Mengenai Peristiwa Ambon | |
|
Kesaksian Korban Kebiadaban Kaum Kafir di Maluku Kebiadaban massa Kristen terhadap umat Islam di Maluku memang sungguh keterlaluan. "Ini merupakan peristiwa keji yang lebih sadis dari apa yang dilakukan PKI," tegas Camat Galela, Drs. Ichwan Marzuki (Republika, 5/1). Dibawah ini hanyalah segelintir dari saksi hidup yang berani memberi kesaksian seputar kekejaman umat Kristen di Maluku. Mufli M. Yusuf (15 th) SMP Al-Khairat Kelas III, Desa Popelo, Tobelo: Rabu, (21/12/99) pk.09.00 WIT. Orang-orang Kristen dari Kampung Kusur Telaga Panca, dan Kao menyerang Desa Togolihua yang Muslim. Kami, ribuan umat Islam, berlindung ke Masjid al-Ikhlas. Masjid dikepung lalu di bom (bom pipa rakitan, menunjukkan bahwa pihak Kristen sudah mengadakan persiapan sebelumnya). Orang-orang kafir itu juga memanah ke dalam Masjid dengan panah yang telah dilumur darah babi. Sebagian dari mereka melempari Masjid dengan batu-batu besar hingga banyak tembok Masjid yang bolong. Kami yang ada di Masjid --kebanyakan anak kecil dan ibu-ibu-- akhirnya menyerah setelah satu jam di gempur perusuh Kristen. Orang-orang kafir itu lalu menyerbu ke dalam Masjid, lebih dari 500 orang Islam lari keluar Masjid. Ada yang masuk hutan, ada pula yang menyerah. Tubuh saya berlumur darah, mungkin sebab itu mereka mengira saya sudah mati. Di sekeliling saya ada banyak sekali, sekitar 600 orang, syahid dengan kondisi amat menyedihkan. Dalam penyerangan itu, saya lihat banyak muslimah yang ditelanjangi orang Kristen. Walau para muslimah itu berteriak-teriak minta ampun, tapi dengan biadab mereka diperkosa beramai-ramai di halaman Masjid dan di jalan-jalan. Setelah itu mereka di bawa ke atas truk, juga anak-anak kecilnya, katanya mau dipelihara oleh orang Kristen. Para muslimah yang tidak mau ikut langsung dicincang hidup-hidup. Orang kafir itu saling berebutan mencincang bagai orang berebutan mencincang ular. Seorang muslimah digantung hidup-hidup lalu dibakar. Pukul 13.00 WIT, perusuh Kristen itu membakar habis Masjid dengan lebih 600 tubuh syuhada didalamnya. Saya yang penuh luka bakar dengan susah payah keluar dari Masjid lewat tembok yang bolong. Saya mencari orang Islam yang masih hidup, tapi tidak ada. Semua rumah penduduk Muslim juga sudah terbakar. Saya akhirnya bertemu dengan seorang Polisi Muslim dan dibawa ke Polsek. Saya dirawat selama tujuh hari bersama korban yang lain. Dan kini saya berada di suatu tempat di Ternate. Ibu Musriah (40 th) Pengungsi asal Makian Talaga: Saya juga berlindung di Masjid yang sama. Lebih dari 50 laki-laki Muslim dicincang termasuk suami saya. Bagian belakang kepala saya juga mereka tebas dengan golok, tapi alhamdulillah saya masih hidup. Telapak tangan saya ini ditembus panah. Saya dan tiga orang anak lainnya diselamatkan aparat Muslim. Ibu Nurain (20 th): Suami saya, Asnan Awal, telah syahid dibunuh orang kafir. Saya sendiri dalam peristiwa yang sama kena panah di panggul kiri. Di dalam Masjid, ibu-ibu dan anak-anak kecil banyak yang ketakutan. Saya lihat dengan mata kepala saya sendiri, banyak anak-anak usia balita diambil oleh orang Kristen dengan paksa. Saya memohon dengan lemah agar saya dan anak saya yang masih kecil (3 