Kumpulan Artikel
Mengenai Peristiwa Ambon

ISNET Homepage | MEDIA Homepage
Program Kerja | Koleksi | Anggota | Indeks Artikel

 

Subject: TEMPO: Faktor Cendana di Balik 'Perang' Ambon?
Date: Tue, 02 Feb 1999 20:39:36 +1100
 
NO.18/XXVII/1 - 8 Feb 1999 Kerusuhan di Ambon
Faktor Cendana di Balik 'Perang' Ambon?
 
Ratusan provokator dituding sebagai biang kerusuhan Ambon.
Selain buntut peristiwa Ketapang, adakah faktor Soeharto juga
berperan?
_____________________________________________________________
 
Penglihatan "Kiai Ciganjur" memang rada terganggu, tapi radar
penciuman "intelijen"-nya menjangkau Ambon. Kiai yang dimaksud
adalah Abdurrahman Wahid, Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul
Ulama, yang tinggal di Kelurahan Ciganjur, Jakarta Selatan.
Kiai nyentrik itu Selasa pekan lalu datang ke rumah mantan
presiden Soeharto di Jalan Cendana. Selain berlebaran, ia
menyampaikan pesan agar mantan orang nomor satu di Indonesia
itu mempengaruhi anak buahnya. "Agar tidak menimbulkan hal-hal
yang macem-macem kayak di Ambon," kata Gus Dur--begitu nama
populernya--kepada wartawan seusai bertemu dengan Soeharto.
 
Yang menarik, pesan itu, seperti kata Gus Dur, "titipan"
Panglima ABRI Jenderal (TNI) Wiranto. Dan "macem-macem" yang
dimaksudkannya adalah neraka kerusuhan berbau suku dan agama
yang "meluluh-lantakkan" Kota Ambon pada hari pertama Lebaran.
Amuk massa itu sampai pekan lalu menewaskan 65 orang--tapi ada
yang yakin jauh lebih besar dari angka resmi itu. Gubernur
Maluku M. Saleh Latuconsina menaksir kerugian material akibat
kerusuhan tersebut senilai Rp 500 miliar. Siapa biangnya?
Menurut Kepala Dinas Penerangan Markas Besar Kepolisian RI
Brigjen (Pol.) Togar M. Sianipar, pihak kepolisian sampai 29
Januari lalu telah menahan 41 tersangka dan memeriksa 105
orang. Tapi, untuk mengetahui hasil pemeriksaan dan
menyimpulkan siapa di balik mereka, masih perlu waktu.
 
Soal kerusuhan itu, sayangnya, Gus Dur--yang banyak mengetahui
orang yang terlibat melalui informannya di Ambon--tidak berani
langsung tunjuk hidung. Ia hanya melempar isyarat berbalut
teka-teki dengan mengatakan, mereka "orang yang serem-serem"
atau "orangnya tak jauh dari rumah saya di Ciganjur sini." Dan
bila orang sekaliber Panglima ABRI atau Pangab sampai perlu
melakukan "cara khusus" untuk menyampaikan pesannya ke mantan
RI-1, tak mengherankan bila timbul kesan bahwa mereka yang
disebut Gus Dur itu bukanlah kelompok sembarangan.
 
Pernyataan Gus Dur tentang "orang yang dekat rumahnya" itu
menerbitkan dugaan bahwa orang yang dimaksud adalah Yorrys
Raweyai, tokoh organisasi Pemuda Pancasila yang memang
tetangganya. Disambar tudingan miring itu, Yorrys--disertai
Bambang Trihatmodjo, anak Pak Harto, yang juga bos kelompok
bisnis Bimantara--mendatangi rumah Gus Dur. Keduanya
menyinggung maksud dari kalimat "orangnya tak jauh dari rumah
saya di Ciganjur sini" itu. Dengan enteng Gus Dur balik
bertanya, "Apakah Anda benar-benar terlibat?" Yorrys menjawab,
"Tidak." Lalu Gus Dur menutup sepenggal "adegan hangat" itu
dengan komentar bernada ngeper. "Kalau tidak, ya enggak
apa-apa kan?" kata Gus Dur. Itulah sekelumit dialog
mereka--setidaknya seperti yang diceritakan Rozy Munir, salah
seorang Ketua PBNU, kepada Agus S. Riyanto dari TEMPO.
 
Tampaknya, Gus Dur memang tidak menggenggam bukti-bukti
tuduhan di tangan. Itu pula sebabnya, ketika tim reserse Mabes
Polri mendatangi Gus Dur untuk mengklarifikasi pernyataannya,
mereka pulang hanya mengantongi informasi awal, bukan barang
bukti. "Keterangan Gus Dur hanyalah petunjuk," kata Letjen
(Polisi) Roesmanhadi, Kepala Kepolisian Republik Indonesia,
kepada sejumlah wartawan, Rabu pekan lalu. Tapi bukankah
ketiadaan bukti bukan bukti dari kebenaran?
 
Soal barang bukti itu, biarlah aparat yang mencarinya. Yang
jelas, ada beberapa indikasi bahwa sebagian sinyalemen Gus Dur
tak sepenuhnya salah. Panglima Daerah Militer (Pangdam)
VII/Wirabuana Mayor Jenderal Suadi Marasabessy, yang berbasis
di ibu kota Maluku itu, kepada pers pernah menyatakan bahwa
aktor perusuh yang melakukan aksi di Ambon adalah preman dari
Jakarta. Jumlahnya, menurut sumber lain, 165 orang. Lalu
sumber-sumber yang dihubungi TEMPO memperkuat indikasi
keberadaan "orang yang serem-serem"--seperti istilah Gus Dur
itu.
 
