Mitos atau Realitas | |
|
HUKUM ISLAM: JALAN YANG LURUS (2/2) Hukum Islam memberikan cetak-biru masyarakat yang baik, ideal Islam. Karenanya, Syari'ah atau Jalan Tuhan merupakan serangkaian prinsip umum, arah, dan nilai-nilai yang diwahyukan Tuhan untuk membangun peraturan dan cara-cara yang rinci yang pada gilirannya diterapkan oleh para hakim (qadhi) di pengadilan-pengadilan agama. Ruang lingkup hukum Islam sangat lengkap, mencakup peraturan-peraturan yang mengatur ibadah dan memberikan batasan norma-norma sosial masyarakat. Yang merupakan pusat agama adalah lima pilar (Rukun Islam; penerjemah) atau tugas utama yang diwajibkan atas semua orang beriman. 1. Syahadat merupakan tanda masuknya seseorang kedalam masyarakat Islam: "Tidak ada tuhan kecuali Allah dan Muhammad adalah utusan Allah." 2. Shalat lima kali sehari pada waktu-waktu yang telah ditentukan, dan melaksanakan shalat Jumat. 3. Zakat, dua setengah persen dari kekayaan seorang Muslim, yang harus dibagikan kepada orang miskin bukan karena kedermawanan tetapi sebagai kewajiban agama setiap Muslim kepada saudara-saudara seagamanya yang kurang beruntung. 4. Puasa sejak subuh hingga menjelang malam selama satu bulan dalam bulan Ramadhan. 5. Menunaikan ibadah haji ke Makkah paling sedikit sekali seumur hidup, suatu tugas yang diwajibkan kepada semua Muslim yang mampu dan mempunyai sumber keuangan yang cukup untuk melakukannya. Lima pilar itu merupakan penggabungan antara tanggung-jawab individu, kesadaran sosial dan kesadaran kolektif atau keanggotaan dalam masyarakat Islam yang lebih luas. Dimensi sosial hukum tersebut tercakup dalam serangkaian peraturan atau norma yang mengatur keluarga, kriminalitas, kontrak, dan hukum intemasional. Di sini secara khusus dapat dilihat pengaruh Islam baik terhadap kehidupan pribadi maupun umat. Peraturan yang lengkap mengatur perkawinan, poligami, perceraian, harta waris, pencurian, perzinaan, minum-minuman keras, dan masalah-masalah peperangan dan perdamaian. Hukum Islam memiliki kesatuan pokok. Ia mencerminkan keragaman konteks geografis, dan juga perbedaan-perbedaan yang menyangkut interpretasi atau penilaian manusia. Maka, hukum Islam tidak kaku dan tidak tertutup, tetapi justru mewujudkan kedinamisan, fleksibilitas, dan keanekaragaman. Di tangan para ahli hukum (mufti) yang mengabdi sebagai penasihat dalam pengadilan, hukum tersebut tetap tanggap terhadap lingkungan yang baru. Interpretasi mereka (fatwa) baik dalam hal-hal hukum maupun yang menyangkut hal-hal baru, seringkali membimbing kearah keputusan pengadilan. Namun, pada abad ke-10, hukum Islam memang cenderung menjadi lebih kaku karena banyak ahli hukum menyimpulkan bahwa pokok-pokok hukum Tuhan telah dilukiskan secara memadai dalam teks-teks hukum. Dengan demikian ada kecenderungan untuk membatasi interpretasi yang substansif (ijtihad) dan menekankan kewajiban untuk mengikuti (taqlid) saja teks-teks hukum Islam. praktek-praktek atau doktrin-doktrin baru dituduh sebagai menyimpang (bid'ah) dari hukum Tuhan. Inovasi yang tidak mempunyai jaminan kerap disebut sebagai bid'ah. Akibatnya, perbedaan antara hukum Tuhan yang yang abadi yang ada dalam wahyu dan banyak peraturan hukum yang merupakan hasil penalaran manusia yang tak luput dari kesalahan atau adat-istiadat setempat, menjadi kabur dan dilupakan. Masalah hukum Islam dan perubahan menjadi isu utama pada abad ke-19 dan 20, ketika kaum Muslim menanggapi pengaruh modernisasi dan pembangunan. |
|
|
|
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota |