Diplomasi Munafik ala Yahudi
Mengungkap Fakta Hubungan AS-Israel

Paul Findley
(mantan anggota Kongres AS)

LIMA
PERANG 1967

Perang 1967 adalah yang ketiga dalam konflik Arab-Israel, dan yang paling sukses bagi Israel. Israel meraih semua sasaran perangnya, dan yang paling penting di antaranya adalah didudukinya seluruh tanah Palestina, termasuk Jerusalem Timur yang milik Arab, Semenanjung Sinai milik Mesir, dan Dataran Tinggi Golan milik Syria. Tidak seperti krisis Suez 1956, ketika tentangan dari Washington berhasil memaksa Israel untuk menarik diri dari wilayah yang telah direbutnya, para pejabat Israel kali ini bersikap hati-hati sekali dalam menanamkan pengertian para pejabat AS tentang posisi mereka.1 Akibatnya Israel tidak mendapatkan tekanan dari AS untuk menyerahkan hasil-hasil yang telah dicapainya. Pertempuran dimulai pada 5 Juni dan berakhir pada 10 Juni.


OMONG KOSONG

"Sama sekali tidak diragukan lagi bahwa ... pemerintah negara-negara Arab ... secara metodis mempersiapkan dan melancarkan suatu serangan agresif yang dirancang untuk menimbulkan kehancuran segera dan menyeluruh atas Israel." --Abba Eban, duta besar Israel untuk Perserikatan Bangsa-Bangsa, 19672

FAKTA

Seperti dalam perang 1956, Israel memulai pertempuran pada 1967 dengan suatu serangan mendadak atas Mesir. Sekali lagi, seperti pada 1956, orang-orang Israel memperdaya Amerika Serikat. Menteri Luar Negeri Abba Eban secara pribadi meyakinkan Duta Besar AS untuk Israel Walworth Barbour bahwa Mesirlah yang pertama kali menyerang.3 Namun sejak perang berkobar, para pemimpin Israel --tidak seperti banyak pendukungnya di Amerika Serikat4-- secara terbuka telah mengakui bahwa yang menyerang adalah Israel dan, lebih-lebih lagi, bahwa Israel tidak menghadapi ancaman langsung bagi eksistensinya.

Menachem Begin, perdana menteri pada 1982, mengatakan bahwa perang 1967 adalah salah satu "pilihan," bahwa "kami putuskan untuk menyerangnya [Presiden Mesir Gamal Abdel Nasser]." Ezer Weizman, bapak angkatan udara Israel dan di kemudian hari menjadi menteri pertahanan, mengatakan pada 1972 bahwa "tidak ada ancaman kehancuran" dari orang-orang Arab. Jenderal Mattityahu Peled, mantan anggota staf umum yang kemudian menjadi penyokong perdamaian, berkata pada 1972: "Menyatakan bahwa angkatan bersenjata Mesir yang terkumpul di perbatasan-perbatasan kita akan dapat mengancam eksistensi Israel bukan hanya merupakan hinaan bagi pikiran waras setiap orang yang mampu menganalisis situasi semacam ini, melainkan juga hinaan bagi Zahal [angkatan bersenjata Israel]." Dan Kepala Staf Yitzhak Rabin berkata pada 1968: "Saya tidak percaya bahwa Nasser menginginkan perang. Dua divisi yang dikirimnya ke Sinai pada 14 Mei tidak akan memadai untuk melepaskan serangan melawan Israel. Dia tahu itu dan kami pun tahu."5

David Ben-Gurion berkata dia "sangat meragukan apakah Nasser ingin berperang."6 Lagi pula dinas rahasia Amerika Serikat telah menyimpulkan sesaat sebelum perang bahwa Israel tidak menghadapi ancaman dekat dan bahwa jika diserang Israel dapat dengan cepat mengalahkan setiap negara Arab atau gabungan negara-negara Arab.7

Anggota kabinet Israel Mordecai Bentov mengungkapkan pada 1972 bahwa "seluruh cerita" Israel tentang "bahaya pembasmian" itu "hanya dibuat-buat dan dibesar-besarkan untuk membenarkan pencaplokan wilayah-wilayah Arab yang baru."8


