Mengenai Peristiwa Ambon | |
|
Sabtu, 15 Januari 2000 Peristiwa Menjelang Kerusuhan Maluku Utara Oleh Smith Alhadar SETELAH usaha panjang penuh pengorbanan sejak tahun 1953, baru pada Oktober tahun lalu rakyat Maluku Utara berhasil menjadikan kawasannya propinsi tersendiri. Ibu kotanya, Ternate. Melihat pesta yang dilakukan, tampaknya mereka optimis bahwa dengan status baru, Maluku Utara yang kaya sumber alam dapat membangun kehidupan yang lebih maju dan sejahtera. Tetapi kini segala sesuatunya berubah menjadi suram. Keharmonisan sosial yang dibangga-banggakan rusak berantakan. Saling bunuh antargolongan masyarakat terus berlangsung sejak 24 Oktober. Banyak faktor penyebabnya, di antaranya, perebutan tambang emas di Halmahera, ekses kerusuhan Ambon, dan persaingan politik elite lokal. Namun, akar masalahnya sebenarnya terletak pada persaingan dua kesultanan, Ternate dan Tidore, pulau kembar yang hanya berjarak lima mil. Putra Sultan Tidore terakhir, H Mahmud Raimadoya, mengatakan bahwa kerusuhan itu tak ada urusan dengan sejarah hubungan kerajaan-kerajaan di Maluku, melainkan bersumber dari permainan politik elite lokal. (Kompas, 10 Januari 2000) Saya bisa memahami dan mendukung semangat artikel itu. Tetapi, nyaris mustahil peristiwa-peristiwa politik dan sosial yang besar, yang berkembang di Maluku Utara belakangan ini, dapat dipisahkan dari hubungan kesultanan Ternate dan Tidore di masa lalu. Berebut hegemoni Sejarah mencatat, sejak kemunculannya pada pertengahan abad ke-13, kerajaan Ternate dan Tidore sudah berebut hegemoni. Ternate meluaskan pengaruh ke Halmahera Utara, Kepulauan Lease, Ambon, Suru, Sula, dan Seram, sementara Tidore melakukan ekspansi ke Halmahera Tengah, Seram Timur, dan kawasan Raja Ampat di Papua. Persaingan ini membuat mereka memilih mitra koalisi asing yang berbeda. Ternate merangkul Portugis pada tahun 1512, sedangkan Tidore bersekutu dengan Spanyol sepuluh tahun kemudian. Hanya dua kali sepanjang sejarah dua kerajaan ini bersatu. Pertama, ketika penguasa Portugis menurunkan Sultan Tabariji dari Ternate (1533) dari singgasana. Kedua, saat Sultan Khairun dibunuh Portugis (1570). Namun, persekutuan ini hanya bersifat sementara. Sultan Tidore tampaknya khawatir, kesewenang-wenangan asing dalam urusan internal kerajaan dapat menjadi preseden buruk. Kompetisi yang tak jarang berujung pada perang, baru berakhir pada tahun 1949 tatkala dua kerajaan ini tak lagi difungsikan. Persaingan muncul kembali menjelang Maluku Utara menjadi propinsi. Elite Ternate pimpinan Sultan Ternate Mudaffar Syah menghendaki Ternate menjadi ibu kota propinsi transisi sebelum dipindahkan ke Sidangoli, desa di Halmahera Utara yang dekat dengan Ternate. Di sisi lain, Tidore ngotot agar Soasiu, ibu kota Halmahera Tengah, yang terletak di Pulau Tidore menjadi ibu kota transisi. Dan Sofifi, desa di Halmahera Tengah yang lebih dekat dengan Soasiu, menjadi ibu kota definitif. Hasil akhir persaingan Ternate-Tidore yang dituangkan ke dalam UU adalah Ternate menjadi ibu kota transisi, sementara Sofifi ibu kota definitif. Kompromi ini ternyata tak memuaskan kedua pihak. Ternate melihat perpindahan ibu kota ke Sofifi akan merugikannya dalam jangka panjang. Sebaliknya, Tidore - yang selama ini tertinggal jauh dari Ternate - akan berubah menjadi wilayah yang strategis. Tetapi, elite Tidore takut kalau-kalau Mudaffar Syah mempertahankan Ternate sebagai ibu kota permanen, bila ia terpilih jadi gubernur dalam pemilu lokal Juni mendatang. Karena itu, bersama elite Makian, elite Tidore mulai melakukan oposisi terhadapnya. Rangkaian insiden Sembilan belas hari setelah status Propinsi Maluku Utara diresmikan (5 Oktober 1999), meletus konflik antara warga dua kecamatan bertetangga, Malifut dan Kao. Yang disebut pertama dihuni transmigran muslim dari Pulau Makian. Sementara mayoritas warga Kao penduduk asli daerah itu - menganut Protestan dan mereka merupakan konstituen Sultan Ternate. Konflik terkait dengan perebutan wilayah tambang emas di