Mengenai Peristiwa Ambon | |
|
http://www.gatra.com/V/17/LKH1-17.html Nomor 17/V, 13 Maret 1999 MENCARI PAWANG BAMBU GILA Kerusuhan Ambon bergerak meluas ke luar Maluku. Isu SARA mencuat karena kasus penembakan subuh di Ahuru. ABRI menetapkan kawasan penyangga antarkampung. NAPAS Hajja Halina masih ngos-ngosan saat berkisah mengenang Ambon. Padahal, ada jarak ratusan kilometer antara dirinya dan Kota Rempah itu sekarang. Di Ambon, yang hilang memang bukan sekadar Rp 1,5 milyar harta miliknya, juga 40 tahun sejarah hidupnya. "Saya terjebak dalam toko. Di luar banyak orang siap dengan parang. Tetapi, di dalam kita akan mati dilahap api," katanya, mengingat kerusuhan di hari Idul Fitri, Januari lalu. Di Maniruki, desa kelahirannya di Sulawesi Selatan, dengan aksen Bugis yang kental, Hajja Halina, 57 tahun, berkisah kepada Zainal Dalle dari Gatra tentang kekerasan yang dialaminya. "Sebelum Lebaran sudah banyak preman tak dikenal berkeliaran di Pasar Mardika," tutur Hajja Halina. Di matanya, kerusuhan yang melanda kota Ambon sudah direncanakan dengan matang. "Buktinya, ratusan orang dengan ikat kepala merah tiba-tiba datang dan menyerbu perkampungan kami," katanya. Halina sendiri akhirnya bisa keluar dari toko miliknya di Pasar Mardika itu karena jasa baik seorang teman anaknya, "Ia beragama Kristen," kata Hajja Halina perlahan. Maniruki, desa petani di Kecamatan Bantimurung, Maros, yang terletak 40 kilometer dari pusat kota Ujungpandang, kini punya puluhan warga baru seperti Hajja Halina. Mereka adalah warga Maniruki yang telah berpuluh tahun pergi merantau tapi kini kembali. Mereka kembali bukan karena hajatan keluarga -seperti diajarkan adat Bugis- melainkan karena petaka Ambon. Hajja Halina, misalnya, memilih pulang kampung karena usaha perdagangan sembilan bahan pokok yang dirintis bersama Haji Sinrang (almarhum), suaminya, ludes. Harapan Baru, sebuah toko tiga petak miliknya di Pasar Mardika -yang dengan isinya bernilai sekitar Rp 1,5 milyar rupiah- itu hangus tak tersisa. Hajja Halina telah hidup di Ambon sejak 1959. Namun, penduduk Ambon yang pergi bukan hanya pendatang seperti Hajja Halina. Ursula, putri mantan Wali Kota Ambon Albert Purwayla, bisa kita sebut. Bersama kedua anaknya -empat hari setelah kerusuhan itu- Ursula mengungsi ke Surabaya. Padahal, bagi masyarakat Hukurila, desa kelahirannya, Ursula adalah "ibu raja", pejabat adat kepala desa. Dan Ursula tidak sendirian. Puluhan warga asli Maluku menempuh jalan yang sama, walau tentu beragam alasannya. Di SD Katolik Xaverius di Ambon, hingga awal Maret tercatat sedikitnya 50 siswa mengajukan permohonan pindah sekolah. Ambon sekarang memang menakutkan. Kerusuhan demi kerusuhan membuat masyarakat seperti hidup dalam bara. Semangat rame-rame patah cingke seolah tak bersisa. Istilah yang menggambarkan keriaan masyarakat bersama memanen cengkeh itu berubah menjadi semangat rame-rame saling mematahkan. Hingga akhir pekan lalu, hampir tak ada hari berlalu tanpa kerusuhan. Laporan kepolisian menyebutkan, senjata yang ditahan sudah mencapai ribuan. Terdiri dari senapan rakitan sendiri, parang, tombak, panah, dan bom molotov. Kerusuhan