Mengenai Peristiwa Ambon | |
|
http://www.ummat.co.id/ummat/No.35_IV_15mar99/utama2.htm Dengan Tinta Darah Muslim Ambon Sebuah kisah pembantaian keluarga Muslim. Pelakunya dikenali saksi korban. Aminah tak akan pernah lupa pada peristiwa di Subuh itu. Dengan mata kepala sendiri, gadis 12 tahun itu melihat ayah tercintanya dibantai secara keji. Tubuh Kaimuddin, sang ayah, hari itu (Selasa, 2/3) tergeletak di halaman rumah. Sepasang tangan dan kepalanya terpisah dari badannya. Sementara di punggung lelaki 36 tahun itu, sebatang anak panah menancap kuat. Darah berceceran ke bumi bagai kuah sayur tumpah dari panci. Merah. "Saya tahu siapa yang membunuh Ayah. Mereka bernama Markus dan Pieter," tutur Aminah, yang ditemui UMMAT di Mesjid Al Fatah, Ambon, tempat ia bersama keluarganya mengungsi. Aminah yakin tak keliru dengan penglihatannya tersebut. Sebab, kedua orang itu masih tetangganya di Kampung Ganemo, Kalurahan Kuda Mati, Kecamatan Nusawine. "Mereka sering terlihat di sana." Pada malam itu keluarga Kaimuddin tengah tertidur nyenyak. Aminah bersama ibu dan tiga adiknya--Muhammad (10 tahun), Noni (4 tahun), Murni (4 tahun)-- tidur di kamar dalam. Sedangkan Kaimuddin, terlelap di ruang depan. Barangkali sambil berjaga-jaga--di kampung berpenduduk 95% Kristen itu. Tapi takdir telah dituliskan. Sekelompok pemuda dengan wajah disaput cat tiba-tiba menerobos ke dalam rumah. Kaimuddin tak sanggup mengelak. Lelaki yang cacat kaki kirinya itu langsung diseret keluar. Istri dan anak-anaknya sempat menyelamatkan diri lewat pintu belakang. "Saya berteriak-teriak, tapi Ayah tak bisa menyelamatkan diri," kisah Aminah dengan berurai air mata. Seraya berlindung di balik timbunan batu, Aminah menyaksikan ayahnya digelandang ke halaman. Lalu tubuh tak berdaya itu dicincang bagai binatang dengan berbagai senjata tajam. Kelompok pemuda itu bagai kehilangan kewarasan dalam memperlakukan Kaimuddin. Sesudah semuanya selesai, inilah yang terjadi pada pria malang itu: dahi terbacok, punggung tertusuk anak panah, kedua tangan putus, kepala terpisah dari tubuh. Apakah dosa Kaimuddin? Apakah karena ia keturunan suku Buton? "Tapi kami dilahirkan di sini," tegas Aminah. Kaimuddin memang telah bertahun-tahun tinggal di Pulau Manise itu. Ia mencari nafkah dengan berdagang kecil-kecilan di Pasar Mardika. Tapi, sedikit kekayaannya itu musnah ditelan kerusuhan pada 19 Januari silam. Kini Kaimuddin bukan hanya kehilangan harta-bendanya. Kesuraman masa depan bagai membentang di depan mata Aminah, Muhammad, Noni, dan Murni. Nasib serupa juga menimpa Mansyur (9 tahun) dan Suratman (2 tahun). Kakak-beradik warga Kampung Kopertis, Kalurahan Ahuru, ini harus menanggung derita tak terperikan menyusul pembantaian terhadap ayah, ibu, dan tiga saudaranya. Lagi-lagi, di depan mata kepala mereka sendiri. Pada Ahad dua pekan lalu, Mansyur bermaksud menuju ke jalan raya yang berjarak sekitar 200 meter dari rumahnya. Di tengah jalan, ia berpapasan dengan sekelompok pemuda. "Kamu bernama Markus?" tanya mereka. Ia menggeleng, seraya menyebut namanya sendiri. Lalu gerombolan itu menanyakan di mana ia dan keluarganya bersembahyang? "Saya shalat di mesjid." Berdasarkan penuturannya kepada UMMAT, gerombolan pemuda itu langsung menuju rumahnya. Mansyur curiga. Ia pun bergegas mengikuti jejak para pemuda tersebut. Begitu mendekati rumah, Mansyur bersembunyi di balik pohon. Dan matanya membelalak melihat ayah (Uddin Ummacina), ibu (Siti Namlea), serta tiga kakaknya (Hasan, Husin, Rohima) sudah disiksa habis-habisan. Kedua tangan mereka diikat dengan tali. Tubuh mereka dicabik-cabik dengan pisau dan tombak. Mereka kemudian digelandang ke sebuah kandang babi milik warga Ahuru yang berjarak dua kilometer dari rumahnya. Entah kerasukan setan apa, gerombolan pemuda itu membantai lima anak manusia yang mualaf sejak 1997 tersebut dengan sadistis. Tanpa ampun. Lalu tubuh-tubuh tak bernyawa itu dilemparkan keluar kandang. Tapi Tuhan Maha Kuasa. Dia tak membiarkan Mansyur menanggung derita itu seorang diri. Suratman, adiknya yang baru berusia dua tahun, berhasil diselamatkan Johny--kerabat tirinya. Mansyur kini diamankan di Polres Parigi Lima. Anak ini terkesan masih polos dengan tragedi yang menimpanya. Entah kapan ia bakal memahami bahwa bersama adiknya kini mereka harus berjuang sendirian menghadapi masa depan. Namun masa depan itu sendiri masih terpuruk di bayang-bayang teror. Sebuah kisah pembersihan Muslim yang mirip dengan tragedi Bosnia kini tengah ditulis. Bedanya, kisah itu ditulis dengan tinta dari darah kaum Muslim Maluku. Kelak, setelah mereka dewasa, Aminah, Mansyur, dan Suratman mungkin akan membaca kisah itu dengan rasa heran yang tak kunjung terjawab: mengapa saudara-saudara sebangsanya itu, hanya karena berbeda cara menyembah Tuhan, bisa bertindak sekeji itu. Tulus Widjanarko & Silahuddin Genda (Ambon). |
|
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota | Indeks Artikel |