Gosowong, perbatasan Kao-Malifut. Dalam insiden itu, 16 desa Malifut musnah terbakar. Sembilan hari kemudian, rakyat Tidore dengan dukungan Dewan Adatnya menyerang sasaran nonmuslim di daerahnya. Tragedi ini dikatakan berhubungan erat dengan beredarnya surat Ketua Badan Pekerja Sinode Gereja Protestan Maluku Pendeta SP Titaley STH kepada Ketua Gereja Masehi Injili (GMIH) Tobelo, yang isinya menggambarkan upaya gereja mengadu domba umat Islam dan menguasai wilayah Halmahera Utara melalui kekerasan di Maluku Utara. Surat ini nyata-nyata palsu. Tetapi tampaknya elite lokal musuh Sultan Ternate menjadikannya sebagai senjata untuk memobilisasi massa. Sesungguhnya, yang terjadi di Tidore adalah ekspresi penentangan Kesultanan Tidore atas fenomena kebangkitan Kesultanan Ternate. Apalagi daerah tambang emas itu merupakan tanah adat Kesultanan Ternate. Di luar itu, Tidore sendiri sebenarnya sudah agak lama cemas akan aktivitas Sultan Ternate yang giat menghidupkan kembali instrumen politik kerajaan seperti pasukan adat, dan kampanye tentang sistem nilai lama di mana Kesultanan Ternate menjadi pusat budaya dan politik. Konflik Kao-Malifut menciptakan 10.000 pengungsi Makian, Sultan Ternate mencegah mereka dibawa ke Ternate, kota kecil yang sudah dipenuhi oleh pengungsi Ambon. Namun, musuh-musuhnya yang menguasai Pemda Maluku Utara dan beraliansi dengan Kesultanan Tidore membawa mereka ke Ternate. Mereka inilah, bersama orang Tidore, memelopori kerusuhan yang pecah di Ternate pada 6 November lalu. Melihat ini, Sultan Ternate segera mengirim pasukan adatnya ke wilayah kerusuhan di Ternate Selatan. Kendati berhasil mengamankan kota, orang mempertanyakan legalitas pasukan ini. Lagipula, mereka sering melakukan penculikan dan penganiayaan terhadap aktivis Makian dan Tidore yang dianggap bertanggung jawab bagi kerusuhan itu. Yang juga membangkitkan antipati masyarakat, pasukan adat sering melakukan pemerasan pada pemilik toko dan perusahaan sebagai kompensasi bagi keamanan mereka. Pada 26 Desember lalu, timbul insiden sosial di Kecamatan Tobela, Halmahera Utara. Merasa menjadi sasaran pembunuhan, orang Ternate Selatan pada 27 Desember membakar sekolah Katolik di Ternate yang dijadikan markas oleh pasukan adat Ternate. Sebagai balasan, pasukan Sultan Ternate membakar Kampung Pisang di Ternate Selatan, 28 Desember. Ini kesalahan fatal. Serentak, Sultan Tidore Djafar Danoyunus - yang menurut Raimadoya keabsahannya sebagai sultan "cacat" - memobilisasi massa untuk menyerang pasukan adat Ternate. Isu yang diangkat adalah kristenisasi. Pertempuran 29 Desember ini berhasil menaklukkan Sultan Ternate. Ancaman disintegrasi Akibat kekalahan itu, dan isu kristenisasi yang dihubungkan dengan dirinya, Sultan Ternate tak lagi populer. Bahkan komunitas Ternate Utara, tadinya merupakan basis Sultan Ternate, ikut bergabung dengan Ternate Selatan. Dengan demikian, nama Sultan Tidore kini berkibar. Namun, harga yang harus dibayar cukup mahal, para pendukung Sultan Ternate di Halmahera Utara memberontak. Semangat "jihad" yang dikobarkan para musuh Mudaffar, bukannya menyelesaikan masalah, malah meningkatkan skala pertikaian. Maka, sudah saatnya para elite musuh Sultan Ternate menghentikan isu kristenisasi. Isu ini memang berhasil meningkatkan kebencian masyarakat pada Mudaffar Syah, dan sebaliknya, meningkatkan popularitas tokoh Tidore. Juga meninggikan semangat "jihad" masyarakat. Namun, ini akan merugikan masyarakat Maluku Utara secara keseluruhan. Bukan tak mungkin, dalam waktu dekat kerusuhan serupa akan merambat ke Papua dan Manado yang kini repot mengurusi pengungsi Ternate. Kalau demikian, tak akan ada seorang pun yang memperoleh keuntungan. Malah yang akan terjadi justru disintegrasi bangsa. (* Smith Alhadar, anggota IDE (Institute for Democracy Education), dan putra asal Ternate.) ----------------------------------------------------------- http://www.kompas.com/kompas-cetak/0001/15/OPINI/peri04.htm |
|
Program Kerja | Koleksi | Anggota | Indeks Artikel |