Mengenai Peristiwa Ambon | |
|
Benang Merah RMS dan Kerusuhan Maluku http://www.hidayatullah.com/2000/02/nasional.htm Fakta menunjukkan pertikaian di Maluku adalah bagian dari rencana RMS yang matang. Dirancang matang di Belanda. Bahkan Israel disebut-sebut terlibat. Tidak berselang lama setelah pembantaian ummat Islam di Tobelo dan Galela, Halmahera Utara yang menewaskan ratusan korban, sebuah Harian Belanda Volkstrant (Rabu 12/1/2000) membuat berita mengejutkan. "Orang-orang Maluku di Belanda telah mengumpulkan dana untuk pembelian senjata guna dikirim ke Indonesia." Konflik Islam-Kristen di Maluku saat ini memang telah menyeret banyak pihak ke dalam kancah perang yang tidak kunjung berkesudahan. Semakin lama pertikaian berlangsung, bukannya semakin reda, malah semakin banyak pihak yang terlibat dan daerah konfliknya semakin luas. Persenjataan yang digunakan juga semakin canggih. Akibatnya, jumlah korban jauh lebih banyak dari pada saat permulaan konflik. Catatan Suadi Marasabessy, Kasum TNI, menyangkut pertikaian di Maluku menunjukkan hal itu. Pada awal pertikaian, senjata yang digunakan sebatas senjata tajam dan bom-bom molotov. Pada pertikaian tahap kedua dan berikutnya, tidak lagi bom molotov dan senjata rakitan, tapi sudah menggunakan senjata organik dan bom betulan. Banyak pula senjata yang tidak dimiliki aparat keamanan, seperti senjata berperedam, berteropong bahkan senapan mesin. Luar biasa. Seperti terjadinya pembantian di Tobelo dan Galela, beberapa saksi mata yang selamat mengaku melihat pembantaian dilakukan dengan menggunakan senapan mesin. Selain dibakar hidup-hidup di dalam masjid, sehingga dalam waktu satu hari korban bisa mencapai 800-an orang. Salah satu pihak yang paling kuat keterlibatannya adalah orang-orang Maluku di Belanda. Mereka adalah para pejuang Republik Maluku Selatan (RMS), yang melarikan diri setelah terjadinya pemberontakan RMS pada tahun 1950. RMS dideklarasikan oleh dr Soumokil, Ir Manusama, dan mantan Tentara KNIL, pada pertemuan di Ambon 18 Januari 1950. Nama RMS muncul ke perbukaan dan dikenal publik baru pada tanggal 25 April 1950, ketika terjadi pemberontakan terhadap pemerintah Republik Indonesia Serikat (RIS). Menurut sejarahwan, Ahmad Mansur Suryanegara, awalnya RMS adalah Republik Maluku Serani, bukan Republik Maluku Selatan seperti yang dikenal sekarang. Di Maluku Serani berarti Nasrani. Tetapi kemudian diubah dalam penulisan sejarah menjadi Republik Maluku Selatan sebagai upaya meredam kemungkinan terjadi perang agama. Lambat laun orang akhirnya melupakannya. RMS dianggap hanya bagian dari sejarah masa lalu semata. Orang tidak tahu bahwa di Belanda, para pejuang RMS melakukan roses kaderisasi secara sistematis, hingga saat ini. Untuk melanjutkan cita-citanya pembentukan negara merdeka, tokoh-tokoh RMS di negeri Belanda dipimpin oleh Frans LJ Tutuhatunewa selaku Presiden. Mereka juga sudah lama merencanakan pengambil alihan teritorial di Maluku. Bahkan ketika terjadi tragedi Idul Fitri berdarah 19 Januari 1999, yang menewaskan ratusan ummat Islam di Ambon. Masyarakat belum menyadari bahwa pertikaian yang terjadi di Ambon adalah bagian dari permainan RMS. Masyarakat baru terhenyak ketika menemukan fakta-fakta di lapangan yang menegaskan adanya RMS, termasuk orang Maluku sendiri. Misalnya, tidak begitu lama setelah insiden berlangsung, massa berikat kepala merah yang menerobos masuk jalan AJ Patty, Ambon meneriakkan yel-yel 'Hidup RMS!'