|
TANYA-JAWAB SEPUTAR UU DIKTI NOMOR 12 TAHUN
2012
oleh Prof. Ir. Nizam, M.Sc., Ph.D.
(Sekretaris DPT Ditjen Dikti)
1. Apakah UU Pendidikan Tinggi (UU Dikti)
Konstitusional?
- UU Dikti bersifat konstitusional karena disusun, dan
disahkan oleh lembaga dan melalui proses yang sah secara
konstitusional.
- UU Dikti juga disusun atas dasar perintah konstitusi
(UUD 1945 Pasal 31 ayat 3 dan 5) dan
melengkapi/komplementer dengan UU Sisdiknas, di mana ada
amanat bagi Pemerintah untuk mengembangkan ilmu
pengetahuan dan teknologi serta humaniora yang
diamanatkan sebagai pencerdasan kehidupan bangsa dan
membangun peradaban.
- UU Dikti juga tidak memuat materi yang melanggar
dasar konstitusi (UUD 1945). UU Dikti menjamin hak-hak
warga negara yang diatur dalam konstitusi seperti hak
berserikat dan berkumpul (Pasal 28 UUD 1945) dan hak-hak
lainnya, baik institusional maupun individual. Karena
itu, UU Dikti ini bersifat konstitusional.
2. Betulkah UU Pendidikan Tinggi Pro Liberalisasi dan
Komersialisasi Pendidikan?
- UU Dikti secara jelas mempertegas tanggung jawab
Negara dalam penyelenggaraan pendidikan tinggi.
- Saat ini gejala liberalisasi dan komersialisasi
pendidikan semakin kuat, antara lain ditandai dengan
penyelenggaraan pendidikan untuk mencari keuntungan,
pungutan biaya pendidikan yang tidak diatur, kurangnya
perlindungan hak-hak akses masyarakat untuk mendapatkan
pendidikan tinggi, tidak kuatnya peran negara dalam
mengatur sistem pendidikan tinggi dan melindungi publik,
keluarnya sektor pendidikan dari daftar negatif
investasi, dsb. Menguatnya mekanisme pasar bebas dalam
penyelengaraan pendidikan tinggi di tengah kesenjangan
sosial ekonomi dan daya beli masyarakat yang rendah akan
berdampak pada semakin lebarnya kesenjangan
sosial-ekonomi masyarakat. Peran Pemerintah sebagai
regulator dan penanggung jawab penyelenggaraan sistem
pendidikan haruslah dipertegas melalui Undang-undang. UU
Dikti justru disiapkan untuk mengerem laju liberalisasi
dan komersialisasi pendidikan tinggi di Indonesia. UU
Dikti menegaskan bahwa institusi pendidikan tinggi harus
bersifat nirlaba, tidak boleh dilepaskan pada mekanisme
pasar bebas, tetapi lebih pada fungsi sosial pengemban
amanah konstitusi untuk mencerdaskan kehidupan bangsa dan
membangun peradaban bangsa.
- Menguatnya anarkisme pasar bebas pendidikan tinggi
menjadikan anak-anak orang miskin akan selamanya sulit
memasuki gerbang perguruan tinggi. Dapat kita bayangkan
seandainya mereka adalah anak-anak emas potensial bagi
masa depan Indonesia, maka negara-bangsa ini jelas akan
rugi besar di masa mendatang. Dengan tidak adanya payung
regulasi yang kuat yang dimiliki oleh Pemerintah maka
laju liberalisasi dan komersialisasi yang dilakukan oleh
penyelenggara pendidikan tinggi di Indonesia akan sulit
untuk dibendung. Karena itu, melalui UU Dikti inilah
nantinya liberalisasi dan komersialisasi pendidikan
tinggi bisa direm lajunya oleh Pemerintah bersama-sama PT
dan masyarakat. Fungsi Pemerintah sebagai penyelenggara
sistem pendidikan tinggi dipertegas, regulasi sistem
dibangun, dan afirmasi yang dibutuhkan untuk memastikan
akses masyarakat pada pendidikan tinggi agar melahirkan
generasi emas bagi kemajuan bangsa dapat dilakukan.
- UU Dikti menekankan prinsip nirlaba dalam
penyelenggaraan pendidikan tinggi, mengatur tentang
penetapan biaya satuan pendidikan, mengharuskan
penerimaan mahasiswa baru tidak boleh dikomersialkan,
serta hal-hal lain yang meregulasi sistem pendidikan
tinggi agar tidak liberal dan tidak komersial.
3. Apakah UU Pendidikan Tinggi Menghalangi atau
Memperkecil Peluang Masyarakat Miskin dan Kelas Menengah ke
Bawah untuk Memperoleh Pendidikan Tinggi di Indonesia?
