Mengenai Peristiwa Ambon | |
|
One Region, One Faith Mahfudz Siddiq Pengamat Masalah Dunia Islam pada SIDIK Foundation Pada saat orang-orang Romawi yang melarikan diri bertemu dengan pasukan Daulah Utsmaniyah pada peperangan yang terjadi di abad XVI, pemimpin orang-orang yang melarikan diri itu, John Hineady ditanya: "Apa yang akan Anda perbuat jika mendapat kemenangan?" Dia menjawab: "Saya akan membangun akidah Romawi Katolik." Ketika pertanyaan itu balik dilontarkan kepada Sultan Utsmani, ia menjawab: "Saya akan mendirikan gereja di samping setiap masjid, dan saya akan memberikan kebebasan mutlak kepada setiap orang untuk menjalankan ibadah di mana saja dari kedua tempat ibadah tersebut." Petikan dialog itu diungkap Thomas Arnold, seorang sejarawan Inggris dalam bukunya The Preaching of Islam. Suatu dialog yang bukan saja menggambarkan perbedaan dalam sikap keyakinan antara sosok pemimpin Islam dan Kristen, tetapi juga arah dan bentuk perjuangan masing-masing. Gagasan semacam ini pada sebagian kalangan Kristen ternyata bukan semata catatan sejarah lampau, tetapi kesinambungan geraknya masih terjadi sampai saat ini. Di penghujung abad 20 lalu, gagasan ini ditemukan pasca keruntuhan rezim Uni Soviet. Kasus Yugoslavia dengan tragedi Bosnia-nya menjadi rekaman sejarah tentang benturan antaretnis dan agama yang menghasilkan regionisasi berdasarkan etnis dan agama. Benturan hebat ini justru terjadi setelah berbagai etnis Yugoslavia hidup rukun dalam sebuah format akulturasi budaya yang sangat cair. Sebagai contoh, kita bisa menemukan sebuah keluarga yang terdiri dari campuran beberapa etnis dan bahkan dengan beberapa agama yang berbeda. Menjelaskan kembali kasus yang meledak sejak tahun 1995 ini, setidaknya ada tiga faktor penting yang melatari kasus Bosnia dan juga kasus serupa di kawasan Balkan. Pertama, dogma Kristen untuk "menyelamatkan umat manusia". Gereja menjadi salah satu kekuatan politik penting dalam proses keruntuhan rezim-rezim komunis di kawasan Eropa Timur. Peran para pastor dan keuskupan sangat menonjol dalam proses keruntuhan rezim komunis di Yugoslavia dan dalam proses rezimentasi baru yang -- ternyata -- berlumuran darah. Menguatnya peran gereja dalam proses transisi rezim membawa kembali ingatan bangsa Eropa ke masa imperium Kristen di abad pertengahan akhir. Ini bisa menjadi semacam titik-balik, ketika Eropa telah melewati kehidupan sekuler dan hedonis selama hampir tiga abad. Masa panjang yang meminggirkan posisi dan peran gereja dalam kehidupan masyarakat dan pemerintahan. Kedua, semangat imperialisme yang tetap menyala dalam bentuk unionisasi Eropa dalam rangka menguatkan posisi ekonomi dan politiknya di mata dunia. Pasca keruntuhan Uni Soviet, Eropa melakukan restrukturisasi internal dengan melonggarkan batas-batas geografis antar negara dan mengokohkan kawasan-kawasan tertentu, khususnya Balkan, sebagai kawasan Eropa. Restrukturisasi ini tentu saja bersifat ideologis, politik, ekonomi dan budaya. Unionisasi Eropa yang dipompa oleh semangat imperialisme ini dilakukan untuk mengimbangi kekuatan Amerika dan Asia pada satu sisi, dan kekuatan Islam yang mulai dipersepsi sebagai ancaman baru pada sisi lain. Ketiga, pendekatan konflik mondial baru yang diciptakan antara Barat versus Islam. Berbagai pandangan politik para pemimpin Eropa pasca Uni Soviet secara kuat menunjukkan hal ini. Margareth Teatcher, PM Inggris ketika Soviet runtuh menegaskan ancaman Islam bagi Barat dan menyarankan perlu ditingkatkannya kerjasama dengan pemerintahan sekuler Muslim untuk menghadang laju kebangkitan Islam. William Claes -- Sekjen NATO pada masa itu -- memberi warning kuat akan munculnya musuh baru bagi Barat pasca Uni Soviet, yaitu Islam. Perpaduan ketiga faktor ini menghasilkan semangat dan gerakan kuat untuk menghancurkan siapapun yang dipersepsi membahayakan Kristen, khususnya di Eropa. Genocide etnis Bosnia dan Albania Muslim oleh Serbia, kekerasan dan pengusiran atas warga imigran Muslim di Jerman, Inggris dan Prancis atau yang lebih ekstrem seperti munculnya Partai One Nation pimpinan Pauline Janson di Australia yang menolak kehadiran para imigran -- yang umumnya kaum Cina dan kaum Muslim, membuktikan mata-rantai panjang gagasan di atas. Seolah Eropa -- atau apapun yang dinamai Barat -- hanya akan menjadi tempat hidup bagi golongan tertentu saja. Semua itu menjelaskan ide dasar yang lama dimiliki sebagian kalangan Kristen, yaitu One Region, One Faith. Satu kawasan geografis hanya untuk satu pemeluk agama tertentu. Pandangan ini mungkin dipandang tidak masuk akal (non-sense) dan provokatif. Tetapi bila