Implikasi Pembatalan UU BHP
Kompas,
Rabu, 7 April 2010 | 03:19 WIB
Oleh Darmaningtyas
Mahkamah Konstitusi akhirnya membatalkan Undang-Undang
Nomor 9 Tahun 2009 tentang
Badan Hukum Pendidikan tanggal 31 Maret 2010. Mahkamah
Konstitusi menilai UU Badan Hukum Pendidikan bertentangan
dengan UUD 1945 sehingga tidak punya kekuatan mengikat.
Saya berterima kasih kepada ketua dan para majelis hakim
di Mahkamah Konstitusi (MK) atas pembatalan tersebut.
Konsekuensi dari pembatalan itu adalah sejumlah peraturan
yang mengacu pada UU BHP, seperti Permendiknas
No 32/2009, harus dicabut dan program sosialisasi UU BHP
dihentikan.
Bagi sekolah TK hingga perguruan tinggi pada umumnya,
pembatalan tidak berimplikasi apa pun karena mereka berjalan
berdasarkan UU No
20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UU
Sisdiknas). Implikasi itu hanya dirasakan perguruan tinggi
negeri (PTN) yang berubah status menjadi perguruan tinggi
badan hukum milik negara (PT BHMN). Namun, PT BHMN
beroperasi hanya berdasarkan PP yang rujukannya tidak jelas
dan berharap akan memperoleh payung hukum melalui UU BHP
Pasal 66.
Perubahan status dari PTN jadi PT BHMN sejak awal
ditentang mahasiswa karena akan menjadikan PT semakin
komersial. Kekhawatiran itu sekarang terbukti. Dengan dalih
kemandirian, PT BHMN mengembangkan sejumlah jalur penerimaan
mahasiswa baru dengan besar kecilnya sumbangan sebagai dasar
penerimaan.
Penerimaan mahasiswa baru melalui UMPTN (SMNPTN) yang
lebih murni berdasarkan intelektualitas hanya mendapat
alokasi 10 persen saja. Tidak mengherankan bila di PT BHMN
sulit ditemukan orang miskin sehingga program beasiswa
Depdiknas untuk kaum miskin tidak terserap semua. Mengingat
sejak awal sudah ditolak masyarakat dan praktiknya buruk,
sebaiknya PT BHMN kembali menjadi PTN milik publik agar
dapat diakses warga.
Bahaya dari PT BHMN adalah kesenjangan yang makin lebar
antara kelompok kaya dan miskin, sekaligus menggerogoti mutu
pendidikan di PT BHMN. Mengapa? Karena yang diterima bukan
yang terpintar, melainkan yang mampu membayar.
Kondisi terburuk justru terjadi pada PT BHMN yang
memiliki fakultas kedokteran umum. Fakultas yang lulusannya
akan bekerja untuk kemanusiaan ini justru menjadi fakultas
termahal sehingga yang diterima belum tentu pintar. Ini akan
berdampak buruk pada lulusannya.
Pertama, setelah lulus yang dipikirkan adalah
mengembalikan modal kuliah. Profesi dokter akhirnya bukan
untuk menolong sesama, tetapi menghimpun kekayaan, yang bisa
memacu komersialisasi profesi dokter.
Kedua, kemungkinan terjadi malapraktik semakin banyak
karena dokter-dokter itu bukan berasal dari yang terpintar
sehingga sering salah mendiagnosis penyakit ataupun
memberikan obat. Ini bukan lagi menyangkut mutu akademik,
tetapi sudah menyangkut etika kehidupan.
Seharusnya, fakultas kedokteran justru menjadi fakultas
termurah agar terjangkau oleh yang pintar-pintar dari
seluruh lapisan masyarakat. Tentu saja negara tetap
bertanggung jawab untuk pembiayaan pendidikan kedokteran
yang bermutu.
Otonomi dan transparansi
Tentu saja usulan mengembalikan PT BHMN menjadi PTN milik
publik akan ditentang pimpinan PT BHMN. Ini karena merasa
lebih otonom dibandingkan dengan menjadi PTN. Mereka bebas
menghimpun atau menggunakan uang dari masyarakat meski
transparansinya masih dipertanyakan.
Otonomi dan transparansi itu pula yang selama ini menjadi
alasan pemerintah untuk memprivatisasi PTN menjadi PT BHMN.