yang meledak sejak Lebaran itu belum tampak mereda, bahkan cenderung makin meluas. Provokator yang tertangkap malah banyak yang pegawai negeri. Masyarakat Ambon tampak kalap bak penari "bambu gila" -tarian sebatang buluh suanggi yang diberi mantra dan bergerak ke mana saja dikehendaki sang pawang. Semua penari yang memeluk bambu itu tak bisa melepaskan diri dengan cara apa pun. Menyatu bak terkena magnet bambu. Kini masyarakat Ambon seperti sedang memeluk "bambu gila" dalam semangat saling mematahkan, tanpa tahu siapa sang pawang. Yang jelas, kali ini -karena bukan tarian- yang mereka hadapi hanya kehancuran. Menciptakan suasana damai di kota Ambon menjadi pekerjaan sangat berat bagi aparatur keamanan. Pada 3 Maret lalu, misalnya, baru sehari pasukan Marinir dari Surabaya dan Batalyon Zeni dari Bandung tiba di Ambon, Taman Kanak-Kanak Teladan milik Yayasan Al-Hilal di Parades, Kelurahan Honipopu, Sirimau, justru dibakar pada malam harinya. Setelah aparatur keamanan yang baru tiba itu disebar ke berbagai lokasi yang dianggap rawan, giliran warga Batumerah dan warga Mardika baku lempar batu. Ini membuat aparatur lagi-lagi terpaksa memberondongkan pelurunya. Di tempat lain terjadi baku lempar batu antara pemuda Jalan Baru, Pohon Pule, yang muslim, dan pemuda lorong Kolonel Pieter yang nonmuslim. Akibatnya, satu warga muslim terkena peluru tajam. Hingga Sabtu pekan lalu itu, suasana justru makin mencekam. Ledakan bom di Desa Batumerah dan Jalan Baru terdengar dari malam hingga subuh. Akibatnya, seperti yang diketahui warga setelah hari terang, seseorang tertembak di Jalan Baru. Suasana mencekam juga terjadi di Kudamati. Hasilnya, satu orang tewas terkena peluru, beberapa di antaranya luka-luka. Sementara itu, ada pula seorang korban ditemukan terpotong senjata tajam di Mardika. Tapi, semua kerusuhan itu bisa jadi merupakan eskalasi dari sebuah peristiwa pada Senin subuh 1 Maret lalu, ketika empat warga muslim tewas tertembak di Masjid Al-Huda, Ahuru, Kelurahan Waihoka, Sirimau. Menurut saksi mata, penembakan dilakukan sejumlah aparatur kepolisian terhadap jamaah yang sedang salat subuh. Bagi warga muslim Ahuru, peristiwa ini menimbulkan kesedihan luar biasa. Sebab, di wilayah yang sama, malam sebelumnya, sekelompok orang telah membantai satu keluarga muslim beranggotakan enam orang. Lima orang meninggal di tempat, sedangkan nasib seorang bocah berusia sembilan tahun belum diketahui. Maka, ketika korban kejadian penembakan subuh di Masjid Al-Huda itu disemayamkan di Masjid Al-Fatah, masjid terbesar di Ambon, emosi massa muslim Ambon nyaris terbakar. Semua laki-laki yang ada di sana menjadi tegang, dan satu per satu menghunus parang. Mereka bersiap melakukan pembalasan. Peristiwa subuh di Ahuru ini mencuatkan sentimen agama pada Kerusuhan Ambon sampai ke puncaknya. Apalagi, kemudian diketahui bahwa aparatur yang melepas tembakan adalah nonmuslim. Pihak Kepolisian Maluku mulanya membantah peristiwa penembakan itu. "Tak benar ada penembakan warga di Masjid Ahuru," kata Kolonel Karyono Sudaminoto, Kepala Kepolisian Daerah (Kapolda) Maluku. Namun, Mayor Djuhendi, Komandan Detasemen Polisi