Taken From Pikiran Rakyat On-line
(www.pikiran-rakyat.com) edisi kamis 6-7 Juli 2000
Dokumen Pemberontakan RMS di Maluku
Oleh ACHMAD SETIYAJI
Bahwa perjuangan kemerdekaan Maluku lewat proklamasi
Republik Maluku Selatan (RMS) itu tidak akan merugikan hak
hidup bangsa manapun juga, termasuk pemerintah Belanda dan
pemerintah RI... (Ketua Eksekutif "Missi Rakyat Maluku", D
Sahalessy dalam suratnya kepada BJ Habibie dan Jenderal
Wiranto).
KUTIPAN pernyataan di atas, merupakan materi surat resmi
yang dikirim dari kantor 'pemerintahan pengasingan RMS' di
De Klenckestraat 42, 9404 KW Assen-The Netherlands (telp
31592 352141), tertanggal 15 November 1998. Tembusan surat
tersebut dikirimkan pula kepada Komnas HAM di Jakarta,
Kementerian Luar Negeri Belanda di Den Haag,
EIR-International di New York dan sejumlah instansi
internasional terkait serta dewan mahasiswa di Indonesia.
Dokumen surat -- yang diungkap pula oleh mantan Kastaf
Kodam VIII/Trikora Jayapura, Brigjen TNI (Purn) Rustam
Kastor -- ini, secara jelas dan 'jantan' menyatakan
keinginannya untuk pisah dari Negara Kesatuan Republik
Indonesia (NKRI). Misalnya, di awal suratnya, D Sahalessy
menulis sbb:...Atas kewajiban kami selaku Ketua Pelaksana
Missi Rakyat Maluku dan Pejuang Kemerdekaan yang mendambakan
Kemerdekaan dan Kedaulatan Nusa dan Bangsa Maluku, kami
hadapkan 'Surat Pergembalaan' ini kehadapan Bapak-bapak.
Demi ketergantungan hidup manusia kepada Tanah Airnya dan
Masyarakat Adatnya masing-masing, maka Pancasila dan
Undang-undang Dasar '45, antara lain menegaskan bahwa
"kemerdekaan adalah hak setiap bangsa, maka setiap sistem
penjajahan haruslah dihapuskan dari atas muka bumi, karena
hal itu tidak sesuai dengan keadilan dan prikemanusiaan".
Atas pernyataan ini, kami anjurkan agar Bapak-bapak
menggarisbawahi "kekeliruan-kekeliruan" yang dilakukan
Pemerintah RI dan ABRI di Maluku di luar sampaipun di tanah
air Jawa sejak Juni 1950 hingga detik saat ini.
Yang cukup menarik untuk dicermati, surat yang
disampaikan kepada pemerintah RI -- setahun sebelum
terjadinya aksi pembantaian terhadap umat Islam di Kota
Ambon, Idul Fitri, 19 Januari 1999 -- itu, juga mengajukan
lima tuntutan yang mesti dipenuhi, yakni:
- Agar tindakan-tindakan eksploitasi dan Jawanisasi di
Maluku dan lain-lain kepulauan di luar tanah Jawa
dihentikan,
- Agar tulang-belulang dari putra-putri Maluku yang
terbunuh selama invasi militer RI di Maluku (1950-1967)
itu dapat dikumpulkan untuk dimakamkan dalam suatu Taman
Makam Pahlawan,
- Agar tulang-belulang dari Mr. Doktor Christian
Soumokil (Bapak Kebangsaan dan Pahlawan Keadilan Maluku)
yang dibunuh secara rahasia oleh ABRI di pengasingan pada
tanggal 12 April 1966 itu dapatlah dikumpulkan untuk
dimakamkan di Maluku Tanah Air kami,
- Agar semua usaha menuntut kemerdekaan Maluku lewat
konstitusi Republik Maluku Selatan (RMS) di Maluku
janganlah ditindas atau dapatlah dibantu oleh ABRI,
- Agar tindakan-tindakan polarisasi yang dilakukan
lewat intelek Maluku golongan aparatip yang
memfrustasikan perjuangan kemerdekaan Maluku di dalam
maupun di luar negeri itu, dihentikan.
Selain surat tersebut, bukti-bukti awal yang menunjukkan
terjadinya pemberontakan RMS di Ambon-Maluku, juga dapat
diketahui dari dokumen 'bocoran'-nya -- faksi lain di RMS --
yang menamakan dirinya sebagai "Presidium Sementara RMS
Ambon."
