Meloloskan Diri dari Kerusuhan Ambon
Pelbagai kerusuhan yang terjadi di Tanah Air, telah
memaksa banyak orang meninggalkan tempat kelahirannya demi
menyelamatkan jiwa. Sejak memutuskan untuk pergi, seorang
pengungsi dihadapkan pada banyak situasi yang mencekam,
bahkan menegangkan, seperti dituturkan seorang pengungsi
dari Ambon kepada Berny Elim.
Sampai sore kapal belum juga berangkat, padahal sekujur
tubuh saya sudah basah kuyup. Seharian kami belum makan,
namun tak seorang pun di situ tampak lapar. Ketegangan yang
begitu mencekam membuat semua penumpang kehilangan selera
makan.
Itulah sekelumit kenangan, saat saya harus terbirit-birit
meninggalkan Ambon yang saya cintai, karena suasana tidak
memungkinkan lagi untuk tinggal lebih lama.
Lahir 26 tahun lalu di Ujungpandang, sejak tahun 1992
saya melanglang ke Ambon untuk bekerja. Di sana saya
mendapat pekerjaan yang cocok dengan penghasilan lumayan.
Saya betah di Ambon. Saya suka suasananya, terutama karena
di sana banyak pendatang dari berbagai daerah di Indonesia.
Dengan latar belakang budaya yang berbeda kami dapat berbaur
damai dengan penduduk setempat.
Sempat pulang kampung
Tak ada yang menyangka, suatu Selasa yang kelabu, 19
Januari 1999, suasana damai itu sekonyong-konyong sirna
karena kerusuhan. Keadaan ekonomi serta-merta morat-marit,
keamanan pun tidak terjamin. Namun saat itu saya bersiteguh
ingin tetap tinggal di Ambon. Bagaimana tidak. Di sana saya
sudah mempunyai pekerjaan mantap yang dapat memenuhi
kebutuhan hidup, selain banyak sanak saudara dan
sahabat.
Namun ketika keadaan semakin tidak keruan, pekerjaan
mulai tersendat. Stres menghadang. Maka Juni 1999 saya
putuskan akan cuti dulu; pulang kampung sambil mengharapkan
keadaan lekas membaik sehingga saya bisa kembali. Dari
Ujungpandang saya terus mengadakan kontak lewat telepon
dengan kerabat di Ambon.
Dengan keyakinan keadaan akan membaik, ditambah keinginan
saya untuk kembali ke Ambon yang saya cintai, awal Juli 1999
saya pun kembali ke sana. Namun tanggal 27 Juli ternyata
kerusuhan meledak lagi. Terjadi kebakaran hebat yang
menghabiskan setengah bangunan-bangunan di jalan protokol
pusat kota. Kantor tempat saya bekerja pun ikut terbakar.
Sungguh, tidak ada lagi suasana damai di kota ini.
Tanpa kesibukan kerja, hari-hari berikutnya banyak saya
lewatkan di rumah sambil membicarakan rencana dengan sanak
saudara dan teman-teman. Setelah mempertimbangkan banyak
faktor, dengan perasaan pedih akhirnya kami memutuskan untuk
meninggalkan Ambon. Saya akan pergi dan tidak akan kembali
lagi.
Ingin selamat, lewat air
Mulailah perjuangan kami untuk keluar dari Ambon.
Rombongan yang berjumlah 70 orang termasuk wanita dan
anak-anak telah memutuskan untuk berangkat dengan kapal
laut. Tapi jumlah terbesar pengungsi saat itu menuju Bau-bau
dan Ujungpandang. Sebab itu kami berputar haluan memilih
kapal dengan tujuan Bitung, Sulawesi Utara.
Namun karena situasi keamanan, KM Lambelu yang
dijadwalkan berangkat tanggal 13 Agustus pukul 11.00 dari
Ambon menuju Bitung, sulit berlabuh di pelabuhan pusat kota
(tempat kapal PELNI biasa merapat).