th) jangan dibunuh. Akhirnya bersama enam Muslimah lainnya, saya diikatkan kain merah di kepala dan di masukkan ke atas truk. Kami melewati Desa Kupa-Kupa, di Desa Usosiat, anak saya diambil dan diserahkan ke rumah pendeta. Saya waktu di Masjid juga melihat ada seorang Muslimah yang masih gadis dibakar hidup-hidup gara-gara tidak mau melayani syahwat orang kafir itu. Ibu Yani Latif (17 th): Suami saya telah syahid. Anak saya, yang masih bayi, Nita (13 bulan) diambil orang Kristen. Dengan truk saya juga dibawa ke Desa Kupa-Kupa, tapi saya melarikan diri dan kembali ke Togolihua. Masjid al-Ikhlas telah jadi puing dengan tumpukan mayat yang telah hangus terbakar. Syahnaim (25 th): Dua anak saya yang berusia enam dan tujuh tahun diambil orang Kristen. Sedang adiknya, Awi (2 th) dicincang mereka hingga syahid. Saya melihat sendiri, bagaimana sadisnya Bahrul (32 th) dibunuh orang kafir. Mayatnya disalib, dan naudzubillah, kemaluannya dipotong. Lalu potongannya itu disumpalkan ke mulut mayatnya. Seorang anak balita, Saddam (5 th) digantung lalu dibelah dari atas ke bawah seperti ikan. Nenek Habibab (80 th) digantung di pohon jeruk yang diikat dengan rambutnya di pohon lalu dicincang. Hamida Sambiki (18 th): Muslimah ini diambil paksa oleh orang Kristen dari Masjid An-Nashr Desa Popelo. Ayahnya yang berusaha menahan dibantai. Para perusuh Kristen merencanakan mau mengawinkan Hamida dengan anak pendeta di Tobelo. Namun oleh seseorang yang mengaku keluarga Nasrani, Hamida berhasil diselamatkan ke Polsek Tobelo. Hamida saat di Masjid An-Nashr melihat pembantaian umat Islam oleh perusuh Kristen. Munir (25 th) dibakar hidup-hidup dan mulutnya disumpal kotoran manusia, Haji Man (70 th) dipenggal lalu kepalanya yang sudah terpisah dengan tubuhnya itu ditusuk dengan panah dan dibuat mainan diputar-putar di dalam Masjid. Hamida juga melihat bagaimana seorang Muslim, Malang (50 th), dibunuh secara sadis. Kemudian jantungnya diambil. Orang kafir yang mengambil jantungnya berkata, "Ini buat hadiah lebaran" Ridwan Kiley (29 th) dan Ibu Rahmah Rukiah: Keduanya penduduk Desa Lamo, Kecamatan Galela. Menuturkan kesaksiannya, setelah selamat dari 'neraka' pembantaian orang Kristen di Galela (26/12), di Islamic Centre, Ambon, seperti dikutip dalam Republika (5/1). Pada Ahad sore (26/12/99), Kecamatan Galela yang didiami mayoritas Muslim diserang massa Kristen dari tiga Kecamatan mayoritas Kristen: Loloda, Ibu, dan Tobelo. Penyerangan di Galcia, juga menimpa Desa Lamo. Pukul 14.00 siang lebih dari 7.000 massa Kristen menyerang. Sekitar 200 warga Muslim Desa Lamo bertahan. Perlawanan itu dipimpin Imam Masjid Nurul Huda, Ds. Lamo, H. Djailani. Saat itu, massa Kristen memotong puluhan ekor babi disepanjang kampung dan darahnya dilumuri ke senjata-senjatanya. "Wanita-wanita mereka juga bertelanjang dan menari-nari di sepanjang kampung," kata Ridwan dan Ibu Rukiah. Tak berapa lama, serangan serentak dilakukan dan Desa Lamo dikepung. Dalam pertempuran, Imam Djailani menemui syahid. Dengan sadis mayat Imam Djailani di salib dan ditempatkan di perbatasan Desa Lamo dan Kampung Duma. Setelah beberapa jam tergantung di tiang salib, baru pada malam harinya mayat Imam Djailani diturunkan dan