Pada tangal 14 November 1998, presidium tersebut
mengeluarkan "Surat Perintah Tugas" No. 01/PS.04.1/XI/98,
yang ditandatangani oleh Ketua Umum dan Sekretaris Jenderal
Presidium, masing-masing bernama O. Patarima, SH dan Drs.
Ch. Patasiwa. Isi surat tugas berupa perintah kepada D
Pattiwaelappia (jabatan Ketua Komisi Bidang Komunikasi), A
Pattiradjawane (Ketua Komisi Bidang Hukum) dan S. Saiya
(Staf Komisi Bidang Komunikasi), untuk melaksanakan missi
perjuangan RSM.
Kepada ketiga orang tersebut, diberi tugas dan wewenang
sbb:
- Melakukan upaya-upaya diplomasi dan pendekatan dengan
warga masyarakat Maluku di perantauan dalam rangka
konsolidasi kekuatan dan penggalangan persatuan,
- Mengadakan koordinasi dengan tokoh-tokoh intelektual
tertentu di kota atau daerah tujuan untuk membentuk
perwakilan presidium atau pun organisasi perjuangan yang
memungkinkan sesuai dengan kondisi setempat,
- Berusaha menghimpun dana secara sukarela dari warga
setempat untuk mendukung kebutuhan pembiayaan program
perjuangan,
- Melaporkan hasil pekerjaan secara berkala guna
keperluan pengendalian dan evaluasi.
Surat tugas juga menyebutkan daerah tujuan yakni Jakarta,
Surabaya, dan kota-kota tertentu di Pulau Jawa. Juga,
ditentukan soal keberangkatannya yakni mulai 16 November
s.d. media Desember 1998.
Bersamaan dengan keluarnya surat tugas, Presidium
Sementara RMS di Ambon membuat pula surat pengantar bernomer
02/PS.05.1/XI/98, perihal "Permohonan Bantuan", dilengkapi
lampiran sebanyak sepuluh daftar. Isi surat diawali dengan
kalimat antara lain:Pertama-tama, terimalah salam kebangsaan
dan pekik perjuangan kita "Mena Moeria".
Selanjutnya, ditulis:
Kami merasa mendapat kehormatan untuk
menjumpai Bapak, Ibu dan semua saudara segandong yang
sementara ini berada di Tanah Perantauan, untuk menyampaikan
perkembangan terakhir yang sedang terjadi di kalangan rakyat
dan masyarakat Maluku dewasa ini.
Secara singkat boleh kami katakan bahwa tingkat kesabaran
dan daya tahan rakyat dalam menghadapi kondisi perekonomian
maupun situasi politik yang dikendalikan dari Pusat
(Jakarta), sudah berada pada titik yang sangat rawan. Bahwa
demi untuk mencegah terjadinya tindakan lepas kontrol yang
dapat membahayakan diri, keluarga maupun masyarakat banyak,
kami terpaksa telah mengambil tanggungjawab kolektif tadi
dan menyusun sebuah program perjuangan sesuai dengan
kemampuan kami yang sangat terbatas.
Dalam rangka itulah kami sungguh memerlukan support, baik
moral maupun material terutama dari Bapak/Ibu yang memiliki
kelebihan berkat Tuhan. Demikian dengan susah payah kami
telah mengutus tiga orang teman ini, sambil mengharapkan
uluran tangan Bapak/Ibu semua. Kami percaya bahwa semua
saudara segandong di rantau tidak akan sampai hati
membiarkan kami berjalan sendirian sebab 'potong di kuku
rasa di daging'. Semoga Tuhan tetap menjaga dan memelihara
kita semua dengan kelimpahan berkat Sorgawi. Amatooo...
DARI Ambon, Presidium Sementara Republik Maluku Selatan
(RMS) -- pada 14 November 1998 -- mengeluarkan 'Seruan' yang
ditujukan kepada warga Maluku di Belanda.
Seruan yang ditandatangani oleh Ketua Umum dan Sekjen
Presidium Sementara RMS, masing-masing O Patarima, SH dan
Drs. Ch. Patasiwa itu, diawali dengan kalimat:
"Kepada Saudara-saudaraku sebangsa dan
setanah air, putra-putri Maluku yang sementara berdiam di
negeri Belanda."
