ANCAMAN ISLAM
Mitos atau Realitas

oleh John L. Esposito

ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota
| Indeks Antar Agama | Indeks Artikel | Tentang Pengarang |

 

PERADABAN ISLAM
 
Kaum Muslim  menyebarkan  agamanya.  Ternyata  mereka  bukan
hanya  orang-orang  yang  pandai  berbuat  tetapi juga rajin
belajar.  Secara   politis,   pemerintah-pemerintah   Muslim
menyadari  keterbatasan  mereka dan kemajuan banyak kerajaan
dan kebudayaan yang ditaklukkan oleh tentara-tentara mereka.
Lembaga-lembaga       lokal,       gagasan-gagasan,      dan
personil-personil   diasimilasi   dan   diadaptasi    dengan
norma-norma  Islam  agar para pembesar Islam dapat mengambil
pelajaran dari pengetahuan mereka  yang  sudah  lebih  maju.
Perpustakaan-perpustakaan     besar     serta    pusat-pusat
penerjemahan didirikan; buku-buku penting yang  berisi  ilmu
pengetahuan,   kedokteran,  dan  filsafat  Barat  dan  Timur
dikumpulkan dan diterjemahkan, seringkali  oleh  orang-orang
Kristen  dan  Yahudi,  dari  bahasa  Yunani,  Latin, Persia,
Koptik, Syria, dan Sanskrit ke  dalam  bahasa  Arab.  Dengan
begitu,  buku-buku  sastra, ilmu pengetahuan, dan kedokteran
menjadi lebih mudah didapat.
 
Zaman penerjemahan diikuti oleh  suatu  periode  kreativitas
besar,  karena  generasi  baru  para  ilmuwan dan ahli pikir
Muslim  yang   terpelajar   kini   membangun   dengan   ilmu
pengetahuan  yang  mereka  peroleh  dan memberikan sumbangan
mereka dalam bidang  penuntutan  ilmu.  "Proses  pengislaman
tradisi-tradisi   itu  telah  berbuat  lebih  jauh  daripada
sekadar mengintegrasikan  dan  memperbaiki.  Hal  itu  telah
menghasilkan   energi   kreatif  yang  luar  biasa.  Periode
kekhalifahan    merupakan    salah     satu     pengembangan
kebudayaan."[1] Itulah  zaman tokoh-tokoh besar filsafat dan
ilmu  pengetahuan:  Ibnu  Sina,   Ibnu   Rusyd,   Al-Farabi.
Pusat-pusat  utama belajar, dengan perpustakaan-perpustakaan
besar, bermunculan di  Kordova,  Palermo,  Nisyapur,  Kairo,
Baghdad,  Damaskus,  dan  Bukhara,  mengungguli  Eropa  yang
tenggelam dalam abad-abad  kegelapan.  Kehidupan  kebudayaan
dan  politik para Muslim dan juga non-Muslim di kerajaan dan
negara Islam dilakukan di dalam kerangka  Islam  dan  bahasa
Arab,  walaupun terdapat perbedaan-perbedaan agama dan suku.
Gagasan-gagasan dan praktek-praktek yang baru diislamkan dan
diarabisasikan.  Peradaban  Islam  merupakan produk dinamika
dan proses kreatif suatu perubahan dimana orang-orang  Islam
meminjam  kebudayaan  lain secara bebas. Hal itu menunjukkan
adanya keterbukaan dan keyakinan  diri  yang  timbul  karena
kedudukan  sebagai penguasa, bukan hamba, penakluk dan bukan
yang ditaklukkan. Berbeda dengan  abad  ke-20,  kaum  Muslim
pada  saat  itu merasa mengendalikan dan aman. Mereka merasa
bebas meminjam dari  Barat,  karena  identitas  dan  otonomi
mereka  tidak  terancam  oleh  ancaman  dominasi politik dan
kebudayaan. Mereka meminjam, tetapi mereka  juga  memberikan
warisan    kepada   Barat.   Pola   lalu-lintas   kebudayaan
sebelumnya,  berbalik  ketika  Eropa,  yang   bangkit   dari
abad-abad   kegelapan,  mengubah  pusat-pusat  belajar  kaum
Muslim      dengan      tujuan      memperbaiki      kembali
peninggalan-peninggalan   yang   hilang   dan  belajar  dari
kemajuan-kemajuan orang-orang Islam dalam bidang matematika,
kedokteran, dan sains.
 
[1]:
Marshall  G.S.  Hedgson,  The  Venture  of  Islam,  3  jilid
(Chicago: University of Chicago Press, 1974), I: 235.


ANCAMAN ISLAM Mitos atau Realitas? (The Islamic Threat: Myth or reality?) John L. Esposito Penerbit Mizan Jln. Yodkali 16, Bandung 40124 Telp. (022) 700931 - Fax. (022) 707038


| Indeks Antar Agama | Indeks Artikel | Tentang Pengarang |
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

Please direct any suggestion to Media Team