dikuburkan oleh warga Muslim yang berhasil menyelamatkan diri. Imran S. Djumadil (37 th), Muslim Ternate: Awalnya adalah serangan orang Kristen terhadap umat Islam di bulan Oktober 1999 di Ternate, bisa jadi merupakan rembesan dari kasus Ambon. Sepekan setelah penyerangan itu, 13 November, saya di datangi pasukan Sultan Ternate, Mudafarsyah. Sultan itu beristeri tiga, ada yang Islam ada yang Kristen hingga akidah Mudafarsyah tak jelas. Sultan menyusun daftar nama seratus orang Islam Ternate yang akan dihabisi. Disamping kebenciannya terhadap Islam, Sultan amat berambisi untuk jadi Gubernur Maluku Utara. Untuk itu, semua orang Islam yang berpengaruh harus dihabisi. Pada 13 November 1999 siang, saya ada di rumah. Tiba-tiba datang lima belasan orang pasukan Sultan lengkap dengan golok dan atributnya hendak menculik saya. Namun batal disebabkan warga sekitar dengan cepat menolong saya. Pasukan Sultan dikenal dengan istilah Pasukan Kuning. Sejak itu saya yang tergabung dalam Jamiatul Muslimin kian sulit berdakwah. Keamanan tidak ada lagi di Ternate. Saya keluar dari tempat kerjaan karena bosnya ditekan Sultan. Akhirnya saya berencana untuk bawa isteri dan anak saya-tiga orang, yang terkecil 5 th dan terbesar 10 th-ke Jakarta. Pada 20 November, saya mengantar keluarga ke pelabuhan, berangkat dengan KM. Lambelu. Pukul 16.30 waktu setempat, kami meluncur ke pelabuhan Ahmad Yani. Ternyata disana sudah siap seratusan Pasukan Kuning lengkap dengan golok. Di pintu masuk pelabuhan saya dikepung. Aparat keamanan yang ada di sekitar tak berbuat apa-apa. Saya langsung dibawa ke pendopo Keraton Sultan Ternate. Anak-anak saya saat itu sudah naik kapal bersama neneknya. Isteri saya tidak berangkat. Sampai di Pendopo, sekitar dua puluh menit mereka bersitegang, apa saya akan di bawa ke Pendopo atau dibawa ke tempat lain. Saya sendiri sudah bertawakal pada Allah, merasa ajal sudah dekat. Di Pendopo saya dikelilingi ratusan Pasukan Kuning. Mereka histeris, bernafsu sekali ingin mencincang saya. Lalu, anak perempuan Sultan, keluar dan berkata, "Jou (bahasa Ternate, artinya 'Yang Dipertuan') suruh Imran dibawa ke batalyon." Saya segera diseret ke instalasi Militer Yon 732 Ternate. Entah kebetulan atau memang sudah direkayasa, hari itu semua tentara yang piket beragama Kristen. Begitu saya digelandang masuk, dua orang tentara mengejek, "O, ini orangnya yang mendanai kerusuhan dengan uang 300 milyar!" Perasaan takut saya langsung hilang, saya malah ketawa mendengar fitnah yang malah terasa lucu. Kredit saya di bank saja belum lunas, bagaimana saya punya uang 300 milyar? Jika saya ada uang begitu besar, mungkin saya tidak tinggal di Ternate. Ada pula yang bilang, "Kamu ini yang menghina komandan Batalyon!" Saya padahal tidak tahu siapa komandan batalyon atau pun wakilnya. Ternyata setelah belakangan saya ketahui bahwa komandannya seorang Katholik. Tanpa banyak bicara, saya akhirnya langsung disiksa. Sepuluh orang bergantian menyiksa. Dari Pasukan Kuning ada empat orang, dan tentara dari Yon 732 enam orang, semuanya kafir. Sekujur tubuh saya dipukul dengan popor senjata M-16 dan tendangan sepatu lars. Baju saya compang-camping penuh berlumur darah. Mereka juga menggunakan