- Terimalah salam kebangsaan dan pekik perjuangan kita
"Mena Moeria",
- Dengarlah seruan kami dari jauh, dari Maluku, Tanah
Tumpah Darah Kita:
- Saat ini, rakyat Maluku di Tanah Air sudah tidak
sabar lagi untuk merdeka,
- Kebencian rakyat terhadap Pemerintah Indonesia
sudah mencapai puncaknya,
- Untuk sementara, kami harus mengambil
tanggungjawab memimpin dan mengarahkan perjuangan di
Tanah Air agar supaya tidak berjalan sendiri-sendiri,
yang nanti bisa menyusahkan banyak orang,
- Kami sangat mengharapkan dukungan dan bantuan
saudara-saudara dari negeri Belanda dalam menyokong
perjuangan ini agar kiranya dapat berjalan lancar dan
sukses dalam waktu yang tidak terlalu lama,
- Sesungguhnya perjuangan ini adalah tanggungjawab
setiap anak Maluku, di mana pun berada. Karena itu,
janganlah biarkan kami sendiri,
- Kami percaya bahwa nasib masa depan anak cucu kita
ada di Tanah Air Maluku tercinta.
Pada akhir "Seruan", ditulisnya kalimat sbb:
"Biar Hujan Emas di Negeri Orang, Tidak Sama
Hujan Batu di Negeri Sendiri." Semoga Tuhan senantiasa
melimpahkan berkat dan perlindungan kepada kita, sampai
bertemu nanti di Tanah Air.
Bukti-bukti awal yang mengarah pada kesimpulan terjadinya
gerakan pemberontakan RMS pada akhir tahun 1998, juga
ditemui oleh pihak Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI)
di Den Haag. Dalam laporan khususnya yang disampaikan oleh
Kantor Atase Pertahanan (Athan) KBRI Den Haag tertanggal 18
Desember 1998 -- ditandatangani Athan KBRI, Kol. Laut (E)
Ir. Wahyudi Widajanto, MSc -- diungkapkan antara lain:
Adanya informasi ihwal mulai tumbuhnya "embrio" kelompok RMS
di Indonesia, khususnya di Jakarta.
Selain itu, juga diungkap: Berita yang dimuat oleh Harian
Belanda "Rotterdam Dagbland" (Selasa, 11 Januari 2000) yang
intinya menyebutkan bahwa Pemerintah RMS di pengasingan
mempersiapkan diri untuk mengambil alih kekuasaan di daerah
Maluku Selatan. Pernyataan ini disampaikan oleh Presiden
RMS, F.LJ Tutuhatuwena. Dia mengatakan, bahwa upaya yang
ditempuh adalah dengan membentuk suatu struktur organisasi
yang dapat mengambil alih kekuasaan dari Jakarta.
Diinformasikan pula bahwa saat ini di Maluku telah berada
beberapa puluh penganut dan simpatisan RMS yang diharapkan
dapat merealisasikan cita-cita mereka. Skenario yang mereka
inginkan adalah pengambilalihan kekuasaan tanpa kekerasan
dengan memanfaatkan krisis ekonomi dan politik di dalam
negeri saat ini.
Untuk itu, telah dibentuk suatu kabinet bayangan dengan
tugas menjaga agar kehidupan masyarakat Maluku terus
berjalan normal apabila pemerintah di Jakarta jatuh. Tugas
berikutnya adalah melucuti dan membubarkan tentara Indonesia
yang masih berada di Maluku.
Hingga kini bantuan dari masyarakat Maluku di Belanda
adalah bantuan nasihat dan keuangan, dan belum ada
permintaan bantuan senjata dari Maluku. Selanjutnya, pada 19
Desember 1998 yang akan datang di Barneveld, Belanda akan
diselenggarakan pertemuan antara RMS dengan Badan Persatuan
Maluku sebagai pendukung RMS dengan tujuan untuk
membicarakan rencana aktivitas apa yang akan ditempuh
selanjutnya.
DALAM kaitannya dengan SK Menkeh RI No. M. 01.iZ.01.02
tahun 1983 tentang Pelaksanaan Pembebasan Keharusan Memiliki
Visa Bagi Wisatawan Asing, pihak Athan KBRI Den Haag
menganalisisnya: sebagai sesuatu yang dimanfaatkan oleh
kelompok RMS untuk menyusupkan kaki tangannya -- yang
notabene mereka kemungkinan besar tidak terdaftar sebagai
anggota kelompok RMS -- ke Indonesia untuk berkunjung.