OMONG KOSONG

"GOI [Pemerintah Israel] tidak, kami ulangi lagi: tidak, mempunyai niat untuk mengambil keuntungan dari situasi itu untuk memperluas wilayahnya." --Walworth Barbour, duta besar AS untuk Israel, 19679

FAKTA

Dalam dua hari sejak dimulainya perang, pasukan Israel berhasil merebut Kota Tua Jerusalem dari Yordania. Para pemimpin Israel dengan segera menyatakan bahwa mereka tidak akan melepaskan kota itu. Shlomo Goren, rabbi kepala Ashkenazi dari Pasukan Pertahanan Israel, tiba di Tembok Ratapan dalam waktu setengah jam dan menyatakan: "Saya, Jenderal Shlomo Goren, rabbi kepala dari Pasukan Pertahanan Israel, telah datang ke tempat ini dan tidak akan pernah meninggalkannya lagi."10 Menteri Pertahanan Moshe Dayan juga tiba, dan berkata: "Kita telah menyatukan Jerusalem, ibukota Israel yang terbagi. Kita telah kembali ke tempat paling suci dari tempat-tempat suci kita, dan tidak akan pernah berpisah lagi dengannya."11 Menjelang berakhirnya pertempuran dalam waktu enam hari, pasukan Israel telah membanjiri seluruh Semenanjung Sinai, Tepi Barat dan Jalur Gaza, dan Dataran Tinggi Golan milik Syria. Wilayah yang direbut meningkatkan kontrol Israel atas tanah dari semula 5.900 mil persegi yang diserahkan padanya dalam Rencana Pembagian PBB tahun 1947 menjadi 20.870 mil persegi.12 Meskipun pada awalnya Israel berjanji bahwa ia tidak berusaha untuk meluaskan wilayah, dengan segera ia bertindak dengan mengusir orang-orang Palestina dan mendirikan pemukiman Yahudi di wilayah-wilayah pendudukan, termasuk Jerusalem Timur Arab.13


OMONG KOSONG

"Jangan lupa bahwa kami netral dalam kata-kata, pikiran, dan perbuatan." --Eugene Rostow, wakil menteri luar negeri, 196714

FAKTA

Pernyataan menyindir dari Eugene Rostow disambut dengan senyum pengertian oleh para pejabat AS sebab Amerika Serikat tidak pernah sama sekali bersikap netral dalam perang 1967. Pemerintahan Johnson sepenuhnya pro Israel. Dengan demikian ketika juru bicara Kementerian Luar Negeri Robert McCloskey mengucapkan kembali kepada media kata-kata Rostow menyangkut kenetralan pada hari pertama berlangsungnya perang, para wartawan tidak ada yang percaya. Penegasan semacam itu, jika ditanggapi secara serius, merupakan suatu berita besar dan Associated Press dengan segera mengirim sebuah buletin khusus lewat kawat.15

Reaksi terhadap pernyataan Rostow di kalangan orang-orang Amerika pendukung Israel adalah geram. Penulis pidato presiden John Roche begitu marah sehingga dia mengirim sebuah memo langsung kepada presiden untuk mengajukan protes, "Saya sangat terkejut ketika menyadari bahwa ada suatu sentimen rahasia untuk mencium pantat Arab... Konsekuensi dari usaha untuk 'berbicara manis' dengan orang-orang Arab adalah mereka jadi sangat muak pada kita-dan kita membuat dukungan Yahudi di Amerika Serikat menjadi asing."16

Dukungan kuat dari para penyokong Israel dalam pemerintahan Johnson menjadi tampak mencolok sejak hari-hari pertama perang itu.17 Dalam laporan ringkas Kementerian Luar Negeri tentang hari pertama pertempuran itu, penasihat kemanan nasional Walt Rostow, saudara lelaki Eugene, dengan sembrono menulis dalam sebuah Surat pengantar: "Bersama ini saya sertakan penjelasan, dengan sebuah peta, tentang serangan hari pertama."18

