Mandat Sejarah bagi Otonomi dan
PTN
oleh Badan Hukum Bambang Purwanto; Guru Besar Ilmu
Sejarah UGM
MEDIA INDONESIA, 04 April 2013 halaman 6.
PARA pengelola tujuh perguruan tinggi negeri (PTN), yang
sedang memperjuangkan status lembaga yang mereka pimpin
sebagai perguruan tinggi (PT) negeri badan hukum, hari-hari
terakhir ini benar-benar memasuki perangkap kecemasan
menunggu keputusan akhir musyawarah para hakim MK yang akan
memutuskan nasib UU
No 12/2012 tentang Pendidikan Tinggi.
Permohonan pengujian kembali secara yuridis atas UU itu,
terutama pasal 64, pasal 65 ayat (1), pasal 73, pasal 74
ayat (1), pasal 86 ayat (1), pasal 87, dan pasal 90, yang
dilakukan beberapa elemen masyarakat termasuk yang berstatus
sebagai mahasiswa dan dosen, sangat merisaukan mereka.
Bagi para pengelola UI, Unair, UPI, USU, IPB, ITB, dan
UGM, mereka hanya berharap para hakim menolak secara
keseluruhan permohonan peninjauan kembali itu. Jika para
hakim membatalkan UU secara keseluruhan maupun hanya
pasal-pasal yang dipersoalkan, keputusan itu merupakan palu
godam yang akan meluluhlantakkan segala kerja keras yang
telah dilakukan selama ini untuk mewujudkan cita-cita yang
diyakini mulia.
Status yang Ditabukan
Perjuangan para pengelola tujuh PTN itu didasarkan pada
pemikiran bahwa otonomi dan status PT sebagai badan hukum
merupakan jalan utama.
Kalau tidak mau menyebutnya sebagai satu-satunya cara
agar Indonesia memiliki PT yang mampu merepresentasi daya
saing bangsa di era globalisasi dan dapat memberikan manfaat
bagi kemajuan dan kesejahteraan bangsa. Akan tetapi, tentu
saja tidak semua elemen, baik di dalam pemerintahan maupun
masyarakat, percaya dengan pikiran baik itu.
Hal itu karena berbagai fenomena dan kenyataan yang ada
selama ini telah membangun citra bahwa otonomi dan status
PTN badan hukum bermuara pada komersialisasi pendidikan dan
pembatasan akses bagi kelompok marginal, yang berarti
bertentangan dengan konstitusi negara.
Kata 'otonomi' dan 'badan hukum' sudah telanjur dianggap
sebagai cara berpikir baru dan asing yang berkembang seiring
dengan menguatnya ide-ide dan mentalitas kapitalistik di
kalangan para ilmuwan yang mengelola PTN. Segala sesuatu
yang berhubungan dengan otonomi PT dan statusnya sebagai
badan hukum diposisikan sebagai sesuatu yang tidak memiliki
dasar historis sama sekali dalam sejarah bangsa Indonesia
sejak kemerdekaan diproklamasikan.
Ironisnya cara berpikir yang sama tidak hanya ada pada
para penentang, tapi juga menjiwai peraturan
perundang-undangan yang mendasari keberadaan otonomi PT dan
statusnya sebagai badan hukum.
Oleh karena itu, tidak mengherankan jika dalam setiap
perbincangan dan pernyataan yang mendasari argumen para
pendukung UU yang digugat itu tidak begitu tampak
sensitivitas historis yang seharusnya dapat memperkuat
setiap pendapat. Mereka kurang mengapresiasi arti penting
dari kenyataan masa lalu sebagai sumber kekuatan untuk
mendukung cara berpikir yang dikemukakan sehingga otonomi
dan badan hukum bukan sesuatu yang harus ditabukan.
Mandat Sejarah
Apakah benar otonomi dan status PTN sebagai badan hukum
merupakan sesuatu yang baru dan asing dalam sejarah
pendidikan tinggi Indonesia?
Tepat satu tahun setelah peristiwa aksi militer Belanda
terhadap Yogyakarta yang berstatus ibu kota RI, pemerintah
RI yang telah kembali ke Yogyakarta mendirikan UGM sebagai
universitas negeri yang pertama.
