosiasi yang bersifat: bertukaran alat-alat kultur; yakni kalau ada dua bangsa yang kedua-duanya mempunyai kultur yang sederhana atau tinggi. Kejadiannya sudah tentu evolusi yang sebaik-baiknya. lnilah yang harus kita cari.

Di atas sudah saya terangkan, bahwa segala evolusi itu membawa juga kejadian-kejadian yang jahat dan yang tak dapat dielakkan dalam bercampurnya dua kultur. Pada zaman sekarang misalnya, kita mengalami sendiri kekerasan tingkah laku kita sebagai buahnya pergaulan kita dengan bangsa asing; kita menghina dan merendahkan seni dan bahasa sendiri karena kita terlampau gandrung (cinta) pada hidup kebaratan; kita meninggalkan kepandaian gending dan mengalihkan perhatian kepada jazz atau dansa (tayub Eropa) yang dilakukan dengan berpeluk-pelukan oleh laki-laki dengan perempuan di muka publik; kita merendahkan agama, karena kena pengaruhnya materialisme Eropa (cinta pada barang lahir); kita mulai suka minuman keras, seolah-olah memberi kekayaan pada kapitalis Schiedam (Kota di negeri Belanda yang tersohor karena pabrik-pabrik jenevernya). Cukuplah kiranya kalau saya terangkan demikian: kultur kita terdesak oleh kultur Eropa; ini ada baiknya, tetapi bahaya yang besar pun nampak membayang.

Sekalipun bahaya itu tentu ada, akan tetapi sesungguhnya besar-kecilnya, banyak-sedikitnya, berbahaya atau tidaknya itu boleh dikata tergantung pada kita sendiri. Artinya kita sendirilah, asal dengan teguh hati, dapat mengurangi bahaya itu. Alatnya untuk mengurangi bahaya itu ialah: … pendidikan. Pendidikan pada anak-anak kita, pada orang-orang banyak dalam masyarakat kita. Dan yang tak boleh kita lupakan yaitu: … pendidikan nasional; yaitu mendidik rakyat kita untuk keperluan kita dengan mengindahkan kultur (dasar-dasar kehidupan) kita.

Kalau kita membuat perbandingan antara evolusi kita dengan evolusi di negeri-negeri Timur lain, yang juga jatuh dalam genggaman Eropa, ternyatalah bahwa kultur kita lebih terdesak oleh kultur Eropa daripada kultur bangsa Timur lain-lainnya. Adapun sebabnya ialah karena sejak abad yang lalu, sesudah lenyapnya kerajaan Mataram, terbawa oleh lenyapnya jiwa-kebangsaan-merdeka (kesadaran akan kemerdekaan bangsa) berhentilah kultur kita, matilah idealisme kita (rasa cinta pada keluhuran). Kita hidup seperti orang yang menumpang pada hotel kepunyaan orang lain, tak mempunyai nafsu akan memperbaiki atau menghiasi rumah yang kita tempati, karena tak ada perasaan bahwa rumah itu rumah kita. Hidup kita seperti di hotel: asal makan, enak tidak enak, dapat pelesir-pelesir, sudah cukup, itulah hidupnya orang borjuis.

Pada waktu belakangan ini, yaitu ketika kita mulai merasa, betapa rendah, hina, dan sengsara hidup kita, tumbuhlah niat akan memperbaiki nasib kita dan mulailah timbul pergerakan rakyat kita. Akan tetapi kita sudah kalah dalam arti kulturil, telah putuslah hubungan hidup kita dengan kultur nasional, yaitu hidupnya nenek moyang kita ketika zaman merdeka. Bukankah kita sudah kehilangan rasa keluhuran bangsa?! Bukankah kita sudah lupa akan kebesaran dan keluhuran derajat kebangsaan kita? Bukankah kita sudah terlanjur mengagumi hidupnya dewa-dewa kita, bangsa kulit putih?! Sudah barang tentu karena kita kehilangan rasa kenasionalan dan terlanjur cinta pada hidup kebaratan, sedapat-dapat kita mengejar kenikmatan yang kita sangka ada dalam hidup secara orang kulit putih. Karena itu juga kita meninggalkan kultur kita sendiri, perlu mencari kenikmatan lahir dengan tidak mendidik keluhuran budi (idealisme) sedikit juapun. Dengan cara demikian kita seolah­olah menjual keluhuran budi bangsa, guna mendapat penghidupan yang enak untuk badan kita sendiri. Dalam hidup demikian sudah barang tentu kita menyukai segala alat-alat penghidupan, meskipun haram atau najis, asal ... senang, enak, dan ... sama dengan pujaan kita, dewa-dewa kulit putih. Percayalah, saudara-saudaraku senasib, selama anak-anak kita tak dapat membuang keinginannya akan hidup secara orang Eropa, selama mereka i tu terus menuntut persamaan sifatnya hidup dengan bangsa Eropa, tak akan kita mempunyai pergerakan nasional yang teguh dan kuat untuk mendatangkan kemerdekaan bangsa.

Percayalah, selama kita mengejar kenikmatan hidup untuk diri kita seorang saja, niscayalah kita hanya akan mendapat pergerakan borjuis, yang hanya akan memberi kenikmatan pada borjuis, yakni orang-orang kaum atasan dan pertengahan, sedangkan rakyat akan terus hidup sengsara.

Dan percayalah, saudaraku semua, selama kita pada zaman ini berpisahan kultur dengan rakyat asli, selama kita merendahkan bahasa kita, seni kita, keadaban kita, janganlah kita mengharap akan dapat menjauhkan anak-anak kita dari keinginannya hidup seperti Belanda-polan (cetakan, kopi).

Sebaliknya: kalau anak-anak kita dapat kita didik sebagai anak-anak bangsa kita, agar jiwanya bersifat nasional dan mereka itu dapat kembali dan memegang kultur bangsa awak, yang sejak abad yang lalu sudah tidak hidup lagi dalam dunia kita, karena hidup kita seolah-olah hidup dalam perhambaan, percayalah bahwa mereka itu akan merasa puas sebagai anak Indonesia. Dan kalau kita sudah membangkitkan pula hidup kebangsaan kita, tentulah alat­ alat penghidupan asing yang berfaedah sajalah yang kita ambil. Karena kita tidak lagi mabuk cinta dan peribahasa "cinta itu buta" tidak lagi mengenai diri kita; akhirnya kita lalu dapat memilih dengan pikiran dan rasa yang jernih.

Di situlah waktu dan tempatnya Asosiasi dan Evolusi.

"Wasita" Agust./Sept. 1929
Jilid I No. II/12


oleh Ir. Djoko Luknanto, M.Sc., Ph.D.
Facebook - PerkuliahanTweeter - Djoko LuknantoLinkedin - Djoko LuknantoFacebook - Djoko Luknanto
(Djoko Luknanto, Jack la Motta, Luke Skywalker)
(Alamat situs ini: http://luk.staff.ugm.ac.id/KHD/, http://luk.tsipil.ugm.ac.id/KHD/)

Pensiunan Peneliti Sumberdaya Air
di Laboratorium Hidraulika
Departemen Teknik Sipil dan Lingkungan, Fakultas Teknik
Universitas Gadjah Mada
alamat:
Jln. Grafika 2, Yogyakarta 55281, INDONESIA
Tel: +62 (274)-545675, 519788, Fax: +62 (274)-545676, 519788