Paradoks Rasionalitas PTN-BH
oleh Dian Puji Simatupang
Dosen Hukum Anggaran Negara dan Keuangan Publik, Fakultas
Hukum, Universitas Indonesia
Kompas edisi 31 Mei 2013 memberitakan status badan
hukum untuk perguruan tinggi yang harus dipahami benar
implikasinya karena berisiko pailit.
Inilah konsekuensi hukum kekayaan yang dipisahkan pada
perguruan tinggi negeri badan hukum (PTN-BH). Lembaga
semacam ini tidak lagi memiliki tujuan yang sama dengan
tujuan bernegara. Dengan demikian, secara rasionalitas
hukum, tak ada lagi hubungan dinas publik (openbare
dienstbetrekking) PTN-BH dengan keuangan negara.
Ini berarti PTN-BH tidak lagi memperoleh dana dari Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) karena APBN hanya untuk
mencapai tujuan bernegara sebagaimana diatur Pasal 7 Ayat
(1) UU No
17/2003 tentang Keuangan Negara.
Berarti PTN-BH kemungkinan akan menggunakan otonominya
untuk mendapatkan pendanaan. Salah satunya dengan cara
mendirikan badan usaha komersial atau mendapatkan dana dari
pihak ketiga yang justru akan memengaruhi sifat otonom PTN
ke arah komersialisasi dan menjauhkan tujuan PTN untuk
mencerdaskan kehidupan bangsa.
Paradoks rasionalitas
Undang-Undang
Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi ketika
disahkan memang mengandung paradoks rasionalitas yang
contradictio in terminis. Artinya, meskipun berstatus
badan hukum, PTN-BH tetap mendapatkan pendanaan APBN. Bentuk
dan mekanisme pendanaan PTN-BH diatur pemerintah.
Padahal, badan hukum dengan kekayaan yang dipisahkan
dapat mengatur diri sendiri tanpa tergantung pada sumber
kekayaan pendirinya Badan hukum tanpa kemandirian berarti
status badan hukumnya (rechtsfiguur) hanya
fictie atau khayalan pendirinya. PTN-BH dituntut
mandiri dan dapat menggunakan kekayaan negara yang
dipisahkan, kecuali tanah, sebagai alat untuk mengejar
tujuan dalam melakukan hubungan hukum.
Dengan kondisi demikian, jika PTN-BH mau konsisten secara
rasional, harus mempunyai kemandirian pendanaan, tidak
mendapatkan dana APBN, serta seluruh penyelenggara
pendidikannya menganut monoisme status kepegawaian. Dengan
demikian, tidak ada dualisme atau bahkan multiisme status
kepegawaian dalam suatu PTN-BH.
Namun, pertanyaannya adalah apakah ada PTN yang mau dan
mampu melakukan konsep badan hukum secara konsisten seperti
itu? Pertanyaan ini perlu mengingat kurang jelasnya
keterkaitan pemberian status badan hukum PTN dengan upaya
mencapai tujuan pendidikan.
Alternatif rasionalitas
Alasan pemberian status badan hukum pada PTN lebih untuk
menghindari kerumitan pengelolaan keuangan PTN yang
menerapkan mekanisme APBN. Kerumitan ini menghambat pe
nyelenggaraan pendidikan tinggi melaksanakan Tri Dharma,
yaitu pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada
masyarakat.
Jika tahun 2000 beberapa PTN mendapatkan status badan
hukum milik negara (BHMN) dengan peraturan pemerintah,
sehingga dapat mengatur keuangannya, hal itu disebabkan oleh
alternatif penyelesaian berdasarkan Bab IX Burgelijk
Wetboek yang mengatur badan hukum.
Dengan kata lain, peraturan pemerintah tentang penetapan
status badan hukum milik negara bagi PTN saat itu menjadi
dasar hukum untuk mengesampingkan ketentuan dalam
Indonesiche Comptabiliteitswet (ICW) 1925 yang
mengatur pertanggungjawaban keuangan negara.
Akan tetapi, setelah ICW 1925 tidak lagi berlaku
dengan ditetapkannya UU
No 17/2003 tentang Keuangan Negara dan UU
No 1/2004 tentang Perbendaharaan Negara, solusi
kerumitan keuangan negara tidak lagi perlu dengan memberi
status badan hukum bagi PTN. Alternatif yang dapat digunakan
adalah meminta presiden mengambil kebijakan khusus bagi PTN
dalam pengelolaan keuangannya berdasarkan Penjelasan Pasal 6
Ayat (1) UU No
17/2003.
Presiden dapat menetapkan dan membuat keputusan yang
bersifat kebijakan teknis berkaitan dengan APBN, yang khusus
diterapkan bagi PTN, yaitu penerapan pola pengelolaan
keuangan lembaga pendidikan (PPK-LP). Pola ini tidak
berorientasi pada bisnis sebagaimana badan layanan umum,
juga tidak kaku seperti APBN, tetapi suatu pola pengelolaan
keuangan yang fleksibel-komplementer. Artinya tidak rumit,
akuntabel, dan tidak membebani peserta didik serta
masyarakat.
Konsep PPK-LP serupa dengan pola pengelolaan keuangan
pada Otoritas Jasa Keuangan. Dengan demikian, APBN tetap
dapat menjadi sumber pendanaan PTN sebagai bentuk tanggung
jawab pemerintah, PTN tetap independen menjalankan Tri
Dharma perguruan tinggi sekaligus menjamin upaya PTN
meningkatkan kualitas penyelenggaraan pendidikan.
Dengan demikian, status badan hukum PTN tidak relevan
lagi dalam era reformasi keuangan negara saat ini. Tujuan
PTN dikembalikan lagi pada jalur tujuan ideal yang linear
dengan tujuan bernegara, yaitu mencerdaskan kehidupan
bangsa.
(Sumber: Kompas Cetak, Sabtu 22 Juni 2013, halaman 6)
|