tang untuk mencabut kuku jari saya, tapi alhamdulillah tidak bisa. Lalu mereka ambil korek api. Dinyalakan dan dimasukkan ke dalam mulut saya. Api yang berkobar itu menghanguskan bibir saya. Belum puas dengan itu, orang-orang kafir itu menyulut tangan saya dengan rokok berkali-kali. Tendangan dan poporan senjata masih saja bertubi-tubi mendarat di tubuh. badan saya hancur. Itu dilakukan sejak pukul 17.00 sore hingga jam sepuluh malam. Semua baju saya disobek-sobek, hingga hanya celana dalam yang tersisa. Saya tidak pingsan, tapi mata saya sudah tertutup, tidak bisa melihat. Kepala saya jadi besar, bengkak-bengkak. Saya hanya bisa beristighfar pada Allah SWT. Isteri saya ketika pertama kali menjenguk bilang bahwa saya seperti Gajah Mada. Ketika keluar, dokter bilang bahwa tulang saya sudah remuk semua dan tak mungkin pulih. Tapi Maha Besar Allah, setelah di rontgen, dokter bilang bahwa tak ada satu tulang pun patah. Beberapa orang yang menjenguk saya pingsan karena tidak tahan menyaksikan keadaan diri saya yang tidak karuan wujudnya. Mengerikan. Banyak yang menganggap bahwa saya sudah meninggal. Dari omongan para penyiksa itu, saya bisa dengar bahwa mereka berniat mau menghabisi saya pagi harinya. Namun Alhamdulillah, isteri saya dan teman-temannya berusaha agar saya bisa dikeluarkan. Mereka menghubungi Sultan Bacan dan Komandan KODIM. Komandan KODIM tidak ada, digantikan wakilnya, yang menggantikan adalah teman saya, Pak Slamet. Dia itulah yang menghubungi Polres untuk mengirim satu truk pasukan Brimob dari Kalimantan ke Yon 732. Akhirnya saya bebas sekitar jam dua malam. Saya yang hanya bercelana kolor dikembalikan ke rumah. Esoknya saya dirawat di RSU Ternate selama tiga hari, tapi karena keadaan tidak aman, saya dilarikan ke salah satu Kabupaten di Tidore. Di sana saya diobati secara tradisional, sekitar 18 hari. Hari ke-20 saya diloloskan dengan KM. Ciremai untuk diobati di Jakarta. Tanggal 20 Desember 1999 saya tiba di Jakarta, pukul 12.00 wib. Pada hari yang sama, jam 15.00 wib, saya diterima oleh Presiden Gus Dur dan Wapres Megawati. Saya yang tadinya berharap banyak pada pemimpin bangsa itu malah jadi pesimis. Betapa tidak, ketika saya diperkenalkan oleh Thamrin Amal Tomagola-Sosiolog UI-kepada mereka, "Inilah salah satu korban kebiadaban yang ada di Maluku Utara, yang dilakukan oleh orang-orang Kristen di sana." Saya berharap ada sedikit empati akan nasib saya dengan menanyakan bagaimana kesehatan saya selama ini. Tapi ternyata tidak. Gus Dur mungkin tidak bisa melihat kondisi saya, tapi Megawati yang terang-terangan melihat saya ternyata hanya diam saja. Mega sama sekali tidak menanyakan saya. Saya kecewa dengannya. Saya akhirnya berkumpul dengan keluarga di pengungsian di Jakarta dengan kondisi seadanya. Saya hanya bisa berdoa pada Allah agar saudara-saudara saya di Maluku bisa selamat, "Ya Allah, tunjukanlah bahwa yang haq itu haq dan yang bathil adalah bathil." * Rizki Ridyasmara Sumber: Tim Investigasi Pos Keadilan Peduli Ummat Ternate. Date: Mon, 17 Jan 2000 14:28:30 +0700 From: Abdul Azis Al Bakar <azis@ksei.co.id> From: Afiat Hidayatullah Sent: Monday, January 17, 2000 2:08 PM |
|
Program Kerja | Koleksi | Anggota | Indeks Artikel |