Militer VII/3 Ambon, dalam keterangannya kepada wartawan, mengakui bahwa penembakan itu dilakukan anggota ABRI. "Saat ini, kami menahan empat anggota ABRI. Seorang di antaranya ditahan karena di duga melakukan penembakan terhadap warga di sekitar masjid itu," katanya. Selama menangani kerusuhan, kebijakan pemerintah daerah dianggap menganaktirikan kalangan muslim. Sedangkan militer dinilai menganakemaskan golongan tertentu. "Aparatur keamanan seenaknya saja bertindak di daerah-daerah muslim pinggiran," kata Lutfi Sanaky, anggota DPRD I Maluku, kepada Gatra. Anehnya, banyak warga nonmuslim yang berpandangan sebaliknya. Kelompok muslim dianakemaskan. Kacau. Banyak warga muslim melihat, kerusuhan di Ambon sudah bukan lagi kerusuhan biasa. Melainkan, aksi serangan terhadap umat Islam. "Memang begitu keadaannya," kata Faisal Salampessy, Ketua Aliansi Muslim Maluku, menggambarkan tingkat kegentingan yang dialami kaum muslim di daerah asalnya, kepada Gatra. Dengan peristiwa penembakan subuh di Ahuru, konflik Ambon bergerak meluas. Isu SARA (suku, agama, ras, dan antargolongan) tak lagi disebut malu-malu. Sebagian kaum muslim di luar Ambon juga bereaksi keras, dan memandang peristiwa ini sebagai serangan terhadap Islam. Di Jakarta, belasan demonstrasi muncul menuntut pertanggungjawaban ABRI, mundurnya Panglima ABRI Jenderal Wiranto, dan permintaan agar pelaku penembakan ditindak tegas. Pengunjuk rasa yang berasal dari kelompok pemuda Islam, seperti KAMMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia) dan GPI (Gerakan Pemuda Islam), malah menyatakan kesiapan> mereka untuk berjihad membela agama dan kaum muslim di Maluku. Demo serupa juga muncul di berbagai kota: Medan, Pekanbaru, Denpasar, Tasikmalaya, Semarang, Surakarta, dan kota lainnya di Indonesia. Di Bandung yang dingin, reaksi terhadap "pembantaian subuh" juga panas. Di kota ini, beredar isu bahwa 48 sukarelawan muslim dengan nama sandi "Hizbullah Swakarsa" telah berangkat ke Ambon. Beberapa di antara mereka, konon, veteran Perang Bosnia. Sejumlah organisasi massa Islam menyatakan tak tahu-menahu tentang hal ini. Hanya, Daud Gunawan, Sekretaris Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII), mengakui bahwa ada beberapa anggota keluarga DDII yang pernah pergi ke Bosnia Herzegovina untuk membantu kaum muslim yang dizalimi kaum nonmuslim Yugoslavia. "Setelah mereka kembali, kami tidak memantau lagi. Kalaupun mereka berangkat ke Ambon, kami tidak tahu persis keberangkatan mereka," kata Daud kepada Gatra. Terlepas dari isu itu, GPI Jawa Barat dengan serius telah memulai pendaftaran sukarelawan untuk dikirim ke Maluku. Dengan syarat berusia 20 tahun hingga 33 tahun dan siap diberangkatkan ke Ambon, ternyata animo cukup membludak. Dalam waktu dua hari, di Bandung terdaftar 565 orang, di Sukabumi 1.240 orang, dan di Tasikmalaya 314 orang. Sikap serius umat Islam menanggapi insiden subuh di Ahuru itu tampak dari doa qunut nazilah, yang dibacakan banyak imam masjid pada rakaat kedua salat Jumat, pekan lalu. Qunut nazilah adalah doa yang dibacakan kaum muslim saat menghadapi bencana. Bahkan, di masjid kampung di sudut Jakarta