- UU Pendidikan Tinggi justru memberikan perlindungan
dan jaminan bagi kalangan masyarakat miskin dan kelas
menengah ke bawah untuk bisa memasuki perguruan tinggi di
Indonesia.
- Dengan tidak adanya payung regulasi yang bagus dalam
mengatur penyelenggaraan pendidikan tinggi di Indonesia,
siapa yang bisa menjamin masyarakat kalangan menengah ke
bawah mendapatkan akses masuk ke PTN dan PTS yang
bagus?
- Siapakah yang berani bertaruh dan bisa menjamin agar
setiap PTN dan PTS selalu memberikan kuota yang memadai
agar akses masyarakat miskin kelas menengah ke bawah bisa
bersekolah di PTN dan PTS favorit?
- Adanya UU Pendidikan Tinggi jelas diperlukan untuk
menjamin adanya keterjangkauan dan akses masyarakat
miskin kelas menengah bawah agar mereka bisa
mengembangkan potensinya bagi kemajuan bangsa dan negara
kita di masa depan.
- UU Dikti mengamanahkan adanya afirmasi untuk
menjadikan pendidikan tinggi terjangkau oleh seluruh
lapisan masyarakat secara berkeadilan, seperti pembebasan
biaya seleksi masuk PTN, keharusan PTN mencari dan
menjaring calon mahasiswa berpotensi yang kurang mampu
secara ekonomi dan dari daerah 3T (terluar, terdepan,
tertinggal) sekurangnya 20%, dan biaya pendidikan tinggi
yang ditanggung mahasiswa dipungut sesuai dengan
kemampuan mahasiswa.
4. Apakah UU Pendidikan Tinggi Sangat Etatis?
- UU Dikti menjaga keseimbangan antara kebutuhan dan
perlindungan masyarakat, otonomi perguruan tinggi, dan
tanggung jawab Negara. Hal itu barangkali yang memberi
kesan UU Dikti bersifat etatis. Hal yang harus dipahami
adalah tidak semua Etatisme bersifat negatif. Etatisme
yang negatif adalah kalau kekuasaan yang diatur, dimiliki
dan dijalankan oleh Negara melalui Pemerintah dilakukan
dengan pola otoritarianisme, totalitarianisme dan
fasisme. Etatisme diperlukan untuk mencegak ultra
liberalisme yang berujung pada "anarkhisme". Menguatnya
komersialisasi dan liberalisasi dalam penyelenggaraan
pendidikan tinggi yang cenderung merugikan masyarakat
maka Etatisme sangat diperlukan untuk menjamin dan
melindungi kepentingan publik. Tidak benar bahwa UU Dikti
sangat etatis, karena otonomi Pendidikan Tinggi tetap
dijamin bahkan dilindungi oleh Negara.
- Menguatnya kebutuhan penyelenggaraan pendidikan
tinggi di satu sisi dan di sisi lain kecenderungan
meningkatnya biaya yang harus ditanggung oleh masyarakat
yang hendak menempuh pendidikan tinggi, dimana mereka
mengeluhkan hal tersebut. Etatisme di sini bukan sebagai
bentuk pengekangan ataupun campur tangan secara
berlebihan dari negara, namun Etatisme justru dijalankan
lebih sebagai bentuk tanggung jawab negara/Pemerintah
untuk mengelola pendidikan tinggi sebagaimana amanah
konstitusi.
- Fakta obyektif menunjukkan bahwa kondisi PTN dan PTS
akan sulit berkembang tanpa campur tangan Pemerintah.
Bahkan banyak PTN dan PTS yang menunjukkan ketergantungan
yang tinggi kepada Pemerintah. Di sisi lain, belum ada
payung hukum yang kuat dimana Pemerintah dalam
memfasilitasi dan mendorong kemajuan PTN dan PTS serta
memberikan perlindungan kepada kepentingan publik.
- Etatisme memastikan tanggung jawab Negara dalam
penyelenggaraan pendidikan tinggi termasuk dalam
pendanaan PTN maupun PTS; melindungi masyarakat dari
komersialisasi dan liberalisasi pendidikan tinggi;
melindungi masyarakat dari penyelenggaraan pendidikan
tinggi yang tidak bermutu, jual-beli ijazah dan gelar;
memperluas akses hingga ke Kabupaten/Kota dan daerah
tertinggal, terdepan, dan terluar; serta melakukan
afirmasi jaminan hak akses masyarakat yang berpotensi
namun kurang mampu secara ekonomi untuk mendapatkan
pendidikan tinggi.
5. Betulkah UU Pendidikan Tinggi tidak memberi otonomi
yang seharusnya (otonomi setengah hati)?
