|
LIMA
PERANG 1967
Perang 1967 adalah yang ketiga dalam konflik Arab-Israel,
dan yang paling sukses bagi Israel. Israel meraih semua
sasaran perangnya, dan yang paling penting di antaranya
adalah didudukinya seluruh tanah Palestina, termasuk
Jerusalem Timur yang milik Arab, Semenanjung Sinai milik
Mesir, dan Dataran Tinggi Golan milik Syria. Tidak seperti
krisis Suez 1956, ketika tentangan dari Washington berhasil
memaksa Israel untuk menarik diri dari wilayah yang telah
direbutnya, para pejabat Israel kali ini bersikap hati-hati
sekali dalam menanamkan pengertian para pejabat AS tentang
posisi mereka.1
Akibatnya Israel tidak mendapatkan tekanan dari AS untuk
menyerahkan hasil-hasil yang telah dicapainya. Pertempuran
dimulai pada 5 Juni dan berakhir pada 10 Juni.
OMONG KOSONG
"Sama sekali tidak diragukan lagi bahwa ...
pemerintah negara-negara Arab ... secara metodis
mempersiapkan dan melancarkan suatu serangan agresif yang
dirancang untuk menimbulkan kehancuran segera dan
menyeluruh atas Israel." --Abba Eban, duta besar
Israel untuk Perserikatan Bangsa-Bangsa,
19672
FAKTA
Seperti dalam perang 1956, Israel memulai pertempuran
pada 1967 dengan suatu serangan mendadak atas Mesir. Sekali
lagi, seperti pada 1956, orang-orang Israel memperdaya
Amerika Serikat. Menteri Luar Negeri Abba Eban secara
pribadi meyakinkan Duta Besar AS untuk Israel Walworth
Barbour bahwa Mesirlah yang pertama kali
menyerang.3 Namun
sejak perang berkobar, para pemimpin Israel --tidak seperti
banyak pendukungnya di Amerika
Serikat4-- secara
terbuka telah mengakui bahwa yang menyerang adalah Israel
dan, lebih-lebih lagi, bahwa Israel tidak menghadapi ancaman
langsung bagi eksistensinya.
Menachem Begin, perdana menteri pada 1982, mengatakan
bahwa perang 1967 adalah salah satu "pilihan," bahwa "kami
putuskan untuk menyerangnya [Presiden Mesir Gamal Abdel
Nasser]." Ezer Weizman, bapak angkatan udara Israel dan
di kemudian hari menjadi menteri pertahanan, mengatakan pada
1972 bahwa "tidak ada ancaman kehancuran" dari orang-orang
Arab. Jenderal Mattityahu Peled, mantan anggota staf umum
yang kemudian menjadi penyokong perdamaian, berkata pada
1972: "Menyatakan bahwa angkatan bersenjata Mesir yang
terkumpul di perbatasan-perbatasan kita akan dapat mengancam
eksistensi Israel bukan hanya merupakan hinaan bagi pikiran
waras setiap orang yang mampu menganalisis situasi semacam
ini, melainkan juga hinaan bagi Zahal [angkatan
bersenjata Israel]." Dan Kepala Staf Yitzhak Rabin
berkata pada 1968: "Saya tidak percaya bahwa Nasser
menginginkan perang. Dua divisi yang dikirimnya ke Sinai
pada 14 Mei tidak akan memadai untuk melepaskan serangan
melawan Israel. Dia tahu itu dan kami pun
tahu."5
David Ben-Gurion berkata dia "sangat meragukan apakah
Nasser ingin berperang."6
Lagi pula dinas rahasia Amerika Serikat telah menyimpulkan
sesaat sebelum perang bahwa Israel tidak menghadapi ancaman
dekat dan bahwa jika diserang Israel dapat dengan cepat
mengalahkan setiap negara Arab atau gabungan negara-negara
Arab.7
Anggota kabinet Israel Mordecai Bentov mengungkapkan pada
1972 bahwa "seluruh cerita" Israel tentang "bahaya
pembasmian" itu "hanya dibuat-buat dan dibesar-besarkan
untuk membenarkan pencaplokan wilayah-wilayah Arab yang
baru."8
OMONG KOSONG
"GOI [Pemerintah Israel] tidak, kami
ulangi lagi: tidak, mempunyai niat untuk mengambil
keuntungan dari situasi itu untuk memperluas
wilayahnya." --Walworth Barbour, duta besar AS
untuk Israel, 19679
FAKTA
Dalam dua hari sejak dimulainya perang, pasukan Israel
berhasil merebut Kota Tua Jerusalem dari Yordania. Para
pemimpin Israel dengan segera menyatakan bahwa mereka tidak
akan melepaskan kota itu. Shlomo Goren, rabbi kepala
Ashkenazi dari Pasukan Pertahanan Israel, tiba di Tembok
Ratapan dalam waktu setengah jam dan menyatakan: "Saya,
Jenderal Shlomo Goren, rabbi kepala dari Pasukan Pertahanan
Israel, telah datang ke tempat ini dan tidak akan pernah
meninggalkannya lagi."10
Menteri Pertahanan Moshe Dayan juga tiba, dan berkata: "Kita
telah menyatukan Jerusalem, ibukota Israel yang terbagi.
