UU Dikti Penting untuk Kemajuan Pendidikan
Tinggi
Kamis, 20 Juni 2013 06:01 wib
Margaret Puspitarini
JAKARTA - Perkara pengujian Undang-Undang Nomor 12 Tahun
2012 tentang Pendidikan Tinggi (UU Dikti) sampai pada
tahapan baru, yaitu mendengar keterangan Ahli dan Saksi yang
diajukan oleh pihak terkait, pemerintah, serta pemohon.
Sekretaris Eksekutif Universitas Gadjah Mada (UGM)
Yogyakarta Gugup Kismono mengatakan, UGM sebagai salah satu
pihak terkait secara aktif memantau perkembangan
persidangan.
Selain UGM, terdapat lima eks Perguruan Tinggi Badan
Hukum Milik Negara (PT BHMN) lain yang mengajukan diri
sebagai pihak terkait. Mereka adalah Institut Pertanian
Bogor (IPB), Universitas Indonesia (UI), Institut Teknologi
Bandung (ITB), Universitas Pendidikan Indonesia (UPI), dan
Universitas Airlangga (Unair) Surabaya.
UGM menilai, UU Dikti bukan semata-mata penting
bagi eksistensi institusi pendidikan tinggi, namun juga
terkait kemajuan dan peningkatan pendidikan tinggi di
Indonesia, tegas Gugup, seperti dikutip dari laman
UGM, Kamis (20/6/2013).
Gugup menjelaskan, pada persidangan tersebut pihak
terkait UI, ITB, dan UPI hanya dipersilakan untuk
menyampaikan pendapat tertulis oleh Majelis Hakim. Hal ini
bertujuan agar persidangan dapat efektif untuk menggali
keterangan ahli dan saksi yang diajukan.
Ahli yang diajukan oleh Pemohon, yaitu B.S. Mardiatmadja
menyatakan, terdapat kesalahan penamaan terhadap UU Dikti.
Di dalam UU Dikti, lanjutnya, lebih banyak terkait
organisasi dan pengelolaan atau manajerial pendidikan tinggi
dari pada aspek keilmuan, sehingga lebih tepat bila diberi
nama UU Perguruan Tinggi.
Meskipun demikian, pendidikan tinggi selain
membutuhkan otonomi akademik juga butuh otonomi
pengelolaan, kata Mardiatmadja.
Sementara itu pemerintah mengajukan saksi dan ahli.
Mereka adalah Rizal Z Tamin sebagai saksi pelaku pengelola
pendidikan tinggi pada ITB dan Ade Armando sebagai Ahli
dalam bidang komunikasi politik.
Pada kesempatan tersebut, Rizal mengungkapkan
pengalamannya dalam pengelolaan pendidikan tinggi di ITB
yang mampu meningkatkan kualitas pendidikan tinggi melalui
sinergi antara otonomi akademik dan otonomi pengelolaan
dalam wadah badan hukum. Wacana membuat institusi pendidikan
tinggi sebagai badan hukum juga sudah melalui kajian yang
cukup mendalam sejak 1997.
Jika dilihat sejarahnya, Prof. Mr. Dr Soepomo dan
Prof. Mr. R. Soenario Kolopaking menegaskan kebutuhan
pendidikan tinggi menjadi badan hukum adalah untuk
meningkatkan kualitas pendidikan, tutur Rizal.
Dalam perspektif yang lebih praksis kekinian, Ade Armando
menyatakan, pada intinya UU Dikti lebih mendorong pada tiga
hal, yaitu keadilan sosial, peningkatan mutu pendidikan, dan
demokratisasi. UU Dikti bukan hanya mengatur, namun
mewajibkan PTN untuk memberikan akses bagi mahasiswa miskin
minimal sebanyak 20 persen.
Tentu menjadi sangat dekonstruktif bagi upaya
mencerdaskan kehidupan bangsa bila kemudian UU Dikti dicabut
oleh Mahkamah Konstitusi (MK), terang Ade. (mrg)
Sumber: http://kampus.okezone.com
|