- UU Dikti mengamanahkan pada Pemerintah untuk
memfasilitasi otonomi PT agar bermanfaat bagi masyarakat,
Negara, dan ilmu pengetahuan. Bukan otonomi untuk otonomi
itu sendiri. Sehingga tidak benar kalau dikatakan otonomi
setengah hati, justru Pemerintah memberikan kepercayaan
sepenuhnya bagi kampus dalam mengembangkan otonomi
akademik. UU Dikti justru mengamanahkan dan menjamin
otonomi perguruan tinggi, kebebasan akademik, kebebasan
mimbar akademik, dan otonomi keilmuan. Kebebasan akademik
merupakan prinsip penting dalam pendidikan tinggi, agar
ilmu pengetahuan dan teknologi bisa berkembang dengan
baik. Namun Otonomi harus disertai dengan akuntabilitas
atau otonomi yang bertanggung jawab dan transparan kepada
publik. Karena otonomi yang tidak bertanggung jawab
(tanpa akuntabilitas) justru dapat disalahgunakan dan
bahkan dapat tidak sejalan dengan kepentingan bangsa. UU
Dikti mempertegas aspek otonomi akademik dan non-akademik
serta akuntabilitasnya. Kedua jenis otonomi tersebut
harus dijalankan dengan arif dan bijaksana, transparan,
bertanggung-jawab dan memberikan kemanfaatan
seluas-luasnya bagi masyarakat.
- Oleh karena itu, apa yang dikatakan sebagian kalangan
bahwa UU Dikti ini cenderung memberikan otonomi setengah
hati, adalah tidak tepat. Yang lebih tepat adalah
"otonomi yang bertanggung jawab" sesuai dengan kapasitas
(status) dari masing-masing PT. Hal ini sesuai dengan
amar putusan Mahkamah Konstitusi agar tidak terjadi
penyeragaman bentuk perguruan tinggi. Keragaman perguruan
tinggi sangat dihargai dalam UU Dikti, termasuk dalam
menyelenggarakan otonomi perguruan tinggi. Adanya
kemampuan yang berbeda dari masing-masing PT diwadahi
melalui pilihan ragam bentuk tata kelola PTN, sementara
untuk PTS bentuk tata kelola diserahkan sepenuhnya pada
badan penyelenggaranya.
6. Mampukah UU Pendidikan Tinggi mengatasi mahalnya
biaya pendidikan?
Undang-Undang Pendidikan Tinggi (UU Dikti)
dibuat untuk mengatasi mahalnya biaya pendidikan tinggi.
Memang biaya pendidikan tinggi yang bermutu di manapun di
dunia relatif cukup tinggi dibanding pendidikan dasar dan
menengah. Oleh karena itu harus ada regulasi dan afirmasi
agar hak akses warga negara tidak terhambat karena alasan
ekonomi. Banyak pasal di dalam UU Dikti yang mengatur dan
memastikan perlindungan hak akses pendidikan tinggi
tersebut. Antara lain memastikan tanggung jawab
Pemerintah dalam pendanaan pendidikan tinggi; penetapan
standar satuan biaya operasional pendidikan oleh
Pemerintah; menetapkan biaya yang ditanggung mahasiswa
disesuaikan dengan kemampuan ekonomi mahasiswa;
pembebasan biaya seleksi masuk PTN; keharusan 20%
mahasiswa baru PTN dari mahasiswa berpotensi yang kurang
mampu secara ekonomi; larangan komersialisasi penerimaan
mahasiswa baru; keharusan bagi PT untuk tidak mencari
keuntungan melalui pendidikan (bersifat nirlaba);
kewajiban bagi Pemerintah untuk menyediakan biaya
operasional PTN; penyediaan beasiswa, bantuan biaya
pendidikan, kredit mahasiswa tanpa bunga; pendanaan
pendidikan tinggi oleh Pemerintah Pusat dan Pemerintah
Daerah; mendorong partisipasi dunia usaha dan dunia
industri untuk membantu perguruan tinggi; dsb.
7. Apakah UU Pendidikan Tinggi diskriminatif terhadap
PTS?
PTN didirikan dan diselenggarakan oleh
Pemerintah, sementara PTS didirikan dan diselenggarakan
oleh masyarakat, sehingga pada dasarnya kedua lembaga
tersebut berbeda. Tanggung jawab utama tentunya berada
pada pendiri/penyelenggara perguruan tinggi. Meskipun
demikian, karena PTS juga mengemban misi pencerdasan
kehidupan bangsa, maka UU Dikti mengamanahkan Pemerintah
dan Pemerintah Daerah untuk turut serta membiayai PTS,
antara lain dengan pemberian tunjangan jabatan dosen,
tunjangan kehormatan profesor, dana penelitian, beasiswa
bagi dosen untuk studi lanjut, beasiswa bagi mahasiswa,
bahkan bantuan untuk biaya investasi dan pengembangan.
