Salah Memahami UU BHP
oleh M. Hadi Shubhan
Jawa Pos, 2 April 2010
Sangat mengejutkan dan cukup memprihatinkan putusan
Mahkamah Konstitusi (MK) yang membatalkan
Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2009 tentang Badan Hukum
Pendidikan (BHP). Sebab, UU
BHP sejatinya merupakan sebuah ikhtiar untuk mengubah
pengelolaan pendidikan di Indonesia menuju perbaikan.
Lahirnya UU itu merupakan amanat UU
No 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
(Sisdiknas). Dalam UU Sisdiknas dikatakan, penyelenggara
dan/atau satuan pendidikan formal yang didirikan oleh
pemerintah atau masyarakat berbentuk BHP.
Filosofi penyeragaman institusi pengelola pendidikan
dalam suatu badan hukum, antara lain, adalah penertiban.
Banyak pihak yang berkedok mendidik bangsa, tapi sejatinya
mengomersialkan pendidikan. Modusnya, mereka menggunakan
yayasan atau satuan lain dalam penyelenggaraan
pendidikan.
Berlindung di balik kegiatan pendidikan seperti itu
adalah memanfaatkan sifat sosial yayasan. Pertimbangannya,
yayasan atau satuan usaha pendidikan diberi banyak insentif
dan kemudahan pada bidang perpajakan dan perizinan. Pihak
yang memanfaatkan faktor tersebut pada hakikatnya hanya
mencari keuntungan dari dalam yayasan atau satuan itu.
Selain itu, tidak sedikit pihak yang memanfaatkan lembaga
pengelola pendidikan untuk menadah dana-dana najis, baik
dari dalam maupun luar negeri. Dana-dana tersebut tidak
digunakan untuk mengembangkan pendidikan, malah dimanfaatkan
buat kepentingan pribadi atau golongan maupun misi-misi
tertentu di luar pendidikan. Ibaratnya, lembaga tersebut
dikelola sebagai wahana untuk mencuci uang.
Praktik-praktik semacam itu jelas sangat merugikan,
bahkan mencoreng misi utama pendidikan. Praktik tersebut
perlu ditertibkan dengan menyeragamkan pengelola pendidikan
dalam wadah BHP. Dengan demikian, akuntabilitas dan
transparansi dapat dilaksanakan. Ada kewenangan dari
pemerintah untuk mengawasi BHP. Selain itu, ada sanksi hukum
yang tegas jika terjadi pelanggaran akuntabilitas dan
transparansi tersebut.
Berdasar ketegasan UU BHP, dapat ditebak pihak-pihak yang
kepentingannya terusik itu melawan sampai titik darah
penghabisan. Mereka berupaya memprovokasi berbagai elemen
masyarakat untuk menolak UU BHP. Tidak cukup provokasi,
mereka juga melakukan upaya-upaya hukum untuk menghadang UU
itu. Celakanya, masyarakat terprovokasi sehingga sangat
apriori terhadap UU tersebut.
UU BHP, Komersialisasi?
Banyak pihak yang mengkhawatirkan komersialisasi
pendidikan jika UU BHP diimplementasikan. Kekhawatiran itu
jelas kurang tepat. Dengan UU BHP (vide: pasal 41),
penyelenggara tidak boleh mendanai pendidikan dengan menarik
uang kepada masyarakat (peserta didik) lebih dari 30 persen
atau sepertiga jumlah seluruh dana pengoperasian
pendidikan.
Artinya, betapa negara sangat melindungi masyarakat agar
penyelenggara pendidikan tidak membebankan biaya itu dengan
semena-mena. Misalnya, menaikkan SPP dengan sangat
tinggi.
UU BHP mendorong penyelenggara pendidikan untuk menggali
dana bukan lewat penarikan uang SPP kepada masyarakat,
melainkan memberdayakan sekolah atau kampus dalam menggali
potensi-potensi yang dimiliki guna memperoleh dana. Misalnya
melalui investasi atau usaha lain. Potensi di perguruan
tinggi (PT), hasil penelitian sangat prospektif untuk
diproduksi secara masal serta bernilai ekonomis.
Selain itu, banyak pihak telah salah memahami UU BHP.
Menurut mereka, ketika penyelenggara pendidikan berubah
menjadi BHP, akses masyarakat miskin menjadi sempit.
Pemikiran tersebut jelas tidak tepat. Yang akan terjadi
justru sebaliknya. Akses masyarakat itu dijamin melalui UU
tersebut. Pasal 46 UU BHP secara tegas menyatakan bahwa BHP
wajib menjaring masyarakat pandai tapi kurang mampu minimal
20 persen.
UU tersebut juga merupakan sebuah ikhtiar negara dalam
mengejar ketertinggalan pendidikan di Indonesia agar tidak
terlalu jauh dengan negara-negara luar, terutama negara
tetangga. Ketika dunia sudah menjadi ikatan global,
pendidikan mengalami hal sama. Dengan kondisi sekarang,
hanya segelintir PT yang dapat tembus di kelas
internasional. Itu pun terbatas dan didominasi PT yang sudah
menjadi badan hukum milik negara (BHMN).
UU BHP berusaha memberikan terobosan dalam pengelolaan
pendidikan dengan mengubah sistem yang selama ini berlaku.
Sistem BHP itu telah terbukti sukses dilaksanakan oleh PT
BHMN, yang idenya hampir sama dengan BHP. Terbukti, PT
tersebut berhasil masuk dalam peringkat dunia. Misalnya UI,
UGM, ITB, dan Unair. Mereka masuk dalam peringkat 400 besar
dunia.
Berdasar proposisi-proposisi tersebut, kiranya perlawanan
orang yang mengkhawatirkan bisnis pendidikannya bangkrut
karena BHP berhasil dengan gemilang. Sebab, UU BHP telah
dibatalkan. Sementara itu, salah pemahaman terhadap UU BHP
memperoleh legitimasi. Sangat disayangkan, sebuah ikhtiar
negara untuk mengubah sistem pendidikan menemui tembok
tebal. (Sumber: Jawa Pos, 2 April 2010)
Tentang penulis: Dr M Hadi Shubhan SH MH CN, dosen mata
kuliah sengketa pemerintahan fakultas hukum dan sekretaris
Universitas Airlangga.
|