Kita telah kembali ke tempat paling suci dari tempat-tempat
suci kita, dan tidak akan pernah berpisah lagi
dengannya."11
Menjelang berakhirnya pertempuran dalam waktu enam hari,
pasukan Israel telah membanjiri seluruh Semenanjung Sinai,
Tepi Barat dan Jalur Gaza, dan Dataran Tinggi Golan milik
Syria. Wilayah yang direbut meningkatkan kontrol Israel atas
tanah dari semula 5.900 mil persegi yang diserahkan padanya
dalam Rencana Pembagian PBB tahun 1947 menjadi 20.870 mil
persegi.12
Meskipun pada awalnya Israel berjanji bahwa ia tidak
berusaha untuk meluaskan wilayah, dengan segera ia bertindak
dengan mengusir orang-orang Palestina dan mendirikan
pemukiman Yahudi di wilayah-wilayah pendudukan, termasuk
Jerusalem Timur Arab.13
OMONG KOSONG
"Jangan lupa bahwa kami netral dalam
kata-kata, pikiran, dan perbuatan." --Eugene
Rostow, wakil menteri luar negeri,
196714
FAKTA
Pernyataan menyindir dari Eugene Rostow disambut dengan
senyum pengertian oleh para pejabat AS sebab Amerika Serikat
tidak pernah sama sekali bersikap netral dalam perang 1967.
Pemerintahan Johnson sepenuhnya pro Israel. Dengan demikian
ketika juru bicara Kementerian Luar Negeri Robert McCloskey
mengucapkan kembali kepada media kata-kata Rostow menyangkut
kenetralan pada hari pertama berlangsungnya perang, para
wartawan tidak ada yang percaya. Penegasan semacam itu, jika
ditanggapi secara serius, merupakan suatu berita besar dan
Associated Press dengan segera mengirim sebuah buletin
khusus lewat kawat.15
Reaksi terhadap pernyataan Rostow di kalangan orang-orang
Amerika pendukung Israel adalah geram. Penulis pidato
presiden John Roche begitu marah sehingga dia mengirim
sebuah memo langsung kepada presiden untuk mengajukan
protes, "Saya sangat terkejut ketika menyadari bahwa ada
suatu sentimen rahasia untuk mencium pantat Arab...