Tanggal 19 Desember 1949 sengaja dipilih sebagai waktu
pendeklarasian UGM, walaupun peraturan pemerintah tentang
hal itu telah ditandatangani oleh Presiden Soekarno pada 16
Desember 1949. Hal itu dilakukan untuk menunjukkan kepada
Belanda khususnya dan dunia umumnya bahwa bangsa Indonesia
juga merupakan bangsa yang mampu menghadirkan simbol-simbol
utama dari sebuah bangsa yang beradab, dan akan
berpartisipasi langsung dalam pembentukan peradaban baru
dunia.
Universitas negeri pertama itu menikmati kemewahan
ide-ide murni dari para pendiri bangsa dalam
menyelenggarakan PT untuk mewujudkan cita-cita kebangsaan
dan kemerdekaan Indonesia.
Dari berbagai ide dasar yang dijabarkan oleh para pendiri
bangsa itu, ternyata otonomi PT dan status badan hukum
tersurat secara eksplisit di Pasal 7 Peraturan Pemerintah No
37/1950 tertanggal
14 Agustus 1950 tentang Peraturan Sementara tentang UGM. Di
dalam peraturan pemerintah itu disebutkan UGM dapat diberi
kedudukan badan hukum yang bersifat
masyarakathukumkepentingan, yang merupakan badan
otonom yang mempunyai keuangan dan milik sendiri serta
mengatur rumah tangga dan kepentingan sendiri.
Khusus dalam hal sumber keuangan disebutkan, selain
berasal dari APBN dan uang kuliah serta uang ujian yang
dibayar oleh mahasiswa, sumber keuangan lain didapat dari
sebuah fonds yang secara khusus dibentuk 'oleh dan
atau dengan bantuan pemerintah'. Selanjutnya menurut Pasal
24 Peraturan Menteri Pendidikan, Pengajaran, dan Kebudayaan
No 6403/A/1950 tertanggal 14 Agustus 1950 tentang
Penyelenggaraan UGM, status otonomi dan badan hukum juga
disertai dengan kewajiban PT ini untuk membebaskan mahasiswa
yang tidak mampu secara ekonomis dari kewajiban membayar
uang kuliah. Pembebasan biaya itu diberikan dengan
ketentuan, mahasiswa bersangkutan diperkirakan dapat
menyelesaikan studi dalam waktu yang telah ditentukan.
Belajar dari sejarah periode itu, sangat sulit untuk
berspekulasi bahwa pasal di atas dan ketentuan lain yang
mengikutinya dibuat oleh mereka yang memiliki jiwa
kebangsaan yang tipis. Atau mereka yang lebih mementingkan
keuntungan ekonomis, daripada memberi kesempatan seluas
mungkin bagi masyarakat untuk belajar di perguruan
tinggi.
Hak otonomi dan status badan hukum pada PT merupakan
mandat sejarah dari cita-cita kebangsaan dan kemerdekaan
Indonesia untuk menyejahterakan bangsa, bukan wujud dari
representasi kepentingan asing atau kekuatan modal yang
menjalankan PTN sebagai korporasi.
Berkaca pada kenyataan sejarah itu, persoalan
komersialisasi pendidikan tinggi dan keterbatasan akses bagi
kelompok marginal untuk mengikuti pendidikan di PT
akhir-akhir ini bukan disebabkan oleh hak otonomi yang
diberikan dan sifat kelembagaan PT sebagai badan hukum.
Sebaliknya keadaan itu akan lebih mudah dijelaskan
sebagai akibat dari menguatnya sebuah cara berpikir dan
mentalitas, yang memosisikan penyelenggaraan PT sebagai
jembatan emas untuk memuaskan kerakusan ekonomis dan
kekuasaan para birokrat, yang sampai batas tertentu termasuk
para ilmuwan yang berstatus sebagai pengelola. Kondisi itu
semakin diperburuk ketika pemerintah lalai menjalankan
secara maksimal fungsinya sebagai pendukung anggaran dan
pengawas dalam penyelenggaraan perguruan tinggi.
Otonomi dan status badan hukum pada PTN seharusnya dapat
menangkal kepentingan personal para birokrat tertentu di
tingkat pusat. Yaitu, mereka yang ingin menjadikan PT secara
langsung sebagai arena praktik kekuasaan dan lahan
kepentingan ekonomis mereka di tingkat lokal. Dengan
memanfaatkan berbagai peraturan perundang-undangan yang
sengaja diadakan agar setiap tindakannya sah secara
yuridis.
Namun, jika cita-cita para pendiri bangsa yang juga
perumus awal prinsip-prinsip dasar penyelenggaraan PTN itu
akhirnya ditolak, selamat datang PTN badan layanan umum dan
selamat tinggal otonomi dan PTN badan hukum?
|