. Fakta ini kemudian diperkuat dengan berbagai temuan dokumen tentang kelompok RMS di beberapa tempat. Isi dokumen itu tentang rencana kerusuhan di Ambon. AM Hendroprijono, mantan Menteri Transmigrasi yang lama berkecimpung dalam dunia intelijen membenarkan keterlibatan pihak Republik Maluku-Selatan (RMS) di balik kasus Maluku ini. Tragedi Maluku berdarah itu berlangsung bertepatan sehari setelah hari ulang tahun (HUT) RMS ke-49, 18 Januari 1950. Sejumlah tokoh di Maluku juga menegaskan adanya peran RMS dalam meledakkan pertikaian di daerah yang dikenal sebagai penghasil rempah-rempah itu. "Gerakan separatis RMS merupakan salah satu faktor pemicu kerusuhan," kata Ali Fauzi, Ketua DPC Partai Bulan Bintang Kodia Ambon kepada Sahid. Penegasan yang sama juga disampaikan oleh Sulaiman Latupono, Ketua Forum Pemuda Muslim Baguala Ambon. Fakta-fakta dan temuan di lapangan agaknya akan menggiring orang berkesimpulan bahwa RMS berada di balik pertikaian yang terjadi di negeri yang oleh Ibnu Batutah disebut Jazirat Al-Muluk (semenanjung raja-raja) itu. Misalnya, beberapa hari sebelum tragedi Idul Fitri berdarah itu, sejumlah mantan pejuang RMS yang selama ini menetap di Belanda, kembali ke Ambon. Mereka sempat diterima Menteri Dalam Negeri Syarwan Hamid waktu itu. Begitu orang-orang ini kembali ke kampung halaman, tak selang berapa lama kemudian kerusuhan meledak. Perlu diketahui pula, ternyata Yopie Saiya, preman yang memalak Usman, sopir angkot warga Batu Merah, yang menyulut pertikaian Ambon, adalah warga Desa Amantelu yang berasal dari Aboru. Sudah menjadi rahasia umum, terutama bagi warga Ambon, bahwa orang-orang Aboru adalah para pengikut setia RMS. Paling jelek, sebagai simpatisan. Karena itulah warga Muslim di Ambon meyakini bahwa RMS berada di balik aksi-aksi brutal anti-Muslim itu. Dua hari setelah kerusuhan, Kamis 21 Januari 1999 (3 Syawal 1419 H) sekitar pukul 12.00, bendera RMS berwarna merah, putih, biru, dan hijau berkibar di Karang Panjang, Gunung Nona, dan Kudamati. Wilayah ini merupakan basis ummat Kristen di Ambon. Sorenya, sekitar pukul 16.00, ditemukan dokumen RMS bertanggal 22 Pebruari 1997 yang ditandatangani oleh Komite Nasional-RMS, FLJ Tutuhatunewa di rumah Edwin Manuputty (Pegawai Bappeda Tingkat I Maluku). Dokumen itu berisi coretan konsep surat permohonan kepada D Sahalessy untuk mendapatkan simpati dan bantuan Amnesti Internasional bagi perjuangan kemerdekaan rakyat Maluku Selatan. Di situ tertuang kecaman-kecaman terhadap pemerintah RI yang dianggap sebagai penjajah Maluku. Sebelum insiden Idul Fitri berdarah, simbol-simbol dan yel-yel RMS sebenarnya sudah bermunculan. Karena itu, aksi-aksi RMS selama kerusuhan diduga terkait dengan dua aksi sebelumnya. Pertama, menggemanya yel-yel pro-RMS dalam aksi unjuk rasa mahasiswa Universitas Pattimura di muka Markas Korem 174/Pattimura tanggal 12-18 November 1998 lalu. Kedua, proklamasi RMS oleh sekelompok orang Belanda keturunan Ambon di Belanda pada 19 Desember 1998. Bukti terbaru, 3 Jan 2000 lalu ditemukan kamp RMS di hutan Pulau Seram, tepatnya sekitar 5 km dari Dusun Sopelesi, Desa/Kec Tehoru, Kab Maluku Tengah. Ada bendera RMS berukuran 90x35 cm dipancang di tiang bambu setinggi tiga meter, logistik berupa lima karung beras dan 20 karton mie instan serta tungku masak. Diduga kamp itu hanya salah satu dari markas kegiatan RMS yang tersebar di banyak tempat. Karena itu bagi Ahmad Mansur Suryanegara, yang terjadi di Maluku sekarang bukan sekedar pertikaian biasa, tetapi juga sebuah pemberontakan yang di dasari dengan sentimen agama. Skenario yang paling jelek. "Itu sebagai gerakan imbangan agama (balance of religion)," kata ahli sejarah dari Unpad ini dalam buku terbarunya Benarkah Reformasi Menimbulkan Perang Agama? Mansur bahkan dapat memastikan itu merupakan kelanjutan situasi Timor Timur yang diisukan menjadi 'Daerah Otonomi Khusus Katolik' dengan mengusir ummat Islam. Situasi yang demikian ini membangkitkan minat sementara kalangan Protestan Ambon akan menjadikan Ambon 'wilayah khusus Protestan', mengimbangi Timor Timur. Tampaknya mereka mencoba meniru reformasi di Eropa yang melahirkan negara-negara Eropa yang dibagi atas dasar: cujus regio ejus religio (tiap raja memilih agamanya untuk di wilayahnya). Pembagian yang demikian ini pernah dijadikan sebagai jalan keluar dalam mengakhiri Perang Agama yang berkepanjangan antara Protestan dan Katolik. Pendapat ini dibenarkan pakar sejarah Ahmad Syafii Maarif. Menurut Ketua PP Muhammadiyah ini, di kalangan Kristen memang terdapat kelompok agresif, radikal, dan militan yang ingin secepatnya mengubah perimbangan pemeluk