Selanjutnya, mereka itu "menghilang" di tanah air dengan
memanfaatkan kelemahan pengawasan kita di tanah air.
Orang-orang inilah yang kemungkinan besar merupakan pioner
tumbuhnya kembali kelompok RMS di Indonesia.
Athan KBRI Den Haag juga menyimpulkan:
Kelompok RMS secara jelas telah semakin
serius, terorganisir serta terencana dalam upaya-upaya
mewujudkan cita-citanya dengan memanfaatkan situasi krisis
ekonomi dan politik di dalam negeri akhir-akhir ini.
Pergerakan simpatisan dan aktivis RMS di Den Haag ini
benar-benar memperoleh perhatian yang optimal dari KBRI Den
Haag. Dalam kawat khususnya -- bernomer 147/div.12/98 --
yang dikirimkan kepada Menlu, Menko Polkam, Mendagri,
Menhankam/Pangab dan Menkeh, KBRI Den Haag melaporkan
perihal pokok-pokok hasil pertemuan RMS di Barneveld pada 19
Desember 1998.
Disebutkannya:
- pertemuan dihadiri oleh 8 organisasi masyarakat
Maluku termasuk 'badan persatuan' yang berhaluan keras
dan merupakan pendukung utama RMS.
- pertemuan telah membentuk suatu struktur organisasi
yang dinamakan 'Kongres Nasional Maluku' dengan tujuan
utama mendukung dan memiliki tugas politik dan peralihan
kekuasaan.
- "Pemerintahan RMS" dalam pengasingan akan memberikan
senjata kepada organisasi-organisasi di Maluku yang
diharapkan akan ikut serta dalam pengambilalihan
kekuasaan apabila Pemerintah Indonesia jatuh.
- Menteri Urusan Umum RMS, J.W Wattilete yang
diharapkan akan menggantikan "Presiden RMS" Tutuhatunewa
kepada pers mengatakan bahwa perebutan kekuasaan dengan
senjata merupakan jalan terakhir kalau dengan cara damai
tidak berhasil.
- Kalau kelompok-kelompok di Maluku minta bantuan
senjata akan ditanggapi dengan serius.
- Kesempatan semacam ini tidak akan terulang lagi dan
harus dimanfaatkan.
SOAL keseriusan para aktivis dan simpatisan RMS
mewujudkan cita-citanya, sebenarnya kian jelas dengan
terjadinya berbagai peristiwa pancingan yang dilakukan
dengan cara mengusir suku Bugis Buton Makassar (BBM) yang
sudah hidup puluhan tahun di Ambon dan sekitarnya.
Hal itu terjadi pada medio November 1998 -- atau satu
bulan sebelum 19 Januari 1999 (Idul Fitri Berdarah) -- di
Kampung Hative Besar Ambon. Di basis pemberontak RMS itu,
ratusan orang Islam yang berlatarbelakang BBM diusir,
dibunuh dan seluruh rumahnya dibakar habis.
Di tengah-tengah aksi penyerangan tersebut, umat Islam
menemukan sejumlah dokumen pemberontakan RMS. Sayangnya,
dokumen diserahkan begitu saja oleh umat Islam kepada aparat
keamanan, tanpa sempat terlebih dulu mem-foto-copy.
Demikian halnya, dalam setiap peristiwa pertempuran
antara pemberontak RMS dengan masyarakat setempat, di antara
mereka kerapkali meneriakkan yel-yel seperti "Hidup RMS",
"Hidup Israel", "Anda Memasuki Wilayah RMS-Israel", atau
salam kebangsaan RMS yang berbunyi "Mena Moeria Menang".
Jauh-jauh hari sebelum itu, sebenarnya pihak berwajib di
Ambon sudah "mengendus" gerakan pemberontak RMS. Pada tahun
1989, Korem 174/Patimura -- yang komandannya waktu itu
adalah Kol. Inf. Rustam Kastor -- berhasil membongkar
jaringan organisasi RMS di Kota Ambon yang mempunyai rencana
besar. Antara lain adanya rencana membangun kekuatan
bersenjata di Pulau Seram.
