Mengenai Peristiwa Ambon | |
|
Sabtu, 15 Januari 2000 Hentikan Pembantaian! Oleh Franz Magnis Suseno PADA Idul Fitri, tepat satu tahun yang lalu, konflik berdarah di Ambon mulai. Selama satu tahun konflik itu tidak hanya tidak mereda, melainkan meluas menyebar ke seluruh Kepulauan Maluku. Sesuatu yang mengerikan, yang dalam sejarah Republik belum pernah terjadi, menjadi kenyataan; orang Kristen membunuh orang Muslim dan orang Muslim membunuh orang Kristen. Bagi masyarakat yang bersangkutan, perang saudara itu atau mau disebut bagaimana - suatu malapetaka tanpa tara. Ribuan orang mati dan terluka, lebih dari seratus ribu pengungsi, kota-kota dan kampung-kampung hancur, dasar ekonomi pun hancur. Perang itu juga sebuah malapetaka sosial dan budaya tanpa tara. Ratusan tahun lamanya orang-orang di Maluku yang memang berjiwa prajurit dapat me-manage kehidupan bersama dengan cukup damai. Sekarang hubungan sosial itu hancur, diganti oleh nihilisme kebencian dan emosi dendam. Sekarang konflik Maluku mengancam eksistensi bangsa. Emosi-emosi dalam masyarakat-yang mendengar bahwa saudara-saudari mereka dibantai-sudah sulit ditahan. Kalau konflik yang, bak kanker kulit, terus merambat dari Ambon ke Seram, ke Maluku Selatan, ke Ternate, ke Buru, ke Halmahera, ke seluruhan Kepulauan Maluku, sampai meluap ke propinsi-propinsi lain akan terjadi situasi nasional yang kemungkinannya tidak lagi dapat ditangani oleh pemerintah nasional. Suatu malapetaka melampaui skala 1965 tidak mustahil. Kalau ini sampai terjadi, maka tahun 2000, tahun terakhir abad ke-20, bisa menjadi tahun berakhirnya Republik Indonesia, sekurang-kurangnya Republik sebagaimana kita mengenalinya sejak 55 tahun. Jelaslah, belum pernah bangsa Indonesia sedemikian terancam dalam eksistensi fisik, sosial, dan nasional seperti sekarang. "Decisive action" Apakah bangsa Indonesia akan memaafkan kalau pemerintah tetap dalam posisi kontemplatif? Apa pun alasannya, apa pun yang sampai sekarang sudah dilakukan, semuanya itu tidak cukup. Decisive action diperlukan, sekarang juga! Empat hal: 1. Saat untuk refleksi, untuk memberi komentar, sudah tidak ada. Apakah konflik di Maluku disebabkan karena latar belakang agamakah, masalah suku, keirian ekonomis, provokatorkah, elite Jakartakah? Biarkan! Sekarang penumpahan darah dan tindak kekerasan antara masyarakat Maluku harus dihentikan. 2. Yang harus dihentikan, segera, dalam waktu beberapa hari!, bukan beberapa minggu, adalah tindak kekerasan antarmasyarakat. Bukan konflik itu sendiri. Konflik ditangani belakangan. Yang sekarang perlu: Hentikan tindakan penyerangan massa, pembunuhan, pembakaran rumah, pengusiran masyarakat yang dianggap musuh. Senjata harus diam, orang harus aman lagi, sekurang-kurangnya di kampungnya. 3. Betul, tanpa ikut serta masyarakat lokal dan para pimpinannya, penyelesaian konflik Maluku tidak mungkin. Akan tetapi hanya negara dapat menciptakan kondisi untuk itu. Maka pemerintah akan melalaikan tugas dan kewajibannya apabila bersikap angkat tangan terhadap konflik Maluku. Penegakan hukum dan menjamin keamanan umum adalah kewajiban pertama negara. 4. Jadi sekarang pemerintah harus mengambil tindakan efektif dan tegas. Dan tindakan itu harus high profile. Berpolitik tidak hanya mengenai tindakan, melainkan mengkomunikasikan ketegasannya ke dalam masyarakat. Seperti masyarakat mengeroyok sendiri pencopet karena tidak percaya lagi pada keefektifan hukum, begitu masyarakat hanya akan menahan diri dari luapan emosi dan perluasan lingkaran setan kekerasan dan balas dendam, apabila melihat dengan terang benderang bahwa pemerintah melakukan tugasnya, ya tugas bertindak. Jadi pemerintah KH Abdurrahman Wahid harus mengambil tindakan yang mencolok, mengagetkan, mengesankan, meyakinkan masyarakat. Apa yang dapat dilakukan? Bahwa tak ada jalan pintas untuk mengakhiri