sekalipun, dengan jelas disebutkan bahwa pembacaan qunut itu dilakukan untuk kaum muslim yang tengah menderita di Ambon. Namun, di sisi lain, baik di Ambon maupun Jakarta, tak sedikit warga beragama Kristen menilai aparatur keamanan terlalu memihak kepada warga muslim. Beberapa press release yang diterima Gatra dari Pusat Krisis Persekutuan Gereja-Gereja Indonesia menunjukkan, justru masyarakat Kristen-lah yang menjadi sasaran awal penyerangan. Dan pengucapan doa khusus bagi masyarakat Kristen Ambon yang sedang menderita juga bukan hal asing di gereja dan tempat kebaktian kaum Protestan. Makin menguatnya isu agama ke luar Ambon ini mengkhawatirkan orang seperti Said Agil Siradj, Wakil Khatib Am Syuriah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU). "Tolonglah, isu konflik agama itu kita sisihkan dulu, kita kesampingkan," katanya kepada Asrori Karni dari Gatra. "Kalau kita menguatkan konflik agama, sangat besar akibatnya," katanya lagi. Di tengah gencarnya suara yang memprotes kelambanan aparatur keamanan menyelesaikan Kerusuhan Ambon, Jenderal Wiranto akhirnya mengambil langkah. Ia mencopot Kapolda Maluku Kolonel Karyono Sudaminoto, berikut Wakil Kapolda dan Inspektur Polda-nya. Posisi Karyono digantikan Kolonel Bugis M. Saman, yang putra asli Ambon. Wiranto juga mengumumkan akan menambah kekuatan pasukannya di Ambon. Menurut rencana, sekitar 2.000 pasukan tambahan dari Jawa akan dikirim ke Ambon, sementara Batalyon 731 dari Sulawesi Selatan ditarik pulang untuk menghindari kesan pemihakan terhadap salah satu pihak yang> bersengketa. Setelah ini, menurut Wiranto, target utama ABRI adalah mencegah perusakan, dengan cara membuat kawasan penyangga antarkampung. Namun, semua pihak tampaknya sepakat menilai, penanganan ABRI terhadap kasus ini sangat lamban. Bahkan, ada kecenderungan bahwa ABRI dianggap tidak transparan. Pengumuman Kepala Kepolisian RI (Kapolri), bahwa korban meninggal akibat Kerusuhan Ambon sebanyak 166 orang dianggap menutupi kenyataan. Ketua Umum PBNU, KH Abdurrahman Wahid alias Gus Dur, mengaku geram dan "marah" dengan tindakan aparatur keamanan yang terkesan lamban dan takut-takut menuntaskan kerusuhan yang terjadi di Ambon. Ia tak percaya pada pengumuman jumlah korban, sebagaimana dijelaskan Kapolri. Menurutnya, korban tewas akibat Kerusuhan Ambon sudah lebih dari 1.000 orang. Pandangan Gus Dur ini juga disepakati Partai Keadilan, yang sejak awal kerusuhan di Ambon telah mengedarkan semacam "buku putih" kerusuhan, dan menyebut jumlah korban jauh di atas angka resmi kepolisian. Ambon kini memang menanti keajaiban, atau seorang pawang untuk mencegah kehancuran. Sementara itu, sebuah demografi baru telanjur terbentuk di kota ini. Sampai akhir pekan lalu, diperkirakan 35.000 dari sekitar 100.000 warga pendatang telah pergi meninggalkan Ambon. Tapi, bagi banyak orang, seperti Hajja Halina di Maniruki, Ambon yang damai tetap dirindukan. Ia tetap yakin, sebenarnya hubungan pendatang seperti dirinya dengan penduduk setempat sangat baik. "Mudah-mudahan kami bisa kembali ke sana," katanya. |
|
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota | Indeks Artikel |