Menurut Rustam Kastor, seorang mantan perwira menengah
TNI AD, yakni Letkol Inf (Purn) Ony Manuhutu (Jakarta)
dilibatkan untuk menuntaskan rencana sekaligus memimpin
kekuatan bersenjata di lapangan. Dalam kaitan ini, gudang
senjata TNI milik Lantamal di Ambon siap diserbu dan
dibongkar untuk diambil senjata serta amunisinya. Untuk itu,
sudah disiapkan dukungan dari seorang bintara penjaga gudang
amunisi tersebut.
Persiapan pemberontakan juga tampak dari ditemukannya
senapan jenis karaben beserta sejumlah amunisi di sebuah
gereja tua pada benteng Amsterdam, di Desa Hila Kaitetu.
Kepada penulis yang mengunjungi lokasi tersebut (Maret
1999), sejumlah saksi mata mengatakan, penemuan itu
sebenarnya tak diduga tatkala terjadi bentrokan antara
pemberontak RMS dengan masyarakat setempat.
Usaha penggalanan dana dan senjata untuk pemberontakan
RMS, juga diakui oleh Presiden RMS di pengasingan yaitu
Dokter Tutuhatunewa (76). Dia mengakui mengucurkan dana
perang ke Maluku. Meski tak bersedia menyebut jumlah dana
yang disampaikannya ke Ambon-Maluku, tapi dana itu sudah
diserahkan kepada kelompok tertentu (Tempo edisi 26 Desember
1999).
Selain itu, Tempo juga menyebutkan pada Agustus 1999
aparat keamanan menemukan uang sejumlah Rp 500 juta dari
lima penumpang Kapal Bukit Siguntang yang berlabuh di
Pelabuhan Ambon. Uang tersebut dikemas dalam ratusan amplop
dengan tertulis nama organisasi "Satu Bantu Satu,
Maluku-Netherland". Menurut keterangan Imam Besar Mesjid Al
Fatah Ambon, KH Abdul Aziz Arby, Lc., organisasi tersebut
diduga punya hubungan dengan sebuah organisasi di daerah
Ciledug, Jakarta.
Sejumlah nara sumber penulis di Ambon dan Maluku Utara
menyebutkan, gerakan RMS diduga kuat memperoleh dukungan
dari pihak Yahudi Israel. Disebutkannya, dalam internet
beberapa waktu lalu, sempat ada situs RMS yang menampilkan
artikel terbitan Israel yakni United Israel Bulletin (UIB).
Buletin itu mengungkapkan harapan RMS untuk mendapat
dukungan dari Israel.
Koresponden UIB di PBB, David Horowits -- dalam terbitan
musim panas 1997 -- menulis: mayoritas pendukung RMS memang
dekat dengan Yahudi-Israel. Selama beberapa kali peringatan
hari kemerdekaan RMS di Maluku, bendera Israel bersama
emblem AS dan Belanda dipadukan dengan emblem RMS.
RMS juga punya hubungan dengan gerakan serupa di Timtim.
Buktinya, di situs Djangan Lupa Maluku: www.dlm.org. dapat
dijumpai naskah proklamasi RMS yang dibacakan pada tahun
1950 dan ditandatangani JH Manuhutu serta A Wirisal.
Salah satu berita yang menarik yang dirilis UIB -- selain
tentang persahabatan RMS dan Israel -- juga artikel itu
mengungkapkan hubungan antara RMS dan pergerakan di Timtim
yang dipimpin Jose Ramos Horta. Menurut David Horowits,
ketika Horta menerima Nobel, saat itu salah satu menteri
RMS, Edwin Matahelumual mengirim surat kepada Horta.
Pada harian De Volkskrant (edisi 12 Januari 2000)
dilaporkan di halaman depan, RMS mengumpulkan dana dari
orang-orang Maluku di Belanda. Dana itu untuk membeli
senjata guna membantu "saudara-saudara Kristen" di Maluku.
Melalui jaringan internasional, tulis harian De
Volkskrant, dana yang terkumpul tersebut akan dibelikan
senjata yang selanjutnya dikirim ke Maluku Tengah melalui
Filipina Selatan.
Harian Brabants Dagblad (edisi 17 Desember 1999)
memberitakan pertemuan lima wakil pemerintahan RMS di
pengasingan oleh Presiden Abdurrahman Wahid. Mengutip ketua
delegasi, Otto Matulessy, harian itu menyatakan, Presiden
Abdurrahman Wahid menghendaki partisipasi masyarakat Maluku
di Belanda, terutama pemerintah pengasingan RMS, untuk
membantu membangun Maluku.
