|
Rekan-rekan Warga Indonesia yang peduli
Kebebasan Akademik dan Otonomi PT
Pada sidang-sidang BPUPKI dan PPKI ketika menyusun Pasal
31 UUD 1945, founding
fathers Prof. Soepomo dan Mr.Soenario Kolopaking
menyatakan sebagai berikut:
"Agar universiteit nasional cepat
mengejar ketertinggalan dari negara-negara lain kepadanya
perlu diberikan otonomi yang seluas-luasnya, dan untuk
itu perlu diberikan status badan hukum."
Tampaknya cita-cita luhur itu belum difahami oleh
masyarakat akademik, termasuk oleh beberapa hakim MK
(Mahkamah Konstitusi ) yang sedang melakukan uji materiil
terhadap UU Pendidikan Tinggi. Pada 20 Februari 2013 saya
berdiri di depan Sidang MK memberikan keterangan saksi
tentang beberapa pasal dalam UU
12/2012 khususnya pasal 64,65, 86, dan 90 yang oleh Para
Pemohon dinyatakan bertentangan dengan UUD
1945.
Alasan yang diajukan oleh Pemohon adalah sebagai
berikut:
- Otonomi PT yang diberikan UU
12/2012 kepada PTN dan PTS membuka peluang terjadinya
komersialisasi PT;
- penetapan peraturan dan izin tentang operasi PT Asing
di wilayah NKRI merupakan pengingkaran kewajiban
Pemerintah untuk menyediakan pendidikan tinggi bagi
warganegara; dan
- UU perguruan tinggi mendekonstruksi pendidikan tinggi
Indonesia dari pendidikan untuk mencerdaskan bangsa
menjadi pendidikan tinggi yang berfihak pada dunia
usaha.
Saya yakin tidak semua warga PT menerima argementasi
tersebut.
Dari 9 orang hakim konstitusi yang menentukan keputusan
final atas nasib UU
No. 12/2012, ada yang sepandangan dengan para pemohon.
Contohnya pada persidangan yang saya hadiri, ada dua hakim
konstitusi yang mengajukan pertanyaan sebagai berikut:
"Saya mendapat kiriman buku berjudul "Otonomi
Perguruan Tinggi: Suatu Keniscayaan." Dalam buku yang
ditulis oleh para dosen itu ada pandangan-pandangan yang
menyatakan otonomi PT telah menyebabkan uang kuliah
mahal, Rektor lebih mengutamakan pembangunan gedung
daripada menggunakan anggaran Universitas untuk memberi
beasiswa bagi mahasiswa, atau membeli buku untuk
perpustakaan, atau untuk mengirimkan dosen belajar ke
LN."
Sedangkan ada hakim lain yang lebih wah
pertanyaannya:
"Apa betul UU ini dirancang sebagai usaha
sistematis untuk mengatasi berbagai masalah pendidikan
tinggi yang sedang dihadapi Indonesia saat ini dan di
masa depan, bukan sekedar coba-coba?"
Sebagai salah seorang anggota DPT (Dewan Pendidikan
Tinggi) Ditjen Dikti yang ikut menyusun UU tersebut saya
terus terang tersinggung karena kami dianggap coba-coba.
Kalau warga kampus adem ayem dan tidak menunjukkan sikap
membela kebebasan akademik dan otonomi PT saya khawatir
Majelis Hakim MK akan membuat blunder lagi dengan melarang
otonomi kampus. Berkas lengkap kesaksian saya dapat
diunduh di sini: dalam format ppt,
word dan
pdf.
Salam,
Prof. Dr. Sofian Effendi <sofian@ugm.ac.id>
From: Prof. Sofian Effendi [mailto:sofian@ugm.ac.id]
Sent: 25 Februari 2013 10:47
To: Djoko Luknanto
Catatan Djoko Luknanto:
- Artikel di atas saya edit (minor) berdasarkan email
aslinya.
- Prof. Dr. Sofian Effendi, M.P.I.A. adalah Rektor UGM
periode 2002-2007.
- Berkas lengkap kesaksian Prof. Dr. Sofian Effendi
dapat diunduh di sini: dalam format ppt,
word dan
pdf.
- Beberapa penjelasan tambahan dari Prof. Dr. Sofian
Effendi sebagai berikut:
- Persidangan Mahkamah Konstitusi tujuannya adalah
adu argumentsi tentang penafsiran pasal-pasal yang
dipandang sebagai pokok masalah, dalam perkara ini
adalah Ps. 64, Ps. 65, Ps. 73 dan Ps. 74, Ps. 80, Ps.
86 dan Ps. 87 UU
No. 12/2012 dihadapkan dengan Alinea 4 Pembukaan,
Ps. 28C, Ps. 28D, Ps. 28E, Ps. 28I, dan Ps. 31
UUD NRI 1945.
|
|
back to: home
| topic index
Ir. Djoko
Luknanto, M.Sc., Ph.D.
Peneliti Sumberdaya Air
di Laboratorium Hidraulika
Jurusan Teknik Sipil dan Lingkungan, Fakultas Teknik
Universitas Gadjah Mada
Jln. Grafika 2, Yogyakarta 55281, INDONESIA
Tel: +62 (274)-545675, 519788, Fax: +62 (274)-545676,
519788
|