Otonomi dan PTN Badan Hukum
oleh Didi Achjari
Kompas Cetak, Sabtu, 13 April 2013, halaman 7
Otonomi kampus adalah ruh suatu perguruan tinggi. Otonomi
kampus tidak sekadar kebebasan mimbar akademik, tetapi juga
otonomi non-akademik, antara lain di bidang keuangan, sumber
daya manusia, serta pengembangan sarana dan prasarana.
Meski saat ini otonomi kampus diatur dalam Undang-Undang
No 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi, masih ada
resistansi terhadap UU itu, khususnya terkait isu
komersialisasi dan liberalisasi pendidikan. Karena itu,
penulis mencoba memaparkan alasan mengapa otonomi
non-akademik sangat dibutuhkan secara faktual berdasarkan
pengalaman dalam mengelola perguruan tinggi negeri
(PTN).
Karakteristik unik PTN yang berbeda dengan satuan kerja
pemerintah lain membutuhkan otonomi non-akademik yang lebih
luas. Namun, peraturan yang ada cenderung kurang bisa
mengakomodasi dan bahkan membatasi gerak PTN melakukan Tri
Darma (pengajaran, penelitian, dan pengabdian kepada
masyarakat) perguruan tinggi dengan baik.
Untuk mendapatkan otonomi non-akademik, PTN dihadapkan
pada pilihan untuk bermain di dalam rumah atau
di luar rumah peraturan yang sudah ada. Pilihan
pertama jelas kurang mengakomodasi dinamika PTN. Koridor
yang harus dilewati antara lain UU No 17 Tahun 2003 tentang
Keuangan Negara. Begitu penerimaan PTN masuk kategori
penerimaan negara bukan pajak, segala peraturan di bawahnya
akan memagari gerak PTN, seperti dalam hal pengadaan barang
dan jasa, penganggaran, dan pelaporan keuangan.
Pilihan kedua lebih masuk akal, yaitu PTN dibuatkan
rumah peraturan tersendiri. Rumah baru itu saat
ini dimanifestasikan dalam bentuk PTN berbadan hukum yang
diatur UU No 12 Tahun 2012. Dengan kekayaan negara yang
dipisahkan, kecuali tanah, PTN badan hukum bisa memiliki
aturan main yang lebih sesuai dengan karakteristiknya dan
memungkinkan untuk berkembang lebih baik. Kebutuhan akan
otonomi non-akademik bagi PTN badan hukum sebenarnya
merupakan amanah UU No 12 Tahun 2012 Pasal 89 Ayat 3, yang
menyatakan, perlu ditetapkan PP tentang bentuk dan mekanisme
pendanaan PTN badan hukum.
Empat alasan pokok
Pentingnya otonomi non-akademik tercermin dari berbagai
kondisi berikut. Pertama, tahun anggaran pemerintah, Januari
sampai Desember, tak sama dengan tahun akademik (tahun
ajaran) yang dimulai Juli sampai Juni tahun berikutnya. Di
PTN biasa, pada akhir tahun sisa saldo kas harus disetorkan
kembali ke negara. Di sisi lain, sering kali kegiatan Tri
Darmamisalnya riset atau ujian tetapharus
berjalan awal tahun. Padahal, dana DIPA sering kali belum
cair.
Terkait perbedaan siklus itu, bagi auditor, pertanyaan
yang sering muncul adalah mengapa di laporan keuangan akhir
tahun PTN badan layanan umum atau eks badan hukum milik
negara (BHMN) menyisakan saldo kas? Ini menimbulkan
kecurigaan, jangan-jangan saldo kas PTN itu adalah
keuntungan. Perlu diketahui, saldo kas tersebut adalah
bagian dari penerimaan tahun ajaran berjalan untuk semester
kedua. Situasi semacam ini menunjukkan institusi pendidikan,
khususnya PTN, tidak dapat disamakan perlakuannya dengan
institusi pemerintah lainnya.
Kedua, sisi permasalahan sumber daya manusia. Meski PTN
badan hukum (dulu PT BHMN) bisa merekrut dosen dan tenaga
kependidikan, karier dan penggajian tak bisa disinkronkan
dengan sistem penggajian PNS. Sistem anggaran pemerintah
bukan block grant yang memberi otonomi kepada PTN untuk
menggunakan anggarannya.