Kita tentunya menjadi 'bingung' mengetahui sikap
Abdurrahman Wahid yang menerima perwakilan RMS tersebut. Ya,
sama 'bingung'-nya kita dengan tidak adanya pernyataan resmi
dari pemerintahan Abdurrahman Wahid-Megawati untuk
menyebutkan ihwal terjadinya pemberontakan RMS di
Ambon-Maluku. Bukankah fakta-fakta sudah jelas dan
bukti-bukti awal sudah ada yang bisa disimpulkan perihal
terjadinya suatu pemberontakan RMS?
Sikap pemerintah dalam kasus Ambon-Maluku ini benar-benar
"aneh bin ajaib" sekaligus diskriminatif. Ketika terjadi
kasus peledakan mesjid Istiqlal dan terungkapnya kasus
kelompok AMIN di Bogor, pemerintah begitu mudahnya
menyatakan ada gerakan untuk mendirikan negara Islam
sekaligus mengganti dasar negara Pancasila. Padahal
bukti-buktinya tidak ada.
Sedangkan dalam kasus Ambon-Maluku, pemerintah "diam
seribu bahasa". Bahkan umat Islam yang melakukan penumpasan
terhadap para pemberontak RMS, justru disalahkan.
Laporan-laporan temuan dokumen pemberontakan RMS -- baik
yang disampaikan umat Islam maupun aparat keamanan level
lapangan -- ternyata tidak digubris.
Bahkan opini yang kemudian dilontarkan serta
ditumbuhsuburkan ke publik adalah rumor tentang adanya
campur tangan "Cendana" beserta kroni-kroninya, oknum
TNI/Polri, dan kalangan status quo.
Para pengamat yang semestinya berpikir objektif dan
proporsional, ternyata tak jauh berbeda dengan perilaku elit
politik. Mereka menyoroti persoalan Ambon-Maluku dari
perspektif rumors. Kalaupun ada, sekadar menengoknya dari
segi sosiologi, ekonomi, sosial, pendidikan dan politik
seperti rebutan jabatan di struktur pemerintahan.
Para pengamat, boleh jadi, bisa mengungkapkan analisisnya
-- hingga mulutnya berbusa -- namun sebenarnya yang terjadi
di lapangan tidaklah semacam itu. Substansi kualitatif
analisis dan asumsi pengamat seperti soal kesenjangan sosial
ekonomi, itu pada dasarnya hanyalah 'muatan' yang menumpangi
akar masalah sesungguhnya dalam kasus Ambon-Maluku.
Ya, tak jauh bedanya dengan asumsi kasus pembantaian
terhadap umat Islam di Poso, Sulawesi Tengah beberapa waktu
lalu. Saat itu bahkan hingga kini, di tengah masyarakat
'tersebar' asumsi adanya kesengajaan oknum militer untuk
mengacaukan situasi, lalu ketika masyarakatnya mengungsi,
maka mereka pun melakukan penjarahan seperti kayu ebonit
atau kayu hitam. Padahal kenyataannya -- berdasarkan fakta
di lapangan -- tidaklah demikian. Jika pun ada yang berbuat
semacam itu, sekadar oknum dan jumlahnya pun sedikit.
Yang semestinya dilihat oleh para pengamat, elit politik
atau pejabat pemerintahan adalah fakta di lapangan -- alias
di tengah konflik tersebut -- yakni adanya 'benang merah'
pemberontakan RMS, baik di Ambon, Tual (Maluku Tenggara),
Maluku Utara, dan Poso.
Adanya rencana dan realisasi sistematis penyebaran "virus
pemberontakan RMS", diakui pula oleh Ketua Forum Komunikasi
Kerukunan Antar Umat Beragama Maluku Utara, Abdul Gani, MA.
Dikemukakannya, jauh-jauh hari sebelum terjadinya kasus
pembantaian terhadap umat Islam oleh komunitas pemberontak
RMS di Tual, Ternate, dan Halmahera (Maluku Utara), sejumlah
tokoh Islam di MUI sudah mengingatkan masyarakat setempat
karena saat itu, ada beberapa fenomena 'aneh tapi nyata'
yang berkaitan dengan 'pemanasan' situasi di tengah
masyarakat yang sebelumnya sudah rukun.