Dalam kenyataannnya, hubungan antara Amerika Serikat di bawah Presiden Johnson dan Israel demikian dekatnya sehingga kebijaksanaan yang diambil sering kali dikoordinasikan dengan Israel dengan mengorbankan orang-orang Arab. McGeorge Bundy, yang bekerja sebagai penasihat khusus presiden, menyinggung tentang kedekatan kedua negara itu dalam sebuah memorandum untuk Johnson di tengah berlangsungnya perang ketika dia menyarankan agar presiden menyampaikan pidato untuk "menekankan bahwa kewajiban untuk memastikan kekuatan Israel dan menstabilkan wilayah Timur tengah merupakan kewajiban bagi bangsa-bangsa di wilayah tersebut. Inilah doktrin Lyndon B. Johnson dan doktrin Israel yang baik, dan karenanya juga merupakan doktrin yang baik untuk diumumkan."19

Kedekatan kedua negara itu telah menimbulkan kecurigaan bahwa Johnson beserta para pejabat bawahannya telah memberikan "lampu hijau" pada keinginan Israel untuk melancarkan perang. Penjelasan yang masuk akal adalah bahwa AS berkeinginan, bersama Israel, untuk menjatuhkan Presiden Mesir Gamal Abdel Nasser. Namun Nasser, meskipun merupakan pengganggu, bukanlah tokoh yang menjadi pemikiran utama di Washington, di mana perang yang semakin hebat berkecarnuk di Vietnam menyedot seluruh perhatian. Lebih-lebih, tidak tampak adanya kolusi.

Tetapi tidak ada keraguan bahwa Johnson setidak-tidaknya memberikan isyarat bagi diterimanya keputusan Israel untuk berperang, bahkan jika dia tidak secara aktif mendorongnya dengan semacam rencana kolusif. Ahli Timur Tengah William Quandt, mantan anggota Dewan Keamanan Nasional di bawah Presiden Carter, menyelidiki semua bukti yang ada sepanjang seperempat abad sejak terjadinya perang dan menyirnpulkan dalam sebuah telaah pada 1992: "Dengan adanya semua informasi ini, sekarang menjadi mungkin untuk memutuskan perdebatan lampu merah versus lampu hijau. Kedua pandangan itu sama-sama tidak akurat dalam hal-hal yang penting." Quandt menyimpulkan bahwa Presiden Johnson berusaha untuk menghalangi Israel agar tidak melancarkan perang pada bulan Mei --"lampu merah"-- namun kemudian menyadari bahwa Amerika Serikat tidak berdaya untuk mencegah Israel yang sudah berbulat tekad itu agar tidak menjalankan kebijaksanaannya sendiri. Pada tahap ini pemerintah memberikan pada Israel "lampu kuning," yang berarti, dalam kata-kata Quandt, "Presiden menyetujui tanpa bantahan keputusan Israel untuk memulai perang lebih dulu." Tambah Quandt: "Pendeknya, pada hari-hari yang menentukan sebelum Israel mengambil keputusan untuk berperang, lampu dari Washington beralih dari merah ke kuning. Lampu itu tidak pernah berubah menjadi hijau, tetapi kuning sudah cukup bagi orang-orang Israel untuk mengetahui bahwa mereka dapat beraksi tanpa mengkhawatirkan reaksi Washington."20

Sebuah contoh jelas tentang bagaimana para pejabat AS dan Israel bekerja sama selama perang itu terjadi di Perserikatan Bangsa-Bangsa. Duta Besar Israel untuk PBB, Gideon Rafael, ingat bahwa Duta Besar AS Arthur Goldberg "sangat khawatir tentang Israel dan ekuasi militernya." Goldberg memanggil Rafael dan bertanya: "Gideon, apa yang kau ingin kulakukan?"21 Rafael berkata bahwa yang dibutuhkan Israel adalah waktu untuk menghindar agar Dewan Keamanan tidak mengeluarkan resolusi gencatan senjata sementara pasukan Israel tengah mencatat kemenangan dramatis pada hari-hari pertama perang. Untuk mencapai tujuan ini, dia ingin Goldberg menghindari pertemuan dengan rekannya dari Soviet, Nikolai Federenko. Rafael mengatakan pada Goldberg: "Kau tidak boleh terlalu mudah ditemui selama beberapa hari mendatang." Dan Goldberg menurut.22