krisis Maluku kiranya kita sadari semua. Tetapi jangan dikatakan, tak ada yang bisa dilakukan. Banyak yang bisa dilakukan. Sugesti-sugesti berikut mungkin kurang tepat, namun sekurang-kurangnya diharapkan merangsang untuk memikirkan alternatif. Dan, sekali lagi, harap pemerintah mendengarkan betul suara-suara dalam masyarakat yang mengatakan bahwa tidak ada banyak waktu lagi. 1. Pemerintah bisa mengadakan pembicaraan intensif, selama sehari, dengan semua tokoh yang bersangkutan; pemerintahan sipil, militer, Islam, Kristen, tokoh lain masyarakat, ilmuwan sosial dan seterusnya. Dan sesudahnya tindakan yang tegas dan mengesankan. 2. Apakah sapu-sapu yang selama setahun tidak berhasil membersihkan kekacauan, yang tidak menunjukkan kemampuan konsepsional maupun operasional untuk mengatasi krisis, yang seakan-akan menyaksikan semakin tenggelamnya Maluku ke dalam keputusan dapat diharapkan bertindak secara decisive? Tindakan paling mengesankan pada masyarakat, dan kiranya syarat mutlak pendekatan yang baru, yang efektif, yang bisa diambil pemerintah, adalah menggantikan 'sapu-sapu' lama dengan 'sapu-sapu' baru. Dan jangan hanya menggantikan gubernur. Ganti seluruh pimpinan militer dan sipil yang bersangkutan. Seperti kalau sebuah tim sepak bola kalah terus, pelatih harus diganti, begitu pula dalam kasus seperti Maluku. Yang diangkat mesti yang meyakinkan karena integritas dan kemampuan profesional. Dan percayalah, kalau di militer, dia misalnya orang Islam (seperti mayoritas militer sehingga kemungkinan menemukan orang yang memadai paling besar), dan dia memang berintegritas dan berkualitas prima, dia akan diterima baik, juga oleh pihak Kristen. Pokoknya, orang terbaik yang tersedia. 3. Jangan menabukan penetapan keadaan darurat. Situasi sudah darurat dong! Jelas harus ada jam malam, harus ada tindakan keras represif terhadap pelanggar genjatan senjata. Di mana masih ada massa bergerak, pasukan yang diberi sarana untuk bergerak cepat langsung diterjunkan dan seperlunya mereka bertindak represif. Pakailah keadaan darurat untuk menangkap semua yang dicurigai sebagai provokator. Usutlah kalau ada pihak asing campur tangan, dan jangan pandang bulu. Di mana Kristen mengancam Muslim, Kristen direpresi, di mana Muslim mengancam Kristen, Muslim direpresi. Dan jangan omong kosong tentang hak asasi manusia, seakan-akan aparat yang menundukkan massa yang beringas melanggar hak asasi manusia. Tentu harus proporsional. Tetapi bertindak dengan keras, termasuk penggunaan senjata tajam, terhadap massa yang mengancam membunuh, membakar, memperkosa, merusak, dan tidak mau mundur apabila diperingatkan bukannya melanggar hak asasi manusia, melainkan aparat melanggar hak asasi manusia apabila tidak dihadang. Adalah kewajiban aparat negara untuk menjamin pemberlakuan hukum. Negara wajib memakai kekerasan apabila itu satu-satunya cara untuk mencegah pelanggaran hukum. Perlindungan itu adalah hak asasi segenap warga masyarakat. Peran panutan dan tokoh agama Dalam memecahkan konflik Maluku semua harus terlibat; pemerintah, para panutan, tokoh agama, tokoh lokal, militer dan sipil, tugas mahaberat untuk membangun kembali jalur-jalur komunikasi, saling penghargaan dan ekonomi hanya dapat dilakukan bersama. Akan tetapi sebelumnya pembunuhan, pembakaran, kekerasan harus berhenti. Para panutan dan tokoh agama pun tidak dapat mengontrol massa mereka kalau sudah termakan oleh emosi, kebencian, rasa balas dendam, dan ketakutan. Itulah sebabnya yang paling pertama perlu adalah; Hentikan pembantaian, hentikan kekerasan antarmasyarakat! Menunggu apa lagi? Kehancuran bangsa dan negara? (* Frans Magnis Suseno, rohaniwan dan filosof.) ----------------------------------------------------------- http://www.kompas.com/kompas-cetak/0001/15/OPINI/hent04.htm |
|
Program Kerja | Koleksi | Anggota | Indeks Artikel |