Marginalisasi Perguruan Tinggi
oleh Satryo Soemantri Brodjonegoro
Dirjen Dikti 1999-2007, Guru Besar ITB, Anggota
AIPI
Sampai detik ini, pemahaman publik tentang fungsi
perguruan tinggi ternyata belum utuh dan masih salah kaprah.
Kesalahan fatal ialah penempatan perguruan tinggi negeri
sebagai unit pelaksana teknis Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan, sementara perlakuan terhadap perguruan tinggi
swasta sebagai unit usaha dari yayasan atau badan wakaf.
Dengan kedudukan seperti itu, perguruan tinggi negeri
(PTN) tidak lebih dari sebuah kantor jawatan, sementara
perguruan tinggi swasta (PTS) tidak lebih dari sebuah unit
usaha. Artinya, di sini terjadi marginalisasi fungsi
perguruan tinggi dari yang seharusnya, yakni sebagai agen
pembangunan bangsa melalui pengembangan ilmu pengetahuan
bagi kemaslahatan manusia.
Fungsi marginal
Dengan fungsi yang marginal seperti diuraikan di atas,
maka PTN hanya menjalankan tugas pemerintah berdasarkan
segala ketentuan yang berlaku. Adapun PTS hanya menjalankan
usaha yang mendatangkan keuntungan bagi yayasan atau badan
wakaf.
Memang PTN dan PTS terkesan menyelenggarakan pendidikan
tinggi, tetapi sejujurnya mereka belum melakukan pendidikan
tinggi secara utuh dan hakiki. Apa yang dilakukan oleh PTN
hanyalah formalitas persekolahan tingkat tinggi (maksudnya
setelah SMA/SMK), sedangkan yang dilakukan PTS saat ini
adalah persekolahan tingkat tinggi dengan memperlakukan
mahasiswa sebagai komoditas.
Akibatnya, mutu pendidikan tinggi di Indonesia sangat
rendah karena jauh sekali dari hakikatnya. Secara
perseorangan, kualitas dosen dan mahasiswa Indonesia tidak
kalah, bahkan sering kali lebih baik dibandingkan dengan
negara manapun di dunia Namun, sebagai institusi, pendidikan
tinggi sangat lemah karena pengelolaannya yang tidak sesuai
tuntutan zaman saat ini dan tidak sesuai dengan tantangan
global yang terjadi sekarang. Telah terjadi kesalahan
pemerintah dalam menatakelola perguruan tinggi di
Indonesia
Penyelenggaraan pendidikan tinggi oleh PTN saat ini hanya
mengedepankan pencapaian target pemerintah yang sangat
bermuatan politis, seperti halnya angka partisipasi kasar
(APK),jumlah mahasiswa miskin, pendirian PTN baru (atau
penegerian PTS) di daerah dengan alasan keterjangkauan.
Semua itu ditentukan oleh Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan sebagai rencana kerja tahunan.
Kementerian memperoleh Anggaran Pendapatan dan Belanja
Negara (APBN) untuk mencapai target tahunan tersebut, yang
kemudian didistribusikan melalui mekanisme mata anggaran
baku kepada setiap PTN. Seluruh kebijakan dan teknis
implementasi pelaksanaan pendidikan tinggi ditetapkan oleh
kementerian, PTN hanya melaksanakan perintah kementerian di
mana kementerian secara berkala melaksanakan koordinasi dan
pemantauan untuk melihat sejauh mana anggaran diserap secara
benar berdasarkan peraturan perundangan yang berlaku.
Kelihatannya tidak ada yang salah dengan mekanisme tata
kelola PTN seperti itu karena kebijakan kementerian
memberikan kesan bahwa tujuan pendidikan nasional akan
dicapai. Namun, sejujurnya, tujuan pendidikan nasional masih
belum dicapai, bahkan semakin lama semakin jauh dari
pencapaian tujuan tersebut. Sebab, tujuan pendidikan
nasional yang hakiki, yaitu mencerdaskan kehidupan berbangsa
bernegara, belum tersentuh oleh kebijakan kementerian.
Kementerian hanya membuat target capaian fisik yang
pelaksanaannya dilakukan dalam bentuk proyek fisik. Padahal,
esensi pendidikan yang sebenarnya adalah pembentukan
kapasitas, kompetensi, etika, sosio-kultural, kematangan,
daya nalar, kerangka berpikir, dan pengambilan keputusan,
yang harus dimiliki peserta didik.
Penyelenggaraan pendidikan tinggi oleh PTS juga belum
mampu mengemban tujuan pendidikan nasional yang sebenarnya.
Sebab, PTS harus memperlakukan pendidikan tinggi sebagai
kegiatan bisnis yang menguntungkan. Kalau tidak, maka PTS
tidak dapat bertahan hidup karena satu-satunya pendapatan
PTS hanya dari uang kuliah mahasiswa, tidak ada bantuan dana
yang signifikan dari kementerian ataupun dari
pemerintah.
Solusi badan hukum
Dalam hal ini, PTS sama sekali tidak salah jika kemudian
melakukan kegiatan transaksional, yaitu peserta didik
membayar mahal kepada PTS dan PTS memberikan pendidikan yang
terbaik sesuai harapan peserta didiknya. PTS memang tidak
harus memenuhi tujuan pendidikan nasional karena harus
membiayai dirinya sendiri kecuali jika kemudian pemerintah
atau kementerian menugaskan misi tertentu kepada PTS dengan
anggaran yang memadai. Artinya, perlu ada kebijakan nasional
bahwa pemerintah dapat menugaskan PTS bersama PTN mencapai
tujuan nasional pendidikan yang hakiki.
Dari pembahasan di atas, jelas sekali kunci pokok
permasalahan pendidikan nasional di Indonesia, khususnya
pendidikan tinggi, yaitu perguruan tinggi belum berbadan
hukum: hanya perangkat kerja dari kementerian (bagi PTN) dan
dari yayasan badan wakaf (bagi PTS). Karena hanya perangkat
kerja, yang dikerjakan perguruan tinggi hanya menjalankan
kegiatan proyek fisik (bagi PTN) dan kegiatan yang bersifat
transaksional (PTS). Seandainya perguruan tinggi berbadan
hukum, maka mereka memiliki otonomi dan independensi yang
akuntabel, di mana para akademisi dan peserta didik yang
notabene merupakan insan dengan dedikasi pendidikan yang
terbaik dapat mengembangkan dirinya mencapai tujuan
pendidikan nasional yang hakiki.
Pembentukan perguruan tinggi berbadan hukum sangat
dimungkinkan di Indonesia seandainya ada kemauan politis
yang kuat dari pemerintah dan legislatif, sebagaimana halnya
yang terjadi di sejumlah negara di dunia, dengan seluruh
perguruan tingginya berbadan hukum. Perangkat hukum
hendaknya tidak dijadikan kendala demi terbentuknya
perguruan tinggi berbadan hukum. Justru sebaliknya,
perangkat hukum dirancang sedemikian rupa demi terwujudnya
perguruan tinggi berbadan hukum.
Satu hal yang harus menjadi perhatian pemerintah,
legislatif, dan publik, yaitu otonomi bukanlah
komersialisasi atau privatisasi. Pemerintah tetap
berkewajiban mendanai perguruan tinggi berbadan hukum sesuai
penugasan yang diamanahkan, yaitu mencerdaskan kehidupan
berbangsa dan bernegara. Seperti halnya di sejumlah negara
di dunia, perguruan tingginya berbadan hukum dan pemerintah
mendanai perguruan tingginya.
(Sumber: Kompas Cetak,
Sabtu, 29 Juni 2013, halaman 6)
|