Pelabuhan terpaksa dipindahkan ke pangkalan TNI-AL di
Halong. Sebenarnya, dengan mobil tempat itu dapat dicapai
hanya dalam 15-20 menit. Namun akibat terjadinya kerusuhan
di mana-mana, perjalanan ke Halong jadi sangat rawan.
Apalagi tanggal 10 dan 11 Agustus sebelumnya telah terjadi
pertempuran besar di jalan menuju Halong.
Dengan penuh kekhawatiran dan kebingungan, kami berusaha
menghubungi petugas keamanan setempat untuk mengawal. Mereka
bersedia tapi tidak dapat menjamin keselamatan kami bila
lewat darat. Pilihan lain satu-satunya hanya lewat air.
Pangkalan TNI-AL Halong dapat dicapai lewat laut dari
dermaga speedboat di Gudang Arang. Akhirnya rombongan
sepakat untuk berkumpul pada sore 12 Agustus di rumah
seorang sanak saudara kami, di Air Putih dekat Gudang Arang.
Ini agar pagi-pagi benar keesokan harinya kami dapat
bersama-sama menuju dermaga speedboat.
Apa mau dikata, rencana yang sudah demikian matang itu
gagal akibat terjadi kerusuhan lagi. Sore hari itu yang
dapat datang berkumpul hanya kurang dari 10 orang termasuk
saya. Keesokan harinya bertambah lagi, tapi hanya mencapai
jumlah 53 orang. Terpaksa sisanya ditinggalkan, karena kami
harus sampai ke tujuan sebelum pukul 11.00.
Berenang berebut speedboat
Ketika kami tiba sekitar pukul 09.00, ternyata ratusan
orang telah berkumpul di dermaga itu. Speedboat yang
biasanya terus menerus lalu lalang tiada henti, pagi itu
bisa dihitung dengan jari. Pasalnya, telah terjadi lagi
pembakaran dan kerusuhan di daerah Karang Panjang, Wailela,
dan sekitarnya.
Padahal Halong terletak di antara kedua daerah
tersebut.
Bisa dibayangkan speedboat yang jumlahnya tak seberapa
dan bermuatan maksimal hanya 15 orang harus mondar mandir
untuk memuat ratusan manusia. Padahal perjalanan balik bisa
memakan waktu sampai 30 menit. Di sinilah terjadi perjuangan
mati-matian, berebut menjadi yang terdahulu naik speedboat!
Tambahan lagi, kami harus sampai pelabuhan sebelum pukul
11.00. Ketegangan benar-benar tidak tertahankan.
Bersama beberapa pemuda dalam rombongan, saya memutuskan
untuk terjun ke laut dan merebut tempat begitu speedboat
mendekat. Tempat utama kami berikan kepada wanita dan anak-
anak serta para lansia, sampai akhirnya tinggal tersisa 10
orang saja dari rombongan kami.
Maka saya sedikit lega ketika mendengar keberangkatan
kapal ditunda. Tapi bagaimana caranya agar kami sampai
sebelum kapal diberangkatkan? Soalnya yang belum terangkut
banyak sekali. Kami harus mencari alternatif.
Kebetulan secara tak sengaja saya mendengar pembicaraan
seorang karyawan Pertamina lewat handy-talky, bahwa akan ada
kapal pandu Pertamina yang merapat. Tapi bukan di Gudang
Arang melainkan di dermaga milik Semen Tonasa, kira- kira
200 meter dari dermaga speedboat. Segera saja kami
bersepuluh disertai beberapa orang lagi tergopoh-gopoh
menuju dermaga Semen Tonasa. Bawaan kami ada yang hilang,
tapi apa boleh buat.