Konsekuensi dari usaha untuk 'berbicara manis' dengan
orang-orang Arab adalah mereka jadi sangat muak pada
kita-dan kita membuat dukungan Yahudi di Amerika Serikat
menjadi asing."16
Dukungan kuat dari para penyokong Israel dalam
pemerintahan Johnson menjadi tampak mencolok sejak hari-hari
pertama perang itu.17
Dalam laporan ringkas Kementerian Luar Negeri tentang hari
pertama pertempuran itu, penasihat kemanan nasional Walt
Rostow, saudara lelaki Eugene, dengan sembrono menulis dalam
sebuah Surat pengantar: "Bersama ini saya sertakan
penjelasan, dengan sebuah peta, tentang serangan hari
pertama."18
Dalam kenyataannnya, hubungan antara Amerika Serikat di
bawah Presiden Johnson dan Israel demikian dekatnya sehingga
kebijaksanaan yang diambil sering kali dikoordinasikan
dengan Israel dengan mengorbankan orang-orang Arab. McGeorge
Bundy, yang bekerja sebagai penasihat khusus presiden,
menyinggung tentang kedekatan kedua negara itu dalam sebuah
memorandum untuk Johnson di tengah berlangsungnya perang
ketika dia menyarankan agar presiden menyampaikan pidato
untuk "menekankan bahwa kewajiban untuk memastikan kekuatan
Israel dan menstabilkan wilayah Timur tengah merupakan
kewajiban bagi bangsa-bangsa di wilayah tersebut. Inilah
doktrin Lyndon B. Johnson dan doktrin Israel yang baik, dan
karenanya juga merupakan doktrin yang baik untuk
diumumkan."19
Kedekatan kedua negara itu telah menimbulkan kecurigaan
bahwa Johnson beserta para pejabat bawahannya telah
memberikan "lampu hijau" pada keinginan Israel untuk
melancarkan perang. Penjelasan yang masuk akal adalah bahwa
AS berkeinginan, bersama Israel, untuk menjatuhkan Presiden
Mesir Gamal Abdel Nasser. Namun Nasser, meskipun merupakan
pengganggu, bukanlah tokoh yang menjadi pemikiran utama di
Washington, di mana perang yang semakin hebat berkecarnuk di
Vietnam menyedot seluruh perhatian. Lebih-lebih, tidak
tampak adanya kolusi.
Tetapi tidak ada keraguan bahwa Johnson setidak-tidaknya
memberikan isyarat bagi diterimanya keputusan Israel untuk
berperang, bahkan jika dia tidak secara aktif mendorongnya
dengan semacam rencana kolusif. Ahli Timur Tengah William
Quandt, mantan anggota Dewan Keamanan Nasional di bawah
Presiden Carter, menyelidiki semua bukti yang ada sepanjang
seperempat abad sejak terjadinya perang dan menyirnpulkan
dalam sebuah telaah pada 1992: "Dengan adanya semua
informasi ini, sekarang menjadi mungkin untuk memutuskan
perdebatan lampu merah versus lampu hijau. Kedua pandangan
itu sama-sama tidak akurat dalam hal-hal yang penting."
Quandt menyimpulkan bahwa Presiden Johnson berusaha untuk
menghalangi Israel agar tidak melancarkan perang pada bulan
Mei --"lampu merah"-- namun kemudian menyadari bahwa Amerika
Serikat tidak berdaya untuk mencegah Israel yang sudah
berbulat tekad itu agar tidak menjalankan kebijaksanaannya
sendiri. Pada tahap ini pemerintah memberikan pada Israel
"lampu kuning," yang berarti, dalam kata-kata Quandt,
"Presiden menyetujui tanpa bantahan keputusan Israel untuk
memulai perang lebih dulu." Tambah Quandt: "Pendeknya, pada
hari-hari yang menentukan sebelum Israel mengambil keputusan
untuk berperang, lampu dari Washington beralih dari merah ke
kuning. Lampu itu tidak pernah berubah menjadi hijau, tetapi
kuning sudah cukup bagi orang-orang Israel untuk mengetahui
bahwa mereka dapat beraksi tanpa mengkhawatirkan reaksi
Washington."20
Sebuah contoh jelas tentang bagaimana para pejabat AS dan
Israel bekerja sama selama perang itu terjadi di
Perserikatan Bangsa-Bangsa. Duta Besar Israel untuk PBB,
Gideon Rafael, ingat bahwa Duta Besar AS Arthur Goldberg
"sangat khawatir tentang Israel dan ekuasi militernya."
Goldberg memanggil Rafael dan bertanya: "Gideon, apa yang
kau ingin kulakukan?"21
Rafael berkata bahwa yang dibutuhkan Israel adalah waktu
untuk menghindar agar Dewan Keamanan tidak mengeluarkan
resolusi gencatan senjata sementara pasukan Israel tengah
mencatat kemenangan dramatis pada hari-hari pertama perang.