Perhatian dan dukungan Negara untuk PTS semacam ini
jarang sekali dijumpai di negara lain. Dalam hal otonomi
akademik baik PTN maupun PTS memiliki kedudukan yang
sama. Dalam hal otonomi tata kelola, PTN diatur oleh
Pemerintah selaku pendiri dan penyelenggara, sementara
PTS diserahkan sepenuhnya pada masing-masing badan
penyelenggaranya.
8. Apakah UU Pendidikan Tinggi hanya pepesan kosong
(terlalu banyak memberikan janji, namun sulit
diwujudkan)?
- UU Dikti disusun untuk mengantisipasi peluang dan
tantangan pembangunan bangsa Indonesia di masa kini dan
masa depan. Oleh karena itu banyak hal yang hendak
dikembangkan untuk memperkuat pendidikan tinggi yang
bermutu di Indonesia dan memperluas akses bagi seluruh
warga masyarakat. UU Dikti ini bukan pepesan kosong, di
dalamnya ada kewajiban Pemerintah untuk menyediakan biaya
operasional Perguruan Tinggi Negeri (PTN), mengalokasikan
biaya penelitian sebesar 30% BOPTN untuk PTN dan PTS,
membebaskan biaya seleksi mahasiswa baru secara Nasional,
dan masih banyak lagi hal-hal lain. Dengan keterbatasan
anggaran Negara, tentunya tujuan mulia tersebut dicapai
secara bertahap disesuaikan dengan kemampuan, namun
prioritas dan amanahnya sudah jelas. Dengan demikian UU
Dikti merupakan landasan hukum dan fondasi pembangunan
yang kuat untuk mewujudkan kemajuan pendidikan tinggi di
Indonesia di masa kini dan masa depan.
- UU Dikti menegaskan peran dan tanggung jawab
Pemerintah dalam pendanaan pendidikan tinggi, dalam
pengembangan pendidikan tinggi di setiap provinsi,
pengembangan akademi komunitas di setiap kabupaten/kota,
serta pengembangan perguruan tinggi secara keseluruhan.
UU Dikti meletakkan arsitektur pengembangan pendidikan
tinggi ke masa depan untuk kemajuan dan kesejahteraan
bangsa dan Negara.
- Untuk mengimplementasikan UU Dikti dibutuhkan
Peraturan Pemerintah dan Peraturan Menteri sebagai bentuk
perundangan yang lebih rinci dan teknis. Karena merupakan
fondasi pengembangan pendidikan tinggi secara
komprehensif, maka UU Dikti mengamanahkan beberapa PP dan
Permen agar amanah UU ini dapat diimplementasikan secara
utuh.
9. Apakah dalam UU Pendidikan Tinggi terlalu banyak yang
diatur?
- UU Dikti memberikan otonomi pada masing-masing
perguruan tinggi sesuai dengan misi dan mandat
masing-masing perguruan tinggi.
- UU Dikti lebih banyak memberikan tugas dan tanggung
jawab yang lebih besar kepada Pemerintah untuk memajukan
Pendidikan Tinggi.
- Karena pendidikan tinggi meliputi aspek yang sangat
luas dan harus komprehensif, mulai dari peran dan
tanggung jawab negara, penyelenggaraan pendidikan tinggi,
pendirian perguruan tinggi, hingga pengembangan peradaban
bangsa, maka dengan sendirinya lingkup pengaturan dalam
UU Dikti cukup luas. UU Dikti hanya mengatur tentang
dasar-dasar dan kerangka umum pengaturan yang menekan
aspek keterjangkauan, akses, pemerataan dan relevansi
antara perkembangan ilmu dengan dunia kerja/kebutuhan
masyarakat, negara dan bangsa. Peratuan operasionalnya
ada di dalam PP dan Permen.
10. Apakah UU Pendidikan Tinggi reinkarnasi dari
UU BHP?
- UU Dikti bersifat luas tentang pendidikan tinggi
secara utuh/keseluruhan, sehingga lingkup pengaturannya
komprehensif. Perihal badan hukum hanya merupakan bagian
kecil dari UU Dikti sebagai bentuk fasilitasi dan
pengaturan Negara untuk terselenggaranya otonomi
perguruan tinggi negeri.
- Substansi dan filosofi UU Dikti sangat berbeda dengan
UU BHP. Pada UU Dikti, subtansi dan filosofi mengatur
aspek penyelenggaraan Pendidikan Tinggi sebagai
Sub-Sistem Pendidikan Nasional secara utuh/komprehensif.