Ketiga, sistem pelaporan keuangan pemerintah kurang bisa
mengakomodasi laporan keuangan PTN yang bisa lebih kompleks
dibandingkan laporan keuangan satuan kerja pemerintah. Dalam
menjalankan Tri Darma, PTN bisa punya rumah sakit, asrama,
wisma, laboratorium, dan unit usaha. Konsekuensinya, dalam
hal sistem pelaporan keuangan, PTN membuat laporan yang
menggunakan standar akuntansi nirlaba, yaitu PSAK 45 dan
standar akuntansi instansi. Kewajiban akuntabilitas dengan
membuat dua jenis laporan keuangan tersebut sangat tidak
efisien waktu dan tenaga. Kerumitan ini ditambah dengan
kewajiban untuk dikonsolidasikan pada laporan keuangan
kementerian/lembaga yang hanya mengacu pada standar
akuntansi instansi.
Keempat, ketika keuangan PTN mengacu kepada UU Keuangan
Negara, proses pengadaan barang dan jasa harus mengikuti
peraturan pemerintah yang belum tentu cocok dengan siklus
akademik dan kebutuhan hilirisasi produk penelitian. Dengan
otonomi non-akademik, PTN bisa merancang sistem pengadaan
barang dan jasa yang sesuai dengan karakteristiknya.
Sebagai PTN yang pernah menjadi BHMN, banyak manfaat yang
dirasakan dari otonomi non-akademik. Di bidang keuangan,
sebagai contoh, penggunaan dana internal bisa menalangi
keterlambatan cairnya beasiswa mahasiswa dan dosen yang
tugas belajar. Di kegiatan kemahasiswaan, kegiatan yang
sangat dinamis sering kali tidak terakomodasi di sistem
penganggaran pemerintah yang jadwalnya sangat kaku dan
nilainya kurang memadai.
Sebenarnya, sejak 2000 pemerintah melalui PT BHMN telah
mencoba memberi otonomi akademik dan non-akademik yang lebih
besar kepada beberapa PTN. Otonomi tersebut telah memberikan
dampak positif terhadap kinerja PT BHMN, misalnya, tercermin
dalam sejumlah indikator seperti akreditasi dalam dan luar
negeri.
Cermin prinsip demokrasi
Tentu saja harus diakui, prestasi PT BHMN itu tidak lepas
dari sejumlah kritik, misalnya komersialiasi kampus. Namun,
kritik tersebut dijawab pemerintah dengan mengeluarkan
sejumlah kebijakan, antara lain penghapusan uang pangkal di
PTN dan pemberian beasiswa Bidik Misi kepada mahasiswa tidak
mampu. UGM juga telah membuka akses bagi mahasiswa tidak
mampu dengan memberi beasiswa dan menerima mahasiswa Bidik
Misi yang jumlahnya semakin meningkat dari tahun ke
tahun.
Secara kelembagaan, otonomi non-akademik dalam bentuk PTN
badan hukum lebih mencerminkan prinsip demokrasi,
desentralisasi, dan check and balance. Otonomi tersebut
memberi peran serta kepada masyarakat, termasuk mahasiswa,
untuk ikut dalam pengawasan pengelolaan PTN melalui Majelis
Wali Amanat. Upaya untuk membatalkan pasal-pasal terkait PTN
badan hukum akan mengebiri peran mahasiswa, alumni, dan
masyarakat sebagai pemangku kepentingan PTN badan hukum.
Selain itu, kekhawatiran akan adanya komersialisasi dan
liberalisasi pendidikan di balik UU No 12 Tahun 2012
merupakan hipotesis yang perlu diuji lebih lanjut dengan
data empiris. Dugaan dan prasangka bukanlah bukti empiris
yang layak dijadikan alat untuk menguji hipotesis secara
ilmiah.
Akhirnya, mari kita lihat permasalahan otonomi pendidikan
tinggi ini secara jernih, arif, dan komprehensif. Sejarah
akan mencatat siapa pihak yang menjadi pendukung kemajuan
dan kemandirian bangsa melalui pendidikan tinggi dengan
tetap memberikan otonomi yang menyeluruh. Akankah sejarah
mencatat hal yang sebaliknya?
Didi Achjari Wakil Rektor Bidang Perencanaan, Keuangan,
dan Sistem Informasi UGM
|