Untuk mencapai tujuan ini, dia ingin Goldberg menghindari
pertemuan dengan rekannya dari Soviet, Nikolai Federenko.
Rafael mengatakan pada Goldberg: "Kau tidak boleh terlalu
mudah ditemui selama beberapa hari mendatang." Dan Goldberg
menurut.22
OMONG KOSONG
"Dapat disimpulkan secara jelas dan tanpa
sangsi dari bukti-bukti dan dari perbandingan antara
catatan-cacatan harian perang bahwa serangan atas USS
Liberty bukanlah suatu kejahatan; tidak ada kealpaan
kriminal dan serangan itu dilakukan semata-mata karena
kesalahan yang tidak disengaja." --Pernyataan
pemerintah Israel, 196723
FAKTA
Pada suatu Siang yang cerah tanggal 8 Juni, tanpa adanya
pertempuran yang berlangsung di dekatnya, pesawat-pesawat
perang dan perahu-perahu torpedo Israel berulang kali
menyerang kapal intelijen AS Liberty di pantai Sinai,
membunuh 34 awak kapalnya dan mencederai 171 orang. Dalam
serangan itu digunakan napalm, roket-roket, senjata-senjata
mesin, dan torpedo. Serangan itu sebelumnya didahului dengan
upaya pengintaian oleh pesawat-pesawat Israel selama
setidak-tidaknya lima setengah jam, pada waktu kapal itu
mengibarkan bendera baru yang melambai bebas diterpa angin
sepoi.24
Meskipun selama tahun-tahun itu Israel tetap berkeras
bahwa kasus tersebut merupakan suatu kekeliruan identitas
dan suatu kecelakaan, banyak bukti yang dengan kuat
mendukung tuduhan bahwa Israel sengaja menyerang kapal
intelijen itu, sebab ia khawatir Liberty akan memonitor
persiapan-persiapan Israel untuk menyerang Dataran Tinggi
Golan pada hari berikutnya. Pemerintahan Johnson menerima
pernyataan Israel bahwa serangan itu adalah akibat
identifikasi yang keliru. Bahkan bertahun-tahun kemudian,
Johnson selalu mengelak untuk membicarakan kejadian itu,
dengan menyatakan dalam memoarnya bahwa hanya ada sepuluh
orang yang meninggal dalam serangan
tersebut.25 Itu
adalah indikasi jelas bagaimana Johnson berkolusi dengan
Israel.
Hingga 1991, orang-orang yang selamat dalam serangan itu
menuduh pemerintah AS masih selalu menutup-nutupi peran
Israel. Tulis James Ennes, seorang letnan yang berjaga di
atas anjungan pada hari terjadinya serangan itu: "Selubung
resmi yang dipasang untuk menutupi cerita ini masih sama
kuatnya dengan yang digunakan pertama kali dulu." Dan tetap
demikian meskipun dalam kenyataannya para mantan pejabat
seperti Menteri Luar Negeri Dean Rusk dan Pemimpin Gabungan
Kepala Staf Laksamana Thomas Moore telah menulis catatan
yang menyalahkan Israel karena menyerang Liberty secara
sengaja.
Kata-kata Rusk dalam memoarnya: "Saya tidak pernah puas
dengan penjelasan Israel... Saya tidak percaya pada mereka
waktu itu, dan saya tidak mempercayai mereka hingga hari
ini. Serangan itu sungguh kotor." Simpul Ennes: "Namun,
meskipun ada pendapat-pendapat kuat dari para pemimpin,
tidak ada satu pejabat pun yang masih duduk dalam
pemerintahan pernah melakukan usaha yang nyata untuk
meluruskan catatan itu."26
Baru pada 8 Juni 1991 orang-orang yang selamat itu
akhirnya mendapatkan tanda penghargaan dari presiden yang
ditandatangani oleh Johnson pada 1967 namun baru diserahkan
pada waktu itu.27
Lalu pada 6 November 1991, kolumnis Rowland Evans dan Robert
Novak akhirnya mengetahui bahwa kedutaan besar AS di Beirut
telah menangkap saluran radio Israel di mana pilot Israel
melaporkan: "Itu sebuah kapal Amerika." Komando Israel
mengabaikan laporan itu dan memerintahkan pilot untuk
melancarkan serangan. Evans dan Novak menyimpulkan bahwa
Israel menyerang "sebab Liberty akan dapat mendengar setiap
kata dalam komunikasi antara markas besar IDF dan unit-unit
Israel yang tengah bersiap-siap untuk menyerang Syria."