Sedang UU BHP, secara subtantif dan filosofis hanya
berfokus pada aspek Badan Hukum Pendidikan dan Tata
Kelola PT. Tidak ada kaitan legal-formal antara UU DIKTI
dengan UU BHP.
- Dalam UU BHP tugas dan peran Pemerintah lebih
sedikit, sehingga komersialisasi dan liberalisasi
pendidikan justru sulit dikontrol oleh Pemerintah,
akibatnya masyarakat cenderung dirugikan. Hal ini berbeda
dengan UU Dikti. UU Dikti, justru dimaksudkan untuk
mengantisipasi peluang komersialisasi dan liberalisasi
sebagai penyalahgunaan prinsip otonomi PT, baik PTS
maupun PTN.
11. Apakah UU Pendidikan Tinggi menyalahi (bertentangan)
dengan konstitusi?
- Tidak satupun pasal dalam UU DIKTI yang melanggar
konstitusi. UU DIKTI justru disusunkan untuk menjalankan
amanah Konstitusi (dalam Pembukaan UUD 1945 Pasal 31 ayat
3 dan ayat 5, serta melengkapi UU Sisdiknas). UU Dikti
justru mengatur tanggung jawab Negara dalam memenuhi hak
konstitusional masyarakat untuk mendapatkan pendidikan
serta menjamin akses ke pendidikan tinggi secara non
diskriminatif.
- UU Dikti justru dimaksudkan untuk memberikan jaminan
kepada publik agar Pemerintah benar-benar mengembangkan
sub-sistem pendidikan tinggi yang : 1) menyediakan akses
dan keterjangkauan yang luas bagi seluruh lapisan
masyarakat serta afirmasi bagi masyarakat kurang mampu
secara ekonomi; 2) terjaminnya mutu pendidikan tinggi; 3)
tata kelola yang transparan dan bertanggung
jawab.
12. Apakah UU Pendidikan Tinggi membuka pintu masuk bagi
PT Asing dan akan membunuh PTS-PTS di Indonesia?
- Saat ini kita sudah meratifikasi perdagangan bebas,
bahkan sektor Pendidikan sudah dikeluarkan dari daftar
negatif investasi. Untuk mengatasi agar sektor pendidikan
(tinggi) tidak menjadi komoditas yang diperjual belikan
bahkan membebaskan PT Asing beroperasi begitu saja di
Indonesia diperlukan UU yang dapat meregulasi sistem
pendidikan tinggi kita. Oleh karena itu diperlukan suatu
lex specialis (dalam hal ini UU Dikti) yang dapat
mengatur sub-sektor pendidikan tinggi dan meregulasi
perguruan tinggi asing yang akan masuk ke Indonesia. Di
beberapa negara (Malaysia, Vietnam, Philippina, Kamboja,
dsb.) perguruan tinggi asing diperbolehkan masuk bahkan
dalam bentuk lembaga komersial dan pemerintahnya bahkan
memberikan insentif. Namun di Indonesia, karena
konstitusi kita mengamanahkan bahwa pendidikan (tinggi)
tidak boleh menjadi barang dagangan (harus bersifat
nirlaba) serta keinginan masyarakat untuk melindungi
PTN/PTS di dalam Negeri, maka diperlukan pengaturan yang
tegas di dalam UU Dikti tentang kehadiran PT Asing
tersebut. Kehadiran PT Asing saat ini diatur melalui
Peraturan Menteri sehingga tidak cukup kuat untuk
membendung dan meregulasinya. Di dalam UU Dikti kehadiran
PT Asing dibatasi dengan sangat ketat, bahkan lebih ketat
dari Permen yang ada. Pemerintah menetapkan daerah, jenis
dan program studi yang boleh diselenggarakan; PT Asing
tersebut haruslah PT yang bermutu dan wajib bersifat
nirlaba, wajib memperoleh izin Pemerintah, bekerja sama
dengan PT di Indonesia, mengutamakan dosen dan tenaga
kependidikan WNI; harus mengajarkan Pancasila, bahasa
Indonesia, kewarga negaraan Indonesia; serta harus
mendukung kepentingan Nasional. Ketentuan-ketentuan
tersebut memagari sistem pendidikan tinggi kita dari
serangan PT Asing yang hanya bertujuan komersial namun
tetap memberi kesempatan bagi PT Asing yang sesuai dengan
kepentingan Nasional untuk bekerja sama dengan PT di
Indonesia menyelenggarakan pendidikan tinggi yang
bermutu.
- Dengan demikian kalaupun ada PT Asing yang hadir di
Indonesia (mau untuk tidak komersial/berprinsip nirlaba)
diharapkan justru meningkatkan mutu PT yang ada di
Indonesia, karena mereka harus bekerja sama dengan PT di
Indonesia.