Di Tual (Maluku Tenggara), Halmahera dan Ternate (Maluku
Utara), umpamanya, mulai didatangi para pengungsi asal
Ambon. Di antara pengungsi itu, ternyata ada sejumlah
provokator dari kalangan RMS. Mereka menyebar isu adu domba
dan menumbuhsuburkan fitnah kepada umat Islam, yang
sebenarnya masih ada hubungan darah seperti yang terjadi di
daerah Halmahera (Tobelo, Galela, Kao, Malifut, Ternate, dan
sekitarnya). Nyatanya, benar, beberapa saat kemudian
terjadilah aksi kerusuhan dan pembantaian terhadap umat
Islam.
Sebaliknya, ada fakta yang menunjukkan tidak semua daerah
di Ambon bisa terkena "virus pemberontakan RMS". Ini bisa
disaksikan langsung di daerah Wayame -- dekat Poka (tempat
pembantaian terhadap umat Islam pada Juli 1999) -- di lokasi
itu hidup rukun umat Islam dan umat Kristen. Hingga kini
mereka tetap akrab, tidak saling menyerang. Bila malam hari,
mereka sama-sama berjaga-jaga di pos keamanan lingkungan
(kamling).
Di tengah malam yang cukup dingin itu, terkadang di
pos-pos kamling mereka menyanyikan lagu-lagu pujian
agamanya, sedangkan umat Islamnya 'tenang-tenang' saja
bersenandung shalawat badar atau nasyid islami. Tak ada
pertengkaran. Bahkan di daerah itu ada sebuah mesjid dan
beberapa gereja, yang masih utuh. Bila hari Jumat atau
Minggu tiba, warga setempat pergi ke mesjid dan yang lainnya
pergi ke gereja.
Mengapa mereka bisa rukun? Menurut tokoh Islam setempat
-- yang juga anggota DPRD Maluku -- ustadz H Muhammad
Kasuba, MA, di Wayame ada sejumlah tokoh Kristen yang
dikenal sebagai pendeta. Mereka membuat kesepakatan dan
menyatakan tidak mau melakukan pembantaian terhadap umat
Islam -- yang notabene jumlahnya sangat minim di daerah
terebut -- karena menyadari kekeliruannya bila mengikuti
ajakan para provokator pemberontakan RMS. Meski berkali-kali
dibujuk rayu, para tokoh Kristen dan warga Kristen di daerah
itu menolak bergabung dengan para pemberontak RMS.
Fakta-fakta -- lapangan -- yang tak terbantahkan ini,
ironisnya dianggap 'angin lewat' saja. Bukti-bukti awal yang
mengarah pada kesimpulan terjadinya pemberontakan RMS, sama
sekali tidak diperhitungkan dan di-cuekin terus-terusan oleh
pemerintah.
Hampir semua pejabat pemerintah RI sekarang menderita
'sariawan' stadium berat, sehingga tidak bisa membuat
pernyataan jujur bahwa di Ambon dan Maluku telah terjadi
tindakan subversif atau makar dari sejumlah orang yang ingin
mendirikan Republik Maluku Sarani atau Republik Maluku
Selatan (RMS).
Sungguh, dunia memang -- boleh saja -- terbalik, namun
kebenaran tidak bisa dibalikkan. Para elit politik boleh
berakrobat membalikan akar masalah di Ambon-Maluku, tapi
tetap saja 'masalahnya' tak akan selesai.
Karenanya, cepat atau lambat, kebenaran terjadinya
pemberontakan RMS di Ambon-Maluku akan terungkap. Ya,
setidaknya bila pemerintahan Negara Kesatuan Republik
Indonesia (NKRI) kelak dipimpin oleh orang-orang yang jujur,
menegakkan shalat, ber-akhlaqul karimah, pikirannya sehat
dan tidak terkooptasi oleh musuh-musuh Islam.
Achmad Setiyaji adalah wartawan HU "Pikiran Rakyat", pernah
melakukan kunjungan jurnalistik ke kawasan Ambon dan Maluku
Utara (medio 1999-awal 2000). Tulisan ini sebagai suplemen
wacana umat atas makalahnya berjudul "Ribuan Umat Islam
Indonesia Menjadi Korbannya: Tangan-tangan Yahudi di Ambon
dan Maluku", yang disampaikan dalam forum "2nd International
Muslim Lawyers Conference" di Postdam, Jerman (3-6 Maret
2000) dan di beberapa tempat lainnya di Jerman serta
Malaysia (HU "PR", 18/3 '2000).
|