OMONG KOSONG

"Dapat disimpulkan secara jelas dan tanpa sangsi dari bukti-bukti dan dari perbandingan antara catatan-cacatan harian perang bahwa serangan atas USS Liberty bukanlah suatu kejahatan; tidak ada kealpaan kriminal dan serangan itu dilakukan semata-mata karena kesalahan yang tidak disengaja." --Pernyataan pemerintah Israel, 196723

FAKTA

Pada suatu Siang yang cerah tanggal 8 Juni, tanpa adanya pertempuran yang berlangsung di dekatnya, pesawat-pesawat perang dan perahu-perahu torpedo Israel berulang kali menyerang kapal intelijen AS Liberty di pantai Sinai, membunuh 34 awak kapalnya dan mencederai 171 orang. Dalam serangan itu digunakan napalm, roket-roket, senjata-senjata mesin, dan torpedo. Serangan itu sebelumnya didahului dengan upaya pengintaian oleh pesawat-pesawat Israel selama setidak-tidaknya lima setengah jam, pada waktu kapal itu mengibarkan bendera baru yang melambai bebas diterpa angin sepoi.24

Meskipun selama tahun-tahun itu Israel tetap berkeras bahwa kasus tersebut merupakan suatu kekeliruan identitas dan suatu kecelakaan, banyak bukti yang dengan kuat mendukung tuduhan bahwa Israel sengaja menyerang kapal intelijen itu, sebab ia khawatir Liberty akan memonitor persiapan-persiapan Israel untuk menyerang Dataran Tinggi Golan pada hari berikutnya. Pemerintahan Johnson menerima pernyataan Israel bahwa serangan itu adalah akibat identifikasi yang keliru. Bahkan bertahun-tahun kemudian, Johnson selalu mengelak untuk membicarakan kejadian itu, dengan menyatakan dalam memoarnya bahwa hanya ada sepuluh orang yang meninggal dalam serangan tersebut.25 Itu adalah indikasi jelas bagaimana Johnson berkolusi dengan Israel.

Hingga 1991, orang-orang yang selamat dalam serangan itu menuduh pemerintah AS masih selalu menutup-nutupi peran Israel. Tulis James Ennes, seorang letnan yang berjaga di atas anjungan pada hari terjadinya serangan itu: "Selubung resmi yang dipasang untuk menutupi cerita ini masih sama kuatnya dengan yang digunakan pertama kali dulu." Dan tetap demikian meskipun dalam kenyataannya para mantan pejabat seperti Menteri Luar Negeri Dean Rusk dan Pemimpin Gabungan Kepala Staf Laksamana Thomas Moore telah menulis catatan yang menyalahkan Israel karena menyerang Liberty secara sengaja.

Kata-kata Rusk dalam memoarnya: "Saya tidak pernah puas dengan penjelasan Israel... Saya tidak percaya pada mereka waktu itu, dan saya tidak mempercayai mereka hingga hari ini. Serangan itu sungguh kotor." Simpul Ennes: "Namun, meskipun ada pendapat-pendapat kuat dari para pemimpin, tidak ada satu pejabat pun yang masih duduk dalam pemerintahan pernah melakukan usaha yang nyata untuk meluruskan catatan itu."26

Baru pada 8 Juni 1991 orang-orang yang selamat itu akhirnya mendapatkan tanda penghargaan dari presiden yang ditandatangani oleh Johnson pada 1967 namun baru diserahkan pada waktu itu.27 Lalu pada 6 November 1991, kolumnis Rowland Evans dan Robert Novak akhirnya mengetahui bahwa kedutaan besar AS di Beirut telah menangkap saluran radio Israel di mana pilot Israel melaporkan: "Itu sebuah kapal Amerika." Komando Israel mengabaikan laporan itu dan memerintahkan pilot untuk melancarkan serangan. Evans dan Novak menyimpulkan bahwa Israel menyerang "sebab Liberty akan dapat mendengar setiap kata dalam komunikasi antara markas besar IDF dan unit-unit Israel yang tengah bersiap-siap untuk menyerang Syria." Serangan Israel ke Dataran Tinggi Golan berlangsung pada hari berikutnya setelah Israel membungkam Liberty. Laporan itu dikonfirmasi oleh Dwight Porter, yang menjadi duta besar Amerika untuk Lebanon pada waktu itu.28 Dengan demikian, setelah dua puluh empat tahun, kebenaran akhirnya muncul.