13. Apakah adanya UU Pendidikan Tinggi akan menyebabkan
inflasi profesor?
- UU Dikti memberi amanat pada Perguruan tinggi untuk
mengemban mandat yang luas dalam pengembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi yang bermanfaat bagi
pembangunan bangsa, mengembangkan kebajikan dan kekuatan
moral untuk mencari dan menemukan kebenaran ilmiah, dan
mengembangkan peradaban bangsa. Profesor sebagai jabatan
akademik tertinggi merupakan ujung tombak pengembangan
ilmu pengetahuan dan teknologi, membangun budaya
akademik, mengembangkan kebajikan dan kearifan, menemukan
kebenaran ilmiah, dan mentransofmasikannya pada
dosen-dosen muda dan mahasiswa. Jabatan akademik profesor
memerlukan persyaratan dan kualifikasi akademik dan
pengalaman dalam pendidikan, penelitian, maupun
pengabdian kepada masyarakat yang ketat. Saat ini jumlah
profesor di Indonesia masih sangat sedikit dan banyak
yang sudah lanjut usia. Dalam hal kearifan, pengalaman,
dan penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi, tentunya
pengalaman panjang seorang profesor sangat berharga dan
tidak mudah digantikan. Oleh sebab itu UU Dikti
mengharuskan Negara tetap mempertahankan profesor hingga
usia 70 tahun (saat ini usia tersebut dipandang masih
produktif dalam hal akademik dan memberi kearifan dalam
pengembangan ilmu pengetahuan). Sebetulnya perubahan
tersebut hanya memperkuat praktek saat ini di mana batas
usia pensiun seorang profesor adalah 65 tahun tapi dapat
diperpanjang hingga 70 tahun.
- Namun demikian, jaminan usia pensiun 70 tahun bagi
profesor harus pula diikuti dengan produktifitas dalam
dunia akademik sebagai bentuk akuntabilitas dan tanggung
jawab kepada masyarakat. Oleh karena itu UU Dikti juga
mengamanahkan agar dosen dan profesor terus melakukan
pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang tidak
melupakan aspek humaniora dan menyebarluaskannya untuk
kepentingan bangsa dan Negara melalui publikasi ilmiah
maupun mendaya gunakan hasil ciptaan melalui HAKI.
- Selain dari itu, UU Dikti memperbaiki praktek yang
saat ini tidak adil terhadap dosen pada pendidikan tinggi
vokasi (Politeknik, Akademi) dengan memberi kesempatan
yang sama bagi dosen di pendidikan tinggi vokasi untuk
mencapai jabatan akademik profesor bila telah memenuhi
syarat.
14. Apakah UU Pendidikan Tinggi justru memperluas dan
memperbesar arus komersialisasi dan privatisasi PTN?
- Sebaliknya, UU DIKTI justru menekan arus
komersialisasi dan privatisasi PTN. Mengapa? Karena UU
Dikti justru mengatur/meregulasi berbagai aspek dalam
penyelenggaraan pendidikan tinggi oleh PTN yang dapat
mengarah pada komersialisasi pendidikan tinggi. Hal-hal
yang diatur secara jelas dalam UU DIKTI, antara lain : 1)
penetapan satuan biaya pendidikan oleh Pemerintah; 2)
melindungi calon mahasiswa dari komersialisasi penerimaan
mahasiswa baru; 3) mengharuskan seleksi mahasiswa baru
PTN semata didasarkan pada kemampuan akademik; 4)
mengharuskan PTN mencari dan menjaring calon mahasiswa
berpotensi akademik tinggi dari kalangan masyarakat yang
secara ekonomi kurang mampu, serta dari daerah terdepan,
terluar, dan tertinggl untuk diterima paling sedikit 20%
dari seluruh mahasiswa baru; 5) biaya pendidikan tinggi
yang ditanggung mahasiswa disesuaikan dengan kemampuan
ekonominya; 6) Pemerintah menyediakan beasiswa, bantuan
biaya pendidikan, kredit mahasiswa tanpa bunga, biaya
operasional pendidikan tinggi negeri, dsb.; serta
pengaturan-pengaturan lain seperti keharusan berprinsip
nirlaba, dsb. Kesemuanya itu untuk memastikan bahwa ke
depan tidak lagi terjadi komersialisasi pendidikan
tinggi.