Serangan Israel ke Dataran Tinggi Golan berlangsung pada
hari berikutnya setelah Israel membungkam Liberty. Laporan
itu dikonfirmasi oleh Dwight Porter, yang menjadi duta besar
Amerika untuk Lebanon pada waktu
itu.28 Dengan
demikian, setelah dua puluh empat tahun, kebenaran akhirnya
muncul.
Catatan kaki:
1 Cockburn, Dangerous
Liaison, 145.
2 Eban, "Statement to the
General Assembly by Foreign Minister Eban,19 June 1967,"
dikutip dalam Medzini, Israel's Foreign Relations, 2:
803.
3 William B. Quandt,
"Lyndon Johnson and the June 1967 War: What Color Was the
Light?" The Middle East Journal, Musim Semi 1992.
4 John Law, "A New
Improved Myth;" Middle East International, 12 Juli
1991.
5 Semua kutipan dalam
paragraf ini berasal dari Cockburn, Dangerous
Liaison, 153-54. Juga lihat Richard B. Parker, "The June
War: Whose Conspiracy?" Journal of Palestine Studies,
Musim Panas 1992; Nakhleh, Encyclopedia of the Palestine
Problem, 897.
6 Rabin, Rabin
Memoirs, 75. Juga lihat Sheldon L. Richman, "'Ancient
History:' U.S. Conduct in the Middle East since World War II
and the Folly of Intervention;' pamflet Cato Institute, 16
Agustus 1991, 20.
7 Neff, Warriors for
Jerusalem, 140.
8 Quigley, Palestine
and Israel, 170.
9 Kedutaan besar Tel Aviv
untuk Kementerian Luar Negeri, telegram 3928 (rahasia), 5
Juni 1967 (diungkapkan pada 13 Desember 1982), dikutip dalam
Green, Taking Sides, 218-19.
10 Moskin, Among
Lions, 308.
11 Neff, Warriors
for Jerusalem, 233.
12 Nyrop,
Israel, xix. Juga lihat Epp, Whose Land Is
Palestine? 185; Foundation for Middle East Peace,
Report on Israeli Settlement in the Occupied
Territories, Juli 1991.
13 Halabi, The West
Bank Story, 35-36. Juga lihat Hirst, "Rush to
Annexation: Israel in Jerusalem," Journal of Palestine
Studies, Musim Panas 1974; Neff, Warriors for
Jerusalem, 289-90.
14 Neff, Warriors
for Jerusalem, 213; Bar-Zohar, Embassies in
Crisis, 220.
15 Neff, Warriors
for Jerusalem, 213.
16 Roche pada Presiden,
"EYES ONLY memorandum," 6 Juni 1967, Johnson Library,
dikutip dalam Neff, Warriors for Jerusalem, 222.
17 Neff, Warriors
for Jerusalem, 213.
18 Rostow untuk
Presiden, 5 Juni 1967 (rahasia).
19 Bundy kepada
Presiden, memorandum, "The 6: 30 Meeting," jam 6: 15 pagi, 9
Juni 1967, Johnson Library, dikutip dalam Neff, Warriors
for Jerusalem, 273.
20 Quandt, "Lyndon
Johnson and the June 1967 War."
21 Moskin, Among
Lions, 117-19.
22 Ibid., 119.
23 Ennes, Assault on
the Liberty, 156-57.
24 Ibid., 52-53.
25 Johnson, The
Vantage Point, 300.
26 James M. Ennes, Jr.,
"Victims of 1967 Attack Honored, Israeli Motives Still
Uninvestigated," Washington Report on Middle East
Affairs, Mei/Juni 1991.
27 Bill McAllister,
Washington Post, 15 Juni 1991.
28 Rowland Evans dan
Robert Novak, Washington Post, 6 November 1991.
|