agama antara Islam dan Kristen (Protestan). Begitulah. "Sekalipun sudah ditumpas, RMS sebagai cita-cita politik tidak pernah mati di Maluku," kata Sjafii Maarif. Era reformasi adalah saat yang dianggap tepat untuk sekali lagi meminta perhatian dunia atas eksistensi RMS itu, dengan dukungan kuat gereja dan tokoh-tokoh mereka yang bermukim di Belanda. Informasi yang terhimpun dari Belanda sebagai tempat pelarian pejuang RMS semakin memperkuatkan hal itu. Harian Rotterdam Dagblad (11/1) mengekspos pernyataan Menteri Sekretaris Kabinet RMS J Watilette yang menyatakan bahwa RMS tengah melakukan persiapan terakhir untuk mengambil alih kekuasaan di Maluku saat pemerintahan Indonesia lemah. Hal itu diperkuat pula dengan pernyataan Presiden RMS Frans LJ Tutuhatunewa di harian yang sama Desember 1998 lalu yang menyatakan bahwa pengambilalihan kekuasaan harus segera dilakukan begitu pemerintahan Jakarta jatuh. Dibentuklah Kongres Nasional Maluku 19 Desember 1998 yang bertugas mengambil alih kekuasaan, melucuti dan membubarkan TNI, menghimpun bantuan dana, dan mengorganisir orang-orang di Maluku, termasuk memasok senjata. Parlemen Belanda bahkan secara transparan memperlihatkan support-nya, terutama Partai Buruh dan Fraksi Kristen Demokrat. Pers Belanda bahkan menyebut RMS sebagai pemerintahan dalam pengasingan (in exile). Harian Haagsche Courant (16/12/98) juga menyatakan hal senada. Tulisannya berbunyi, "Pemerintah Maluku Selatan (AMS) yang berbasis di Belanda kini tengah mematangkan persiapan untuk mengambil alih kekuasan di Maluku Selatan." Kepada harian itu, Tutuhatunewa mengatakan bahwa beberapa kader RMS dari Belanda saat ini sedang berada di Maluku untuk melakukan misi memperkuat semangat di kalangan penduduk dan menyempurnakan persiapan kemerdekaan. Tentang pengiriman senjata ke Maluku, harian De Volkskrant (12/1) melaporkan kegiatan RMS mengumpulkan dana untuk membeli senjata guna membantu 'saudara-saudara Kristen di Maluku'. Melalui jaringan internasional, senjata itu akan dikirim ke Maluku lewat Filipina Selatan. Malahan, RMS di Belanda ikut bergabung ke dalam UNPO (Unnational People Organization), sebuah organisasi teroris internasional yang sasarannya negeri-negeri berpenduduk mayoritas Muslim. Organisasi teroris ini, banyak mendapat bantuan dana dari Israel dan negara-negara Barat. Guna memperluas pengaruh jaringannya, gerakan separatis ini mulai merasuk ke dalam jaringan internet. Paling tidak ada dua homepage yang diketahui sebagai alat propaganda RMS. Dalam DLM (Djangan Lupa Maluku) misalnya, dapat dijumpai naskah proklamasi RMS tanggal 25 April 1950 yang ditandatangani JH Manuhutu dan A Wairisal. Bahkan dalam Front Siwa Lima, terang-terangan memuat artikel terbitan United Israel Bulletin (UIB) berisi harapan RMS untuk mendapat dukungan Israel. Dalam situs itu dijelaskan, hubungan RMS, UNPO, dan Zionis Israel, bukan semata-mata teroris kelas bulu, tetapi bagian dari suatu konspirasi internasional anti perdamaian dan kemanusiaan (Siar, 15-21/3/99). Menilik temuan yang ada, yang terjadi di Maluku merupakan bagian dari sebuah revolusi RMS yang memproklamirkan perang kemerdekaan untuk mewujudkan kembali negara Republik Maluku Serani, dengan memanfaatkan lemahnya Indonesia dalam konstelasi politik dunia yang sedang berubah. Untuk mencapai cita-cita itu, RMS membutuhkan pengakuan internasional dan teritorial. Hal terakhir inilah yang tengah dengan keras diupayakan. Sementara yang pertama tak begitu sulit diwujudkan sebab Belanda yang pernah menjanjikan tanah air bagi RMS akan terus aktif memberikan dukungan. Karena itu, Direktur Delft Information Society (DIS) yang berkedudukan di Belanda, sekali lagi menegaskan setiap analisis yang tidak mempercayai keterlibatan RMS dalam pertikaian di Maluku adalah analisis yang ngawur dan miskin data. (har,Pam) Subject: [is-lam] Benang Merah RMS dan Kerusuhan Maluku Date: Mon, 07 Feb 2000 11:22:58 +0700 From: Saiful <lentera@indo.net.id> To: Isnet <is-lam@isnet.org> |
|
Program Kerja | Koleksi | Anggota | Indeks Artikel |