- Pada PTN yang otonom (PTN badan hukum) tanggung jawab
Pemerintah tetap ada dan ditekankan di dalam UU Dikti,
sehingga tidak terjadi privatisasi dan komersialisasi PTN
meskipun telah menjadi badan hukum. Pendanaan PTN badan
hukum tetap menjadi tanggung jawab Pemerintah, dengan
bentuk pendanaan yang sesuai dengan peraturan perundangan
untuk memastikan pendidikan tinggi bermutu yang
terjangkau oleh seluruh masyarakat. Pemberian hak untuk
mengelola aset secara luas pada PTN badan hukum
dimaksudkan agar PTN tersebut dapat memanfaatkan sumber
dayanya secara optimal bagi peningkatan mutu pendidikan
dan kemajuan PTN tersebut. Pemanfaatan aset harus
sepenuhnya dipergunakan untuk kepentingan pendidikan
bukan untuk tujuan komersial/orientasi profit. PTN badan
hukum sepenuhnya menjadi milik negara, tidak dapat
diperjual belikan maupun dipindah tangankan, dengan
demikian tidak akan terjadi privatisasi yang selama ini
dikhawatirkan oleh masyarakat.
15. Apakah UU Pendidikan Tinggi melepaskan tanggung
jawab Pemerintah?
- Sebaliknya, UU Dikti mempertegas tanggung jawab
Pemerintah dalam penyelenggaraan Pendidikan Tinggi di
Indonesia. Tanggung jawab Pemerintah yang diamanahkan
dalam UU Dikti meliputi penyelenggaraaan Pendidikan
Tinggi mencakup perencanaan, pengaturan, pengawasan,
pemantauan, dan evaluasi serte pembinaan dan
koordinasi.
- UU DIKTI memberikan banyak kewajiban kepada
Pemerintah, seperti pengembangan sistem penjaminan mutu,
pendanaan pendidikan tinggi, pengembangan Perguruan
Tinggi, pembinaan Perguruan Tinggi, penyediaan sistem
informasi Pangkalan Data Pendidikan Tinggi, dsb.
16. Apakah UU Pendidikan Tinggi Diskriminatif?
- UU Pendidikan Tinggi tidak bersifat diskriminatif.
Sebaliknya UU Pendidikan Tinggi justru memberikan payung
hukum yang komprehensif bagi semua jenis Perguruan Tinggi
di Indonesia, baik PTN dan PTS. Dalam hal
penyelenggaraaan akademik baik PTN maupun PTS tidak
dibedakan. Dalam hal tata kelola PTN diatur oleh
Pemerintah sebagai pendiri dan penyelenggaranya,
sementara tata kelola PTS diatur oleh badan
penyelenggaranya (hal ini tentu tidak bisa dikatakan
sebagai diskriminasi, karena sifatnya memang berbeda). Di
dalam UU Dikti hak hidup PTS sangat diperhatikan bahkan
didukung dengan memberikan berbagai bentuk bantuan dan
pembinaan dari Pemerintah (Pemerintah menanggung
tunjangan fungsional dosen bagi PTN maupun PTS, tunjangan
kehormatan profesor bagi PTN maupun PTS, maupun bantuan
pengembangan bagi PTS). Karena PTS didirikan dan
diselenggarakan oleh badan hukum penyelenggaranya, hak
yayasan dan hak sejarah yayasan sepenuhnya diakui dan
dijunjung tinggi dalam UU Dikti. Tata kelola PTS
diserahkan sepenuhnya pengaturannya pada yayasan atau
badan penyelenggara yang bersifat nirlaba. Hal ini sangat
berbeda dengan UU No.9 Tahun 2009 tentang Badan Hukum
Pendidikan (BHP) yang telah dibatalkan oleh MK karena
mengharuskan setiap satuan pendidikan untuk berbadan
hukum (penyeragaman bentuk).
17. Apakah UU Dikti Memberangus Kebebasan
Mahasiswa?
- Sebaliknya, justru UU Dikti mengharuskan agar
pengembangan potensi Mahasiswa harus difasilitasi oleh
Kampus. Hak berorganisasi mahasiswa secara tegas
dilindungi di dalam UU ini.
- UU Dikti melindungi kebebasan dengan diakuinya
keberadaan organisasi mahasiswa (yang dulu hanya di
statuta PT, yang bisa dirubah oleh PT).
- Melindungi mahasiswa untuk menyelesaikan kuliahnya
sesuai dengan waktu yang dipersyaratkan.
- UU DIKTI menegaskan adanya fasilitas pinjaman kepada
mahasiswa selama proses kuliah berlangsung. Bersifat
tanpa agunan dan bisa dibayarkan setelah lulus.
18. Betulkah UU Pendidikan Tinggi terlalu memberi
kebebasan pada PT?
- Tingkat kebebasan berbeda tergantung pada status
masing-masing PT.
- Tingkat kebebasan yang dimiliki oleh masing-masing PT
sesuai dengan kapasitan dan tanggung jawab yang harus
dijalankan oleh masing-masing PT.