Padahal, sebetulnya keduanya itu semu. Otonomi yang nyata
hanya ada dalam hal mobilisasi dan penggunaan dana
masyarakat. Terbukti dalam pemilihan rektor, porsi suara
menteri pendidikan masih 30 persen. Selama menteri masih
memegang suara mayoritas, otonomi itu semu saja.
Transparansi sampai sekarang juga belum ada, bahkan
mahasiswa pun sulit mengakses data yang paling dasar.
Misalnya, skor nilai mahasiswa baru di masing-masing
fakultas berikut pembayarannya.
Bila betul-betul transparan, data tersebut dapat diakses
publik seperti pada penerimaan murid SMP dan SMTA, yang
hasil skornya selalu dipasang di papan pengumuman secara
terbuka. Dengan demikian, calon yang tidak diterima tahu
penyebabnya memang skornya yang rendah. Ironisnya, PT BHMN
yang mengaku transparan justru sulit mengeluarkan data
tersebut dengan alasan rahasia kampus.
Jadi, perubahan status PTN menjadi PT BHMN dengan alasan
otonomi dan transparansi otomatis gugur. Otonomi PTN secara
penuh dapat diperoleh tanpa perubahan status, yang penting
kemauan politik pemerintah.
Universitas-universitas negeri di Eropa Barat dan
Australia dibiayai oleh negara, tetapi mereka mendapat
otonomi penuh dalam hal manajerial. Sebaliknya perubahan
status dari PTN menjadi PT BHMN tidak menjamin otonomi bila
pemerintahnya tidak punya kemauan politik.
Pembiayaan PTN
Pertanyaan yang selalu mengemuka, dari mana PTN
memperoleh dana cukup untuk menyelenggarakan pendidikan yang
bermutu. Pertama, jelas dari negara. Oleh sebab itu,
konsekuensi pengembalian status dari PT BHMN menjadi PTN
adalah negara wajib meningkatkan alokasi anggaran untuk PTN.
Negara punya dana, hanya saja alokasinya sering kurang
tepat. Terbukti untuk nomboki Bank Century Rp 6,7 triliun
atau meremunerasi 62.731 pegawai di Kementerian Keuangan
dengan dana Rp 4,176 triliun bisa. Mengapa untuk
mencerdaskan anak bangsa tidak bisa?
Kedua, PTN tetap bisa memungut SPP dari mahasiswa dalam
batas kepatutan. Sebagai contoh, kalau masuk ke fakultas
kedokteran membayar Rp 10 juta dan dengan SPP Rp 1,5 juta
per semester, misalnya, itu masih bisa diterima akal
sehat.
Hak orang kaya dan miskin dalam hal memperoleh pelayanan
pendidikan dan kesehatan adalah sama. Pemerintah tidak boleh
sewenang-wenang terhadap yang kaya dengan memungut biaya
tinggi serta diskriminatif terhadap yang miskin dengan tidak
memberi ruang. Yang membedakan perlakuan terhadap mereka
adalah kewajiban membayar pajak. Yang kaya membayar pajak
lebih tinggi sedang yang miskin lebih rendah.
Apabila pemerintah ingin meningkatkan pemasukan
pendapatan negara dari orang kaya untuk membiayai pendidikan
dan kesehatan, yang perlu dibenahi adalah sistem
perpajakannya. Di sini pentingnya menerapkan sistem pajak
progresif. Namun, yang lebih penting lagi adalah pajak
betul-betul untuk kesejahteraan masyarakat.
Maka, pembatalan UU BHP bukanlah malapetaka bagi
penyelenggaraan pendidikan tinggi, khususnya PT BHMN, tetapi
justru berkah bagi masyarakat. Keberadaan centre of
excellent, seperti UI, IPB, ITB, UGM, Unair, USU, dan Unhas,
tetap harus dijaga sebagai milik publik agar bangsa ini
menjadi semakin cerdas. Selanjutnya, penyelenggaraan PTN
sebagai bagian dari sistem pendidikan nasional wajib mengacu
pada UU Sisdiknas.
Darmaningtyas Anggota Pengurus Majelis Luhur Tamansiswa,
Yogyakarta, dan Penulis Buku Tirani Kapital dalam
Pendidikan, Menolak UU BHP
|