Catatan kaki:

1 Cockburn, Dangerous Liaison, 145.

2 Eban, "Statement to the General Assembly by Foreign Minister Eban,19 June 1967," dikutip dalam Medzini, Israel's Foreign Relations, 2: 803.

3 William B. Quandt, "Lyndon Johnson and the June 1967 War: What Color Was the Light?" The Middle East Journal, Musim Semi 1992.

4 John Law, "A New Improved Myth;" Middle East International, 12 Juli 1991.

5 Semua kutipan dalam paragraf ini berasal dari Cockburn, Dangerous Liaison, 153-54. Juga lihat Richard B. Parker, "The June War: Whose Conspiracy?" Journal of Palestine Studies, Musim Panas 1992; Nakhleh, Encyclopedia of the Palestine Problem, 897.

6 Rabin, Rabin Memoirs, 75. Juga lihat Sheldon L. Richman, "'Ancient History:' U.S. Conduct in the Middle East since World War II and the Folly of Intervention;' pamflet Cato Institute, 16 Agustus 1991, 20.

7 Neff, Warriors for Jerusalem, 140.

8 Quigley, Palestine and Israel, 170.

9 Kedutaan besar Tel Aviv untuk Kementerian Luar Negeri, telegram 3928 (rahasia), 5 Juni 1967 (diungkapkan pada 13 Desember 1982), dikutip dalam Green, Taking Sides, 218-19.

10 Moskin, Among Lions, 308.

11 Neff, Warriors for Jerusalem, 233.

12 Nyrop, Israel, xix. Juga lihat Epp, Whose Land Is Palestine? 185; Foundation for Middle East Peace, Report on Israeli Settlement in the Occupied Territories, Juli 1991.

13 Halabi, The West Bank Story, 35-36. Juga lihat Hirst, "Rush to Annexation: Israel in Jerusalem," Journal of Palestine Studies, Musim Panas 1974; Neff, Warriors for Jerusalem, 289-90.

14 Neff, Warriors for Jerusalem, 213; Bar-Zohar, Embassies in Crisis, 220.

15 Neff, Warriors for Jerusalem, 213.

16 Roche pada Presiden, "EYES ONLY memorandum," 6 Juni 1967, Johnson Library, dikutip dalam Neff, Warriors for Jerusalem, 222.

17 Neff, Warriors for Jerusalem, 213.

18 Rostow untuk Presiden, 5 Juni 1967 (rahasia).

19 Bundy kepada Presiden, memorandum, "The 6: 30 Meeting," jam 6: 15 pagi, 9 Juni 1967, Johnson Library, dikutip dalam Neff, Warriors for Jerusalem, 273.

20 Quandt, "Lyndon Johnson and the June 1967 War."

21 Moskin, Among Lions, 117-19.

22 Ibid., 119.

23 Ennes, Assault on the Liberty, 156-57.

24 Ibid., 52-53.

25 Johnson, The Vantage Point, 300.

26 James M. Ennes, Jr., "Victims of 1967 Attack Honored, Israeli Motives Still Uninvestigated," Washington Report on Middle East Affairs, Mei/Juni 1991.

27 Bill McAllister, Washington Post, 15 Juni 1991.

28 Rowland Evans dan Robert Novak, Washington Post, 6 November 1991.


Diplomasi Munafik ala Yahudi -
Mengungkap Fakta Hubungan AS-Israel oleh Paul Findley
Judul Asli: Deliberate Deceptions:
Facing the Facts about the U.S. - Israeli Relationship by Paul Findley
Terbitan Lawrence Hill Brooks, Brooklyn, New York 1993
Penterjemah: Rahmani Astuti, Penyunting: Yuliani L.
Penerbit Mizan, Jln. Yodkali No. 16, Bandung 40124
Cetakan 1, Dzulhijjah 1415/Mei 1995
Telp.(022) 700931 Fax.(022) 707038
 
Indeks artikel kelompok ini | Disclaimer
ISNET Homepage | Pustaka Online Media

Dirancang oleh MEDIA, 1997-2001.
Hak cipta © dicadangkan.