- Kebebasan yang diberikan kepada masing-masing oleh PT
sesungguhnya adalah kebebasan yang bertanggung jawab
sehingga tidak ada kebebasan yang mutlak tanpa batasan
sebagai status masing-masing PT dan konsekuensi tanggung
jawab yang harus dijalankannya sesuai dengan status
masing-masing PT.
19. Betulkah UU Pendidikan Tinggi terlalu mengatur
keuangan/tarif (sehingga berlawanan dengan kebutuhan otonomi
kampus).
- UU Dikti hanya mengatur keuangan/tarif yang bersumber
dari mahasiswa. Pengaturan ini diperlukan agar biaya
pendidikan tetap terjangkau oleh seluruh lapisan
masyarakat dan tidak terjadi komersialisasi pendidikan
tinggi. Tetapi UU Dikti tidak mengatur keuangan /tarif
yang bersumber di luar dari biaya yang dikeluarkan oleh
mahasiswa. Dengan kata di luar sumber tersebut UU Dikti
memberikan keleluasaan kepada masing-masing PT.
- Tidak ada jaminan dari semua aspek otonomi kampus itu
tidak merugikan masyarakat dan mahasiswa. Bahkan
intreprentasi dan implementasi otonomi kampus masih
potensial untuk disalahgunakan sehingga bisa memunculkan
dampak negatif bagi masyarakat dan mahasiswa (contoh
tarif mahal, tidak jaminan kepada mutu pendidikan dan
pelayanan mahasiswa), karena itu pengarutan dibutuhkan
agar intrepretasi dan implementasi otonomi kampus
benar-benar dijalankan secara arif dan bijaksana.
20. Apakah UU Pendidikan Tinggi akan memboroskan uang
negara untuk membiayai PTS-PTS?
- UU Dikti mempertegas tanggung jawab Pemerintah/Negara
dalam pendanaan PTS karena kontribusinya pada penyediaan
pendidikan tinggi, meskipun berbeda dengan PTN karena
sifatnya yang berbeda. UU Dikti ini memberikan sejumlah
keuntungan bagi PTS misalnya dari : 1) membayar tunjangan
fungsional dosen, tunjangan kehormatan profesor, 2)
bantuan investai dan pengembangan, 3) dana
penelitian.
- UU Dikti sebenarnya mendorong agar PTS lebih bermutu
dengan meningkat fasilitas pendidikan yang diberikan
kepada mahasiswa.
- Bantuan Pemerintah kepada PTS menunjukkan bahwa UU
Dikti ini tidak diskrimintatif kepada PTS.
21. Betulkah UU Pendidikan Tinggi sarat dengan beragam
Peraturan lain seperti PP dan Permen (birokratisasi
pendidikan)?
- Pemerintah harus melindungi kepentingan masyarakat
dan Negara sehingga Pemerintah harus mengatur sistem
pendidikan tinggi tanpa mencampuri kebebasan akademik dan
otonomi keilmuan yang ada di dalam masing-masing PT.
- PTN ditanggung Pemerintah karena PT tersebut adalah
lembaga pendidikan yang dikelola oleh Pemerfintah.
- PTN diawasi karena menggunakan dana publik (APBN).
Transparansi dan akuntabilitas penting sesuai dengan
semangat UU Kebebasan Informasi Publik (KIP).
- PTS tetap diberi kebasan dalam mengelolaan khususnya
dana. Hanya saja, yang ditekankan oleh UU Dikti dimana
PTS harus tetap nirlaba, dimana ia tidak memanfaatkan
keuntungannya untuk kepentingan pribadi, atau perusahaan
atau bahkan modal/saham PTS bisa diperjualbelikan di
pasar modal.
22. Apakah dengan adanya UU Pendidikan Tinggi justru
tidak memungkinkan investasi (asing) dalam pendidikan tinggi
(berlawanan dengan negara-negara lain, seperti Malaysia,
Vietnam, bahkan China yang membuka sektor Dikti untuk
Investasi Asing)?
- Perguruan tinggi asing boleh menyelenggarakan
pendidikan tinggi selama bersifat nirlaba, sehingga tidak
terjadi komersialisasi pendidikan.
- Boleh selama mengikuti peraturan perundangan dan
sejalan dengan kepentingan nasional, sehingga tidak
terjadi liberalisasi pendidikan.
- Boleh selama bekerjasama dengan PT dalam negeri,
sehingga tidak membunuh PT dalam negeri. PT Asing juga
harus mendapat izin Pemerintah.
- Pemerintah mengatur daerah di mana PT asing boleh
beroperasi, jenis perguruan tinggi, serta program studi
yang boleh diselenggarakan.
|