Ternyata keberhasilan naik kapal Pertamina berkapasitas
30 orang yang sarat penumpang itu bukan berarti ketegangan
telah berakhir. Awak kapal masih menyuruh kami untuk
merunduk, agar terhindar dari tembakan para perusuh di
darat. Dikhawatirkan mereka akan menembak, begitu melihat
ada banyak penumpang di atas kapal. Demikianlah, walaupun
sudah amat sarat, kapal masih menjemput sejumlah penumpang
lagi di Wayame (dermaga Pertamina).
Dalam perjalanan menuju Halong, dengan mata kepala
sendiri kami menyaksikan sebuah speedboat sarat penumpang di
belakang kapal kami ditembaki beberapa kali dari darat.
Untung agaknya tidak sampai jatuh korban, karena jarak cukup
jauh.
Akhirnya sekitar pukul 17.00 kami tiba di Halong dengan
selamat. Terlihat KM Lambelu belum berangkat. Untuk mencapai
ke sana, kami harus melewati dulu sebuah kapal perang yang
sedang bersandar. Begitu kami menginjakkan kaki di atas
kapal, tepat saat itu pula tangga kapal diangkat dan sekitar
3 menit kemudian kapal berangkat.
Berdesakan saat hujan
Jelas KM Lambelu sangat sarat penumpang. Tapi saya lega
mendapati semua anggota rombongan kami telah berada di situ.
Karena semua ruang dalam kapal sudah penuh, akhirnya saya
mendapatkan tempat untuk merebahkan diri di udara terbuka,
tepat di bawah sekoci. Walaupun di situ pun saya harus
berdesakan.
Syukur di atas kapal ini PELNI menyediakan cukup makanan
untuk semua penumpang sehingga tidak ada yang kelaparan.
Namun terbersit juga kekhawatiran dalam hati, bagaimana
orang-orang yang begitu saling membenci saat di darat kini
dapat berkumpul dalam satu kapal? Akankah dendam, amarah,
dan kebencian berlanjut di laut?
Kekhawatiran saya terbukti benar. Kira-kira pukul 20.00,
tidak jauh dari tempat saya berbaring, terjadi perkelahian.
Beberapa wanita terdengar menjerit ketakutan. Namun banyak
juga penumpang lain yang tidak mau tahu. Mungkin mereka
sudah terlalu lelah, enggan mencampuri urusan orang lain.
Untunglah perkelahian tidak berlanjut menjadi kerusuhan
massal.
Keesokan harinya, tanggal 14 Agustus, pukul 07.00 turun
hujan sangat lebat. Tentu saja kami yang menempati ruang
terbuka kalang-kabut bergegas masuk ruangan untuk berteduh.
Bayangkan, betapa padatnya di dalam! Mana sepanjang
perjalanan hujan turun berkali-kali.
Bisa dibayangkan betapa lega dan haru menyelimuti diri
saya ketika akhirnya kapal merapat di Bitung, Sulawesi
Utara. Setelah menginap beberapa hari di situ, saya pulang
ke rumah orangtua yang sudah menunggu-nunggu.
Sampai kini saya tetap memutuskan tidak akan kembali ke
Ambon. Tentu saja ini bukan keputusan yang mudah dan
menyenangkan, karena saya sungguh mencintai kehidupan saya
selama beberapa tahun di sana. Sulit bagi saya membayangkan
pedihnya perasaan mereka yang lahir dan besar di Ambon, atau
mereka yang sudah menetapkan akan tinggal di sana seumur
hidup. Mereka semua akhirnya harus "bercerai" dari
Ambon.
Tanpa membenci suku atau agama apa pun, bagi saya, kami
semua adalah korban. Meski sedih, saya tidak ingin tenggelam
dalam masa lalu yang menyakitkan. Hidup harus ditata
kembali. Sekarang saya sudah memperoleh pekerjaan baru di
Abepura, Irian Jaya. Sungguh saya berharap, di masa yang
akan datang semua orang di bumi ini akan dapat hidup dalam
kedamaian. Tidak ada lagi yang saling membenci.
(source:
http://www.indomedia.com/intisari/1999/november/ambon.htm)
|