kita merunut fakta sejarah sampai hari ini, fenomena yang mendukung pandangan di atas akan sangat mudah terlihat. Ide dasar One Region, One Faith ini memiliki dua arah gerakan. Pertama, restrukturisasi internal elemen-elemen Barat Kristen dengan jalan penyatuan kawasan-kawasan mereka secara ideologis, politis, ekonomis, kultural, demografis sampai geografis. Kedua, ekspansi eksternal dengan jalan membangun hegemoni ide-ide politik liberalistik dan ekonomi kapitalistik ke negeri-negeri Muslim atau di negara-negara sedang berkembang pada umumnya. Jalan berikutnya adalah memperjuangkan gagasan One Regiona, One Faith pada kantong-kantong Kristen di negeri-negeri tersebut. Di dunia Islam, konflik separatis di kantong-kantong Kristen bisa kita temukan di Sudan Selatan, Eriteria, Libanon dan beberapa negara lainnya. Di Indonesia sendiri, kasus Timor Timur, Irian Jaya (Presiden Gus Dur menamakannya Papua) dan terakhir Maluku adalah contoh-contoh yang sangat nyata. Eksperimen One Region, One Faith di negeri-negeri Muslim umumnya dikembangkan pada kawasan yang memiliki potensi konflik berskala internasional. Timor Timur dengan unsur Fretelin, Irian Jaya dengan Organisasi Papua Merdeka (OPM) dan Ambon dengan Republik Maluku Selatan (RMS) sangat potensial dikembangkan menjadi konflik internasional. Tangan-tangan internasional akan menjadi penekan efektif bagi negeri yang mengalami konflik untuk kepentingan kelompok separatis. Keberhasilan Timor Timur bisa menjadi contoh yang baik dan akan mengilhami kawasan-kawasan lain untuk mengembangkan pola konflik serupa. Dari perspektif ini, maka kasus Ambon yang meluas menjadi kasus Maluku tidak bisa dipandang sebagai konflik sosial yang harus diselesaikan oleh rakyat Maluku sendiri. Kasus ini harus dipandang sebagai kasus politik serius yang akan mengarah kepada gerakan separatisme, seperti di Timor Timur. Arah gerakannya sangat jelas. Pertama, sebelum konflik awal -- yaitu pembantaian umat Islam Ambon yang melakukan shalat Idul Fitri tahun lalu -- meledak, ada fakta nyata tentang menguatnya propaganda RMS dan mobilisasi senjata di kalangan penduduk sipil Kristen, khususnya di Ambon. Kedua, konflik menjalar dan menghebat sampai mengkristal kepada konflik antarkaum Muslim dan kaum Kristen Ambon dan sekitarnya. Sampai di sini, penjelasan tentang alasan perbedaan etnis, ketimpangan demografis, kesenjangan ekonomi tidak bisa lagi dipertahankan. Yang dibantai etnis apa saja, dari kelas ekonomi apa saja dan dari komunitas mana saja, asal mereka Muslim. Konflik agama akan menjadi jalan paling mudah, cepat dan sistemik untuk mengenyahkan komunitas non-Kristen dari jazirah Maluku. Dilihat dari pola aksi, persenjataan dan garis komando, ada kesan kuat bahwa konflik ini didesain untuk menjadi konflik serius sehingga menjadi persoalan besar. Ketiga, setelah konflik meluas dan membesar, ada upaya serius dari kalangan Kristen untuk mengundang campur-tangan internasional. Pihak gereja misalnya, sudah meminta campur-tangan presiden AS, PBB termasuk juga negara Belanda. Terakhir Belanda -- yang juga basis RMS -- telah menawarkan diri untuk menjadi mediator penyelesaian konflik. Bahkan berbagai laporan terakhir menunjukkan adanya keterlibatan pihak-pihak tertentu dari Belanda dan Australia yang mensuplai senjata dan sarana komunikasi (lihat Republika 10/1 dan Liputan 6 SCTV 10/1 wawancara dengan Ir Aswan Bayan). Yang perlu dicermati, ada dual propaganda dalam kasus ini. Ke dalam negeri, ada upaya membangun opini bahwa tragedi Maluku adalah konflik sosial dengan motif kesenjangan sosial-ekonomi. Tetapi ke dunia internasional, ada propaganda sistematis yang menyatakan bahwa terjadi pembantaian terhadap umat Kristen di negeri Muslim Indonesia, sehingga mereka harus turun tangan. Sampai hari ini konflik Maluku sudah ada pada titik ini. Proses selanjutnya adalah, ketika tangan-tangan internasional terlibat dalam konflik ini, maka bisa dipastikan RMS akan muncul sebagai salah satu representasi kekuatan kaum Kristen Maluku dengan agenda politiknya, yaitu separatisme. Jalannya akan persis sama seperti yang dilakukan Fretelin di Timor Timur. Dan ini hanya tinggal menunggu waktu saja. Bila ini tanda-tanda nyata yang terjadi, maka segenap komponen bangsa; pemerintah, TNI, organisasi sosial-politik, umat Islam dan umat Kristen lain yang menyadari bahaya ini dan memiliki jiwa nasionalisme yang kuat, harus segera merapatkan barisan, bahu-membahu menghadapi ancaman Maluku sebagai Timor Timur baru yang tentu saja tidak boleh terulang untuk kedua kalinya. |
|
Program Kerja | Koleksi | Anggota | Indeks Artikel |