Seorang perwira menengah di sebuah kesatuan militer yang
intensif memantau "para pengacau" ini memberikan tips info
kepada TEMPO. Begini. Sekitar Desember lalu, sebulan sebelum
meletus geger Ambon, serombongan preman asal Ibu Kota datang
menumpang kapal laut. Mereka lalu menganalisis, juga membikin
peta kerusuhan yang akan diledakkan. Mereka menyimpulkan,
kerusuhan bisa dikobarkan di sejumlah titik, di antaranya
perkelahian antarkampung yang merupakan hal biasa di sana.
Walau agama agak susah dimasukkan, budaya pela gandong sudah
melemah di kota. Ini disulut kebencian terhadap para pendatang
asal Bugis, Buton, dan lainnya. Tekanan psikologis penduduk
Ambon terhadap peristiwa Ketapang dan Pam Swakarsa
dulu--korbannya ada yang orang Ambon--ikut mendukung.
 
Masih ada satu titik rawan: kekecewaan yang meluas terhadap
Gubernur Saleh Latuconsina. Ia belakangan memecat 35 pejabat
setempat. Konon, ada faktor "agama" di balik tindakan Pak Gub.
Tapi sumber TEMPO menepisnya. Di antara korban terdapat Paul
Patti, mantan Bupati Maluku Tenggara yang muslim dan
berkali-kali naik haji. Seabrek alasan penting ini lalu
dijadikan modal penting untuk menyulut huru-hara. Faktor
gerakan Republik Maluku Selatan (RMS)? Meski benderanya
terserak di mana-mana, peran mereka--di mata sumber TEMPO
ini--masih lemah. Spekulasi menyebut tindakan sebar bendera
merupakan ulah tentara.
 
Orang serem-serem tadi menewaskan seorang tentara dalam
kerusuhan di daerah Benteng di Kota Ambon. Ceritanya, sejumlah
orang yang dipimpin oleh preman berdarah Ambon yang bekerja di
Jakarta itu menculik seorang tentara pada Sabtu, 23 Januari.
Tak jelas caranya, tapi mayat tentara itu kemudian ditemukan
dalam kondisi mengenaskan dan sempat dibawa ke Rumah Sakit
Tentara di Kota Ambon. Siapa preman yang dimaksud? Sumber
TEMPO menyebut sebuah nama yang sering bercokol di arena balap
Sentul di Bogor. Ia seorang petugas keamanan yang dipercaya
Tommy Soeharto, bos sirkuit itu.
 
Kelompok preman itu sempat menyandera tiga tentara. Namun
mereka kemudian dilepaskan. Langkah itu diduga berhubungan
dengan diperiksanya "atasan" mereka oleh Badan Intelijen ABRI
(BIA). Menurut Yusuf Rahimi, tokoh masyarakat muslim Ambon,
mengutip sumber dari militer, orang yang disebut "atasan" itu
tak lain Dicky Wattimena, mantan Wali Kota Ambon dan mantan
ajudan Soeharto, yang tengah diperiksa oleh BIA. Bahkan Yusuf
menuduh bahwa Dicky--yang disingkirkan Gubernur
Latuconsina--terlibat dalam kerusuhan.
 
Dicky diperiksa oleh BIA, menurut Yusuf, karena pada hari
pertama kerusuhan dia diketahui berkeliling Kota Ambon
mengendarai mobil. Ketika ia ditangkap, ceceran-ceceran darah
ditemukan di dalam mobilnya. Tapi tentu soal benar-tidaknya
dugaan itu masih harus dikonfirmasikan kepada yang
bersangkutan. Sayangnya, ketika wartawan TEMPO mencoba
menghubungi Dicky lewat telepon interlokal, lelaki berusia 60
tahun itu sedang tidur. "Dia tidak mau menjawab. Kalau butuh
keterangan, tanya saja komandan polisi militer," kata wanita
penerima telepon yang mengaku sebagai istri Dicky. Komandan
Polisi Militer VIII-3 Ambon, Mayor CPM Djuhendi, anehnya,
membantah berita itu. Isu Dicky diperiksa oleh BIA itu isapan
jempol belaka. "Berita itu tidak benar," kata Djuhendi kepada
TEMPO.
 
Walhasil, dari laporan yang ada, seperti preman Sentul, Dicky,
dan juga Kolonel CPM (Purnawirawan) Rukmana, yang
disebut-sebut intelijen sebagai pelindung para preman yang
bikin ulah di Ketapang tempo hari, benang merah menuju sang
dalang belum bisa diloloskan. Seperti bau bangkai yang
menyengat, ia bisa dirasakan tapi sulit dipegang. Maka, untuk
mengungkap tuntas "para provokator" yang diduga mengetahui
betul peta konflik lokal, entah yang berlatar suku, agama,
atau kelompok kepentingan, aparat militer semestinya bekerja
all out. Tidak cukup hanya dengan janji, "akan segera diusut
tuntas", seperti yang selama ini terdengar. Bosan.


ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota | Indeks Artikel

Please direct any suggestion to Media Team